Anda di halaman 1dari 13

i

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemikiran tentang filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa
jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk menunjukkan
ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum
yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan
disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu.
Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik.
Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan
tidak menemukan keadaan yang sebenarnya.
Filsafat hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek hukum”,
dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku
subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya
manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari
keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu
itu adil, benar, dan sah.
Kondisi geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang damai
memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan bagaimana
keadilan itu sebenarnya, akan kemana hukum diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat,
bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal yang berlaku untuk mendapatkan
penilaian yang tepat dan pasti. Perkembangan filsafat hukum di Romawi tidak sepesat di
Yunani, karena filosof tidak hanya memikirkan bagaimana ketertiban harus berlaku tetapi
juga karena wilayah Romawi sangat luas serta persoalan yang dihadapi cukup rumit (Theo
Huijbers, 1982:31). Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam
negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur:
1) Kepastian hukum (rechtssicherkeit)
2) Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit)
3) Keadilan hukum (gerechtigkeit)
4) Jaminan hukum (doelmatigkeit)
Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat
dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum dan isi hukum harus
1
ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata
jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang
telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah
dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi
terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan yang dapat diuraikan berdasarkan latar belakang diatas adalah
mengenai bagaimana keadilan dan hukum yang benar dan adil dalam perspektif filsafat
hukum?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan, tujuan dari penulisan ini adalah
untuk mengetahui bagaiman keadilan dan hukum yang benar dan adil dalam perspektif
filsafat hukum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filsafat Hukum


Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler yang
menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang hukum yang adil.
Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum merupakan suatu perenungan
metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische bebezinning over het wezen van he
recht).
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh Kusumadi
Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang hukum yang
tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu?
Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan adanya pertanyaan-
pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan
ilmu hukum dan pada saat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah
menginjakkan kakinya ke lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.

2.2 Sejarah Filsafat Hukum


1. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan
kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsafat hukum
pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain:
Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filsuf alam
yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-
475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan
keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa
tetapi logos (rasio). Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang
dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus
disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah
keadilan (dike).

3
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan
keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-
pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos
membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang
dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam
polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi
hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi
peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan
kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada
hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat
bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki
kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni
ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dihukum mati,
sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya,
Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki
pengetahuan(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat
memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan
kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang
dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak
menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi
cerminan bayangan dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles berpendapat
bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah
membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup
sendiri karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena
itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif.
Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul, kedua
hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam
ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena hubungannya
4
dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan
sendirinya.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan
kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama filsuf
Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini
menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul
konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan
individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme
merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum.
Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa
dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul
keterikatan antara manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh
karena itu, menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut
hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang
hukum positif sesuai dengan hukum alam.

2. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan


Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak
runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark
ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic) dan mulai
berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang
disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh
suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi
yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-
430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam perkembangannya,
pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman
Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara
ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari
Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan
perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna),

5
hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan akal budi
manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis).

3. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern


Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya
zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam
segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-
negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan
sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat
dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari
ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum.
Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis dan
para penganut faham positivisme hukum.

4. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang


Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia merupakan
rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung lawan dari pengertian itu
sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak ada atau sebaliknya mengandung
katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi. Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-
synthese, yang pada akhirnya dari setiap synthese merupakan titik tolak dari tritunggal yang
baru.
Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels yang
menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam masyarakat. Di
samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan bahwa hukum tidak dibuat
tetapi tumbuh bersama-sama dengan perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini telah
memasukkan faktor sejarah ke dalam pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan
pandangan relatif terhadap hukum. Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab
Sejarah.

2.3 Manfaat Filsafat Hukum


Filsafat hukum sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mempelajari hukum. Namun
yang lebih penting disini ialah berusaha mengaktualisasikan filsafat hukum yang lebih dekat
pada dunia ide (dasollen) dengan hukum positif yang lebih dekat dengan dunia nyata (das
sein). Caranya dengan menciptakan hubungan yang erat antara filsafat dengan hukum positif.

6
Dengan kata lain, harus bisa menggunakan filsafat hukum secara praktis untuk
menjelaskan peranan hukum dalam pembangunan. Misalnya, makin berkembang hidup
bermasyarakat (karena perkembangan maasyarakat dan pemikiran masyarakat), maka
kadang-kadang hukum positif tidak bisa mengatasi. Untuk itu hubungan positif harus
dihubungkan dengan filsafat hukum dan teori hukum. Aktualisasi filsafat hukum ini kalau
sudah sampai dipengadilan, misalnya pada saat hakim menangani kasus yang tidak ada /
belum ada hukumnya.

2.4 Arti Keadilan


Membicarakan hukum tidak lepas dari kata “keadilan” yang sudah ada sejak jaman
Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato dan Aristoteles
melontarkan pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang perenungan tentang
keadilan yang menguasai filsafat hukum. Plato mencoba mengemukakan konsepsinya tentang
keadilan dari “inspirasi”, sedang Aristoteles mencoba mendekatinya dan menganalisis
berdsarkan ilmu dan prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang type masyarakat politik
dan peraturan-peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan mereka
adalah concept of virtue, yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah
mencakup segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya. Concept of
virtue inilah yang menghadirkan pengertian keimbangan (balance) dan harmoni sebagai suatu
ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil, sehingga dari sini tidak jarang pula
antara keimbangan dan harmoni terpisah jalan keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan
merupakan pengertian yang tercipta pada perpaduan antara keimbangan dan harmoni sebagai
suatu ukuran.
Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat dianalisis
dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang ada di tengah-tengah
antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa keadilan mulai dijawab oleh
Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap
untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum
dan apa yang sebanding. Hal senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan
berlaku tidak adil apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia
terima. Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan
hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan umum.
Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang menentukan
sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat berikut ini:

7
1) Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu
dengan yang lain;
2) Keadilan berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar
keuntungan tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
3) Untuk mengutamakan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang
digunakan ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.
Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:
1) Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang pembagian
barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut tempatnya.
2) Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice), terutama untuk ukuran
prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran
umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya
yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan
ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain,
yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum
kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan
untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang
hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil,
memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak dan
kepatutan(equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturan-aturan yang berlaku
umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal perseorangan.
Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan hal-hal yang benar tentang
sesuatu undang-undang.
Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan menjadi
2, yaitu:
1) Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak masing-masing
yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
2) Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi menjadi 3,
yaitu: keadilan distributive, keadilan komutatif, dan keadilan vindikatif.
Kaum Positivis (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan hukum.
Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu kepastian hukum.
Hal ini sesuai dengan adagium “Summun jus, summa injuria, summa lex, summa crux”, yaitu
8
hukum yang keras akan dalam melukai kecuali keadilan dapat menolongnya. Ungkapan
tersebut berawal dari ketidakpercayaan kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya,
karena keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.

2.5 Hukum yang Adil dan Benar


Gambaran mengenai hukum yang adil dan benar dapat diketemukan dalam pemikiran
yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, seorang politikus dan sarjana hukum dari Jerman.
Ia berusaha menyeberangi jurang bidang “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) dengan
menerima bahwa suatu bidang terkandung kedua bidang tersebut untuk mencapai apa yang
disebut dengan kebenaran. Menurut Radbruch, bidang kebudayaan tidak hanya terletak di
antara dua bidang tersebut, tetapi menggabungkan kedua bidang itu juga, sebab kebudayaan
merupakan perwujudan dari nilai-nilai realitas alam, dan Radbruch hendak menerapkan teori
ini pada hukum.
Alasan yang dipergunakan Radbruch ialah bahwa hukum merupakan unsur
kebudayaan, maka seperti unsur-unsur kebudayaan lain, hukum diwujudkan dalam satu nilai,
yakni nilai keadilan. Sehingga hukum merupakan perwujudan dari keadilan, sedikitnya
merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan. Sedangkan tolok ukur adil atau tidak adilnya
tata hukum dibentuk dalam masyarakat, namun tolok ukur tersebut belumlah cukup, karena
ada dasar lain, yaitu dasar hukum sebagai hukum.
Dalam mewujudkan adanya hukum yang benar dan adil ini, Radbruch membagi
keadilan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu:
1) Keadilan dalam arti sempit, artinya keadilan merupakan persamaan hak untuk semua
orang di depan pengadilan.
2) Tujuan keadilan atau finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai.
3) Kepastian hukum atau legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi
sebagai peraturan yang harus ditaati.
Dengan adanya pembagian keadilan ke dalam tiga aspek tersebut, kita dapat
mengetahui bahwa suatu hukum yang adil haruskah hukum memenuhi unsur konstitutif
hukum atau hanya unsur regulatif sebagimana dikatakan oleh Huijbers. Apabila adil
merupakan unsur konstitutif hukum, maka suatu peraturan tidak adil bukan hanya hukum
yang buruk, tetapi karena faktor non hukum (non yuridis), seperti politik. Sebaliknya apabila
adil merupakan unsur regulatif bagi hukum, maka suatu peraturan yang tidak adil tetap

9
merupakan hukum walaupun buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk
mentaatinya.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa
pendapat mengenai keadilan dari beberapa tokoh, salah satunya dari Aristoteles yang
membagi keadilan menjadi dua, yaitu:
1) Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang pembagian
barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut tempatnya.
2) Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice), terutama untuk ukuran
prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran
umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya
yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan
ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain,
yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum
kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan
untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang
hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil,
memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.

3.2 Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan keadilan dan hukum yang
benar dan adil dalam perspektif filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir tentunya
dapat membedakan yang mana salah dan mana yang benar. Utamanya kepada para penegak
hukum, haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak dalam
dinamika perdebatan akan makna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka mampu
menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan keselarasan antara keadilan,
kemanfaatan, serta kepastian hukum.

11
DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat

http://syafiunizar93.blogspot.com/2016/10/makalah-filsafat-hukum.html, diakses tanggal 23


Oktober 2018.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993.

Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Kencana, Syafiie Inu, Pegantar Filsafat. Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2004.

Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006.

Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

12

Anda mungkin juga menyukai