BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan
keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-
pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos
membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang
dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam
polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi
hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi
peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan
kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada
hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat
bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki
kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni
ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dihukum mati,
sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya,
Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki
pengetahuan(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat
memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan
kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang
dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak
menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi
cerminan bayangan dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles berpendapat
bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah
membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup
sendiri karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena
itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif.
Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul, kedua
hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam
ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena hubungannya
4
dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan
sendirinya.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan
kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama filsuf
Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini
menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul
konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan
individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme
merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum.
Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa
dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul
keterikatan antara manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh
karena itu, menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut
hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang
hukum positif sesuai dengan hukum alam.
5
hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan akal budi
manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis).
6
Dengan kata lain, harus bisa menggunakan filsafat hukum secara praktis untuk
menjelaskan peranan hukum dalam pembangunan. Misalnya, makin berkembang hidup
bermasyarakat (karena perkembangan maasyarakat dan pemikiran masyarakat), maka
kadang-kadang hukum positif tidak bisa mengatasi. Untuk itu hubungan positif harus
dihubungkan dengan filsafat hukum dan teori hukum. Aktualisasi filsafat hukum ini kalau
sudah sampai dipengadilan, misalnya pada saat hakim menangani kasus yang tidak ada /
belum ada hukumnya.
7
1) Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu
dengan yang lain;
2) Keadilan berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar
keuntungan tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
3) Untuk mengutamakan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang
digunakan ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.
Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:
1) Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang pembagian
barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut tempatnya.
2) Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice), terutama untuk ukuran
prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran
umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya
yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan
ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain,
yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum
kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan
untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang
hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil,
memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak dan
kepatutan(equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturan-aturan yang berlaku
umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal perseorangan.
Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan hal-hal yang benar tentang
sesuatu undang-undang.
Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan menjadi
2, yaitu:
1) Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak masing-masing
yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
2) Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi menjadi 3,
yaitu: keadilan distributive, keadilan komutatif, dan keadilan vindikatif.
Kaum Positivis (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan hukum.
Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu kepastian hukum.
Hal ini sesuai dengan adagium “Summun jus, summa injuria, summa lex, summa crux”, yaitu
8
hukum yang keras akan dalam melukai kecuali keadilan dapat menolongnya. Ungkapan
tersebut berawal dari ketidakpercayaan kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya,
karena keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.
9
merupakan hukum walaupun buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk
mentaatinya.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa
pendapat mengenai keadilan dari beberapa tokoh, salah satunya dari Aristoteles yang
membagi keadilan menjadi dua, yaitu:
1) Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang pembagian
barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut tempatnya.
2) Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice), terutama untuk ukuran
prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran
umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya
yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan
ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain,
yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum
kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan
untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang
hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil,
memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
3.2 Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan keadilan dan hukum yang
benar dan adil dalam perspektif filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir tentunya
dapat membedakan yang mana salah dan mana yang benar. Utamanya kepada para penegak
hukum, haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak dalam
dinamika perdebatan akan makna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka mampu
menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan keselarasan antara keadilan,
kemanfaatan, serta kepastian hukum.
11
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993.
Kencana, Syafiie Inu, Pegantar Filsafat. Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
12