Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

BIOTEKNOLOGI PENGHASIL ENERGI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur

Mata Kuliah : Bioteknologi

Dosen Pengampu : Ina Rosdiana L S,Si M.Pd

Disusun Oleh :

Bunga pertiwi

Kalela Sari

Suyanto

Kelompok 5

Tarbiyah/ IPA-Biologi-D / Semester VI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI


CIREBON

2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Bioteknologi Penghasil Energi” ini dengan lancar dan tepat waktu. Adapun
makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah
Bioteknologi.

Tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan makalah yang kami buat
ini. Tentunya di dalamnya masih terdapat berbagai kekurangan, baik dalam
sistematikanya,penulisannya, bahasanya, dan berbagai kekurngan-kekurangan
lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per-satu. Atas kekurangan-kekurangan
tersebut, kami harap maklum, dan tentunya kami memerlukan kritik yang
membangun. Harapan kami, makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi
tambahan wawasan yang baik bagi siapa saja yang membacanya.

PENULIS
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Saat ini dunia sedang menghadapi tantangan energi global secara


menyeluruh. Kebutuhan energi kian meningkat sedangkan sumber energi
konvensional semakin berkurang. Selain itu, ketergantungan akan pengunaan
sumber-sumber energi konvensional yang menghasilkan gas rumah kaca telah
terbukti berdampak negatif terhadap iklim bumi secara keseluruhan.
Gejolak harga minyak mentah dunia yang terus naik hingga menyentuh
harga US$ 140 per barel yang akhirnya dapat menurun hingga dibawah US$ 40.
Dengan adanya kenaikan harga minyak tersebut kemudian memaksa pemerintah
menaikkan harga bahan bakar minyak. Indonesia tidak dapat memanfaatkan
secara maksimal kenaikan harga minyak bumi tersebut karena cadangan minyak
bumi yang cenderung mengalami penurunan sehingga Indonesia menjadi negara
net importer minyak bumi sejak tahun 2004.
Harga bahan bakar minyak yang terus meningkat dan cadangan minyak
dunia yang makin terbatas telah mendorong upaya untuk mendapatkan bahan
bakar alternatif (Kerr 1998; Wheals et al. 1999; Aristidou dan Penttila 2000;
Jeffries dan Jin 2000; Zaldivar et al. 2001; John 2004; Schubert 2006)
Penggunaan bahan bakar nabati itu akan di dapat dengan bantuan
Bioteknologi. Bioteknologi itu sendiri adalah Bioteknologi adalah cabang ilmu
yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-
lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi
untuk menghasilkan barang dan jasa.
2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hal-hal sebagai berikut :
a. Apakah pengertian dari Bioteknologi?
b. Bagaimanakah pengembangan bahan bakar nabati, khususnya di
Indonesia?
c. Bagaimanakah pemanfaatan bahan nabati untuk menjadi sumber
energi?
d. Apakah keuntungan dari BBN (Bahan Bakar Nabati) ?
3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pengertian dari bioteknologi
b. Untuk mengatahui pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia
c. Untuk mengetahui pemanfaatan bahan nabati untuk menjad sumber
energy
d. Untuk mengetahui keuntungan dari bahan bakar nabati
BAB II
BIOTEKOLOGI PENGHASIL ENERGI
Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan
makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari
makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan
barang dan jasa. Bioteknologi sangat bermanfaat, baik itu dalam bidang
pangan, seperti pembuatan roti, keju dll. Dalam bidang kedokteran, seperti
pembuatan vaksin dan antibiotic. Selain itu dapat juga bermanfaat sebagai
sumber energy.

A. Pengembangan Bahan Bakar Nabati

Pemerintah melalui Peraturan Presiden No.5 tahun 2006


mengeluarkan kebijakan energi nasional. Kebijakan ini bertujuan untuk
mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Kebijakan utama
meliputi penyediaan energi yang optimal, pemanfaatan energi yang
efisien, penetapan harga energi ke arah harga keekonomian dan pelestarian
lingkungan.
Kebijakan ini juga memuat target pencapaian bauran energi
(energy mix) sampai tahun 2025 seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Kebijakan ini diikuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.1
Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN sebagai bahan
bakar lain dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Nasional
Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk Percepatan Pengurangan
Kemiskinan dan Pengangguran melalui Keputusan Presiden No. 10 Tahun
2006.
Tim nasional ini berkewajiban untuk menyusun Blue Print dan
Road Map Pengembangan BBN. disamping kebijakan tersebut di atas,
Presiden mencanangkan Indonesia Green Energy Action Plan.
Pengembangan green energy atau energi yang berbahan baku nabati
mempunyai tiga aspek penting yang diyakini dapat mendorong
perekonomian nasional, yaitu:
1. Pro Jobs untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas
2. Pro Growth yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan
3. Pro Poor yang akan mengurangi tingkat kemiskinan.

BBN merupakan salah satu bentuk green energy yang secara garis
besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: biodiesel, bioetanol, dan
Pure Plant Oil (PPO) atau sering disebut biooil.

Gambar 1. Target Bauran Energi 2025

Biodiesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati. Bahan baku


dapat berasal dari kelapa sawit, jarak pagar, kedelai dan kelapa. Dalam
pemanfaatanya dicampur dengan minyak solar dengan perbandingan
tertentu. B5 merupakan campuran 5% biodiesel dengan 95% minyak solar
yang dijual secara komersiil oleh Pertamina dengan nama dagang biosolar.
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan karena
tidak menimbulkan emisi polutan yang berbahaya terhadap kesehatan.
Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dapat
menurunkan emisi bila dibandingkan dengan penggunaan minyak solar.
Biodiesel terbuat dari minyak nabati yang berasal dari sumber daya yang
dapat diperbaharui. Pertimbangan lain untuk penggembangkan biodiesel
adalah makin tingginya harga minyak bumi dan untuk mengurangi emisi
GRK
Bioetanol merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari
fermentasi tetes tebu, singkong, jagung atau sagu. Bioetanol dimanfaatkan
untuk mengurangi konsumsi premium. E5 merupakan campuran 5%
bioetanol dengan 95% premium yang telah dipasarkan Pertamina dengan
nama dagang biopremium. Penggunaan bioetanol sampai dengan E15
tidak perlu melakukan modifikasi mesin kendaraan yang sudah ada, tetapi
untuk E100 hanya dapat digunakan untuk mobil jenis FFV (flexible fuel
vehicle). Bioetanol merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan
dan makin banyak diproduksi dibanding energy alternatif lain, seperti
biodiesel. Produksi bioetanol dunia meningkat seiring dengan gejolak
harga minyak
PPO merupakan minyak nabati murni tanpa perubahan sifat
kimiawi dan dimanfaatkan secara langsung untuk mengurangi konsumsi
solar industri, minyak diesel, minyak tanah dan minyak bakar. O15
merupakan campuran 15% PPO dengan 85% minyak diesel dan dapat
digunakan tanpa tambahan peralatan khusus untuk bahan bakar peralatan
industri. Pemakaian yang lebih besar dari O15 harus menambah peralatan
konverter.
Proses pembuatan BBN secara ringkas serta bahan baku yang
digunakan ditunjukkan pada Gambar 2. Untuk selanjutnya yang akan
dibahas lebih lanjut yaitu pemanfaatan biodiesel dengan bahan baku
minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil).
B. Pemanfaatan Bahan Nabati sebagai Sumber energy
1. Pemanfaatan Biodiesel Dari Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar
Alternatif Pengganti Minyak Solar
Dari berbagai jenis bahan baku biodiesel maka biodiesel dari
minyak kelapa sawit (CPO) mempunyai prospek untuk dikembangkan
mengingat jumlah ketersediaan dan potensi pengembangan tanaman
kelapa sawit yang cukup besar. Dalam penggunaannya biodiesel harus
dicampur dengan minyak solar/diesel.
Program uji coba pemasaran campuran 5% biodiesel dengan 95 minyak
solar yang diberi nama dagang biosolar dimulai pada Maret 2006 sampai
April 2007 di wilayah Jabotabek. Biosolar dipasarkan pada 201 SPBU
(Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum) dan volume penjualannya
mencapai 314.187 kl. Sedangkan untuk wilayah Surabaya dilaksanakan
pada 15 SPBU dengan volume penjualannya mencapai 9.845 kl. Produksi
biodiesel pada April 2007 mencapai 520.000 kl yang diproduksi oleh
sekitar 8 perusahaan dengan PT. Wilmar, Dumai merupakan pemasok
terbesar dengan kapasitas 350.000 ton/tahun disusul PT. Eterindo
Wahanatama, Gresik dengan kapasitas 120.000 ton/tahun.
Dari sisi hilir, teknologi pengolahan biodiesel terus dikembangkan
dan secara nasional sudah dapat dikuasai rancang bangun industri
pengolahan biodiesel. BPPT telah mendisain dan membangun pabrik
biodiesel dengan kapasitas 1,5 ton per hari sebagai prototipe pada tahun
2000. Prototipe ini kemudian dikembangkan lagi dan bersama dengan
Pemda Provinsi Riau mendirikan pabrik biodiesel dengan kapasitas 8 ton
per hari tipe batch. Pada tahun 2006 didirikan pilot plant pabrik biodiesel
skala 3 ton/hari tipe kontinu berlokasi di Puspiptek, Serpong. Detail disain
pabrik biodiesel skala komersial 80 ton per hari sudah dapat diselesaikan
pada tahun 2007. Disamping BPPT, institusi lain seperti Lemigas, ITB,
Departemen Pertanian, LIPI, PT. Rekin, dan beberapa perusahaan swasta,
seperti PT. Energy Alternative Indonesia (EAI) dan PT. Eterindo
Wahanatama juga mengembangkan pabrik biodiesel yang tersebar di
berbagai wilayah Indonesia.
2. Pemanfaatan biodesel jarak pagar sebagai bahan alternatif

Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) atau juga disebut juga


physic nut merupakan tanaman yang sudah tidak asing lagi bagi
masyarakat, saat zaman penjajahan jepang. Minyak jarak pagar
dipergunakan sebagai bahan pelumas dan bahan bakar pesawat
terbang. Sesuai dengan namanya, tanaman ini memang dimanfaatkan
masyarakat sebagai tanaman pagar serta sebagai obat tradisional,
disamping sebagai bahan bakar dan minyak peluas. Perkembangan
jarak pagar sangat luas, awalnya dari amerika tengah, kemudian
menyebar ke Afrika dan Asia. Luasnya perkembangan jarak pagar
disebabkan oleh kemudahan dalam pertumbuhannya. Menurut
Hambali. E, dkk (2007), Jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari
dataran rendah sampai dataran tinggi, curah hujan yang rendah
maupun tinggi (300 - 2.380 ml/tahun), rentang suhu 20 - 26 oC.
Karena sifat tersebut tanaman jarak pagar mampu tumbuh pada tanah
berpasir, bebatu, lempung ataupun tanah liat, sehingga jarak pagar
dapat dikembangkan pada lahan kritis.

Jarak pagar memiliki buah yang terdiri dari daging buah,


cangkang biji dan inti biji. Inti merupakan sumber bagian yang
menghasilkan minyak sebagai bahan bakar biodiesel dengan proses
awal ekstraksi. Kandungan minyak yang terdapat dalam biji baik
cangkang maupun buah berkisar 25-35 % berat kering biji Prihandana,
R(2007), jarak pagar mampu menghasilkan 7,5 - 10 ton /ha/tahun
tergantung dari kualitas benih, agroklimat, tingkat kesuburan tanah dan
pemeliharaan, (Hambali. E, 2007). Sebagai perhitungan kasar produksi
minyak jarak mentah, cruide jatropha oil (CJO), dari 25 % /biji kering
maka dapat diperoleh minyak hasil ekstraksi sebesar 1,875 - 2,5 ton
minyak /ha/tahun.

Proses ekstraksi jarak pagar menjadi minyak dilakukan secara


mekanik menggunakan mesin press, baik sederhana dengan skala kecil
maupun skala produksi industri. Jenis alat pres dibedakan menjadi dua
macam yaitu press hidrolik dan press ulir masing masing memiliki
kelemahan dan keungulan masing masing, biasanya disesuaikan
dengan tingkat produksi minyak. Setelah biji jarak di keringkan dan
disortir berdasarkan kualitas, biji jarak pagar dimasukan kedalam
mesin press mekanik. Hasil pengepresan diperoleh minyak mentah
atau cruide jatropha oil (CJO) dan bungkil berupa sisa ampas. Untuk
memurnikan Cruide jatropha oil (CJO) selanjutnya dilakukan
penyaringan dan diperoleh limbah berupa sludge. Minyak jarak pagar
mentah ini bias dijadikan bahan bakar pengganti minyak tanah.
Pemakaiannya dapat diterapkan langsung pada kompor modifikasi atau
dicampur dengan minyak tanah. Untuk memperoleh bahan bakar
biodiesel, minyak mentah hasil penyaringan dilakukan proses
transesterifikasi dan esterifikasi. Proses transesterifikasi adalah proses
penurunan kandungan asam lemak bebas. Bila kadar lemak bebas
terlalu tinggi maka perlu dilakukan proses esterifikasi terlebih dahulu
setelah itu dilanjutkan proses transesterifikasi.
3. Pemanfaatan biodesel biji nyamplung sebagai bahan alternative

Penggunaan biji nyamplung (Calophyllum inophyllum )


sebagai sumber energi alternatif pengganti BBM telah memasuki
babak baru. Beberapa hari lalu (05/03/2012) sebuah stasiun televisi
swasta (Indosiar) menayangkan uji coba pemanfaatan bahan bakar
biofuel dari biji buah nyamplung di Purworejo.
Beberapa kendaraan roda empat sukses melintasi sejumlah kota di
Jawa Tengah tanpa hambatan. Sebelumnya, biodiesel dari buah
nyamplung ini juga pernah diujicobakan di kendaraan alat pertanian,
generator listrik, dan bus.

Biodiesel dari biji nyamplung terbukti lebih irit dari solar. Asap
yang dibuang dari biodiesel ini lebih putih dan tidak mengandung
belerang, kendaraan lebih enteng ketika digas dan lebih halus
suaranya.

Dari sisi lingkungan, biodiesel nyamplung bebas dari polutan


(green solar). Seluruh parameter kualitas telah sesuai dengan
kualifikasi biodiesel menurut SNI 04- 7182-2006 dengan rendemen
konversi asam lemak bebas (FFA) menjadi metil ester 97,8%.

Sementara dari sisi investasi, biodiesel nyamplung mencapai


BEP (break event point) pada skala biodiesel 70 ton dan gliserol kotor
14 ton, dengan IRR = 31 %, masa pengembalian modal 6 tahun, NPV
= Rp 326,7 juta, B/C ratio = 2,4. Pada kondisi BEP tersebut,
diperlukan biji nyamplung 555 ton setara 11.100 batang pohon
nyamplung atau setara areal 28 ha dengan produktivitas biji 50
kg/pohon/tahun. (1 daur budi daya nyamplung = 50 tahun, mulai
berbuah umur 7 tahun).

Biodiesel nyamplung juga dapat digunakan sebagai campuran solar


dengan komposisi tertentu. Bahkan jika teknologi pengolahannya
tepat, dapat digunakan sebagai biokerosen pengganti minyak tanah.

4. Mikroalga sebagai bahan baku bioetanol

Mikroalga adalah alga berukuran mikro yang biasa dijumpai di


air tawar maupun air laut. Mikroalga merupakan spesies uniseluler
yang dapat hidup soliter maupun berkoloni. Berdasarkan spesiesnya,
ada berbagai macam bentuk dan ukuran mikroalga
Mikroalga merupakan mikroorganisme dengan kemampuan
seperti pabrik biofuel. Hal ini dikarenakan, ada beberapa biofuel yang
dapat dihasilkan dari mikroalga, yaitu hidrogen, biodiesel (yang
diperoleh melalui proses transesterifikasi), bioetanol (yang diperoleh
melalui proses fermentasi) dan biogas (Skill, 2007; Basmal, 2008).
Namun demikian, ada beberapa hal penting terkait dengan
pemanfaatan mikroalga sebagai bahan baku biofuel, yaitu proses
produksi mikroalga, proses pemanenan mikroalga dan proses konversi
biomassa menjadi biofuel (Skill, 2007).
Penggunaan mikroalga sebagai bahan baku biofuel mempunyai
beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan tanaman pangan,
diantaranya yaitu pertumbuhan yang cepat, produktivitas tinggi, dapat
menggunakan air tawar maupun air laut, tidak berkompetisi dengan
bahan pangan, konsumsi air dalam jumlah sedikit serta menggunakan
biaya produksi yang relatif rendah (Guerrero, 2010).
Selama ini, mikroalga dimanfaatkan sebagai pakan pada budidaya.
Untuk kegiatan penelitian maupun produksi biofuel, mikroalga selama
ini baru dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Mikroalga
sebenarnya juga mempunyai peluang untuk dimanfaatkan sebagai
bahan baku bioetanol. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
1. Bahan baku bioetanol yang selama ini digunakan, seperti singkong
dan pati merupakan bahan pangan bagi manusia
2. Adanya kandungan karbohidrat pada mikroalga (Chisti, 2008;
Harun et al, 2009).
Kandungan karbohidrat pada mikroalga berbeda-beda,
tergantung pada spesies dan kondisi lingkungan hidupnya (Basmal,
2008). Spesies mikroalga yang mempunyai potensi untuk digunakan
sebagai bahan baku bioetanol yaitu Prymnesium parvum (Santhanam,
2010), Chlorococum sp. (Harun et al., 2009), Tetraselmis suecia,
Anthrospira sp (Ragauskas, 2006), dan Chlorella sp.
Mikroalga mempunyai kandungan karbohidrat yang hampir sama
dengan kandungan lemaknya. Dengan demikian, potensi mikroalga
sebagai sumber bahan baku bioetanol juga sama dengan potensi
mikroalga sebagai sumbe rbahan baku biodiesel.
5. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi
Bioetanol
Ampas tebu sebagai limbah pabrik gula merupakan salah satu
bahan lignoselulosa yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber
energi seperti bioetanol. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol
mendapat perhatian penting karena bioetanol dapat digunakan untuk
mensubstitusi bahan bakar bensin untuk keperluan transportasi.
Bahan lignoselulosa, termasuk dari ampas tebu terdiri atas tiga komponen
utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Konversi bahan
lignoselulosa menjadi etanol pada dasarnya terdiri atas perlakuan
pendahuluan, hidrolisis selulosa menjadi gula, fermentasi gula menjadi
etanol, dan pemurnian etanol melalui proses distilasi dan dehidrasi.
Biaya produksi etanol masih cukup tinggi. Oleh karena itu,
berbagai penelitian dilakukan untuk memperbaiki proses produksi mulai
dari tahap perlakuan pendahuluan, hidrolisis selulosa, fermentasi gula
menjadi etanol sampai dengan pemurnian etanol. Dengan memerhatikan
potensi biomassa lignoselulosa, khususnya ampas tebu sebagai bahan
dasar bioetanol, perlu dilakukan pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian
dalam upaya pemanfaatan bahan tersebut. Potensi perolehan etanol dari
ampas tebu yang dihasilkan oleh pabrik gula di Indonesia mencapai
614.827 kL/tahun sehingga berpeluang membantu upaya pemenuhan
kebutuhan etanol untuk bahan bakar yang diperkirakan sekitar 1,10 juta
kL.
Namun demikian, masih cukup banyak hambatan dan kendala
untuk produksi dan aplikasi bioetanol dari biomassa lignoselulosa,
termasuk dari ampas tebu, terutama penguasaan teknologi konversi
biomassa lignoselulosa menjadi etanol dan biaya produksi yang masih
tinggi. Diperlukan kebijakan pemerintah agar dapat mendorong
pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol, antara lain melalui
penelitian dan pengembangan, pemberian insentif bagi pabrik gula yang
memanfaatkan ampas tebu untuk bioetanol, dan subsidi harga etanol dari
biomassa lignoselulosa.
Bahan lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari
tanaman dengan komponen utama lignin, selulosa, dan hemiselulosa.
Ketersediaannya yang cukup melimpah, terutama sebagai limbah
pertanian, perkebunan, dan kehutanan, menjadikan bahan ini berpotensi
sebagai salah satu sumber energi melalui proses konversi, baik proses
fisika, kimia maupun biologis. Salah satu proses konversi bahan
lignoselulosa yang banyak diteliti adalah proses konversi lignoselulosa
menjadi etanol yang selanjutnya dapat digunakan untuk mensubstitusi
bahan bakar bensin untuk keperluan transportasi
6. Pembuatan Bioetanol Dari Limbah Kulit Singkong Melalui Proses
Hidrolisa Asam Dan Enzimatis
Pembuatan bioetanol dari limbah kulit singkong melalui dua tahap
yaitu proses hidrolisa asam yang kemudian dilanjutkan dengan proses
fermentasi. Proses hidrolisa dilakukan untuk mengubah selulosa dari kulit
singkong menjadi glukosa. Hidrolisa dengan asam akan memutuskan
ikatan polisakarida dan sekaligus memasukkan elemen H2O. Fermentasi
alkohol merupakan proses pembuatan alkohol dengan memanfaatkan
aktivitas yeast (Saccharomyces cerevisiae). Proses fermentasi etanol ini
dilakukan secara anaerob, yaitu mengubah glukosa menjadi alkohol tanpa
adanya oksigen tetapi dalam pembuatan starter dibutuhkan suasana aerob
dimana oksigen diperlukan untuk pembiakan sel.
C. Manfaat Bahan Bakar Nabati
satu keuntungan penghematan BBM dengan bahan bakar nabati
adalah menekan beban masyarakat. Sugiharto mencontohkan, PLN bisa
memilih cara menghilangkan biaya yang tidak efisien dengan mengganti
penggunaan BBM yang saat ini harganya terus meroket dengan energi
alternatif yang lebih murah.
BAB III
KESIMPULAN

Tingginya harga minyak mentah dunia mengakibatkan beban pemerintah


dalam menyediakan subsidi BBM semakin meningkat. Karena sebagian besar
BBM tersebut digunakan untuk sektor transportasi maka perlu segera dicari bahan
bakar alternatif sebagai substitusi BBM. BBN merupakan salah satu alternatif
yang dipandang banyak mempunyai keunggulan karena ramah lingkungan .BBN
disini merupakan sumber energy yang mana menggunakan bioteknologi dalam
pengaplikasiannya. Disisi lain penggunaan BBN dapat mengurangi emisi GRK
dan dengan pengembangan BBN secara tidak langsung turut berperan dalam
menangani masalah perubahan iklim.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, F. (2006) Realising Sustainable Oil Palm Development in


Indonesia-Challenges and Opportunities, presented at the InternationalOil Palm
Conference 2006, Bali.
Deptan (2008) Kebijakan Nasional Mitigasi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian
KLH (2007) Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim,
Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
KNRT (2006) Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk
Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2025, Kementerian Negara
Riset dan Teknologi.
Sugiyono, A. (2005) Pemanfaatan Biofuel dalam Penyediaan Energi Nasional
Jangka Panjang, Prosiding Teknologi untuk Negeri, Volume I: Bidang
Teknologi Energi, BPPT, Jakarta.
Sugiyono, A. (2006) Peluang Pemanfaatan Biodiesel dari Kelapa Sawit sebagai
Bahan Bakar Alternatif Pengganti Minyak Solar di Indonesia,
Anonim, Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia, Departemen
ESDM, Jakarta, 2008
Anonim, Organization for Economic Co-Operation & Development (OECD),
2006
Prastowo, Bambang. Potensi Sektor Pertanian Sebagai Penghasil dan Pengguna
Energi Terbarukan. Perspektif, Vol. 6, No. 2, hal. 84- 92, 2007

Anda mungkin juga menyukai