Bab 2
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
4 Universitas Sriwijaya
5
Universitas Sriwijaya
6
Universitas Sriwijaya
7
𝑂𝑣𝑒𝑟𝑏𝑢𝑟𝑑𝑒𝑛 (𝑚3 )
𝑆𝑅 = .......................................................................... (2.1)
𝐶𝑜𝑎𝑙 (𝑡𝑜𝑛𝑠)
$ $
𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑜𝑓𝑜𝑟𝑒 ( )− 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑐𝑜𝑠𝑡 ( )
𝑡𝑜𝑛 𝑡𝑜𝑛
𝐵𝐸𝑆𝑅 = $ ...................................... (2.2)
𝑠𝑡𝑟𝑖𝑝𝑝𝑖𝑛𝑔 𝑐𝑜𝑠𝑡 ( )
𝑏𝑐𝑚
SR = 1 SR = 2 SR = 3
Gambar 2.1. Batasan penambangan berdasarkan nilai stripping ratio dan BESR
(Hustrulid et al, 2013)
Universitas Sriwijaya
8
Universitas Sriwijaya
9
Universitas Sriwijaya
10
a. Tinggi lereng
Tinggi lereng merupakan jarak vertikal yang diukur tegak lurus dari lantai
lereng (toe) sampai ujung lereng bagian atas (crest). Alat yang digunakan harus
mampu mencapai pucuk atau bagian atas lereng, jika tingkat produksi atau faktor
lain mengharuskan ketinggian lereng tertentu, alat muat yang akan digunakan
harus disesuaikan pula ukurannya (Singh, 1997). Tinggi lereng penambangan
agar aktivitas loading optimal, harus kurang lebih sama dengan tinggi
pemotongan maksimum (maximum cutting height) alat gali muat excavator
(Singhal, 1998). Ketinggian maksimum lereng yang optimal berdasarkan
pertimbangan alat gali muat yang digunakan dapat dihitung dengan
Persamaan (2.3) (Tatiya, 2005).
Lebar minimum bench (SB) = 4,5 ft + 0,2 x tinggi bench ................... (2.4)
Universitas Sriwijaya
11
Gambar 2.3. Geometri catch bench atau safety bench (Hustrulid et al, 2013)
c. Working bench
Penentuan lebar working bench pada perencanaan penambangan batubara
tergantung dari kegiatan dan alat berat yang dipergunakan. Lebar lereng kerja
(working bench) terdiri dari lebar non working berm width (safety bench) dan
lebar working berm width (cut) yang merupakan bahan galian yang akan
diektraksi atau digali (Gambar 2.4). Lereng kerja ditentukan berdasarkan lereng
yang akan digunakan sebagai jalan angkut dan tempat kerja alat gali muat
(Hustrulid et al, 2013). Lebar lereng kerja akan terus bergeser dan dikurangi
seiring berjalannya kegiatan penambangan, sampai pada lebar minimum yang
telah ditentukan sebelumnya (safety bench) (Gambar 2.4).
Universitas Sriwijaya
12
d. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng tunggal (single slope) merupakan sudut kemiringan yang
terbentuk dari garis crest menuju toe suatu lereng. Sudut lereng keseluruhan,
(overall slope angle) adalah kemiringan yang diukur dari crest lereng paling atas
sampai toe lereng yang paling bawah, yaitu sudut yang sebenarnya dari dinding
pit keseluruhan, dengan memperhitungkan lebar bench, tinggi bench, dan single
slope (Hustrulid et al, 2013) (Gambar 2.5).
Penggalian oleh alat gali muat mekanis seperti loader atau shovel di
permukaan lereng pada umumnya akan menghasilkan sudut lereng antara 60-65o.
Sudut lereng yang lebih curam biasanya memerlukan peledakan presplitting.
Batuan masif umumnya diberi sudut lereng antara 550-800, sedangkan batuan
sedimen bervariasi antara 500 - 600 (Singh, 1997).
Universitas Sriwijaya
13
Universitas Sriwijaya
14
(a) (b)
Gambar 2.6. (a) Valley fill, (b) Terraced dump (Hartman dan Howard, 1987)
Universitas Sriwijaya
15
Keterangan:
n = Jumlah jalur jalan angkut
wt = Lebar alat angkut terbesar (meter)
U = Jarak jejak roda kendaraan (meter)
Fa = Lebar juntai depan, dikoreksi dengan sinus sudut belok roda depan,
(meter)
Fb = Lebar juntai belakang, dikoreksi dengan sinus sudur belok roda depan
(meter)
Z = Jarak sisi luar dump truck ke tepi jalan (meter)
C = Jarak antara dua dump truck yang akan bersimpangan (meter)
Universitas Sriwijaya
16
𝐾𝑏 𝑥 𝐹𝑏 𝑥 𝑆𝑓 𝑥 𝐸𝑓𝑓 𝑥 3600
𝑄= ................................................................... (2.9)
𝐶𝑇
Keterangan:
Q = Produktivitas alat muat (Bcm/jam)
Kb = Kapasitas bucket spesifikasi alat (m3)
Fb = Faktor koreksi pengisian bucket (%)
Sf = Swell factor (%)
Eff = Efisiensi kerja alat (%)
Ct = Waktu edar alat muat/excavator, (detik)
𝑛 𝑥 𝐾𝑏 𝑥 𝐹𝑏 𝑥 𝑆𝑓 𝑥 𝐸𝑓𝑓 𝑥 3600
𝑄= .............................................................. (2.10)
𝐶𝑇
Keterangan:
Q = Produktivitas alat angkut, (Bcm/jam)
n = Frekuensi pengisian truck
Kb = Kapasitas bucket spesifikasi alat gali muat, (m3)
Fb = Faktor koreksi pengisian bucket, (%)
Sf = Swell factor, (%)
Eff = Efisiensi kerja alat angkut, (%)
Ct = Waktu edar alat angkut,(detik)
Universitas Sriwijaya
17
menunggu dan tidak melakukan produksi, hal ini dapat mengurangi efisiensi kerja
sehingga produktivitas alat berkurang. Faktor keserasian (match factor) dihitung
menggunakan Persamaan (2.11) (Tenriajeng, 2003):
𝑁𝑎 𝑥 𝐶𝑇𝑚 𝑥 𝑛
𝑀𝐹 = ( ) ............................................................................. (2.11)
𝑁𝑚 𝑥 𝐶𝑇𝑎
Keterangan:
Na = Jumlah alat angkut, (buah)
Nm = Jumlah alat muat, (buah)
Ctm = waktu edar alat gali muat, (detik)
n = frekuensi pengisian alat angkut
Cta = waktu edar alat angkut, (detik)
Kemungkinan yang dapat terjadi terhadap alat muat dan alat angkut dalam
berbagai kondisi keserasian alatadalah sebagai berikut:
a) MF < 1, artinya alat muat akan menunggu.
b) MF = 1, artinya kedua alat sudah sepadan, sehingga tidak ada waktu
menunggu.
c) MF > 1, artinya alat angkut akan menunggu, terjadi antrian dump truck.
2.8.2. Penjadwalan Alat
Penjadwalan alat dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu
(Indonesianto, 2012):
a. Menggunakan alat dengan jumlah seminim mungkin sesuai dengan kebutuhan
atau target produksi yang telah direncanakan. Cara ini cocok bila target
produksi tidak besar (low-tonnage operation). Pelaksanaan maintenance harus
cermat (dilakukan sewaktu off shift) dan crew harus selalu stand by untuk
melakukan reparasi bila ada alat yang rusak. Alat yang rusak harus segera
diperbaiki agar dapat beroperasi lagi. Apabila alat rusak maka target produksi
dapat tidak tecapai, untuk menutupinya harus dilakukan jam lembur (overtime)
dari alat-alat yang tidak rusak.
b. Menyiapkan alat cadangan dengan membeli alat-alat mekanis delam jumlah
yang dilebihkan dari kebutuhan sebenarnya. Keuntungan dari cara ini ketika
Universitas Sriwijaya
18
ada alat yang rusak maka alat cadangan dapat langsung menggantikan alat
yang rusak tersebut sehingga target produksi tidak terganggu. Namun
pemborosan-pemborosan efisiensi yang diakibatkan bertambahnya biaya
investasi, penambahan biaya kompensasi dari barlebihnya pekerja yang
dibutuhkan perlu dipertimbangkan.
c. Menentukan jumlah alat yang dibutuhkan dalam upaya pemenuhan target
produksi dengan memperhatikan faktor-faktor availability, sehingga hanya
menjadwalkan alat yang dibutuhkan untuk melakukan kerja. Cara ini
memberikan kesempatan bagi para pekerja untuk mempertahankan produksi
dengan memberikan kesempatan para mekanik memiliki waktu yang cukup
untuk memelihara serta memperbaiki alat, sedangkan pada saat alat rusak, alat
lain dapat dipilih.
Faktor yang sangat penting dalam melakukan penjadwalan suatu alat ialah
faktor availability. Melalui nilai faktor availability, dapat diketahui berapa lama
waktu suatu alat dapat berproduksi dan berapa lama suatu alat harus kehilangan
waktu untuk perbaikan. Penjadwalan alat dapat lebih bijaksana dengan
mempertimbangkan availability factor (Tabel 2.1). Secara umum terdapat dua
cara untuk menghitung equipment availability, yaitu mechanical availability dan
physical availability (Indonesianto, 2012).
a. Mechanical availability
Mechanical availability merupakan faktor yang menunjukkan kesiapan
suatu alat tertentu dari waktu yang hilang dikarenakan kerusakan atau gangguan
alat (mechanical reason). Mechanical availability dapat dihitung dengan
Persamaan (2.12):
𝑊ℎ
𝑀𝐴 (%) = 𝑥 100% .................................................................. (2.12)
𝑊ℎ+𝑅ℎ
Keterangan:
Ma = Mechanical availability, (%)
Wh = Hours worked, (Jam)
Rh = Repair Hours, (Jam)
Universitas Sriwijaya
19
Repair hour adalah jumlah waktu yang digunakan untuk merawat dan
memperbaiki suatu alat (alat belum ready). Repair hour non-scheduled time juga
dipehitungkan dalam repair hour. Repair hours dipergunakan untuk kegiatan
berikut:
1) Actual Repair
2) Waiting for Repair
3) Waiting for part
4) Waktu yang hilang untuk maintenence/perawatan
b. Physical availability (PA)
Physical availability merupakan faktor yang menunjukkan banyaknya
waktu alat dipakai selama jam total kerjanya (scheduled hours). Physical
availability dihitung dengan Persamaan (2.13):
𝑊ℎ+𝑆𝑏ℎ
𝑃𝐴 (%) = 𝑥100% ................................................................... (2.13)
𝑆ℎ
Keterangan:
Wh = Hours worked, (Jam) Sh = Scheduled hours,(Jam)
Sbh = Standby hours, (Jam)
Stand by hour merupakan waktu dimana alat telah siap pakai (ready) dan
tidak rusak, tapi karena satu atau lain hal tidak dioperasikan ketika operasi
penambangan berlangsung. Off shift tidak diperhitungkan sebagai stand by time.
Scheduled hours merupakan waktu dimana suatu tambang dikerjakan.
Scheduled hour meliputi hours worked, repair hours dan stand by hours
(Indonesianto, 2012).
Selain faktor MA dan PA masih ada dua faktor untuk mengoreksi jam kerja
alat yang sesungguhnya yaitu:
a. Used of availability (UA)
Used of availability dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (2.14)
berikut ini:
𝑊ℎ
𝑈𝐴 (%) = 𝑥100% .................................................................. (2.14)
𝑊ℎ+𝑆𝑏ℎ
Universitas Sriwijaya
20
Keterangan:
UA = Used of availability, % Sbh = Stand by hours, (jam)
Wh = Hours worked, (jam)
𝑊ℎ
𝐸𝑈 (%) = 𝑥100% ......................................................................... (2.15)
𝑆𝑐ℎ
Keterangan:
EU = Effective utilization, (%) Sch = Scheduled hours, (jam)
Wh = Hours worked, (Jam)
Mechanical
Availability Phisical availability Used of availability Effective utilization
Definition or purpose Time lost for Total operation Management tools to Total % use relates
mechanical reason availability establish effective use hour worked to
includes time for of equipment total hour
any reason
Equation: (1) (2) (3) (2 x 3)
W = Working hours 𝑊 𝑊+𝑆 𝑊 𝑊
R = Repair hours 𝑥 100% 𝑥 100% 𝑥 100% 𝑥 100%
S = Stand by hours 𝑊+𝑅 𝑇 𝑊+𝑆 𝑇
T = Total hours
Example:
W = 300 300 300 + 200 300 300
𝑥100% 𝑥100% 𝑥100% 𝑥100%
R = 100 300 + 100 600 300 + 200 600
S = 200
T = 600 = 75% = 83% = 60% = 50%
Universitas Sriwijaya
21
(a) (b)
Gambar 2.7. (a) Kontur topografi, (b) Triangulasi pada kontur topografi
Segitiga yang terbentuk berupa segitiga sembarang yang sangat banyak dan
menggabungkan tiap data titik asli sehingga tidak ada segitiga yang saling
berpotongan, sehingga memungkinkan untuk menghitung volume antara satu
triangle dengan triangle lainnya. Volume pit dihitung dengan membagi-bagi
daerah yang dibatasi permukaan atas (triangle file topografi) dan permukaan
bawah (triangle file pit desain) menjadi prisma-prisma triangular, sedangkan
untuk menghitung volume seam dibatasi dengan permukaan atas (triangle file
kontur roof seam) dan permukaan bawah (triangle file kontur floor seam).
Perhitungan volume dilakukan dengan menghitung luas permukaan segitiga
sembarang hasil triangulasi, kemudian dilakukan penghitungan ketebalan rata-rata
dari prisma triangular. Nilai volume didapat dengan perkalian dari luas segitiga
Universitas Sriwijaya
22
Gambar 2.8. Sketsa segitiga pada triangular grouping (Hustrulid et al, 2013)
Perhitungan luas satu segitiga dengan data koordinat, maka terlebih dahulu
dicari jarak masing-masing titik menggunakan Persamaan (2.16):
Keterangan :
d = Jarak antara dua titik (m)
X1, Y1 = Koordinat X dan Y titik 1
X2, Y2 = Koordinat X dan Y titik 2
1
S = 𝑥 (𝑎 + 𝑏 + 𝑐) ................................................................. (2.17)
2
Universitas Sriwijaya
23
Keterangan :
s = Setengah keliling (m)
a, b, c = Panjang masing-masing sisi segitiga ABC (m)
A = Luas segitiga (m2)
t = Tinggi lapisan (m)
V = Volume prisma (m3)
a
c
A V5 V4
b
V1 V3
V2
t2
t1
t3
(a) (b)
Gambar 2.9. (a) Volume prisma segitiga, (b) Total volume prisma segitiga
Keterangan :
Q = Tonase total batubara (Ton)
𝛾 = Densitas batubara (Ton/m3)
Universitas Sriwijaya