Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Penambangan


Tambang terbuka merupakan metode penambangan yang setiap aktivitasnya
dilakukan diatas atau relatif dekat dengan permukaan bumi, dan tempat kerjanya
berhubungan langsung dengan udara luar. Berdasarkan letak dan bentuk endapan
material yang akan ditambang, jenis-jenis tambang terbuka digolongkan menjadi
empat yaitu (Chironis dan Nicholas, 1978):
1. Open pit /Open cut
Metode ini biasanya diterapkan untuk penambangan endapan bijih (ore),
seperti emas, nikel dan lainnya.
2. Quarry
Metode ini biasanya diterapkan untuk menambang endapan-endapan bahan
galian industri seperti batu kapur, granit, pasir dan lain sebagainya.
3. Alluvial mining
Metode ini diterapkan untuk menambang endapan-endapan alluvial, misalnya
tambang bijih timah, pasir besi, dan lain sebagainya.
4. Strip mine
Metode ini diterapkan untuk menambang endapan-endapan yang bentuknya
kurang lebih mendatar, misalnya tambang batubara yang memiliki
kemiringan endapan (dip) kecil atau landai.

2.2. Perencanaan Tambang


Perencanaan merupakan penentuan persyaratan teknik pencapaian sasaran
dan tujuan kegiatan beserta urutan teknis pelaksanaannya. Perencanaan tambang
dapat mencakup kegiatan prospeksi, eksplorasi, studi kelayakan yang dilengkapi
analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), persiapan penambangan,
konstruksi infrastruktur dan fasilitas penambangan, kesehatan dan keselamatan
kerja (K3), serta pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (Fourie, 1992).
Tujuan perencanaan secara umum adalah agar dapat melaksanakan
penambangan yang secara teknis sesuai dengan metode kerja yang sistematis,

4 Universitas Sriwijaya
5

ramah lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah kesehatan dan keselamatan kerja,


mencapai sasaran produksi dengan efisiensi kerja yang tinggi dan ongkos
produksi yang semurah mungkin (Fourie, 1992).
Perencanaan tambang dikelompokkan menjadi empat berdasarkan waktu
dan tujuannya (Gafoer et al, 1986), yaitu:
a. Perencanaan jangka panjang (long term planning) yaitu perencanaan kegiatan
yang jangka waktunya lebih dari 5 tahun.
b. Perencanaan jangka menengah (medium term planning) yaitu perencanaan
kerja untuk jangka waktu 1-5 tahun.
c. Perencanaan jangka pendek (short term planning) yaitu perencanaan aktivitas
untuk jangka waktu kurang dari 1 tahun demi kelancaran perencanaan jangka
menengah dan jangka panjang.
d. Perencanaan penyanggaan atau alternatif (alternative planning) merupakan
opsi atau rencana cadangan yang dibuat apabila perencanaan awal gagal
akibat adanya perubahan data, informasi, terjadi hambatan dan lain-lain.
Bahasan mengenai perencanaan tambang maka juga dikenal istilah
perancangan tambang. Perancangan tambang merupakan bagian dari proses
perencanaan tambang yang berhubungan dengan geometrik. Berdasarkan
aplikasinya, perencanaan berhubungan dengan waktu sedangkan perancangan
tidak berhubungan dengan waktu (Arif et al, 2002).

2.3. Desain Teknis Tambang Terbuka


Desain teknis merupakan penentuan persyaratan, penentuan spesifikasi serta
kriteria teknik yang rinci dan pasti guna mencapai sasaran dan tujuan kegiatan
maupun urutan teknis pelaksanaannya. Terdapat dua tingkatan desain teknis
(Hartman dan Howard, 1987) yaitu:
1. Desain konsep (conceptual design)
Desain konsep merupakan suatu desain awal yang dibuat atas dasar analisis
atau perhitungan secara garis besar dan baru dipandang dari segi terpenting,
kemudian akan dikembangkan agar sesuai dengan kondisi nyata. Rancangan ini
pada umumnya digunakan untuk perhitungan teknis dan penentuan urutan
kegiatan sampai tahap studi kelayakan (feasibility study).

Universitas Sriwijaya
6

2. Desain rekayasa (engineering design)


Desain rekayasa merupakan suatu desain lanjutan dari desain konsep yang
disusun dengan rinci dan lengkap berdasarkan data dari laboratorium dan literatur,
serta dilengkapi dengan pemeriksaan keadaan lapangan. Rancangan ini dipakai
sebagai dasar acuan dari pelaksanaan kegiatan di lapangan yang meliputi
rancangan batas akhir tambang, tahapan penambangan (mining phases pushback),
penjadwalan produksi dan material buangan. Rancangan ini biasanya diperjelas
menjadi rancangan tahunan, bulanan, mingguan dan harian.
Perancangan pit tambang dilakukan setelah tahap eksplorasi dan studi
konseptual. Beberapa elemen yang penting pada perencanaan tambang adalah
penentuan batas awal dan batas akhir penambangan (pit limit), bentuk desain pit
tambang, sequence penambangan, penjadwalan produksi, serta arah kemajuan
penambangan (Gafoer et al, 1986).

2.4. Batasan Penambangan


Langkah pertama untuk perencanaan jangka panjang atau pendek adalah
menentukan batas dari tambang. Batas ini menunjukkan jumlah batubara yang
dapat ditambang dan jumlah overburden yang harus dipindahkan selama
penambangan berlangsung (Hustrulid et al, 2013). Batas penambangan (pit limit)
akan sangat mempengaruhi jumlah produksi dan umur ekonomi suatu kegiatan
penambangan.
Parameter yang mempengaruhi batas penambangan (pit limit) adalah
sebagai berikut (Febrian et al, 2015):
a. Nisbah kupas/ stripping ratio (SR), berpengaruh terhadap jumlah batubara
yang dapat diambil, biaya, serta keuntungan yang didapat oleh perusahaan,
b. Geometri lereng penambangan sebagai batas perhitungan cadangan
tertambang, berpengaruh terhadap keamanan lereng penambangan dan
banyaknya jumlah batubara yang dapat ditambang, ditetapkan sesuai hasil
penyelidikan geoteknik yang dilakukan di daerah penelitian.
c. Kondisi topografi dan geologi, untuk mengetahui persebaran lapisan batubara
dan bentang alam yang ada pada daerah penelitian.

Universitas Sriwijaya
7

Cara menggambarkan efisiensi geometri (geometrical efficiency) dalam


kegiatan penambangan adalah dengan istilah stripping ratio atau nisbah
pengupasan. Stripping ratio (SR) menunjukkan jumlah overburden yang harus
dipindahkan untuk memperoleh batubara yang diinginkan. Nilai stripping ratio
dapat dihitung dengan Persamaan (2.1) (Hustrulid et al, 2013).

𝑂𝑣𝑒𝑟𝑏𝑢𝑟𝑑𝑒𝑛 (𝑚3 )
𝑆𝑅 = .......................................................................... (2.1)
𝐶𝑜𝑎𝑙 (𝑡𝑜𝑛𝑠)

Nilai stripping ratio yang diperoleh dibandingkan dengan nilai


Break Even Stripping Ratio (BESR) yang telah dihitung sebelumnya. Penentuan
maksimum stripping ratio yang diizinkan secara ekonomis umumnya digunakan
untuk menentukan pit limit. Rasio ini semata-mata ditentukan secara ekonomis,
penetapan batas akhir dari pit dimana titik impas (breakeven) terjadi, yaitu dimana
margin keuntungan adalah nol (Hartman dan Howard, 1987), maka akan diperoleh
bahwa secara teknis batasan kegiatan penambangan dalam pit adalah sampai nilai
BESR yang dicapai dalam perhitungan stripping ratio (Gambar 2.1). Nilai BESR
dihitung dengan Persamaan (2.2).

$ $
𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑜𝑓𝑜𝑟𝑒 ( )− 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑐𝑜𝑠𝑡 ( )
𝑡𝑜𝑛 𝑡𝑜𝑛
𝐵𝐸𝑆𝑅 = $ ...................................... (2.2)
𝑠𝑡𝑟𝑖𝑝𝑝𝑖𝑛𝑔 𝑐𝑜𝑠𝑡 ( )
𝑏𝑐𝑚

SR = 1 SR = 2 SR = 3

Gambar 2.1. Batasan penambangan berdasarkan nilai stripping ratio dan BESR
(Hustrulid et al, 2013)

Universitas Sriwijaya
8

2.5. Penjadwalan Produksi


Perencanaan tambang berdasarkan urutan waktu dengan menggunakan
sasaran jadwal produksi yang dihasilkan, gambar atau peta-peta rencana
penambangan dibuat untuk setiap periode waktu (biasanya per tahun). Peta-peta
ini menunjukkan dari bagian mana di dalam tambang datangnya ore dan waste
untuk tahun tersebut. Rencana penambangan tahunan sudah cukup rinci, di
dalamnya sudah termasuk jalan angkut dan ruang kerja alat, sedemikian rupa
sehingga merupakan bentuk yang dapat ditambang (Arif et al, 2002). Perhitungan
produksi disesuaikan dengan kapasitas alat dan pasangan alat (fleet). Lokasi
penggalian yang baik juga akan mempengaruhi efisiensi dan efektifitas produksi,
ditambah lagi tidak adanya kegiatan peledakan, maka produksi penambangan baik
overburden dan batubara sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerja alat tersebut.
Rancangan sequence penambangan sebaiknya memenuhi beberapa kriteria
berikut (Irwandy, 2002):
a. Rancangan sequence harus cukup lebar agar peralatan-peraatan tambang
dapat leluasa bekerja dengan baik. Lebar sequence minimum 10 – 100 m,
b. Rancangan sequence perlu memperhatikan sekurang-kurangnya memiliki satu
akses jalan angkut untuk setiap sequence dan memungkinkannya akses keluar
dari pit,
c. Penambahan jalan pada suatu rancangan sequence akan berpengaruh pada
berkurangnya lebar daerah kerja.
d. Tambang tidak akan pernah sama bentuknya dengan rancangan tahap-tahap
penambangan, karena dalam kenyataannya beberapa sequence dapat
dikerjakan secara bersamaan.

2.6. Arah Kemajuan Tambang


Arah kemajuan dalam penambangan batubara didasarkan oleh kemiringan
(dip) dan arah penyebaran batubara (strike) seam batubara (Saputra et al, 2014).
Kemiringan batubara menunjukkan ketebalan dari endapan batubara yang menjadi
acuan dalam kemajuan (arah) penambangan sedangkan penyebaran batubara
menunjukkan arah penyebaran terdapatnya batubara yang sering disebut luas
penampang permukaan dari endapan batubara, sehingga menjadi acuan dalam

Universitas Sriwijaya
9

penentuan arah kemajuan penambangan. Arah kemajuan tambang berdasarkan


urutan waktu dengan menggunakan sasaran jadwal produksi yang dihasilkan,
gambar atau peta-peta rencana penambangan dibuat untuk setiap periode waktu
(biasanya per tahun). Peta-peta ini menunjukkan dari bagian mana di dalam
tambang datangnya bijih dan waste untuk ditambang (Hustrulid et al, 2013).

2.7. Desain Pit


2.7.1. Geometri Lereng Penambangan
Desain pit pada sebuah tambang terbuka ditekankan pada desain geometri
lereng. Geometri lereng adalah ukuran lereng yang terdiri dari tinggi lereng, lebar
lereng, dan kemiringan lereng penambangan (Hustrulid et al, 2013).
Penentuan geometri lereng ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
yaitu sasaran produksi bulanan dan tahunan, ukuran alat mekanis yang digunakan,
sesuai dengan ultimate pit slope, dan sesuai dengan kriteria slope stability
(Gambar 2.2) (Arif et al, 2002).

Gambar 2.2. Bagian-bagian lereng (Hustrulid et al, 2013)

Universitas Sriwijaya
10

a. Tinggi lereng
Tinggi lereng merupakan jarak vertikal yang diukur tegak lurus dari lantai
lereng (toe) sampai ujung lereng bagian atas (crest). Alat yang digunakan harus
mampu mencapai pucuk atau bagian atas lereng, jika tingkat produksi atau faktor
lain mengharuskan ketinggian lereng tertentu, alat muat yang akan digunakan
harus disesuaikan pula ukurannya (Singh, 1997). Tinggi lereng penambangan
agar aktivitas loading optimal, harus kurang lebih sama dengan tinggi
pemotongan maksimum (maximum cutting height) alat gali muat excavator
(Singhal, 1998). Ketinggian maksimum lereng yang optimal berdasarkan
pertimbangan alat gali muat yang digunakan dapat dihitung dengan
Persamaan (2.3) (Tatiya, 2005).

𝐵𝑒𝑛𝑐ℎ ℎ𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 = 𝐵𝑜𝑜𝑚 ℎ𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑒𝑥𝑐𝑎𝑣𝑎𝑡𝑜𝑟 + 3 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 ................... (2.3)

Ketinggian bench melebihi ketentuan pada Persamaan (2.3) dapat


menyebabkan bench yang kurang aman, sedangkan untuk penggunaan alat gali
muat dragline excavator, tinggi bench akan tergantung kemampuan penggalian
alat (digging depth capabilities) (Tatiya, R. 2005).
b. Lebar lereng minimum (safety bench)
Lebar lereng minimum sering disebut sebagai safety bench (SB). Lebar
lereng ini akan mempengaruhi sudut lereng keseluruhan (overal slope) sehingga
perlu benar-benar diperhatikan dalam perencanaan maupun pelaksanaannya, harus
sesuai dengan rekomendasi dalam faktor keamanan tertentu. Lereng dengan lebar
minimum biasanya dibangun pada daerah akhir penambangan (pit limit).
Safety bench juga berfungsi untuk mengumpulkan dan menghentikan material
atau batuan yang yang meluncur akibat longsoran dari bench yang berada
diatasnya. Ujung safety bench biasanya juga dibuat berm untuk menambah
keamanan (Hustrulid et al, 2013).(Gambar 2.3). Lebar lereng minimum dihitung
dengan Persamaan (2.4).

Lebar minimum bench (SB) = 4,5 ft + 0,2 x tinggi bench ................... (2.4)

Universitas Sriwijaya
11

Gambar 2.3. Geometri catch bench atau safety bench (Hustrulid et al, 2013)

c. Working bench
Penentuan lebar working bench pada perencanaan penambangan batubara
tergantung dari kegiatan dan alat berat yang dipergunakan. Lebar lereng kerja
(working bench) terdiri dari lebar non working berm width (safety bench) dan
lebar working berm width (cut) yang merupakan bahan galian yang akan
diektraksi atau digali (Gambar 2.4). Lereng kerja ditentukan berdasarkan lereng
yang akan digunakan sebagai jalan angkut dan tempat kerja alat gali muat
(Hustrulid et al, 2013). Lebar lereng kerja akan terus bergeser dan dikurangi
seiring berjalannya kegiatan penambangan, sampai pada lebar minimum yang
telah ditentukan sebelumnya (safety bench) (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Working bench (Hustrulid et al, 2013)

Universitas Sriwijaya
12

Minimum working bench width (WB) dapat dihitung dengan


Persamaan (2.5) (Tatiya, 2005)

WBmin = (3 x Lebar alat angkut terbesar) + 3 m .................................. (2.5)

d. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng tunggal (single slope) merupakan sudut kemiringan yang
terbentuk dari garis crest menuju toe suatu lereng. Sudut lereng keseluruhan,
(overall slope angle) adalah kemiringan yang diukur dari crest lereng paling atas
sampai toe lereng yang paling bawah, yaitu sudut yang sebenarnya dari dinding
pit keseluruhan, dengan memperhitungkan lebar bench, tinggi bench, dan single
slope (Hustrulid et al, 2013) (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Overall slope (Hustrulid et al, 2013)

Penggalian oleh alat gali muat mekanis seperti loader atau shovel di
permukaan lereng pada umumnya akan menghasilkan sudut lereng antara 60-65o.
Sudut lereng yang lebih curam biasanya memerlukan peledakan presplitting.
Batuan masif umumnya diberi sudut lereng antara 550-800, sedangkan batuan
sedimen bervariasi antara 500 - 600 (Singh, 1997).

Universitas Sriwijaya
13

Geometri lereng yang direkomendasikan pada perusahaan batubara lain


diantaranya:
1. PT. Cakra Persada Mandiri Mining (PT. CPMM), tinggi lereng 10 m, lebar
lereng 4 m, kemiringan lereng 55o untuk side wall dan high wall, low wall
mengikuti kemiringan lapisan batubara (Febrian et al, 2015).
2. PT. Fajar Bumi Sakti, tinggi lereng 10 m, lebar lereng 4 m, kemiringan lereng
60o (Aryanda et al, 2015).
3. PT. Tri Bakti Sarimas, tinggi lereng 10 m, lebar lereng 4 m, kemiringan lereng
50o untuk side wall, high wall 55o, dan low wall 30o (Fernando et al, 2015).
4. PT. Astra Minindo, tinggi lereng 10 m, lebar lereng 3 m, kemiringan lereng 60o
(Diniati et al, 2015).
5. PT. Winner Prima Sekata, tinggi lereng 7 m, lebar lereng 3 m, kemiringan
lereng 60o (Abdurahman et al, 2016).
2.7.2. Geometri Lereng Timbunan
Faktor keamanan merupakan aspek yang paling perlu diperhatikan dalam
menentukan geometri lereng timbunan. Berdasarkan kondisi topografinya, jenis
dump dapat dibedakan menjadi dua (Hartman dan Howard, 1987), yaitu:
1) Valley fill atau crest dump
a) Digunakan pada daerah yang memiliki topografi curam
b) Awal pembuatan dump dimulai dari elevasi puncak (dump crest). Truck
bermuatan menumpahkan material yang dibawanya ke daerah di bawahnya.
c) Dump dibuat berdasarkan angle of repose.
d) Dumping dimulai dari kaki dump final sehingga pada awal proyek jarak
pengangkutan truk lebih panjang.
e) Pemadatan diperlukan untuk memenuhi persyaratan reklamasi.
2) Terraced dump
a) Dapat diterapkan jika topografi tidak begitu curam pada lokasi timbunan.
b) Timbunan dirancang dari bawah ke atas.
c) Timbunan selanjutnya terletak di belakang timbunan sebelumnya sehingga
sudut keseluruhan (overall slope angle) mendekati yang dibutuhkan untuk
reklamasi (Gambar 2.6).

Universitas Sriwijaya
14

(a) (b)

Gambar 2.6. (a) Valley fill, (b) Terraced dump (Hartman dan Howard, 1987)

Geometri lereng timbunan yang direkomendasikan pada tambang batubara


lain:
1. PT. Bara Anugerah Sejahtera, tinggi lereng 5 m, lebar lereng 5 m, slope angle
45o, overall slope 20o, faktor keamanan 1,37. (Rasjid et al, 2016)
2. PT. Pasifik Global Utama, overall slope angel 15o tinggi lereng maksimum 40
m, faktor keamanan 1,94 (Yadi, 2015),
3. PT. Cipta Kridatama site RBH, tinggi lereng 10 m, lebar bench 5 m, slope
angel 43o, faktor keamanan lebih dari 1,25. (Novita et al, 2016),
4. PT. Karbindo Abesyapradhi, tinggi lereng 10 m, lebar bench 10 m, slope angle
20o, dan overall slope 15o, faktor keamanan 1,891. (Pendra et al, 2014),
5. PT. Kaltim Prima Coal, tinggi lereng 10 m, lebar bench 75 m, slope angle 34o,
faktor keamanan 1,943. (Prayoga et al, 2014).

2.7.3. Geometri Jalan


Geometri jalan akses menuju pit atau road acces mining pit (RAMP) perlu
diperhatikan dalam perencanaan desain pit. Lebar jalan akses harus mampu
menunjang manuver alat agar kegiatan penambangan dapat berjalan lancar, lebar
jalan angkut pada jalan lurus dan tikungan dapat dihitung dengan Persamaan (2.6),
Persamaan (2.7) dan Persamaan (2.8) sesuai standar “American Association of
State Highway and Transportation Officials (AASHTO) Manual Rural High Way
Design” (Indonesianto, 2012) berikut:

Universitas Sriwijaya
15

Lebar pada jalan lurus = n. wt + (n+1)(½.wt) ............................... (2.6)


Lebar jalan pada tikungan = n(U + Fa + Fb + Z) + C ........................ (2.7)
C = Z = 0,5 (U+ Fa + Fb) ............................ (2.8)

Keterangan:
n = Jumlah jalur jalan angkut
wt = Lebar alat angkut terbesar (meter)
U = Jarak jejak roda kendaraan (meter)
Fa = Lebar juntai depan, dikoreksi dengan sinus sudut belok roda depan,
(meter)
Fb = Lebar juntai belakang, dikoreksi dengan sinus sudur belok roda depan
(meter)
Z = Jarak sisi luar dump truck ke tepi jalan (meter)
C = Jarak antara dua dump truck yang akan bersimpangan (meter)

Jalan angkut di jalan tambang biasanya dirancang pada kemiringan 8% atau


10%, kemiringan jalan 8% berarti setiap jarak 100 meter horizontal terdapat
perbedaan elevasi vertikal sebesar 8 meter (Arief et al, 2002).

2.8 Perencanaan Kebutuhan Alat


Banyaknya alat yang dibutuhkan untuk mencapai target produksi tertentu
ditentukan oleh produktivitas alat yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
tempat kerja, dan penjadwalan yang direncanakan.
2.8.1. Produktivitas Alat Gali Muat dan Alat Angkut
Prediksi kebutuhan alat gali muat dan alat angkut yang sesuai dengan
desain pit yang telah dirancang membutuhkan data produktivitas alat aktual yang
ada dilapangan.
a. Produktivitas alat gali muat
Produktivitas alat gali muat dipengaruhi oleh kapasitas bucket alat gali
muat, cycle time, swell factor, dan faktor koreksi yang terdiri dari faktor pengisian
bucket alat gali muat, dan effisiensi kerja. Produktivitas alat gali muat dihitung
dengan Persamaan (2.9) (Kementrian Pekerjaan Umum, 2014).

Universitas Sriwijaya
16

𝐾𝑏 𝑥 𝐹𝑏 𝑥 𝑆𝑓 𝑥 𝐸𝑓𝑓 𝑥 3600
𝑄= ................................................................... (2.9)
𝐶𝑇

Keterangan:
Q = Produktivitas alat muat (Bcm/jam)
Kb = Kapasitas bucket spesifikasi alat (m3)
Fb = Faktor koreksi pengisian bucket (%)
Sf = Swell factor (%)
Eff = Efisiensi kerja alat (%)
Ct = Waktu edar alat muat/excavator, (detik)

b. Produktivitas alat angkut


Produktivitas alat angkut dipengaruhi oleh jumlah pengisian terhadap alat
gali muat, kapasitas bucket alat angkut, faktor koreksi pengisian bucket,
swell factor, effisiensi kerja, dan cycle time. Produktivitas alat angkut dihitung
dengan Persamaan (2.10) (Kementrian Pekerjaan Umum, 2014).

𝑛 𝑥 𝐾𝑏 𝑥 𝐹𝑏 𝑥 𝑆𝑓 𝑥 𝐸𝑓𝑓 𝑥 3600
𝑄= .............................................................. (2.10)
𝐶𝑇

Keterangan:
Q = Produktivitas alat angkut, (Bcm/jam)
n = Frekuensi pengisian truck
Kb = Kapasitas bucket spesifikasi alat gali muat, (m3)
Fb = Faktor koreksi pengisian bucket, (%)
Sf = Swell factor, (%)
Eff = Efisiensi kerja alat angkut, (%)
Ct = Waktu edar alat angkut,(detik)

c. Faktor keserasian alat (Match factor)


Pemilihan jumlah alat angkut harus disesuaikan dengan produktivitas alat
gali muat. Jumlah alat dengan perbandingan yang kurang proporsional dapat
menambah waktu delay yang disebabkan alat angkut atau alat gali muat

Universitas Sriwijaya
17

menunggu dan tidak melakukan produksi, hal ini dapat mengurangi efisiensi kerja
sehingga produktivitas alat berkurang. Faktor keserasian (match factor) dihitung
menggunakan Persamaan (2.11) (Tenriajeng, 2003):

𝑁𝑎 𝑥 𝐶𝑇𝑚 𝑥 𝑛
𝑀𝐹 = ( ) ............................................................................. (2.11)
𝑁𝑚 𝑥 𝐶𝑇𝑎

Keterangan:
Na = Jumlah alat angkut, (buah)
Nm = Jumlah alat muat, (buah)
Ctm = waktu edar alat gali muat, (detik)
n = frekuensi pengisian alat angkut
Cta = waktu edar alat angkut, (detik)

Kemungkinan yang dapat terjadi terhadap alat muat dan alat angkut dalam
berbagai kondisi keserasian alatadalah sebagai berikut:
a) MF < 1, artinya alat muat akan menunggu.
b) MF = 1, artinya kedua alat sudah sepadan, sehingga tidak ada waktu
menunggu.
c) MF > 1, artinya alat angkut akan menunggu, terjadi antrian dump truck.
2.8.2. Penjadwalan Alat
Penjadwalan alat dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu
(Indonesianto, 2012):
a. Menggunakan alat dengan jumlah seminim mungkin sesuai dengan kebutuhan
atau target produksi yang telah direncanakan. Cara ini cocok bila target
produksi tidak besar (low-tonnage operation). Pelaksanaan maintenance harus
cermat (dilakukan sewaktu off shift) dan crew harus selalu stand by untuk
melakukan reparasi bila ada alat yang rusak. Alat yang rusak harus segera
diperbaiki agar dapat beroperasi lagi. Apabila alat rusak maka target produksi
dapat tidak tecapai, untuk menutupinya harus dilakukan jam lembur (overtime)
dari alat-alat yang tidak rusak.
b. Menyiapkan alat cadangan dengan membeli alat-alat mekanis delam jumlah
yang dilebihkan dari kebutuhan sebenarnya. Keuntungan dari cara ini ketika

Universitas Sriwijaya
18

ada alat yang rusak maka alat cadangan dapat langsung menggantikan alat
yang rusak tersebut sehingga target produksi tidak terganggu. Namun
pemborosan-pemborosan efisiensi yang diakibatkan bertambahnya biaya
investasi, penambahan biaya kompensasi dari barlebihnya pekerja yang
dibutuhkan perlu dipertimbangkan.
c. Menentukan jumlah alat yang dibutuhkan dalam upaya pemenuhan target
produksi dengan memperhatikan faktor-faktor availability, sehingga hanya
menjadwalkan alat yang dibutuhkan untuk melakukan kerja. Cara ini
memberikan kesempatan bagi para pekerja untuk mempertahankan produksi
dengan memberikan kesempatan para mekanik memiliki waktu yang cukup
untuk memelihara serta memperbaiki alat, sedangkan pada saat alat rusak, alat
lain dapat dipilih.
Faktor yang sangat penting dalam melakukan penjadwalan suatu alat ialah
faktor availability. Melalui nilai faktor availability, dapat diketahui berapa lama
waktu suatu alat dapat berproduksi dan berapa lama suatu alat harus kehilangan
waktu untuk perbaikan. Penjadwalan alat dapat lebih bijaksana dengan
mempertimbangkan availability factor (Tabel 2.1). Secara umum terdapat dua
cara untuk menghitung equipment availability, yaitu mechanical availability dan
physical availability (Indonesianto, 2012).
a. Mechanical availability
Mechanical availability merupakan faktor yang menunjukkan kesiapan
suatu alat tertentu dari waktu yang hilang dikarenakan kerusakan atau gangguan
alat (mechanical reason). Mechanical availability dapat dihitung dengan
Persamaan (2.12):

𝑊ℎ
𝑀𝐴 (%) = 𝑥 100% .................................................................. (2.12)
𝑊ℎ+𝑅ℎ

Keterangan:
Ma = Mechanical availability, (%)
Wh = Hours worked, (Jam)
Rh = Repair Hours, (Jam)

Universitas Sriwijaya
19

Repair hour adalah jumlah waktu yang digunakan untuk merawat dan
memperbaiki suatu alat (alat belum ready). Repair hour non-scheduled time juga
dipehitungkan dalam repair hour. Repair hours dipergunakan untuk kegiatan
berikut:
1) Actual Repair
2) Waiting for Repair
3) Waiting for part
4) Waktu yang hilang untuk maintenence/perawatan
b. Physical availability (PA)
Physical availability merupakan faktor yang menunjukkan banyaknya
waktu alat dipakai selama jam total kerjanya (scheduled hours). Physical
availability dihitung dengan Persamaan (2.13):

𝑊ℎ+𝑆𝑏ℎ
𝑃𝐴 (%) = 𝑥100% ................................................................... (2.13)
𝑆ℎ

Keterangan:
Wh = Hours worked, (Jam) Sh = Scheduled hours,(Jam)
Sbh = Standby hours, (Jam)

Stand by hour merupakan waktu dimana alat telah siap pakai (ready) dan
tidak rusak, tapi karena satu atau lain hal tidak dioperasikan ketika operasi
penambangan berlangsung. Off shift tidak diperhitungkan sebagai stand by time.
Scheduled hours merupakan waktu dimana suatu tambang dikerjakan.
Scheduled hour meliputi hours worked, repair hours dan stand by hours
(Indonesianto, 2012).
Selain faktor MA dan PA masih ada dua faktor untuk mengoreksi jam kerja
alat yang sesungguhnya yaitu:
a. Used of availability (UA)
Used of availability dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (2.14)
berikut ini:

𝑊ℎ
𝑈𝐴 (%) = 𝑥100% .................................................................. (2.14)
𝑊ℎ+𝑆𝑏ℎ

Universitas Sriwijaya
20

Keterangan:
UA = Used of availability, % Sbh = Stand by hours, (jam)
Wh = Hours worked, (jam)

b. Effective utilization (EU)


Nilai effective utilization (EU) dapat dihitung dengan menggunakan
Persamaan (2.15) berikut ini:

𝑊ℎ
𝐸𝑈 (%) = 𝑥100% ......................................................................... (2.15)
𝑆𝑐ℎ

Keterangan:
EU = Effective utilization, (%) Sch = Scheduled hours, (jam)
Wh = Hours worked, (Jam)

Penjelasan mengenai pembagian availability factor yang terdiri dari


mechanical availability, physical availability, used od availability dan effective
utilivation, akan lebih mudah dimengerti jika langsung dikaitkan dengan
total hours, working hours, repair hours dan stand by hours (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Availability factor (Indonesianto, 2012)

Mechanical
Availability Phisical availability Used of availability Effective utilization

Definition or purpose Time lost for Total operation Management tools to Total % use relates
mechanical reason availability establish effective use hour worked to
includes time for of equipment total hour
any reason
Equation: (1) (2) (3) (2 x 3)
W = Working hours 𝑊 𝑊+𝑆 𝑊 𝑊
R = Repair hours 𝑥 100% 𝑥 100% 𝑥 100% 𝑥 100%
S = Stand by hours 𝑊+𝑅 𝑇 𝑊+𝑆 𝑇
T = Total hours
Example:
W = 300 300 300 + 200 300 300
𝑥100% 𝑥100% 𝑥100% 𝑥100%
R = 100 300 + 100 600 300 + 200 600
S = 200
T = 600 = 75% = 83% = 60% = 50%

Universitas Sriwijaya
21

2.9. Perhitungan Cadangan dengan Metode Triangular Grouping


Metode triangular grouping merupakan metode perhitungan konvensional
yang biasa digunakan pada endapan-endapan yang relatif homogen dan memiliki
geometri sederhana. Perhitungan volume dalam metode ini dilakukan dengan
mencari luas masing-masing area yang kemudian dikalikan dengan tinggi atau
kedalaman endapan. Penaksiran jumlah volume overburden dan volume batubara
dilakukan dengan membuat suatu jaring yang menggabungkan tiga titik koordinat
berdekatan (Gambar 2.7).

(a) (b)

Gambar 2.7. (a) Kontur topografi, (b) Triangulasi pada kontur topografi

Segitiga yang terbentuk berupa segitiga sembarang yang sangat banyak dan
menggabungkan tiap data titik asli sehingga tidak ada segitiga yang saling
berpotongan, sehingga memungkinkan untuk menghitung volume antara satu
triangle dengan triangle lainnya. Volume pit dihitung dengan membagi-bagi
daerah yang dibatasi permukaan atas (triangle file topografi) dan permukaan
bawah (triangle file pit desain) menjadi prisma-prisma triangular, sedangkan
untuk menghitung volume seam dibatasi dengan permukaan atas (triangle file
kontur roof seam) dan permukaan bawah (triangle file kontur floor seam).
Perhitungan volume dilakukan dengan menghitung luas permukaan segitiga
sembarang hasil triangulasi, kemudian dilakukan penghitungan ketebalan rata-rata
dari prisma triangular. Nilai volume didapat dengan perkalian dari luas segitiga

Universitas Sriwijaya
22

dengan tebal rata-rata, sedangkan nilai tonase batubara didapat dengan


mengalikan volume prisma dengan densitas batubara (Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Sketsa segitiga pada triangular grouping (Hustrulid et al, 2013)

Perhitungan luas satu segitiga dengan data koordinat, maka terlebih dahulu
dicari jarak masing-masing titik menggunakan Persamaan (2.16):

𝑑 = √(𝑋2 − 𝑋1 )2 + (𝑌2 − 𝑌1 )2 ........................................................ (2.16)

Keterangan :
d = Jarak antara dua titik (m)
X1, Y1 = Koordinat X dan Y titik 1
X2, Y2 = Koordinat X dan Y titik 2

Perhitungan luas dan volume masing-masing segitiga (Gambar 2.9)


menggunakan Teorema Heron dapat dilakukan setelah panjang setiap sisi
diketahui Persamaan (2.17), Persamaan (2.18), Persamaan (2.19), dan
Persamaan (2.20):

1
S = 𝑥 (𝑎 + 𝑏 + 𝑐) ................................................................. (2.17)
2

A = √𝑠 𝑥 (𝑠 − 𝑎)𝑥 (𝑠 − 𝑏)𝑥 (𝑠 − 𝑐) ......................................... (2.18)


1
V = (𝑡1 + 𝑡2 + 𝑡3 ) 𝑥 𝐴 .......................................................... (2.19)
3

Vtotal = 𝑉1 + 𝑉2 + 𝑉3 + ⋯ + 𝑉𝑛 ...................................................... (2.20)

Universitas Sriwijaya
23

Keterangan :
s = Setengah keliling (m)
a, b, c = Panjang masing-masing sisi segitiga ABC (m)
A = Luas segitiga (m2)
t = Tinggi lapisan (m)
V = Volume prisma (m3)

a
c
A V5 V4
b
V1 V3
V2
t2

t1
t3

(a) (b)

Gambar 2.9. (a) Volume prisma segitiga, (b) Total volume prisma segitiga

Tonase total batubara dapat dihitung menggunakan Persamaan (2.18):

𝑄 = (𝑉1 𝑥 𝛾) + (𝑉2 𝑥 𝛾) + (𝑉3 𝑥 𝛾) + ⋯ + (𝑉𝑛 𝑥 𝛾) ........................ (2.18)

Keterangan :
Q = Tonase total batubara (Ton)
𝛾 = Densitas batubara (Ton/m3)

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai