Anda di halaman 1dari 1

Satu ayat aku dapat

Dari seorang teman ngobrol, teman ngopi


Begini ceritannya :
Teman aku itu berasal dari keluarga yang taat beribadah
Suatu hari temanku dan bapaknya berkunjung ke rumah teman bapaknya
Kebetulan mereka berdua sedang menjalankan puasa sunah
Setiba di rumah teman bapaknya, mereka disambut ramah oleh tuan rumah
Karena tuan rumah punya prinsip selalu memuliakan tamu yang datang
Maka dikeluarkanlah jamuan hidangan
Tuan rumah, bapak dan teman aku ngobrol sambil menikmati makanan
Setelah urusan selesai mereka pamit pulang
Lha dalam perjalanan pulang inilah temanku protes kepada bapaknya
Temanku : Pak, kita kan tadi puasa, kok bapak tadi susurh makan hidangannya
Bapak : nak, kita diberi hidangan tadi adalah rejeki, lagi pula tuan rumah kan ingin memuliakan
tamunya, maka kita wajib menghormatinya. Kalau tadi kita menolak, jelas tuan rumah pasti kecewa,
kalau kita ngomong kita sedang puasa... ya puasa kita bisa batal, karena kita telah mempertontonkan
puasa kita, sama dengan riak, karena ibadah puasa itu urusan kita dengan Allah, hanya kita dengan
Allah yang tahu.
Anak : terus ini kita nggak jadi puasa dong
Bapak : siapa bilang... ya kita tetap puasa, yang penting hati kita tidak berniat membatalkan puasa,
hati kita tetap harus bisa mengekang nafsu terhadap makanan tadi, tujuan kita tadi untuk tidak
menolak rejeki, tidak membuat kecewa tuan rumah yang punya maksud memuliakan tamu, dan
memuliakan tamu itu juga termasuk ibadah, dan pasti tuan rumah tadi mengharap ridho dari Allah
dengan memberi hidangan ke kita, kalau kita tadi menolak, sama dengan kita merusak ibadah dia.

Kesimpulan yang aku dapat, kita beribadah bukan sekedar fisiknya saja yang menjalankan ibadah,
tapi lebih dari perbuatan hati.
Kejadian seperti itu seperti istilah mungkur madep
Yaitu pada saat dhohir kita dihadapkan pada posisi ngungkuri (membelakangi Allah) tapi hati kita
tetap harus bisa madep terhadap Allah.

Anda mungkin juga menyukai