Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan, merupakan blue print of behavior yang memberikan

pedoman bagaimana warga masyarakat bertindak atau berperilaku dalam

upaya mencapai tujuan bersama. Atas dasar kebudayaan, masyarakat

membentuk prosedur-prosedur yang harus diterapkan untuk mencapai

tujuan-tujuan tersebut. Budaya politik – sebagai unsur dari kebudayaan −

merupakan sesuatu yang inheren pada setiap masyarakat yang terdiri atas

sejumlah individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional,

transisional, maupun modern. Dalam hal ini Almond dan Verba (dalam

Gaffer, 2006:99) mendefinisikan budaya politik sebagai “sikap individu

terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, dan juga sikap

individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem

politik Sedangkan David Easton (dalam Winarno, 2008:15) menyatakan

bahwa budaya politik adalah “all politically relevan orientation whether

of cognitive, evaluative, or expressive sort.”

Budaya politik merupakan aspek yang sangat siginifikan dalam

sistem politik.Hal ini dikarenakan bekerjanya struktur dan fungsi politik

dalam suatu sistem politik sangat ditentukan oleh budaya politik yang

Budaya Politik | 1
melingkupinya (Winarno, 2008:65). Dalam konteks sistem politik

Indonesia, Kantaprawira (2006:35) memposisikan budaya politik sebagai

satu dari sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan

menekan sistem politik, bahkan yang dianggap paling intens dan

mendasari sistem politik. Lebih jauh, Kantaprawira (2006:36)

mengkonstatasi bahwa salah satu parameter pembangunan politik

Indonesia adalah tercapainya keseimbangan atau harmoni budaya politik

dengan pelembagaan politik yang ada atau akan ada.

Berpijak dari paparan di atas, tulisan ini mencoba untuk

memberikan gambaran mengenai budaya politik Indonesia untuk

mengenal atribut atau ciri yang terpokok untuk menguji proses yang

berlanjut maupun yang berubah, seirama dengan proses perubahan dan

perkembangan politik masyarakat di masa konsolidasi demokrasi saat ini.

Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan

penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya

sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain

dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia

tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian

dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan

pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk

Budaya Politik | 2
pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota

suatu partai politik tertentu dan sebagainya.

Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu

bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol

maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung

atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak

langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang

peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang

tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.

Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam

interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di

luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi

pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku

politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa

melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap

warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan

lai-lain.

Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat

dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah

legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan

Budaya Politik | 3
pemerintah, kegiatan partai-partai politik,perilaku aparat negara, serta

gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.

Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan

ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan

demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan

menentukan keputusan nasional yangmenyangkut pola pengalokasian

sumber-sumber masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Melihat dari latar belakang masalah serta memahami

pembahasannya maka penulis dapat memberikan batasan-batasan pada :

1. Pengertian Budaya Politik

2. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli

3. Sejarah Politik Di Indonesia

4. Komponen-Komponen Budaya Politik

5. Tipe-tipe Budaya Politik

6. Budaya Politik Masyarakat Dalam Perspektif Politik

7. Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik

8. Proses Sosialisasi Politik

9. Pentingnya Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik

Budaya Politik | 4
10. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik

11. Sosialisasi Politik dan Perubahan

12. Peran Serta Budaya Politik Partisipan

Budaya Politik | 5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Budaya Politik

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang

dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat

berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan

para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O’G

Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara

kelompok elite dengan kelompok massa.

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu

sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka

ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di

dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola

orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu.

Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa

mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga

kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu

pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di

dalam sistem politik.

Budaya Politik | 6
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat

dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai

berikut :

a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri

atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal

dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut

memberikan rasional untukmenolak atau menerima nilai-nilai dan norma

lain.

b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek

generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti

sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik)

menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan,

utopis, terbuka, atau tertutup.

c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah

nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup

yang berhubungan dengan masalah tujuan.

d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu

sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain

dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau

mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas

(mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas

kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).

Budaya Politik | 7
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa

kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi

politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat

individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya

kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah

individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat

aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan

adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat

melepaskan diri dari orientasi individual.

B. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli

Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema

budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik

yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang

derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap

dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini

merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya

politik.

Budaya Politik | 8
a. Rusadi Sumintapura

Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan

orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota

suatu sistem politik.

b. Sidney Verba

Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-

simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana

tindakan politik dilakukan.

c. Alan R. Ball

Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap,

kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan

sistem politik dan isu-isu politik.

d. Austin Ranney

Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang

politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah

pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.

Budaya Politik | 9
e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.

Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan

yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola

khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum

atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual

tentang budaya politik sebagai berikut :

Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan

aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan

pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan

kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A.

Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis

dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya

sebuah sistem politik.

Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah

sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan

lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam

sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari

komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang

akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan

Budaya Politik | 10
melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik,

fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal

orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif,

eksekutif dan sebagainya.

Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang

menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif

(dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara

atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman,

bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara

massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang

ideal.

C. Sejarah Politik Di Indonesia

a. Sejarah Budaya Politik Zaman Penjajahan Belanda

Partai politik yang pertama lahir di Indonesia adalah National

Indische Partij yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung

dan dipimpin oleh Tiga Serangkai, yaitu Douwes Dekker, Dr. Tjipto

Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Setelah berdirinya National

Indische Partij, muncul beberapa partai politik lain sebagai berikut.

Budaya Politik | 11
1) Indische Social Democratische Vereniging (ISDV).

2) Partai Nasional Indonesia.

3) Partai Indonesia.

4) Partai Indonesia Raya.

b. Sejarah Budaya Politik Zaman Penjajahan Jepang

Pada zaman penjajahan Jepang, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad

Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansyur (lebih dikenal

sebagai Empat Serangkai). mendirikan partai politik yang bernama Pusat

Tenaga Rakyat (Putera). Akan tetapi, atas perintah pemerintah Jepang,

partai ini kemudian dibubarkan pada bulan Maret 1944.

c. Sejarah Budaya Politik Zaman Kemerdekaan Indonesia

Berdasarkan Maklumat tanggal 3 November 1945, tugas utama

partai-partai ialah menyalurkan aliran-aliran yang tumbuh dan hidup

dalam masyarakat sehingga dapat memudahkan melaksanakan pemilihan

umum. Oleh karena itu, partai-partai politik di Indonesia muncul laksana

jamur di waktu hujan. Pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955

diikuti oleh 28 partai politik dan organisasi politik. Banyaknya partai

politik dalam sistem pemerintahan parlementer telah mengakibatkan tidak

Budaya Politik | 12
stabilnya pemerintah. Kabinet silih berganti dalam waktu relatif singkat.

Banyak di antara partai-partai tersebut kemudian dilarang atau tidak diakui

oleh pemerintah.

d. Sejarah Budaya Politik Zaman Orde Baru

Pemerintah Orde Baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD

1945 secara mumi dan konsekuen. Namun, ternyata pelaksanaannya tidak

jauh berbeda dengan masa itu, hak kebebasan politik, dan demokrasi

rakyat terbelenggu sehingga mekanisme kontrol rakyat terhadap

pemerintah tidak berjalan. Akibatnya, penyalahgunaan wewenang

(kekuasaan) tidak dapat dihindarkan. Selain itu, KKN merajalela di

kalangan birokrat dan pengusaha.

e. Sejarah Budaya Politik Zaman Reformasi

Hakikat Reformasi di Indonesia adalah tampilnya partisipasi penuh

kekuatan dari masyarakat yang disalurkan melalui partai-partai politik

sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu, dengan adanya UU No. 2 Tahun

1999, UU No. 31 Tahun 2002, dan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai

Politik, memungkinkan lahirnya partai-partai baru dalam percaturan

kepartaian Indonesia. Kehadiran banyak partai diharapkan jangan sampai

mempersulit sistem pemerintahan NKRI sehingga bangsa Indonesia

Budaya Politik | 13
semakin banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis

multidimensi yang sedang berlangsung. Untuk menjamin pelaksanaan

pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang berkualitas memenuhi

derajat kompetensi yang sehat, partisipatif, dan dapat

dipertanggungjawabkan, perlu disusun suatu UU tentang pemilu presiden

dan wakil presiden. Presiden dan wakil presiden dipilih setiap lima tahun

sekali melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara luber serta jurdil

(langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil) yang

diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

D. Komponen-Komponen Budaya Politik

Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham

Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam

suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah

karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi

terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya

proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis,

maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri

masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.

Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya

politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi

Budaya Politik | 14
afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan

Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan

Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya

politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan

kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan

outputnya.

Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik,

peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.

Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-

obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria

dengan informasi dan perasaan.

E. Tipe-tipe Budaya Politik

Gabriel Almond dan Sidney Verba (1963) mengklasifikasikan tipe-

tipe kebudayaan politik :

(1) Budaya politik parokial (parochial political culture) yang

ditandai dengan tingkat partisipasi politik masyarakat yang sangat rendah.

Hal ini disebabkan faktor kognitif, misalnya tingkat pendidikan

masyarakat yang rendah;

Budaya Politik | 15
(2) Budaya politik subyek (subject political culture) di mana

anggota-anggota masyarakatnya memiliki minat, perhatian, mungkin pula

kesadaran terhadap sistem secara keseluruhan, terutama terhadap output-

nya, namun perhatian atas aspek input serta kesadarannya sebagai aktor

politik, boleh dikatakan nol; dan

(3) Budaya politik partisipan (participant political culture) yang

ditandai oleh adanya perilaku bahwa seseorang menganggap dirinya

ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik

sehingga menyadari setiap hak dan tanggungjawabnya (kewajibannya)

dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak serta menanggung

kewajibannya.

Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa

terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi

tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat

lebih lanjut adalah sebagai berikut.

No Budaya Politik Uraian / Keterangan

 Frekuensi orientasi terhadap sistem


sebagai obyek umum, obyek-obyek
input, obyek-obyek output, dan
1. Parokial pribadi sebagai partisipan aktif
mendekati nol.
 Tidak terdapat peran-peran politik
yang khusus dalam masyarakat.
 Orientasi parokial menyatakan

Budaya Politik | 16
alpanya harapan-harapan akan
perubahan yang komparatif yang
diinisiasikan oleh sistem politik.
 Kaum parokial tidak mengharapkan
apapun dari sistem politik.
 Parokialisme murni berlangsung
dalam sistem tradisional yang lebih
sederhana dimana spesialisasi politik
berada pada jenjang sangat minim.
 Parokialisme dalam sistem politik
yang diferensiatif lebih bersifat
afektif dan normatif dari pada
kognitif.

 Terdapat frekuensi orientasi politik


yang tinggi terhadap sistem politik
yang diferensiatif dan aspek output
dari sistem itu, tetapi frekuensi
orientasi terhadap obyek-obyek
input secara khusus, dan terhadap
pribadi sebagai partisipan yang aktif
mendekati nol.
 Para subyek menyadari akan otoritas
pemerintah
2. Subyek / Kaula  Hubungannya terhadap sistem plitik
secara umum, dan terhadap output,
administratif secara esensial
merupakan hubungan yang pasif.
 Sering wujud di dalam masyarakat
di mana tidak terdapat struktur input
yang terdiferensiansikan.
 Orientasi subyek lebih bersifat
afektif dan normatif daripada
kognitif.

 Frekuensi orientasi politik sistem


sebagai obyek umum, obyek-obyek
input, output, dan pribadi sebagai
3. Partisipan partisipan aktif mendekati satu.
 Bentuk kultur dimana anggota-
anggota masyarakat cenderung
diorientasikan secara eksplisit
terhadap sistem politik secara

Budaya Politik | 17
komprehensif dan terhadap struktur
dan proses politik serta administratif
(aspek input dan output sistem
politik)
 Anggota masyarakat partisipatif
terhadap obyek politik
 Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti

bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap

sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan

memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki

keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan

publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk

mengorganisasikan diri dalam kelompokkelompok protes bila terdapat

praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh

suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan

warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi

politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy

atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan

politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa

perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya

keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai

individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya

saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks

Budaya Politik | 18
politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara

politik.

Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya

politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki

pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian

terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih

pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga

terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya

kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila

membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan

budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif.

Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah

melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki

kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat

sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya

mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling

rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa

mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih

Budaya Politik | 19
mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat

kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki

perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya

sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah

politik.

Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya

tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam

politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis

tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh

karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam

budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan

perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam

masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika,

Asia, dan Amerika Latin.

Namun demikian, dalam suatu masyarakat kerapkali ditemukan

inklanasi kepada salah satu tipe budaya politik, misalnya, dalam budaya

politik partisipan masih dapat dijumpai individu-individu yang tidak

menaruh minat pada obyek-obyek politik secara luas. Menyadari realitas

budaya politik yang hidup di masyarakat tersebut, Almond menyimpulkan

adanya budaya politik campuran (mixed political culture) yang

menurutnya lazim terjadi pada masyarakat yang senantiasa mengalami

Budaya Politik | 20
perkembangan dan dinamika yang pesat, sehingga sistem politik bisa

berubah dan kultur serta struktur politik senantiasa tidak selaras. Budaya

politik campuran (mixed political culture) yang dikemukakan Almond

sebagai berikut:

1. Budaya Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture)

Tipe budaya politik saat sebagian besar penduduk menolak

tuntutan-tuintutan ekslusif masyarakat suku yang feodalistik.

Masyarakatnya mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik

yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat

yang sentralistis.

2. Budaya Subyek-Partisipan (The Subject-Participant Culture)

Proses peralihan dari budaya subyek menuju budaya

partisipan yang sangat dipengaruhi oleh cara bagaimana peralihan

budaya parokial menuju budaya subyek. Dalam budaya subyek-

partisipan ini, sebagian besar penduduk telah memperoleh

orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian

orientasi pribadi yang aktif; sementara sebagian penduduk masih

terorientasi dengan struktur kekuasaan yang otoriter dan

menempatkan partisipasi masyarakat pasif.

Budaya Politik | 21
3. Budaya Parokial-Partisipan (The Parochial-Participan Culture)

Kondisi ini biasanya terjadi di dalam negara yang sedang

berkembang. Hampir seluruh negara berkembang memiliki budaya

parokial.Karenannya sistem politik mereka terancam oleh

fragmentasi parokial yang tradisional, padahal mereka ingin

secepatnya menjadi sebuah negara modern. Suatu masa, cenderung

ke otoritarianisme dan pada waktu yang lain ke arah demokrasi.

4. Budaya Parokial-Subyek-Partisipan (Civic Culture)

Civic culture (budaya kewarganegaraan) menekankan pada

partisipasi rasional dalam kehidupan politik, digabungkan dengan

adanya kecenderungan politik parokial dan subyek warganegara

maka menjadikan sikap-sikap tradisional dari penggabungannya

dalam orientasi partisipan yang mengarah pada suatu budaya

politik dengan keseimbangan aktivitas politik, keterlibatan dan

adanya rasionalitas serta kepasifan, tradisionalitas, dan komitmen

terhadap nilai-nilai parokial. Singkatnya, budaya politik ini

merupakan penggabungan karakteristik dari ketiga budaya politik

murni. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, budaya politik

kewarganegaraan merupakan kombinasi antara karakteristik-

karakteristik aktif, rasional, mempunyai informasi yang cukup

mengenai politik, kesetiaan pada sistem politik, kepercayaan dan

Budaya Politik | 22
kepatuhan terhadap pemerintah, keterikatan pada keluarga, suku,

dan agama.

Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di

atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :

Model – model Kebudayaan Politik

Demokratik Industrial Sistem Otoriter Demokratis Pra


Industrial
Dalam sistem ini cukup Di sini jumlah industrial Dalam sistem ini
banyak aktivis politik dan modernis sebagian hanya terdapat
untuk menjamin adanya kecil, meskipun terdapat sedikit sekali parti-
kompetisi partai-partai organisasi politik dan sipan dan sedikit
poli-tik dan kehadiran partisipan politik seperti pula keter- ibatannya
pemberian suara yang mahasiswa, kaum in- dalam peme-rintahan
besar. telektual dengan tindakan
persuasif menentang sis-
tem yang ada, tetapi
seba-gian besar jumlah
rakyat hanya menjadi
subyek yang pasif.

Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut

konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti

Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam

pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas

menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi

atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa

dirinya penting, maka dia menuntut rakyat menunjukkan kesetiaannya

yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat

Budaya Politik | 23
yang menentukan tingkat pembangunan, maka elite itu sedang

mengembangkan pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak

mengekang kebebasan.

Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat

dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik,

yaitu politik dikembangkan berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung

mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut

merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang

dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.

David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang

menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi

politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang

terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama

tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa

rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite politik.

Tipe-tipe budaya politik berdasarkan sikap yang ditunjukan:

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang

kompleks, menuntut kerjasama yang luas untuk memperpadukan modal

dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap

Budaya Politik | 24
orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap

”militan” atau sifat ”tolerasi”.

1. Budaya Politik Militan

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai

usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai

usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari

adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang

salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar

emosi.

2. Budaya Politik Toleransi

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah

atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang

wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap

netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap

orang. Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada

sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan

menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi

pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir

selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi

dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

Budaya Politik | 25
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut

Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang

absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang.

dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi.

Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari

kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian

hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras

dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal

yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya

politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi,

jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya

berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi

selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan

keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi

tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental

Akomodatif

Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya

terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap

berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap

diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi

berdasarkan perkembangan masa kini. Tipe absolut dari

Budaya Politik | 26
budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu

yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap

sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus

dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan.

Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan

hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan.

Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan

yang lebih sempurna.

F. Budaya Politik Masyarakat Dalam Perspektif Politik

Sudah cukup banyak ahli yang melakukan kajian terhadap budaya

politik Indonesia. Beberapa diantaranya menjadikan kelompok etnis Jawa

sebagai titik tolak analisis mereka atas dasar asumsi bahwa di masyarakat

yang multietnik akan ditemukan pola budaya yang dominan. Dalam hal

ini, etnis Jawa dipandang sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi

politik kalangan elit politik di Indonesia.

Pada umumnya para ahli sependapat bahwa pola hubungan yang

ditemukan pada masyarakat Indonesia bersifat patronase (patronage) yang

sangat dipengaruhi oleh pola relasi antara pemimpin dan pengikut yang

berkembang pada kebudayaan Jawa. Jackson (1978:23) misalnya,

menyatakan bahwa lingkaran hubungan patron-klien pada masyarakat

Budaya Politik | 27
Jawa disusun atas relasi hubungan yang bersifat diadik, face to face, tidak

setara, tetapi saling menghargai antara pemimpin dengan pengikutnya

(leaders and followers). Sementara Gaffar (206:109) menyoroti dasar dari

pola hubungan antara patron (patron) dan klien (client) tersebut sebagai

hubungan yang bersifat resiprokal dengan mempertukarkan sumber daya

(exchange of resources) yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Pola

hubungan tersebut walaupun bersifat asimetris, akan tetap terpelihara

selama masing-masing pihak memiliki sumber daya tersebut.

Dalam konteks struktur sosial masyarakat Jawa, Gaffar (206:107)

memandangnya sebagai struktur yang bersifat hiearkhis yang didasarkan

pada aspek kekuasaan (politis) ketimbang atribut sosial yang bersifat

materialistik. Dalam hal ini ada pemilihan yang tegas antara mereka yang

memegang kekuasaan (priyayi sebagai pihak penguasa atau wong gedhe)

dan rakyat kebanyakan (wong cilik), yang termanifestasi dalam kehidupan

sosial di mana birokrat seringkali menampakkan diri dengan self-image

atau citra diri yang bersifat benevolensi, yaitu dengan ungkapan sebagai

pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong atau

guru/pendidik bagi rakyatnya, sehingga mewajibkan rakyat loyal kepada

mereka. Implikasi negatif dari citra diri seperti itu dalam kehidupan

berdemokrasi adalah rakyat mengalami proses alienasi dari proses politik.

Rakyat diposisikan sebagai objek yang harus selalu menerima segala

keputusan pemerintah dalam setiap kebijakan publik.

Budaya Politik | 28
Dalam kajian selanjutnya, Gaffar (2006:114) mensinyalir

kemunculan budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik dalam

perpolitikan di Indonesia.Dikatakan neo-patrimonialistik karena negara

memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi;

tetapi juga memperlihatkan beberapa atribut yang bersifat patrimonialistik

sebagaimana konsep patrimonialisme yang dikembangkan oleh Max

Weber.

Pendapat Rusadi Kantaprawira (2006:37-39) selaras dengan dua

ahli sebelumnya. Menurutnya, budaya politik Indonesia masih sangat kuat

dipengaruhi viariabel feodalisme, paternalisme, dan primordialisme.

Indikator dari paternalisme dan patrimonial yang masih cukup kuat

mewarnai budaya politik Indonesia adalah asal bapak senang (bapakisme);

sedangkan indikator primordialisme berupa sentimen kedaerahan,

kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekataan terhadap agama tertentu,

puritanisme dan non-puritanisme, dan sebagainya. Namun ditengah-tengah

pengaruh tradisionalisme tersebut, Kantaprawira mengidentifikasi

tumbuhnya kelompok elit di Indonesia sebagai akibat pengaruh pendidikan

modern (Barat) yang merupakan partisipan aktif. Atas dasar analisis

pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap budaya politik masyarakat,

Kantaprawira (2006:38) berkesimpulan bahwa budaya politik Indonesia

merupakan mixed political culture yang diwarnai oleh besarnya pengaruh

kebudayaan politik parokial-subyek.

Budaya Politik | 29
Adapun di Era Reformasi, berdasarkan kajian Budi Winarno

(2008:66-70), budaya politik masyarakat Indonesia ternyata tidak

membawa perubahan yang signifikan, karena masih tetap diwarnai oleh

paternalisme, parokhialisme, mempunyai orientasi yang kuat terhadap

kekuasaan, dan patrimonialisme yang masih berkembang dengan sangat

kuat.Hal ini disebabkan adopsi sistem politik hanya menyentuh pada

dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya (yang biasanya diwujudkan

dalam konstitusi), namun tidak pada semangat budaya yang melingkupi

pendirian sistem politik tersebut.

Dalam mengkaji budaya politik masyarakat Indonesia atas dasar

empat budaya politik campuran (mixed political culture) yang

dikemukakan Gabriel Almond, Winarno (2008:66-68) berkesimpulan

bahwa budaya politik di Indonesia merupakan kombinasi antara parochial-

subject culture, subject-participant culture, parochial-participant culture,

dan civic culture. Dalam hal ini budaya politik Indonesia, menurutnya,

bergerak di antara subject-participant culture dan parochial-participant

culture.

Subject-participant culture ditandai oleh menguatnya partisipasi

politik masyarakat dalam kehidupan politik terhadap input-input politik,

sementara pada waktu yang bersamaan berkembang rasa ketidakmampuan

masyarakat untuk mengubah kebijakan. Rasa sebagai wong cilik, orang-

Budaya Politik | 30
orang tidak mampu, dan termarginalkan membuat mereka hanya

berorientasi pada output sistem politik dibandingkan dengan kepedulian

terhadap proses input sistem politik. Fenomena seperti ini tidak hanya

ditemukan di daerah-daerah pedesaan, tetapi juga di perkotaan di mana

masyarakat miskin dan termarginalkan tumbuh subur.Bahkan, kebijakan

pembangunan yang dilaksanakan oleh para penguasa politik yang

berorientasi pada kebijakan neo-liberal mendorong kelompok-kelompok

marginal ini semakin besar.

Parochial-participant culture ditandai semangat primordialisme

secara berlebihan, yakni menguatnya wacana kedaerahan pasca

diterapkannya otonomi daerah.Dalam hal ini terdapat tekanan dan desakan

yang kuat di beberapa daerah agar pemimpin lokal seperti walikota/bupati

dan gubernur dipilih dari putra-putra daerah. Situasi ini jelas akan

merugikan sistem politik secara keseluruhan karena cenderung

menimbulkan konflik horizontal dan menghambat rasa kebangsaan (nation

building) yang pada akhirnya menjadi faktor penghambat konsolidasi

demokrasi.

Sejauh ini belum ditemukan kajian ahli tentang budaya politik

masyarakat Indonesia dengan menyertakan proporsi pada tiap kategori tipe

budaya politik dalam konteks mengetahui model orientasi masyarakat

terhadap pemerintahan dan politik. Tulisan ini mencoba memetakan

Budaya Politik | 31
budaya politik masyarakat Indonesia berdasarkan klasifikasi tipe-tipe

budaya politik menurut Almond dengan menyertakan proporsi kuantitatif

pendukung pada setiap klasifikasi.

Langkah pemetaan dilakukan dengan melakukan dikotomi dua

struktur komunitas: perkotaan dan perdesaan. Selanjutnya warga pada

masing-masing komunitas dikelompokan berdasarkan status sosioekonomi

mereka. Hal ini didasari pada pendapat Lipset (dalam Asrinaldi, 2012:68)

bahwa masyarakat yang memiliki status ekonomi yang lebih baik akan

lebih mudah berpartisipasi secara efektif ketimbang yang memiliki status

ekonomi yang berkekurangan. Dengan demikian terdapat keterkaitan

antara status sosioekonomi seseorang dengan perkembangan

demokrasi.Selain sosio-ekonomi, dimensi lain yang memiliki pengaruh

signifikan terhadap perkembangan demokrasi adalah tingkat pendidikan

formal. Tinggi-rendah pendidikan individu berkaitan dengan rasionalitas

seseorang dalam melakukan evaluasi terhadap aktivitas politik.Dalam hal

ini terdapat korelasi antara sosio-ekonomi dengan tingkat pendidikan di

mana pendidikan yang rendah pada umumnya ditemukan pada masyarakat

kalangan miskin.

Berdasarkan hal tersebut, masyarakat perkotaan dibagi dalam tiga

stratifikasi: masyarakat miskin, kelas menengah, dan kelas atas. Sementara

warga komunitas perdesaan dibagi berdasarkan stratifikasi: elit − massa.

Budaya Politik | 32
Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia yang mempunyai hak

pilih pada Pemilu yang baru lalu berjumlah 186.612.255 jiwa sementara

persentase penduduk perdesaan sebesar 50,2 % dan penduduk perkotaan

49,8%, maka penduduk pedesaan yang memiliki hak pilih sebesar

93.679.352 jiwa dan perkotaan 92.932.903 jiwa. Adapun angka

kemiskinan di perdesaan pada tahun 2011 sebesar 16,56% dan di

perkotaan 9,87%, sehingga jumlah penduduk miskin di pedesaan yang

mempunyai hak pilih sebesar 15.513.300 jiwa sedangkan di perkotaan

9.172.478 jiwa.

Menyoal struktur sosial masyarakat perkotaan di mana 9,87 persen

merupakan masyarakat miskin dan 50,3 persen adalah kelas menengah.

Dalam konteks tersebut menarik untuk dikemukakan hasil penelitian

Asrinaldi (2012:215) yang menyatakan bahwa budaya politik masyarakat

miskin di perkotaan cenderung parokial dan subjektif. Di sini, Asrinaldi

membagi sikap politik masyarakat miskin menjadi dua kategori: kelompok

pertama adalah kelompok yang apatis terhadap politik; sedangkan

kelompok kedua adalah yang dikategorikan memiliki sikap semi apatis

atau semi politik. Pendidikan kelompok terakhir ini hanya tamat SD atau

tidak tamat SLTP. Dasar pendidikan inilah yang membantu mereka

mendapatkan informasi politik, misalnya mencari pengetahuan mengenai

aktivitas politik melalui surat kabar – biasanya surat kabar bekas yang ada

Budaya Politik | 33
di sekitar mereka. Dari dua kategori ini walaupun Asrinaldi tidak secara

tegas membedakan masing-masing kategori berdasarkan budaya

politiknya, namun dapat diduga kelompok berkebudayaan parokial yang

dimaksudkannya adalah kelompok apatis, sedangkan yang berbudaya

subjektif merupakan kelompok semi apatis.

Sementara berdasarkan hasil survey litbang Kompas, orientasi

politik kelas menengah juga cenderung apatis dan belum mau bergerak

mengorganisasikan diri untuk perubahan. Mereka tidak begitu

menghiraukan apa yang terjadi pada kondisi sosial politik meskipun

mereka masih menunjukkan eksistensinya dalam pemilihan umum dan

daerah. Dengan demikian eksistensi atau keterlibatan kategori masyarakat

ini hanya sebatas partisipasi tidak langsung (representative democracy),

belum menyentuh partisipasi dengan keterlibatan langsung (representative

democracy).Orientasi politik semacam ini dapat dikategorikan kebudayaan

politik subyek.Hal ini dikuatkan dengan pendapat Dedi Irawan (dalam

Efriza, 2012:118) bahwa masyarakat berkebudayaan politik subjek

tergambarkan dalam kelompok-kelompok menengah di perkotaan.Mereka

memiliki tingkat kesadaran politik yang memadai, yaitu memahami

tentang situasi dan dinamika politik yang mengantarkan mereka untuk

bersimpati pada salah satu parpol.Hanya saja kalangan menengah

perkotaan ini biasanya bersikap pasif dalam aktivitas politik.

Budaya Politik | 34
Adapun dalam menentukan kategori masyarakat berbudaya politik

partisipan, parameter yang digunakan dalam tulisan ini adalah aspek

rasionalitas masyarakat dalam kegiatan politik. Apabila diasumsikan

rasionalitas seseorang dalam melakukan aktivitas politik ditentukan oleh

pengetahuan mereka dan pengetahuan tersebut dibentuk oleh proses

pendidikan formal (Asrinaldi, 2012:45), maka budaya politik partisipan

dianggap ekuivalen dengan pendidikan tinggi yang dicapai seseorang.

Bertolak dari beberapa asumsi dan data kuantitatif tersebut, maka dapat

dikemukakan bahwa dari sejumlah 92.932.903 jiwa penduduk dewasa di

perkotaan:

 Penduduk miskin apatis bertipe budaya politik parokial

diperkirakan berjumlah 4.553.712 jiwa atau 4,9 persen.

Sementara warga masyarakat miskin yang memiliki sikap

semi apatis atau semi politik berkebudayaan subyek

berjumlah 4.646.645 atau 5 persen.

 Kelas menengah berjumlah 46.745.250 atau 50,3 persen

penduduk dewasa, berbudaya politik subjek.

 Masyarakat bertipe kebudayaan partisipan diperkirakan

berasal dari kalangan berpendidikan tinggi (sarjana dan

diploma) yang jumlahnya berkisar antara 5-10% atau

berkisar antara 9.330.613 sampai 18.661.225 jiwa.

Sementara dari kalangan mahasiswa sebanyak 4,8 juta jiwa

Budaya Politik | 35
atau 2,56 persen dan kalangan elit yang jumlahnya

diperkirakan mencapai kurang dari 2 persen. Dari

perhitungan sederhana ini dapat diketahui bahwa jumlah

warga masyarakat perkotaan bertipe budaya partisipan

berjumlah ± 15 persen atau 13.939.935 jiwa.

Adapun identifikasi masyarakat pedesaan dilakukan dengan

mendasarkan pada konsep stratifikasi masyarakat pedesaan yang

dikemukakan Hofsteede (1992:45-46), yakni: (1) Elit desa, yang terdiri

dari lurah, pegawai-pegawai daerah dan pusat, pemimpin formal dan

pemuka masyarakat, guru, tokoh-tokoh politik maupun agama, dan petani

kaya dan (2) Massa, yang terdiri dari petani menengah, buruh tani,

pedagang kecil, serta pengrajin. Dari stratifikasi tersebut akan sangat

mudah diketahui bahwa kelompok elit desa sebagai lapisan teratas

jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan kelompok massa. Diperkirakan

jumlahnya antara 2-3 persen saja dari seluruh warga desa.Kalangan yang

dikonstatasi merupakan kelompok terpelajar dan memiliki akses terhadap

kekuasaan dan sumber daya ekonomi di pedesaan ini kita kategorikan

dalam kelompok masyarakat berkebudayaan politik partisipan.

Sebagaimana dikemukakan, jumlah penduduk miskin yang

mempunyai hak pilih di pedesaan mencapai16,56 persen atau 15.513.301

jiwa. Diasumsikan angka buta aksara 12,2 persen seluruhnya merupakan

Budaya Politik | 36
warga miskin pedesaan, maka sebesar itu pula jumlah warga masyarakat

miskin bertipe budaya parokial (11.428.881 jiwa); sementara sisanya

sebesar 4.084.420 atau 4,36 persen bertipe budaya politik subjek. Namun

dalam hal ini keterbatasan dan minimnya akses terhadap informasi politik

memungkinkan jumlah warga miskin di wilayah pedesaan bertipe budaya

politik parokial jumlahnya lebih besar lagi. Masyarakat budaya politik

parokial yang disebabkan terbatasnya informasi politikditemukan

padapada struktur komunitas masyarakat desa terpencil dan suku yang

terpencar menjauh dari pusat kekuasaan politik.Sebagai contoh situasi

yang ditemukan di desa-desa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di

propinsi Kalimantan Barat.Namun jumlah penduduk komunitas ini relatif

kecil, diperkirakan hanya beberapa ratus jiwa. Untuk mendeskripsikan

kebudayaan politik masyarakat pedesaan, khususnya kelompok massa

dengan proporsi yang mendekati kenyataan yang sesungguhnya, sudah

tentu memerlukan kajian yang mendalam, menimbang pengaruh budaya

tradisional masih sangat kuat berakar pada komunitas ini. Pola hubungan

patronase, misalnya, masih sangat kuat mewarnai kehidupan masyarakat

pedesaan. Ini diindikasikan dengan suksesnya beberapa elit desa yang

ditengarai memiliki kekayaan berupa bidang tanah yang sangat luas

berhasil lolos menuju legislatif tingkat Kabupaten bahkan Propinsi karena

jumlah suara dari klien mereka memadai dalam mengusung mereka

menduduki kursi tersebut. Dalam hal ini kelompok massa pedesaan

nampaknya sudah memiliki ciri-ciri tipe budaya politik subjek, namun

Budaya Politik | 37
masih diwarnai budaya tradisional sebagaimana dikemukakan, terlebih

paternalisme yang sudah sangat mengakar dalam struktur masyarakat

pedesaan. Paparan di atas mendukung pendapat ahli bahwa budaya politik

Indonesia merupakan mixed political culture, kombinasi dari 3 (tiga)

budaya politik: (1) masyarakat budaya parokial yang jumlahnya

diperkirakan kurang dari 20 persen penduduk dewasa yang berasal dari

masyarakat miskin berpendidikan sangat rendah dan warga komunitas

masyarakat desa terpencil dan suku terasing; (2) masyarakat budaya politik

partisipan, jumlahnya diperkirakan 16 persen berasal dari kalangan

sarjana, mahasiswa, elit politik perkotaan, dan elit desa; dan (3)

masyarakat budaya politik subjek, jumlahnya mencapai lebih dari 60%

yang terdiri dari kalangan kelas menengah perkotaan dan massa pedesaan.

G. Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik

a. Pengertian Umum

Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input

sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang

menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya.

Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi

politik pada anggota masyarakat.

Budaya Politik | 38
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh

lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu

berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman

serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang

berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling

mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-

pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah

laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh

seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu

menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang

berkembang secara berangsur-angsur.

Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-

individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap

terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin

bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini

mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran

terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau

perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran

tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan

yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi.

Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap

sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi.

Budaya Politik | 39
b. Pengertian Menurut Para Ahli

Berbagai pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah

banyak dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan

pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan

seterusnya, meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan, namun

pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama. Berikut

ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para

ahli.

1. David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization”

Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau

aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu

keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan

sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang

sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan)

sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih

harus terus dipelajari.

2. Gabriel A. Almond

Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap

politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga

merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-

patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi

berikutnya.

Budaya Politik | 40
3. Irvin L. Child

Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana individu,

yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut

untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu

jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai

dengan standar-standar dari kelompoknya.

4. Richard E. Dawson dkk.

Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan

pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua,

guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru

dan mereka yang menginjak dewasa.

5. S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration

Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh

manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap

memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed

disebut dengan transmisi kebudayaan.

6. Denis Kavanagh

Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang

mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.

Budaya Politik | 41
7. Alfian

Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk

mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka

mengalami dan menghayati betul nilainilai yang terkandung dalam suatu

sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan

itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang mendukung

sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah

kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu

diperhatikan, yakni:

Pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses

yang berjalan terusmenerus selama peserta itu hidup.

Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa

pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi

informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik

secara tegas. Proses mana berlangsung dalam keluarga, sekolah,

kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak

politik langsung.

Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak

kesamaan dalam mengetengah-kan beberapa segi penting sosialisasi

politik, sebagai berikut.

Budaya Politik | 42
a. Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil

belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.

b. memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku

individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas,

dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau

informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.

c. sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak

dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting),

tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.

d. bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang

diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit

maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai

tingkah laku sosial.

Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael Rush &

Phillip Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi dengan definisi-definisi

tersebut di atas.

Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses

pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji

hubungan antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum

Budaya Politik | 43
fungsionalis, sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak

ada alasan sama sekali untuk menyatakan mengapa suatu teori

mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu memperhitungkan:

ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial;

menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua

variabel penting, dan tidak membatasi diri dengan segala sesuatu

yang telah dipelajari, dengan siapa yang diajar, siapa yang

mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel penting

adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian akan dibuktikan

bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu, lebih-

lebih lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok

individu- adalah fundamental bagi proses sosialisasi dan bagi

proses perubahan.

Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup

tingkah laku, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang

diakses yang dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi. Instruksi

merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan,

orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara

tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan

kemasyarakatan, dapat memasukkan sejumlah ketentuan mengenai

pendidikan kewarganegaraan; negara bisa secara berhati-hati

menyebarkan ideologiideologi resminya. Akan tetapi tidak bisa

Budaya Politik | 44
terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian

terbesar sosialisasi, merupakan hasil eksperimen; karena semua itu

berlangsung secara tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak

bisa dkenali.

Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil

tertentu “menuntun pada perkembangan” kedua-duanya cenderung

mengaburkan segi penting dari sosialisasi. Maka Michael Oakeshott

menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan meminati

tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku

orang tua kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia ini

yang tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi

terhadapnya. Kita menyadari akan masa lampau dan masa yang akan

datang, secepat kesadaran kita terhadap masa sekarang.”

Jadi, walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat

terbuka, sistematik dan disengaja, namun secar atotal adalah tidak realistis

untuk berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui oleh

pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut

pengalaman tersebut.

Kiranya kita dapat memahami bahwa sosialisasi politik adalah

proses, dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan,

nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya.

Budaya Politik | 45
Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem

politiknya, sekalipun hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja

menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini

menuju pada stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada keadaan yang

menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu

disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya,

maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu

dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan

tidakmungkin terjadi stagnasi.

H. Proses Sosialisasi Politik

Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak

atau remaja. Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan

bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan

menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar

politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti

“keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka“, bahwa mereka berdiam di

suatu daerah tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada

keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini

diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden,

dan bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun timbul

kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara,

Budaya Politik | 46
demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem

politik.

Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting.

Menurut Easton dan Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama

mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal.

Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis

mengutarakan ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari

anak, yaitu sebagai berikut.

a. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua

anak, presiden dan polisi.

b. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang

ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.

c. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang

impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan

pemungutan suara (pemilu).

d. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan

mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan

institusi-institusi ini.

Budaya Politik | 47
Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki

nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai generasi orang

tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :

a. Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan

kekeluargaan dan tradisi pada umumnya

b. Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran

material mobilitas sosial.

c. Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.

d. Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari

kericuhan, menjaga keamanan dan ketentraman.

e. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.

f. Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan

dengan pemerintahan

Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik

dan mengembangkan orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang

dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara

lain :

Budaya Politik | 48
1) Keluarga (family)

Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling

efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah

antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan” politik ringan

tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan

nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.

2) Sekolah

Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan

kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan

berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-

nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah

memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini

dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.

3) Partai Politik

Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran

sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah

merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik maupun

pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma

dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-

ciptakan “image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat

Budaya Politik | 49
dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan

pemilu.

Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat

banyak perbedaan. Menurut Robert Le Vine yang telah menyelidiki

sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya: kedua suku

bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi

dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama

dan ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi,

suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang sama

derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif.

Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka

masing-masing.

4) Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang

Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat berkembang

ialah menyangkut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh

negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk

mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan

yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal

(Kemal Ataturk) berusaha untuk memodernisasi Turki, tidak hanya secara

material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama

dapat juga dilihat pada negara Ghana.

Budaya Politik | 50
Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting

dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai

berikut :

a. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat

melampaui kapasitas mereka untuk "memodernisasi" keluarga

tradisonal lewat industrialisasi dan pendidikan.

b. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-

nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita

lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat

memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari

anak.

c. Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai

satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional.

Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari

nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan

pembentukan komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-

daerah ini.

Budaya Politik | 51
I. Pentingnya Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik

Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat berkembang

ialah menyangkut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh

negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk

mempengaruhi maupun untukmempermudah mencocokkan perubahan

yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha

Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk memodernisasi Turki, tidak hanya

secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh

yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.

Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting

dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai

berikut :

a. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang

dapat melampaui kapasitas mereka untuk

“memodernisasi” keluarga tradisonal lewat industrialisasi

dan pendidikan.

b. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan

dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin,

sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai

Budaya Politik | 52
tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan

pentingpada saat sosialisasi dini dari anak.

c. Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu

dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk

menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya

secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-

nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya

dengan pembentukan komunitaskomunitas kesukuan dan

etnis di daerah-daerah ini.

J. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik

Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar

yang kontinyuyang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional

learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan dimediai

(sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu

yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan

komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu

masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa segala aktivitas

komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi

anggota masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam aktivitas komunikasi politik tersebut.

Budaya Politik | 53
Dalam suatu sistem politik negara, fungsi sosialisasi menunjukkan

bahwa semua sistem politik cenderung berusaha mengekalkan kultur dan

struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui cara

pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang dilalaui oleh anggota

muda masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut G. A.

Almond, kata “terutama” sengaja digunakan karena dalam sosialisasi

politik – seperti halnya belajar dalam pengertian yang umum – tidak

berhenti pada titik pendewasaan itu sendiri, terlepas dari bagaimanapun

batasannya pada masyarakat yang berbeda-beda.

Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola sosialisasi

politik juga mengalami perubahan seperti juga berubahnya struktur dan

kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal

perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem

masyarakat yang beraneka ragam.

Pada sisi lain, sosialisasi politik merupakan proses induksi ke

dalam suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik yang

dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat sikap mental, kognisi

(pengetahuan), standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan terhadap sistem

politik dan aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil proses tersebut

juga mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai yang mempengaruhi, serta

Budaya Politik | 54
perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan claim terhadap sistem,

dan output otorotatif-nya.

Berikut adalah bagan terbentuknya sikap politik (political attitude)

melalui proses sosialisasi politik.

 Early Childhood (Masa kanak-kanak)

 Afective Allegiance (Sikap kesetiaan)

 Adolescence (Masa remaja)

 Adulthood (Masa dewasa)

 Cognitive and critical orientations (Pemahaman dan tujuan

untuk mengkritisi)

 Cognitive partisanship (Pemahaman yang berpihak)

 Afective partisanship (Sikap yang berpihak)

 Cognitive partisanship (Pemahaman yang berpihak)

 Awareness of policy outputs (Kesadaran terhadap kebijakan

output)

 Awareness of ability to influence policy (Kesadaran untuk

mempengaruhi kebijakan)

Dalam proses sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi

komunikasi politik, berhubungan dengan struktur-struktur yang terlibat

dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada sistem politik

Budaya Politik | 55
masyarakat modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti, sekolah,

kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media komunikasi,

partaipartai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat berperan

dalam sosialisasi politik.

Kemudian perkumpulan-perkumpulan, relasi-relasi dan partisipasi

dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses tersebut untuk

seterusnya. Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik bisa bersifat

nyata (manifes) dan bisa pula tidak nyata (laten).

Sosialisasi Politik Manifes Sosialisasi Politik Laten

Berlangsung dalam bentuk Dalam bentuk transmisi informasi,


transmisi informasi, nilai-nilai nilai-nilai atau perasaan terhadap peran,
atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem sosial
input dan output sistem yang lain seperti keluarga yang
politik. mempengaruhi sikap terhadap peran,
input dan output sistem politik yang
analog (adanya persamaan).

Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar seperti Indonesia,

India, Cina dan sebagainya, informasi yang diterima oleh aneka unsur

masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang di kota

maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh media

masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh

karena itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam

menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut amatlah

besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan

Budaya Politik | 56
sikap (attitude) diantara kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi

primer yang amat berbeda dari kelompok ataupun teman sebaya.

Berbeda dengan negara yang sudah maju seperti Amerika, Inggris,

Jerman dan sebagainya arus informasi relatif homogen. Para elite politik

pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber informasi khusus

melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang ditujukan

pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua

kelompok masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan

media massa yang relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-

hambatan bahasa atau orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat

melakukan kontrol terhadap para elite politik dan sebaliknya kaum elite-

pun dapat segera mengetahui tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari

segala macam tindakan pemerintah.

K. Sosialisasi Politik dan Perubahan

Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang

selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi,

berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat dari

perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi

utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan

dalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin tersebarlah

Budaya Politik | 57
agensiagensi utama dari sosialisasi politik. Semakin totaliter sifat

perubahan politik, semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari

sosialisasi politik itu.

Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil

survei silang nasional (cross-national) mengenai kebudayaan politik.

Penelitian mereka menyimpulkan bahwa masing-masing kelima negara

yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko,

mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan

oleh penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh suatu

tingkatan partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang

meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi

peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf tertentu.

Tekanan lebih besar diletakkan orang-orang Amerika pada masalah

partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa hormat yang

lebih besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari

Jerman ditandai oleh satu derajat sikap yang tidak terpengaruh oleh sistem

dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya. Meskipun demikian,

para respondennya merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-

peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran

antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari

substansinya.

Budaya Politik | 58
Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah

legitimasi, sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh

masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek dari

sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di

Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden,

kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga tersebut selalu

mendapat kritik dari masyarakat.

L. Peran Serta Budaya Politik Partisipan

1. Pengertian Partisipasi Politik

Pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas dari partisipasi

politik warga negara. Partisipasi politik pada dasarnya merupakan bagian

dari budaya politik, karena keberadaan struktur-struktur politik di dalam

masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok

penekan dan media masa yang kritis dan aktif. Hal ini merupakan satu

indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik (partisipan).

Bagi sebagian kalangan, sebenarnya keterlibatan rakyat dalam

proses politik, bukan sekedar pada tataran formulasi bagi keputusan-

keputusan yang dikeluarkan pemerintah atau berupa kebijakan politik,

tetapi terlibat juga dalam implementasinya yaitu ikut mengawasi dan

mengevaluasi implementasi kebijakan tersebut.

Budaya Politik | 59
Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok

orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti

memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan

pemerintah. Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya

gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai

berikut :

a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang

menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk

ikut dalam kekuasaan politik.

b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah

siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan

keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan

perubahan dalam pola partisipasi politik.

c. Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa

modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke

bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan

modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.

d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul

konflik antar elite, maka yang dicari adalah dukungan

Budaya Politik | 60
rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan

kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan

membantu memperluas hak pilih rakyat.

e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan

sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang

lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang

timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan

kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan

politik.

2. Konsep Partisipasi Politik

Dalam ilmu politik, dikenal adanya konsep partisipasi politik untuk

memberi gambaran apa dan bagaimana tentang partisipasi politik. Dalam

perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi begitu penting,

terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku)

dan Post Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi politik

terutama banyak dilakukan di negara-negara berkembang, yang pada

umumnya kondisi partisipasi politiknya masih dalam tahap pertumbuhan.

Dalam ilmu politik sebenarnya apa yang dimaksud dengan konsep

partisipasi politik ? siapa saja yang terlibat ? apa implikasinya ? bagaimana

Budaya Politik | 61
bentuk praktik-praktiknya partisipasi politik ? apakah ada tingkatan-

tingkatan dalam partisipasi politik ? beberapa pertanyaan ini merupakan

hal-hal mendasar yang harus dijawab untuk mendapat kejelasan tentang

konsep partisipasi politik.

Hal pertama yang harus dijawab berkenaan dengan kejelasan

konsep partisipasi politik. Beberapa sarjana yang secara khusus

berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep

partisipasi politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :

Sarjana Konsep Indikator

Partisipasi politik emberi


perhatian pada cara-cara
warga negara berinteraksi
 Terdapat interaksi
dengan pemerintah, agar
antara warga negara
negara berupaya
dengan pemerintah
Kevin R. menyampaikan
Hardwick kepentingan-kepentingan  Terdapat usaha warga
negara untuk
mereka terhadap
mempengaruhi pejabat
pejabatpejabat publik
publik
agar mampu mewujudkan
kepentingankepentingan
tersebut.
Partisipasi politik adalah
kegiatan seseorang atau
 Berupa kegiatan
sekelompok orang untuk
individu atau
ikut serta secara aktif
kelompok
dalam kehidupan politik,
Miriam dengan jalan memilih  Bertujuan ikut aktif
dalam kehidupan
Budiardjo pimpinan negara, dan
politik, memilih pim-
secara langsung atau
pinan publik atau
tidak langsung
mempenga-ruhi
mempengaruhi kebijakan
kebijakan publik.
pemerintah (public
policy).

Budaya Politik | 62
Partisipasi politik ialah
keikutsertaan warga
negara biasa dalam
menentukan segala
keputusan menyangkut  Keikutsertaan warga
atau mempengaruhi negara dalam
hidupnya. Partisipasi pembuatan dan
Ramlan Surbakti
politik berarti pelaksanaan kebijakan
keikutsertaan warga publik
negara biasa (yang tidak  Dilakukan oleh warga
mempunyai kewenangan) negara biasa
dalam mempengaruhi
proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan
politik.
Partisipasi politik adalah  Berwujud keterlibatan
Michael Rush
keterlibatan individu individu dalam sistem
dan Philip
sampai pada bermacam- politik
Althoft
macam tingkatan di  Memiliki tingkatan-
dalam sistem politik. tingkatan partisipasi
 Berupa kegiatan bukan
Partisipasi politik yaitu
sikap-sikap dan
kegiatan warga negara
kepercayaan
Huntington dan preman (private citizen)
 Memiliki tujuan
Nelson yang bertujuan
mempengaruh
mempengaruhi
kebijakan publik
pengambilan kebijakan
oleh pemerintah.  Dilakukan oleh warga
negara preman (biasa)
Partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan
sukarela dari warga  Berupa kegiatan-
masyarakat melalui mana kegiatan sukarela
Herbert mereka mengambil  Dilakukan oleh warga
McClosky bagian dalam proses negara
pemilihan penguasa, dan  Warga negara terlibat
secara langsung atau dalam prosesproses
tidak langsung, dalam politik
proses pembentukan
kebijakan umum.

Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang

dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial

menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan

Budaya Politik | 63
termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan,

atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik

dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga

seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang

dilakukan oleh non-warga negara biasa.

Budaya Politik | 64
BAB III

PENELITIAN

A. Pendahuluan

Penelitian ini mencoba mengulas tentang bagaimana gambaran

budaya politik yang ada dalam lingkungan mahasiswa Jurusan Bahasa

Sastra Inggris. Yang menjadi objek penelitian ini adalah beberapa

mahasiswa Jurusan Bahasa Sastra Inggris.

Pada umumnya dalam suatu masyarakat, pola sikap dan emosi

serta tindakan yang cenderung sama disebabkan oleh kebiasaan dan

latihan. Pola sikap yang dianut sebelumnya cenderung bertahan sampai

pada tingkat tertentu. Oleh sebab itu penelitian ini ingin menggambarkan

kebudayaan politik dari mahasiswa Jurusan Bahasa Sastra Inggris di

Universitas UIN Sunan Gunung Djati Bandung tersebut. Teori yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teori budaya politik yang

dikemukakan Gabriel A Amond dan Sidney Verba. Berdasarkan

pendekatan teori budaya politik tersebut penelitian ini berupaya

menggambarkan sikap, orientasi, keyakinan, nilai, keterampilan, peranan,

kecenderungan dan pola-pola khusus dari populasi terhadap sistem

politiknya. Berdasarkan ciri-ciri, pola-pola, dan kecenderungan-

Budaya Politik | 65
kecenderungan yang ada pada populasinya penelitian ini melihat kategori

budaya politiknya; parokial, subyek, atau partisipan.

B. Permaslahan

1. Pernahkah anda (Mahasiswa) mendengar istilah “Budaya Politik” ?

2. Apakah budaya politik di indonesia berlangsung dengan baik ? berikan

alasannya.

3. Harapan anda untuk budaya politik yang sedang berlangsung di

indonesia

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman terhadap budaya politik di

indonesia

2. Untuk mengetahui apa saja pendapat mereka terhadap budaya politik

saat ini

3. Untuk mengetahui apa saja harapan para mahasiswa untuk budaya

politik saat ini

4. Untuk mengetahui apakah di lingkungan mahasiswa, partisipasinya

terhadap politik termasuk kaula , subyek , atau partisipan

Budaya Politik | 66
D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan pada bidang

budaya politik bagi penulis dan juga pembaca serta menigkatkan rasa

partisipan terhadap budaya politik

E. Analisis Data

Pernah 77.8%

Belum Pernah 22.2


%

* 27 narasumber

Pada diagram diatas dapat terlihat bahwa pada 27 narasumber

tersebut rata rata sudah mengetahui dan paham tentang apa itu budaya

politik jadi dapat disimpulkan pola yang dapat menggambarkan

mahasiswa Jurusan Bahasa Sastra Inggris bahwa mereka merasakan

pengaruh dan menerima otoritas pemerintah. Memiliki perhatian terhadap

sistem politik keterlibatannya dalam cara yang didominasi aktif. Masih

memiliki keyakinan terhadap pemilu. Memiliki harapan yang tinggi akan

perubahan kinerja pemerintahan kearah lebih baik. Pilihan partisipasi

dengan cara yang lebih pasif. Kompetensi politik yang relatif tinggi.

Partisipasi yang sudah baik terhadap input sistem politik. Minat yang

Budaya Politik | 67
tinggi untuk terlibat dalam sistem politik. Ciri dan karakteristik yang ada

pada mahasiswa Jurusan Bahasa Sastra Inggris menunjukkan

kecenderungan budaya politik partisipan.

F. Lampiran

Budaya Politik | 68
Budaya Politik | 69
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Budaya politik merupakan pola perilaku dan orientasi masyarakat

dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara,

politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan

yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya.

Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai

bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan

penentuan kebijakan publik untuk masyarakat sebelumnya.

2. Tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

Indonesia ada 3 macam, yaitu budaya politik parokial, budaya

politik kaulka, dan budaya politik partisipan.

3. Budaya politik partisipan perlu di sosialisasikan kepada segenap

rakyat agar dapat berperan serta secara aktif.

B. Saran

1. Diharapkan kepada mahasiswa agar terus menjaga ritme dan

konsisten terhadap pemahaman, kesadaran dan keterlibatan sebagai

Budaya Politik | 70
seotang aktor dalam sistem politik. Tidak hanya berkutat dikampus

, namun juga keterlibatan dan kesadaran dalam sistem politik ketika

berada diluar kampus.

Budaya Politik | 71
Daftar Pustaka

Ahmad Amin, Buku Tentang politik, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991.

Agustino, Leo, 2009. Politik dan Perubahan.Yogyakarta : Graha Ilmu

Asrinaldi, 2012.Politik Masyarakat Miskin Kota.Yogyakarta : Gava Media.

Elfriza, 2012.Political Explore: Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung : Alfabeta.

Gaffar, Affan,2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Hofsteede, W.M.F. 1992 Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa

Barat.Yogyakarta.Gajah Mada Press.

Jackson, Karl D. & Pye, Lucian W, 1978.Political Power and Communications in

Indonesia. Barkeley and Los Angeles : University of California Press.

Kantaprawira, Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar.

Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-

Orde Baru. Jakarta : Kencana.

Mas’oed, M & MacAndrew, C, 2008.Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta :

Gajah Mada University Press.

Varma, S.P., 2010. Teori Politik Modern.Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Winarno, Budi, 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.Yogyakarta :

MedPress.

Website

http://noerhayati.wordpress.com/2008/06/02/budaya politik /

Budaya Politik | 72
http://www.katapengertian.com/2016/02/sejarah-budaya-politik-di-indonesia.html

https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/

http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/33/URBANISASI-DAN-

KEMISKINAN-DESA

http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/26/13202052/Mahasiswa.di.Indonesia.

Cuma.4.8.Juta

http://puzzleminds. com/kualitas-kependudukan-di-indonesia/

http://budaya-politik-indonesia/R-Siti-Zubro/12450837/2016/06/pkn/

Budaya Politik | 73

Anda mungkin juga menyukai