Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidrosefalus adalah suatu penyakit dengan ciri-ciri pembesaran pada sefal
atau kepala yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal (CSS)
dengan atau karena tekanan intrakranial yang meningkat sehingga terjadi
pelebaran ruang tempat mengalirnya cairan serebrospinal (CSS) (Ngastiah). Bila
masalah ini tidak segera ditanggulangi dapat mengakibatkan kematian dan dapat
menurunkan angka kelahiran di suatu wilayah atau negara tertentu sehingga
pertumbuhan populasi di suatu daerah menjadi kecil.
Proses peradangan dapat mengenai selaput otak (meningitis), jaringan otak
(ensefalitis), dan medulla spinalis (mielitis), walaupun yang paling sering terjadi
adalah meningitis. Selaput otak terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam, yaitu
durameter, araknoid, piameter. Durameter adalah membrane putih tebal yang
kasar, dan menutupi seluruh otak dan medulla spinalis. Araknoid merupakan
membrane lembut yang bersatu di tempatnya denga piameter, diantaranya terdapat
ruang subaraknoid di mana terdapat arteri dan vena serebral dan dipenuhi oleh
cairan serebrospinal. Piameter merupakan membrane halus yang kaya akan
pemburu darah kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak.
Piameter adalah lapisan yang langsung melekat dengan permukaan otak dan
seluruh medulla spinalis.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
(suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(diluar rongga kepala). Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980)
kejang demam ini biasanya terjadi bayi atau anak-anak antara umur 3 bulan dan 5
tahun yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya
infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa
demam dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang
demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang
berulang tanpa demam.
Menurut penelitian WHO untuk wilayah ASEAN jumlah penderita
Hidrosefalus di beberapa negara adalah sebagai berikut, di Singapura pada anak 0-
9 th : 0,5%, Malaysia: anak 5-12 th 15%, India: anak 2-4 th 4%, di Indonesia
berdasarkan penelitian dari Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia
terdapat 3%.
Menurut World Health Organization (WHO), angka kematian meningitis
pada neonatus dan anak masih tinggi sekitar 1,8 juta pertahun. Meningitis
bakterial berada pada urutan 10 teratas penyebab kematian akibat infeksi di
seluruh dunia dan menjadi salah satu infeksi yang paling berbahaya pada anak.
Kejadian kejang demam terjadi pada 2%-4% anak-anak, dengan insiden puncak
pada usia 2 tahun, 30% kasus kejang demam akan terjadi kembali
pada penyakit demam berikutnya, prognosis kejang demam baik, kejang
demam bersifat benigna. Angka kematian mencapai 0,64%-0,75%. Sebagian
besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang
menjadi epilepsy sebanyak 2-7%.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Definisi, Patofisiologi Dan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Hidrosefalus ?
2. Bagaimana Patofisiologi Dan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Meningitis ?
3. Bagaimana Patofisiologi Dan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Kejang ?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk Mengetahui Bagaimana Patofisiologi Dan Manajemen Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Hidrosefalus ?
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Patofisiologi Dan Manajemen Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Meningitis ?
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Patofisiologi Dan Manajemen Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Kejang ?
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Patofisilogi Dan Manajemen Asuhan Keperawatan Anak Pada Pasien
Hidrosefalus
2.1.1 Patofisilogi Hidrosefalus

Hydrocephalus merupakan keadaan patologis otak yang mengakibatkan


bertambahnya cairan cerebro spinalis tanpa atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat
mengalirnya cairan serebro spinal.
Hidrocephalus ini bisa terjadi karena konginetal (sejak lahir), infeksi
(meningitis, pneumonia, TBC), pendarahan di kepala dan faktor bawaan (stenosis
aquaductus sylvii) sehingga menyebabkan adanya obstruksi pada system
ventrikuler atau pada ruangan subarachnoid, ventrikel serebral melebar,
menyebabkan permukaan ventrikuler mengkerut dan merobek garis ependymal.
White mater dibawahnya akan mengalami atrofi dan tereduksi menjadi pita yang
tipis. Pada gray matter terdapat pemeliharaan yang bersifat selektif, sehingga
walaupun ventrikel telah mengalami pembesaran gray matter tidak mengalami
gangguan. Proses dilatasi itu dapat merupakan proses yang tiba – tiba / akut dan
dapat juga selektif tergantung pada kedudukan penyumbatan. Proses akut itu
merupakan kasus emergency.
Pada bayi dan anak kecil sutura kranialnya melipat dan melebar untuk
mengakomodasi peningkatan massa cranial. Jika fontanela anterior tidak tertutup
dia tidak akan mengembang dan terasa tegang pada perabaan.Stenosis aquaductal
(Penyakit keluarga / keturunan yang terpaut seks) menyebabkan titik pelebaran
pada ventrikel laterasl dan tengah, pelebaran ini menyebabkan kepala berbentuk
khas yaitu penampakan dahi yang menonjol secara dominan (dominan Frontal
blow). Syndroma dandy walkker akan terjadi jika terjadi obstruksi pada foramina
di luar pada ventrikel IV. Ventrikel ke IV melebar dan fossae posterior menonjol
memenuhi sebagian besar ruang dibawah tentorium. Klien dengan tipe
hidrosephalus diatas akan mengalami pembesaran cerebrum yang secara simetris
dan wajahnya tampak kecil secara disproporsional.
Pada orang yang lebih tua, sutura cranial telah menutup sehingga membatasi
ekspansi masa otak, sebagai akibatnya menujukkan gejala : Kenailkan ICP
sebelum ventrikjel cerebral menjadi sangat membesar. Kerusakan dalam absorbsi
dan sirkulasi CSF pada hidrosephalus tidak komplit. CSF melebihi kapasitas
normal sistim ventrikel tiap 6 – 8 jam dan ketiadaan absorbsi total akan
menyebabkan kematian.
Pada pelebaran ventrikular menyebabkan robeknya garis ependyma normal
yang pada didning rongga memungkinkan kenaikan absorpsi. Jika route kolateral
cukup untuk mencegah dilatasi ventrikular lebih lanjut maka akan terjadi keadaan
kompensasi.
2.1.2 Manajemen Asuhan Keperawatan pada Pasien Hindrosefalus
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Pengumpulan data : nama, usia, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat
b. Riwayat Penyakit / keluhan utama : Muntah, gelisah, nyeri kepala, lelah apatis,
penglihatan ganda, perubahan pupil, kontriksi penglihatan perifer.
c. Riwayat Penyakit dahulu
a) Antrenatal : Perdarahan ketika hamil
b) Natal : Perdarahan pada saat melahirkan, trauma sewaktu lahir
c) Postnatal : Infeksi, meningitis, TBC, neoplasma
d. Riwayat penyakit keluarga
e. Pengkajian persiste
a) B1 ( Breath ) : Dispnea, ronchi, peningkatan frekuensi napas
b) B2 ( Blood ) : Pucat, peningkatan systole tekanan darah, penurunan nadi
c) B3 ( Brain ) : Sakit kepala, gangguan kesadaran, dahi menonjol dan
mengkilat, pembesaran kepala, perubahan pupil, penglihatan ganda, kontruksi
penglihatan perifer, strabismus ( juling ), tidak dapat melihat keatas “ sunset eyes
”, kejang
d) B4 ( Bladder ) : Oliguria
e) B5 ( Bowel ) : Mual, muntah, malas makan
f) B6 ( Bone ) : Kelemahan, lelah, peningkatan tonus otot ekstrimitas
2. Observasi tanda – tanda vital
1. Peningkatan systole tekanan darah
2. Penurunan nadi / bradikardia
3. Peningkatan frekuensi pernapasan
3. Pemeriksaan Fisik
a) Masa bayi :
kepala membesar , Fontanel Anterior menonjol, Vena pada kulit kepala dilatasi
dan terlihat jelas pada saat bayi menangis, terdapat bunyi Cracked- Pot ( tanda
macewe),Mata melihat kebawah (tanda setting – sun ) , mudah terstimulasi,
lemah, kemampuan makan kurang, perubahan kesadaran, opistotonus dan spatik
pada ekstremitas bawah.pada bayi dengan malformasi Arnold- Chiari, bayi
mengalami kesulitan menelan, bunyi nafas stridor, kesulitan bernafas, Apnea,
Aspirasi dan tidak reflek muntah.
b) Masa Kanak-Kanak
Sakit kepala, muntah, papil edema, strabismus, ataxsia mudah terstimulasi ,
Letargy Apatis, Bingung, Bicara inkoheren.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Lingkar Kepala pada masa bayi
b. Translumiasi kepala bayi, tampak pengumpulan cairan serebrospinalis yang
abnormal
c. Perkusi pada tengkorak bayi menghasilkan "suara khas"
d. Opthalmoscopi menunjukan papil edema
e. CT Scan
f. Foto Kepala menunjukan pelebaran pada fontanel dan sutura serta erosi tulang
intra cranial
g. Ventriculografi ( jarang dipakai ) : Hal- hal yang Abnormal dapat terlihat di
dalam system ventrikular atau sub – arakhnoid.
5. Perkembangan Mental/ Psikososial
a. Tingkat perkembangan
b. Mekanisme koping
c. Pengalaman di rawat di Rumah Sakit
6. Pengetahuan Klien dan Keluarga
a. Hidrosephalus dan rencana pengobatan
b. Tingtkat pengetahua
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi peningktan tekana intracranial b.d peningkatan jumlah cairan
serebrospinal
2. Nyeri yang berhubunngan dengan peningkatan tekanan intracranial
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan perubahan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolism.
4. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan meningkatnya
volume cairan serebrospinal, meningkatnya tekanan intra karnial
5. Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan dengan kurang informasi dalam
keadaan krisis.
6. Resiko tinggi terjadinya kerusakn intregasi kulit sehubungan dengan
penekanan
7. dan ketidakmampuan untuk menggerakan kepala.
C. Intervensi Keperawatan
1. Dx 1. Resiko tinggi peningktan tekana intracranial b.d peningkatan jumlah
cairan serebrospinal.
Tujuan: Setelah dilakukan atau diberikan asuhan keperawatan 2 x 24 jam klien
tidak mengalami peningkatan TIK. Kriteria hasil: Klien tidak mengeluh nyeri
kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4,5,6 tidak terdapat papiledema, TTV dalam
batas normal.
1. Intervensi
a. Kaji factor penyebab dari keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi
jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/: deteksi dini untuk memperioritaskan intervensi , mengkaji status
neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau
tindakan pembedahan.
b. Monitor tanda-tanda vital tiap 4jam
R/: Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator
kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral.
Adanya peningkatan tekanan darah, bradhikardi, distritmia, dispnia merupakan
tanda terjadinya peningkatan TIK.
c. Evaluasi pupil
R/: Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak.
d. Monitor temperature dan pengaturan suhu lingkungan
R/: Panas merupakan refleks dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan
mertabolisme dan oksegen akan menunjang peningkatan TIK.
e. Pertahankan kepala / leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit
bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala
R/: perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena
jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena
serebral), untuk itu dapat meningkatkan TIK
f. Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur.
R/: tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsangan
komulatif.
g. Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti massase punggung,
lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana atau pembicaraan
yang tidak gaduh.
R/: memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons
psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahan TIK yang rendah.
h. Cegah atau hindari terjadinya valsava maneuver.
R/: mengurangi tekanan intra torakal dan intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
i. Bantu pasien jika batuk, muntah.
R/: aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak atau tekanan dalam thorak dan
tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan TIK.
j. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku oada opagi hari.
R/: tingkat non verbal ini meningkatkan indikasi peningkatan TIK atau
memberikan refleks nyeri dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan
secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatkan Tik
k. Palpasi pada pembesaran atau pelebaran blader, peertahgankanb drainase urine
secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/: dapat meningkatkan respon automatic yang potensial menaikan Tik
l. Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan orangtua tentang sebab akibat
TIK meningkat.
R/: meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan m
engurangi kecemasan
2. Dx2: Gangguan rasa nyaman: Nyeri sehubungan dengan meningkatkanya
tekanan intracranial, terpasang shunt .
Data Indikasi : Adanya keluahan Nyeri Kepala, Meringis atau menangis, gelisah,
kepala membesar
Tujuan :Setelah dilaksakan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan nyeri kepala
klien hilang.
Kriteria hasil: pasien mengatakan nyeri kepala berkurang atau hilang (skala nyeri
0), dan tampak rileks, tidak meringis kesakitan, nadi normal dan RR normal.
1. Intervensi :
a. Kaji pengalaman nyeri pada anak, minta anak menunjukkan area yang sakit
dan menentukan peringkat nyeri dengan skala nyeri 0-5 (0 = tidak nyeri, 5 = nyeri
sekali)
R/: Membantu dalam mengevaluasi rasa nyeri.
b. Bantu anak mengatasi nyeri seperti dengan memberikan pujian kepada anak
untuk ketahanan dan memperlihatkan bahwa nyeri telah ditangani dengan baik.
R/: Pujian yang diberikan akan meningkatkan kepercayaan diri anak untuk
mengatasi nyeri dan kontinuitas anak untuk terus berusaha menangani nyerinya
dengan baik.
c. Pantau dan catat TTV.
R/: Perubahan TTV dapat menunjukkan trauma batang otak.
d. Jelaskan kepada orang tua bahwa anak dapat menangis lebih keras bila mereka
ada, tetapi kehadiran mereka itu penting untuk meningkatkan kepercayaan.
R/: Pemahaman orang tua mengenai pentingnya kehadiran, kapan anak harus
didampingi atau tidak, berperan penting dalam menngkatkan kepercayaan anak.
e. Gunakan teknik distraksi seperti dengan bercerita tentang dongeng
menggunakan boneka, nafas dalam, dll.
R/: Teknik ini akan membantu mengalihkan perhatian anak dari rasa nyeri yang
dirasakan.
3. Dx.3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan perubahan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme.
Tujuan: Setelah dilaksakan asuhan keperawatan 1x 24 jam diharapkan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan
Kriteria hasil: tidak terjadi penurunan berat badan sebesar 10% dari berat awal,
tidak adanya mual-muntah.
1. Intervensi :
a. Pertahankan kebersihan mulut dengan baik sebelum dan sesudah mengunyah
makanan.
R/: Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan meninbulkan
mual.
b. Tawarkan makanan porsi kecil tetapi sering untuk mengurangi perasaan tegang
pada lambung.
R/: Makan dalam porsi kecil tetapi sering dapat mengurangi beban saluran
pencernaan. Saluran pencernaan ini dapat mengalami gangguan akibat
hidrocefalus.
c. Atur agar mendapatkan nutrien yang berprotein/ kalori yang disajikan pada saat
individu ingin makan.
R/: Agar asupan nutrisi dan kalori klien adeakuat.
d. Timbang berat badan pasien saat ia bangun dari tidur dan setelah berkemih
pertama.
R/: Menimbang berat badan saat baru bangun dan setelah berkemih untuk
mengetahui berat badan mula-mula sebelum mendapatkan nutrient
e. Konsultasikan dengan ahli gizi mengenai kebutuhan kalori harian yang realistis
dan adekuat.
R/: Konsultasi ini dilakukan agar klien mendapatkan nutrisi sesuai indikasi dan
kebutuhan kalorinya
f. Makanan atau cairan, jika muntah dapat diberikan cairan infuse dekstrosa 5%
2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

4. DX4: Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan meningkatnya


volume cairan serebrospinal, meningkatnya tekanan intra karnial.
Tujuan : perfusi jaringan serebral adequat.
1. Intervensi:
Observasi TTV
a. Kaji data dasar neurologi
b. Hindari pemasangan infuse pada vena kepala jika terjadi pembedahan
c. Tentukan posisi anak :
 tempatkan pada posisi terlentang
 tinggikan kepala
d. Hindari penggunaan obat – obat penenang

5. DX5: Resiko tinggi terjadinya kerusakn intregasi kulit sehubungan dengan


penekanan dan ketidakmampuan untuk menggerakan kepala.
Tujuan : klien akan menunjukan intregasi kulit yang baik
1. Intervensi :
a. Berikan perawatan kulit
b. Laporkan segera bila terjadi perubahan TTV ( tingkah laku ).
c. Monitor daerah sekitar operasi terhadap adanya tanda – tanda kemerahan atau
pembengkakan.
6. DX6: Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan dengan kurang informasi
dalam keadaan krisis.
Tujuan : keluarga klien akan menerima support dengan adekuat
1. Intervensi :
a. Jelaskan tentang penyakit tindakan dan prosedur yang akan dilakukan.
b. Berikan kesempatan pada orang tua atau anggota keluarga untuk
mengekspresikan perasaan.
c. Berikan dorongan pada orang tua untuk membantu perawatan anak.
D. Pelaksanaan /Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan anak dengan hydrosefhalus didasarkan pada
rencana yang telah ditentukan dengan prinsip :
Mempertahankan perfusi jaringan serebral tetap adequat:
a. Mencegah terjadinya injuri dan infeksi
b. Meminimalkan terjadinya persepsi sensori
c. Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka
E. Evaluasi
Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu
pada kriteria evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa
keperawatan sehingga :
• Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)
• Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi dilanjutkan)
• Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang
& intervensi dirubah).
2.2 Patofisiologi Meningitis Pada Anak Dan Manajemen Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Meningitis

2.2.1 Patofisiologi Meningitis Pada Anak


Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai sebagian atau
seluruh selaput otak (meningen) yang ditandai dengan adanya sel darah putih
dalam cairan serebrospinal. Meningitis bakteri pada anak-anak masih sering
dijumpai, meskipun sudah ada kemoterapeutik, yang secara in vitro mampu
membunuh mikroorganisme-mikroorganisme penyebab infeksi tersebut.3 WHO
(2003), mendefinisikan anak-anak antara usia 0–14 tahun karena di usia inilah
risiko cenderung menjadi besar. Ini akibat infeksi dengan Haemophilus influenzae
maupun pneumococcus, karena anak-anak biasanya tidak kebal terhadap bakteri.
Meningitis bakteri paling sering terjadi akibat penyebaran mikroorganisme
secara hematogen. Meningitis bakteri pada umumnya, sebagai akibat dari
penyebaran penyakit lain. Bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput
otak, misalnya pada penyakit faringitis, tonsilitis, pneumonia, dan lain-lain.
Penyebaran bakteri dapat pula secara perkontinum dari peradangan organ atau
jaringan yang ada didekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis media,
sinusitis, dan lain-lain. Penyebaran bakteri bisa juga terjadi akibat trauma kepala
dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Meningitis dapat terjadi
setelah terjadi invasi bakteri yang berasal dari pusat infeksi menular. Meningitis
juga dapat terjadi melalui invasi langsung ke selaput otak dan menyebar ke
selaput otak secara hematogen. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil
dan sedang mengalami hiperemi dalam waktu yang sangat singkat terjadi
penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid,
kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit
dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat terbentuk dari dua
lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin, sedangkan
di lapisan dalam terdapat makrofag. Pada meningitis yang disebabkan oleh virus,
cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan meningitis yang disebabkan oleh
bakteri.
2.2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Meningitis
A. Pengkajian
1. Biodata klien
2. Riwayat kesehatan yang lalu
a. Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
b. Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
c. Pernahkah operasi daerah kepala ?
3. Data bio-psiko-sosial
a. Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise).
Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
b. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda :
tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi,
disritmia.
c. Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
d. Makan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan.
Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.
e. Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
f. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena,
kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan
halusinasi penciuman.
Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi,
kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal,
hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal,
babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada
laki-laki.
g. Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala (berdenyut hebat, frontal).
Tanda : gelisah, menangis.
h. Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru.
Tanda : peningkatan kerja pernafasan.
B. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan diseminata
hematogen dari pathogen
2. Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan berhubungan
dengan edema serebral, hipovolemia.
3. Risiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal,
kelemahan umum, vertigo.
4. Nyeri (akut) berhubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,
penurunan kekuatan
6. Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
C. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan diseminata
hematogen dari patogen.
Mandiri :
a. Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
b. Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
c. Pantau suhu secara teratur
d. Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
e. Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nfas dalam
f. Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
Kolaborasi
a. Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.
2. Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan berhubungan
dengan edema serebral, hipovolemia.
Mandiri
a. Tirah baring dengan posisi kepala datar.
b. Pantau status neurologis.
c. Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang
d. Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan
haluaran.
e. Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
Kolaborasi.
a. Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
b. Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).
c. Pantau BGA.
d. Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen
3. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kejang umum/vokal,
kelemahan umum vertigo.
Mandiri
a. Pantau adanya kejang
b. Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas
buatan
c. Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam,
venobarbital.
4. Nyeri (akut ) berhubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.
Mandiri.
a. Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi
yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan
masage otot leher.
b. Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
c. Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
d. Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul
Kolaborasi
a. Berikan anal getik, asetaminofen, codein
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
a. Kaji derajat imobilisasi pasien.
b. Bantu latihan rentang gerak.
c. Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
d. Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air
perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.
e. Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.
6. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan defisit neurologis
a. Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik
dan proses pikir.
b. Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
c. Observasi respons perilaku.
d. Hilangkan suara bising yang berlebihan.
e. Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
f. Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
g. Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.
7. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
a. Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
b. Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
c. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
d. Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk
sumber penyokong.
D. Tindakan Keperawatan
1. Melakukan bedrest total pada klien dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal.
2. Melonggarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.
3. Memberikan kompres dingin di daerah kepala, leher dan ketiak.
4. Memberikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll).Membatasi aktivitas selama
anak panas.
5. Memonitor tanda-tanda status neurologis.
6. Memonitor intake dan output.
7. memonitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan hati-hati
pada hipertensi sistolik.
8. Membantu pasien untuk membatasi gerak atau berbalik di tempat tidur.
9. Kolaborasi
a. Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
b. Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen
c. Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel, Antibiotika
10.Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis.
E. Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
a. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi
endogen atau keterlibatan orang lain.
b. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/
sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
c. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
d. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu
tidur/istirahat dengan tepat.
e. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan
kekuatan.
f. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
g. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan
keakuratan pengetahuan tentang situasi.
2.3 Patofisilogi Dan Asuhan Manajemen Keperawatan Anak Pada Pasien
Kejang
2.3.1 Patofisilogi Kejang

Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih
dari 38,40°c tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit
akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya. Kejang
demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks .
Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1º C akan menyebabkan
kenaikan kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat
sebanyak 20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai
65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi
dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, akibatnya terjadinya
lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah
kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung pada
tinggi atau rendahnya ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu
tubuhnya. Kebiasaannya, kejadian kejang pada suhu 38ºC, anak tersebut
mempunyai ambang kejang yang rendah, sedangkan pada suhu 40º C atau lebih
anak tersebut mempunyai ambang kejang yang tinggi.
2.3.2 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien Kejang
1. Pengkajian
Berdasarkan tanda dan gejala penyakit kejang demam, maka asuhan
keperawatan yang prioritas ditegakkan adalah pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi, perencanaan pemulang yaitu :
Riwayat Keperawatan
Kaji gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh, terutama pada malam hari,
terjadinya kejang dan penurunan kesadaran.
a. Data biografi : nama, alamat, umur, status perkawinan, tanggal MRS, diagnose
medis, catatan kedatangan, keluarga yang dapat dihubungi.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluhan utama pasien, sehingga
dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit seperti pasien.
e. Riwayat psikososial
Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih)
Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
f. Pola Fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme :
Pola nutrisi klien perlu dikaji untuk menentukan terjadinya gangguan nutrisi
atau tidak pada klien
2) Pola istirahat dan tidur
Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien merasakan
demam terutama pada malam hari
g. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran dan keadaan umum pasien
Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar-tidak sadar (composmentis-coma)
untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien.
2) Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik kepala-kaki
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan
umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai
kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip (inspeksi, auskultasi, palpasi,
perkusi), disamping itu juga penimbangan BB untuk mengetahui adanya
penurunan BB karena peningkatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga
dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan (Wijaya,2013).
2. Diagnosa keperawatan
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses patologis
b. Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan suhu
tubuh
c. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d peningkatan sekresi mucus
d. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak
adekuat (Doengoes, 2007)
3. Intervensi
Perencanaan asuhan keperawatan pada anak dengan kejang demam sederhana
adalah sebagai berikut :
Rencana Tindakan keperawatan
Diagnosa Perencanaan
NO
Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1. Peningkatan Tujuan: 1. Pantau suhu 1. Suhu 38,9-41,1
0
suhu tubuh Setelah pasien (derajat dan C menunjukkan
berhubungan dilakukan pola): perhatikan proses penyakit
dengan proses tindakan menggigil?diaforesi. infeksius akut.
patologis keperawatan 2. Pantau suhu 2. Suhu ruangan,
selama 4 x 24 lingkungan, jumlah selimut
suhu tubuh batasi/tambahkan harus dirubah untuk
normal. linen tempat tidur mempertahankan
Tujuan: sesuai indikasi. suhu mendekati
Setelah 3. Berikan kompres normal
dilakukan hangat: hindari 3. Dapat membantu
tindakan penggunaan mengurangi
perawatan kompres alkohol. demam,
selama 3 x 24 4. Berikan selimut penggunaan air
jam proses pendingin es/alkohol mungkin
patologis Kolaborasi: menyebabkan
teratasi dengan 5. Berikan kedinginan
kriteria: antipiretik sesuai 4. Digunakan untu
TTV stabil indikasi kengurangi demam
Suhu tubuh umumnya lebih
dalam batas besar dari 39,5-40
0
normal C pada waktu
terjadi gangguan
pada otak.
5. Digunakan untuk
mengurangi demam
dengan aksi sentral

2 Resiko tinggi Tujuan: setelah 1. Ukur/catat 1. Penurunan haluaran


kekurangan dilakukan pengeluaran urin. urin dan berat jenis
volume cairan tindakan 2. Pantau tekanan akan menyebabkan
berhubungan perawatan darah dan denyut hipovolemia.
dengan selama 3 x 24 jantung 2. Pengurangan dalam
peningkatan suhu jam kekurangan 3. Palpasi denyut sirkulasi volume
tubuh volume cairan perifer. cairan dapat
tidak terjadi 4. Kaji membran mengurangi tekanan
Tujuan: setelah mukosa kering, darah/CVP,
dilakukan turgor kulit yang mekanisme
tindakan tidak elastis kompensasi awal
perawatan Kolaborasi: dari takikardia
selama 2 x 24 5. Berikan cairan untuk meningkatkan
jam peningkatan intravena, curah jantung dan
suhu tubuh misalnya meningkatkan
teratasi, dengan kristaloid dan tekanan darah
kriteria: koloid sistemik.
Tidak ada tanda- 6. Pantau nilai 3. Denyut yang lemah,
tanda dehidrasi laboratorium mudah hilang dapat
Menunjukan menyebabkan
adanya hipovolemia.
keseimbangan 4. Hipovolemia/cairan
cairan seperti ruang ketiga akan
output urin memperkuat tanda-
adekuat tanda dehidrasi.
Turgor kulit baik 5. Sejumlah besar
Membran cairan mungkin
mukosa mulut dibutuhkan untuk
lembab mengatasi
hipovolemia relatif
(vasodilasi perifer),
menggantikan
kehilangan dengan
meningkatkan
permeabilitas
kapiler.
6. Mengevaluasi
perubahan didalam
hidrasi/viskositas
darah.
3. Tidak efektifnya Tujuan: setelah 1. Anjurkan pasien 1. Menurunkan risiko
bersihan jalan dilakukan untuk aspirasi atau
nafas b.d tindakan mengosongkan masuknya sesuatu
peningkatan perawatan mulut dari benda asing ke
sekresi mucus selama 4 x 24 benda/zat tertentu. faring.
jam jalan nafas 2. Letakkan pasien 2. Meningkatkan aliran
kembali efektif pada posisi (drainase) sekret,
Tujuan: setelah miring, mencegah lidah
dilakukan permukaan datar, jatuh dan
tindakan miringkan kepala menyumbat jalan
perawatan selama serangan nafas.
selama 2 x 24 kejang. 3. Untuk memfasilitasi
jam peningkatan 3. Tanggalkan usaha
sekresi mukus pakaian pada bernafas/ekspansi
teratasi, dengan daerah leher/dada dada.
kriteria: dan abdomen. 4. Jika masuknya di
Suara nafas 4. Masukan spatel awal untuk
vesikuler lidah/jalan nafas membuka rahang,
Respirasi rate buatan atau alat ini dapat
dalam batas gulungan benda mencegah
normal lunak sesuai tergigitnya lidah dan
dengan indikasi. memfasilitasi saat
5. Lakukan melakukan
penghisapan penghisapan
sesuai indikasi lendiratau memberi
Kolaborasi : sokongan terhadap
6. Berikan tambahan
pernafasan jika di
oksigen/ventilasi
perlukan.
manual sesuai
5. Menurunkan risiko
kebutuhan pada
aspirasi atau
fase posiktal.
asfiksia.
6. Dapat menurunkan
hipoksia serebral
sebagai akibat dari
sirkulasi yang
menurunkan atau
oksigen sekunder
terhadap spasme
vaskuler selama
serangan kejang.
4 Resiko perubahan Tujuan: setelah 1. Buat tujuan berat 1. Malnutrisi adalah
nutrisi kurang dari dilakukan badan minimum kondisi gangguan
kebutuhan tubuh tindakan dan kebutuhan minat yang
b.d intake yang perawatan nutrisi harian. menyebabkan
tidak adekuat selama 5 x 24 2. Gunakan depresi, agitasi dan
jam perubahan pendekatan mempengaruhi
nutrisi kurang konsisten, duduk fungsi kognitif/
dari kebutuhan dengan pasien saat pengambilan
tidak terjadi makan, sediakan keputusan.
Tujuan: setelah dan buang 2. Pasien mendeteksi
dilakukan makanan tanpa pentingnya dan
tindakan persuasi dapat beraksi
perawatan dan/komentar. terhadap tekanan,
selama 3 x 24 3. Berikan makan komentar apapun
jam intake sedikit dan yang dapat terlihat
nutrisi adekuat, makanan kecil sebagai paksaan
dengan kriteria: tambahan, yang memberikan fokus
Makan klien tepat. padad makanan.
habis 4. Buat pilihan menu 3. Dilatasi gaster dapat
BB klien normal yang ada dan terjadi bila
izinkan pasien pemberian makan
untuk mengontrol terlalu cepat setelah
pilihan sebanyak periode puasa.
mungkin. 4. Pasien yang
5. Pertahankan meningkat
jadwal bimbingan kepercayaan dirinya
berat badan dan merasa
teratur. mengontrol
lingkungan lebih
suka menyediakan
makanan untuk
makan.
5. Memberikan catatan
lanjut penurunan
dan/atau
peningkatan berat
badan yang akurat.

4. Penatalaksanaan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai
tujuan spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun
dan ditujukkan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan.
5. Evaluasi
Fase terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan dengan melihat perkembangan masalah klien
sehingga dapat diketahui tingkatan-tingkatan keberhasilan intervensi. Evaluasi
hasil perencanaan keperawatan dari masing-masing diagnosa keperawatan dapat
dilihat pada kriteria hasil intervensi keperawatan.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hydrocephalus merupakan keadaan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan cerebro spinalis tanpa atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat
mengalirnya cairan serebro spinal. Pada pelebaran ventrikular menyebabkan
robeknya garis ependyma normal yang pada didning rongga memungkinkan
kenaikan absorpsi. Jika route kolateral cukup untuk mencegah dilatasi ventrikular
lebih lanjut maka akan terjadi keadaan kompensasi.
Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai sebagian atau
seluruh selaput otak (meningen) yang ditandai dengan adanya sel darah putih
dalam cairan serebrospinal. Ini akibat infeksi dengan Haemophilus influenzae
maupun pneumococcus, karena anak-anak biasanya tidak kebal terhadap bakteri.
Bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada
penyakit faringitis, tonsilitis, pneumonia, dan lain-lain.
Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih
dari 38,40°c tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit
akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya. Kejang
demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks .

3.2 Saran
Berdasarkan uraian di atas di harapkan kita dapat lebih memahami makna
kesehatan, semoga informasi ini bisa membantu kita menghindari penyakit
hydrocephalus, meningitis, dan kejag pada anak. Bila ada gejala-gejala penyakit
yang sudah di uraikan di atas terjadi pada keluarga dan kerabat, segera lakukan
pemeriksaan dan bawa ke dokter.
DAFTAR PUSTAKA

Nanny Lia Dewi, Vivian. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Salemba
Medika: Jakarta
Nelson. 2012. Ilmu Kesehatan Anak. Vol. 3. EGC
Ngastiah, Perawatan Anak Sakit. EGC
L. Wong, Donna. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Ed. 6,
Vol.2. EGC
Muslihatun, Wati Nur, 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Fitramaya:
Yogyakarta
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Salemba Medika: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai