Anda di halaman 1dari 74

I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Cekungan Kutai terletak di bagian timur Kalimantan, melingkupi wilayah
onshore dan offshore dengan luas mencapai 165.000 km2. Cekungan Kutai
merupakan cekungan terbesar di Indonesia dan menjadi cekungan paling produktif
kedua (IHS, 2013). Petroleum system utama pada cekungan ini berada pada level
Miosen, di mana mayoritas produksi minyak dan gas bumi di Cekungan Kutai
berasal dari level tersebut. Per awal 2013, Cekungan Kutai telah memproduksi 3580
mmbo minyak, 58,4 tcf gas, dan 1131 mmbc kondensat (IHS, 2013).

Batuan induk utama di Cekungan Kutai adalah carbonaceous shales,


marine shales, dan batubara berumur Miosen Awal – Miosen Akhir. Kisaran TOC
yang diukur pada batubara adalah 50-80% dan carbonaceous shales 5-10%, dengan
inisial HI mencapai 300 mg HC/g TOC untuk keduanya (Peterson et al, 1997).
Shales prodelta – batial mempunyai TOC 0,5 – 1% dan HI < 100 mg HC/g TOC.
Batuan induk berumur Miosen Awal – Miosen Akhir ini merupakan kerogen tipe
III, yang menghasilkan minyak pada kedalaman 3500-4000 m dan gas pada
kedalaman 5000-6000 m di bagian tengah cekungan.

Blok “ENERGI” terletak di offshore Kalimantan Timur di bagian selatan


Cekungan Kutai sehingga berdasarkan lokasinya main kitchen Cekungan Kutai
berada sekitar 70-100 km dari blok “ENERGI”. Di bagian utara blok ini telah
banyak ditemukan lapangan-lapangan minyak dan gas (migas), tetapi terdapat juga
beberapa sumur yang dry. Di daerah tersebut berkembang struktur-struktur patahan
di mana kombinasi antara keberadaan struktur-struktur tersebut dengan banyaknya
lapangan migas dapat menghambat dan mengurangi migrasi hidrokarbon dari main
kitchen ke blok “ENERGI”.

Dalam dua dekade terakhir sebelum pengeboran sumur SIS-A#1 pada tahun
2015, tidak ada aktivitas eksplorasi yang dilakukan di bagian selatan Cekungan
Kutai. Sumur-sumur yang dibor di area tersebut umumnya gagal menemukan
hidrokarbon. Analisa sumur yang dilakukan menunjukkan bahwa migrasi/

1
akumulasi hidrokarbon merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab atas
kegagalan tersebut. Karena itu selain mengharapkan adanya migrasi hidrokarbon
dari main kitchen, perlu dilakukan studi mengenai potensi local kitchen dalam blok
“ENERGI” sendiri yang dapat menghasilkan hidrokarbon untuk mengisi prospek-
prospek di dalam blok tersebut.

Studi mengenai potensi local kitchen ini dilakukan dengan basin modelling.
Basin modelling adalah suatu analisa merekonstruksi evolusi geologi dari suatu
cekungan untuk memahami proses fisika dan kimia yang terjadi dengan tujuan
memprediksi tingkat kematangan batuan induk serta migrasi dan akumulasi
hidrokarbon yang terbentuk. Sebelum melakukan basin modelling tersebut tentunya
harus dilakukan identifikasi dan evaluasi batuan sedimen yang mempunyai potensi
menjadi batuan induk di daerah penelitian.

I.2 Rumusan Masalah


Hal utama yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah potensi batuan
induk yang terdapat dalam blok “ENERGI” sebagai local kitchen yang mungkin
menghasilkan hidrokarbon. Dengan menggunakan simulasi basin modelling,
diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana pembentukan, migrasi, dan
akumulasi hidrokarbon yang mungkin terbentuk.

I.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui apakah terdapat batuan sedimen yang berpotensi menjadi
batuan induk di dalam atau sekitar blok “ENERGI”.

2. Mengetahui jenis dan volume hidrokarbon yang terbentuk/ terekspulsi

3. Mengetahui pola migrasi dan akumulasi hidrokarbon dalam struktur/


perangkap yang terdapat di blok “ENERGI”.

I.4 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian terletak di offshore Kalimantan Timur, di bagian selatan
Cekungan Kutai, seperti terlihat pada gambar 1.1.

2
Keterangan:
Area Penelitian

Gambar 1.1 Lokasi penelitian (IHS, 2013)

I.5 Batasan Penelitian


Penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal, meliputi:
1. Studi ini difokuskan pada daerah yang memiliki data 3D seismik PSDM.

2. Menggunakan data empat sumur yang mempunyai data geokimia.

3. Zona batuan induk dibatasi pada sedimen berumur Oligosen hingga Miosen.

4. Penelitian ini difokuskan hanya untuk mengetahui jenis dan volume


hidrokarbon, serta pola migrasi dan akumulasinya dalam struktur/
perangkap yang terdapat di blok “ENERGI”.

I.6 Penelitian Terdahulu


Penelitian mengenai basin modelling atau petroleum system di Cekungan
Kutai kebanyakan dilakukan di daerah Delta Mahakam dan di daerah yang banyak
ditemukan lapangan minyak dan gas. Salah satunya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Burrus (1992). Penelitian ini dilakukan di daerah Delta Mahakam
sepanjang 80 km arah barat-timur melalui lapangan Tambora, Tunu, dan Sisi.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah batuan induk fasies delta plain yang

3
kaya dengan batubara dan batupasir, yang berada dalam kondisi tekanan normal
cenderung menjadi batuan induk yang lebih efektif dibandingkan dengan batuan
induk marine shales dalam kondisi overpressured. Kesimpulan lainnya adalah
hidrokarbon di daerah tersebut umumnya bermigrasi secara lateral.

Tidak banyak informasi yang tersedia mengenai penelitian yang pernah


dilakukan di sekitar lokasi penelitian khususnya yang berkaitan dengan basin
modelling, namun terdapat beberapa penelitian secara regional terkait dengan
petroleum system.

Paterson (1997) berdasarkan penelitiannya menyimpulkan umumnya di bagian


barat dari Cekungan Lower Kutai tidak terdapat interval deltaik yang cukup tebal
untuk mencapai batas suhu minimal pembentukan hidrokarbon. Wilayah tersebut
juga tidak tercapai oleh migrasi hidrokarbon dari proven kitchen. Camp (2009)
menyatakan bahwa endapan marine berumur Eosen merupakan play baru di
Cekungan Kutai. Reservoirnya berupa batupasir turbidit yang kemungkinan terisi
minyak yang dihasilkan oleh batuan induk berumur Eosen. Pireno (2010),
melakukan penelitian di daerah Sebuku dan sekitarnya. Dari penelitian tersebut
Pireno menyimpulkan bahwa petroleum system terbukti bekerja di Cekungan
Makasar Selatan dengan ditemukannya minyak di sumur Pangkat-1, serta gas di
sumur Sultan-1 dan lapangan Ruby.

I.7 Keaslian Penelitian


Seperti disebutkan sebelumnya tidak ada informasi yang diperoleh
mengenai studi basin modelling di daerah penelitian. Karena itu penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan data sumur dan seismik yang ada sehingga
diharapkan dapat menjamin keasliannya.

I.8 Manfaat Penelitian


Hidrokarbon yang bermigrasi dari bagian timur laut blok “ENERGI” yang
selama ini diyakini sebagai kitchen area diperkirakan telah banyak terperangkap
dalam proses migrasinya dan hanya sedikit yang mencapai serta mengisi prospek

4
yang terdapat dalam blok “ENERGI”. Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan
potensi local kitchen sebagai sumber hidrokarbon yang ada di dalam atau sekitar
blok “ENERGI” sehingga menjadi pertimbangan dalam kegiatan eksplorasi.

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Dasar Teori


II.1.1 Pembentukan Minyak Dan Gas Bumi
Hingga saat ini asal mula/ pembentukan minyak dan gas bumi masih dalam
diskusi. Kebanyakan bukti yang ada lebih mendukung teori “organik” atau
“biogenesis“, yaitu teori yang menyatakan bahwa minyak dan gas bumi berasal dari
konversi sisa hewan dan tumbuhan yang diendapkan bersama dengan mineral
berbutir halus di dasar laut atau danau. Sebagian ahli tidak sependapat dengan teori
biogenesis tersebut dan lebih meyakini teori “anorganik” atau “abiogenesis”. Teori
“abiogenesis” menyatakan bahwa minyak dan gas bumi merupakan hasil suatu
proses sintesis tanpa melibatkan makhluk hidup. Namun beberapa fakta mengenai
pembentukan minyak dan gas bumi belum dapat dijelaskan oleh argumen kimia
organik. Hal ini kemudian menjadi alasan beberapa ahli menganut teori gabungan
biogenesis-abiogenesis sebagai teori pembentukan minyak dan gas bumi (Jurg,
1967).

II.1.2 Pengendapan Material Organik Dalam Sedimen


Sesuai dengan teori organik (biogenesis) minyak dan gas bumi berasal dari
material organik sehingga sangat penting untuk mengetahui bagaimana dan di mana
material organik diendapkan bersama dengan sedimen. Semua material organik laut
terbentuk berdekatan dengan permukaan laut melalui proses fotosintesis. Material
organik tersebut umumnya berasal dari alga, yaitu phytoplankton dan zooplankton.

Sebagian phytoplankton terpecah secara kimia kemudiaan teroksidasi,


sedangkan sebagian lainnya dimakan oleh zooplankton. Kedua jenis plankton
tersebut dimakan oleh organisme yang lebih tinggi dan mencerna material organik
dari plankton tersebut menjadi tinja yang kemudian terendapkan bersama dengan
sedimen. Plankton merupakan organisme berukuran sangat kecil yang tenggelam
dengan sangat lambat. Bahkan sering kali plankton terdegradasi (teroksidasi)
hampir seluruhnya sebelum mencapai dasar laut. Berbeda dengan plankton, tinja

6
pelet mempunyai ukuran sebesar pasir dan tenggelam dengan lebih cepat sehingga
material organik ini lebih banyak terawetkan dalam sedimen.

Di dasar laut material organik akan terpecah akibat aktivitas mikro


organisme (bakteria). Material organik tersebut juga akan dimakan oleh organisme
yang hidup dibagian atas sedimen. Hal ini mengakibatkan kandungan organik
dalam sedimen berkurang. Selain itu bioturbasi juga dapat mengakibatkan sedimen
bergerak naik mendekati kondisi di mana terdapat oksigen lebih banyak, sehingga
material organik dalam sedimen bisa kembali mengalami oksidasi. Namun jika
aktivitas bioturbasi sedikit maka material organik akan terawetkan lebih banyak
dalam sedimen.

Laju sedimentasi juga ikut berpengaruh terhadap kandungan material


organik dalam sedimen. Laju sedimentasi yang lambat mengakibatkan bioturbasi
dan pemecahan mikrobiologi berlangsung lama sehingga material organik yang
terawetkan dalam sedimen sedikit. Sebaliknya laju sedimentasi yang cepat akan
mengendapkan lebih banyak material organik dan mengandung banyak butiran
mineral. Karena itu laju sedimentasi yang sedang (10-100 mm/ 1000 tahun)
merupakan yang paling baik untuk menghasilkan batuan induk dengan material
organik terbaik.

Saat zat organik terkubur oleh sedimen di atasnya, secara bertahap air akan
keluar selama proses kompaksi. Kemudian senyawa organik protein terpecah
menjadi asam amino dan karbohidrat menjadi senyawa gula yang lebih sederhana.
Pada kondisi tersebut asam amino dapat bereaksi dengan karbohidrat yang
mengakibatkan proporsi senyawa organik terlarut sederhana dalam sedimen
menjadi berkurang. Struktur organik kompleks baru yang terbentuk dari hasil
polimerisasi ini disebut dengan kerogen (Knut, 2010).

II.1.3 Geokimia Batuan Induk


Batuan induk adalah batuan sedimen yang mengandung material organik
dan mampu menghasilkan hidrokarbon. Dalam mengidentifikasi batuan induk ada

7
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu kuantitas material organik, kualitas/ tipe
material organik, dan kematangan material organik.

II.1.3.1 Kuantitas Material Organik


Kuantitas material organik yang terkandung dalam batuan induk
menunjukkan kekayaannya dan dinyatakan sebagai Total Organic Carbon (TOC).
TOC adalah jumlah karbon organik yang dinyatakan dengan satuan persen berat
dari batuan. Potensi TOC dibedakan atas 5 kelompok (Peters dan Cassa, 1994)
seperti tabel berikut.

Tabel 2.1 Parameter dan potensi batuan induk (Peters dan Cassa, 1994)

TOC (% berat) Potensi Batuan Induk


<0,5 Berpotensi rendah (poor)
0,5-1,0 Berpotensi cukup(fair)
1,0-2,0 Berpotensi baik (good)
2,0-4,0 Berpotensi sangat baik (very good)
>4,0 Berpotensi paling baik (excellent)

Nilai TOC merupakan parameter awal untuk melakukan analisa batuan


induk. Namun nilai TOC juga dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan batuan
yang diendapkan sehingga kualitas material organik harus menjadi parameter
penentu berikutnya. Nilai TOC yang tinggi bisa terjadi akibat banyaknya material
organik yang terendapkan atau akibat material kekayuan (woody) yang telah
teroksidasi. Dua hal tersebut akan memberikan hasil yang berbeda di mana batuan
induk dengan material kekayuan teroksidasi walaupun mempunyai nilai TOC tinggi
tidak akan berpotensi menjadi batuan induk.

II.1.3.2 Kualitas Material Organik


Kualitas material organik juga mempengaruhi besar kecilnya potensi batuan
sedimen sebagai batuan induk. Kualitas tersebut diwakili oleh jenis material
organik (maseral) yang terkandung dalam batuan tersebut. Jenis material organik
dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan dari organisme asalnya.

8
Gambar 2.1 Diagram hubungan antara hidrogen indeks dan Tmax dengan tipe kerogen
(Espitalie et al., 1985)

Seperti disebutkan sebelumnya material organik yang diendapkan dalam


batuan sedimen akan mengalami reaksi kimia dan membentuk kerogen. Kerogen
adalah material organik dalam batuan yang tidak terlarut oleh pelarut basa, asam,
maupun organik nonoksidan yang bila mengalami pemanasan dapat menghasilkan
minyak/ gas. Kerogen dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) tipe berdasarkan
perbandingan antara atom H/C dan O/C, indeks hidrogen dan Tmaks, dan bisa juga
berdasarkan material organiknya (kelompok maseral).

Berdasarkan material organiknya (tabel 2.2), kerogen dikelompokkan


sebagai berikut:

a) Grup alginit, tersusun dari maseral alginit yang merupakan produk alga air
tawar dan dikelompokkan dalam kerogen tipe I sebagai penghasil minyak (oil-
prone).

b) Grup liptinit, tersusun dari maseral eksinit (spora dan polen), kutinit (kutikula
tumbuhan darat), resinit, dan liptinit yang dikelompokkan dalam kerogen tipe
II sebagai penghasil minyak dan gas (oil and gas prone).

9
c) Grup vitrinit, tersusun dari maseral vitrinit (material selulosa dari tumbuhan
tinggi) yang dikelompokkan dalam kerogen tipe III sebagai penghasil gas (gas-
prone).

d) Grup inertinit, tersusun dari arang kayu (charcoal), material organik yang
teroksidasi dan tersusun ulang (reworked), bersifat sulit menghasilkan
hidrokarbon.

Tabel 2.2 Maseral, organik asal, dan tipe kerogennya


(Modifikasi dari Waples, 1985, dan Suarez-Ruiz, 2012)

Original Organic
Groups Macerals Kerogen
Matter
Alginate Alginate Fresh water algae Type I
Liptinite Resinite Land-plant resins Type II
Sporinite Spore, pollens Type II
Cutinite Land-plant cuticle Type II
Liptodetrinite Marine algae Type II
Vitrinite Desmocollinite Woody and cellulosic Type III
Telocollinite material from land Type III
Telinite plants Type III
Vitrodetrinite Type III
Inertinite Semifusinite Charcoal; highly Type IV
Fusinite oxidized or reworked Type IV
Inertodetrinite material of any origin Type IV
Sclerotinite Type IV

II.1.3.3 Kematangan Material Organik


Pembentukan hidrokarbon melalui pematangan kerogen tergantung pada
kombinasi suhu (sebagai fungsi kedalaman penguburan) dan waktu. Kerogen
umumnya terbentuk pada kedalaman yang dangkal. Semakin dalam kerogen akan
dipengaruhi oleh meningkatnya suhu dan tekanan. Setelah proses penguburan dan
pengendapan, material organik akan melalui fase degradasi kerogen. Tissot dan
Welte (1978) membagi transformasi dan pematangan material organik menjadi tiga
fase, yaitu diagenesis, katagenesis, dan metagenesis.

Diagenesis – Fase ini terjadi di kedalaman yang dangkal, pada suhu yang
rendah dan tekanan sedikit di atas normal. Fase ini terdiri dari 2 proses, yaitu

10
pembusukan biogenik yang dibantu oleh bakteri dan reaksi abiogenik (Selley 1985).
Diagenesis mengakibatkan berkurangnya oksigen dan meningkatnya kandungan
karbon. Hal tersebut juga ditandai oleh berkurangnya rasio H/O dan O/C (Tissot &
Welte 1978).

Gambar 2.2 Alterasi (pematangan) material organik serta pembentukan minyak dan gas
sebagai fungsi suhu (Knut, 2010)

Katagenesis – Fase ini ditandai oleh peningkatan suhu dan tekanan yang
terjadi pada lingkungan yang lebih dalam. Hasilnya adalah terjadinya penurunan
kandungan hidrogen sebagai akibat pembentukan hidrokarbon. Pada tahapan ini
hidrokarbon terbentuk. Minyak terbentuk selama fase awal katagenesis, pada suhu
60oC -120oC. Dengan semakin meningkatnya suhu dan tekanan, sekitar 120oC -
125oC, gas basah dan kemudian gas kering terbentuk bersamaan dengan
peningkatan jumlah metana (Tissot & Welte 1978; Selley 1985). Katagenesis
ditandai dengan penurunan pita alifatik karena de-substitusi pada inti aromatik
dengan peningkatan aromatisasi cincin naftenat.

Metagenesis – Fase ini merupakan tahap akhir dari alterasi termal material
organik. Metagenesis terjadi pada suhu dan tekanan tinggi (200oC -250oC) menuju
proses metamorfisme dan penurunan rasio hidrogen-karbon. Umumnya hanya

11
metana yang dihasilkan pada fase ini hingga hanya tersisa residu padat. Pada suhu
lebih dari 225oC kerogen menjadi inert dan hanya sejumlah kecil karbon yang
tersisa menjadi grafit.

Evaluasi kematangan material organik dapat ditentukan oleh beberapa


parameter sebagai berikut (Peters dan Cassa, 1994):

a) Reflektansi vitrinit (Ro), yaitu ukuran kemampuan kerogen untuk memantulkan


cahaya. Reflektansi ini terjadi akibat adanya perubahan fisik kerogen yang
mengalami kematangan termal sehingga nilai pantulan akan semakin tinggi.
Vitrinit pada tahap diagenesis hanya sedikit memantulkan cahaya, dengan nilai
Ro di bawah 0,5%, umumnya kerogen belum menghasilkan hidrokarbon (belum
matang). Ketika mencapai katagenesis kerogen akan semakin memantulkan
cahaya, dengan nilai Ro 0,6-1,3% kerogen telah memasuki jendela kematangan
dan mulai menghasilkan hidrokarbon. Setelah itu proses katagenesis berlanjut
hingga nilai Ro mencapai 1,3-2% yang menjadi zona utama kerogen
menghasilkan gas.

b) Tmaks pirolisis merupakan suhu maksimum pada saat pembentukan


hidrokarbon yang terjadi selama pirolisis Rock-Eval. Menurut Peters dan Cassa
(1994) kematangan tercapai ketika suhu Tmaks melebihi 435oC, sementara
akhir kematangan tercapai pada suhu >470oC.

Tabel 2.3 Klasifikasi kematangan berdasarkan Ro dan Tmaks (Peters dan Cassa, 1994)

12
II.1.4 Model Kinetik Pembentukan Hidrokarbon
Pembentukan minyak dan gas merupakan reaksi pemecahan dari ikatan
heterogen makromolekul kerogen menjadi molekul ringan minyak dan gas. Waktu
dan temperatur menjadi faktor penting dalam mengontrol pembentukan minyak dan
gas tersebut. Laju kimia pembentukan minyak dan gas yang berasal dari kerogen
dapat digambarkan dengan model kinetik. Parameter kinetik untuk setiap reaksi
individual diperoleh berdasarkan hasil percobaan laboratorium dan data empiris
dari sumur atau keduanya (Waples, 1994).

Saat ini terdapat beberapa model kinetik dalam pemodelan kematangan


batuan induk. Model yang paling banyak digunakan adalah IFP (French Petroleum
Institute) dan LLNL (Lawrence Livermore National Laboratory). Perbedaan utama
dari kedua model ini adalah IFP memodelkan pembentukan gas berasal dari
pemecahan minyak, sedangkan LLNL memodelkan pembentukan gas berasal
langsung dari kerogen (Waples, 1994). Dalam studi ini model kinetik yang
digunakan adalah model Pepper dan Corvi (1995). Model ini mirip dengan LLNL
di mana pembentukan gas berasal langsung dari kerogen.

II.1.4.1 Klasifiikasi Kinetik Kerogen (Organofasies)


Organofasies adalah istilah yang digunakan untuk kerogen yang berasal dari
sumber yang sama serta diendapkan dalam kondisi lingkungan dan sejarah
diagenetis yang sama (Pepper dan Corvi, 1995).

Tabel 2.4 Klasifikasi kinetik kerogen: organofasies (Pepper dan Corvi, 1995)
Sulphur Possible IFP
Organofacies Descriptor Environmental Principal Biomas
Incorporator Classification
Marine, upwelling zones,
Aquatic, marine, siliceous Marine algae,
A clastic-starved zones High Type II
or carbonate/ evaporite bacteria
basins
Aquatic, marine, Marine algae,
B Marine, clastic basins Moderate Type II
siliciclastic bacteria
'Tectonic' non marine
Aquatic, non-marine, Freshwater algae,
C basins, minor or coastal Low Type I
lacustrine bacteria
plains
Higher plant cuticle,
Terrigenous, non-marine,
D/E 'Ever-wet' coastal plains resin, lignin, Low Type III
waxy
bacteria

Terrigenous, non-marine,
F Coastal plains Lignin Low Type III/ IV
wax-poor

13
Model kinetik Peper dan Corvi dibuat berdasarkan jenis organofasies yang
pernah dikembangkan oleh Dr. A. J. G. Barwise pada awal tahun 1980-an.
Organofasies ini diklasifikasikan sesuai dengan jenis material organik dan
lingkungan pengendapannya, yaitu organofasies A, B, C, D/E, dan F. Organofasies
A dan B ekuivalen dengan kerogen tipe II, organofasies C ekuivalen dengan
kerogen tipe I, serta organofasies D/E dan F ekuivalen dengan kerogen tipe III (tabel
2.4).

II.1.4.2 Parameter Kinetik Pembentukan Hidrokarbon


Pepper dan Corvi membuat model kinetik dengan mendistribusikan
parameter kinetik dalam batuan induk berdasarkan jenis lingkungan pengendapan
dan umur. Parameter kinetik untuk setiap organofasies dalam pembentukan minyak
dan gas ditampilkan pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Parameter kinetik untuk pembentukan minyak (A), dan gas (B)
(Pepper dan Corvi, 1995)

A
A

BB

II.1.5 Estimasi Volume Hidrokarbon dalam Batuan induk


Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk menghitung volume
hidrokarbon dalam batuan induk adalah metode Lewis (2007) dan/ atau metode
Downey (2011).

Gas yang terbentuk dalam batuan induk terdiri dari dua jenis, yaitu free gas
dan adsorbed gas. Free gas adalah gas yang terperangkap dalam ruang/ pori-pori

14
batuan induk, sama halnya dengan gas yang terdapat dalam reservoir batupasir dan
batugamping sehingga volumenya dapat dihitung dengan menggunakan rumus
volumetrik konvensional atau dengan menggunakan metode Lewis. Adsorbed gas
adalah gas yang melekat pada permukaan pori-pori batuan induk. Adsorbed gas ini
sama dengan gas yang terbentuk pada batubara (Coal bed Methane) sehingga untuk
menghitung volumenya juga menggunakan formula yang sama (gambar 2.3).

a.

b.

Gambar 2.3 Formula perhitungan volume gas dalam batuan induk:


a. free gas (Lewis, 2007), b. adsorbed gas

a.

b.

Gambar 2.4 Formula perhitungan volume minyak dalam batuan induk (Downey, 2011)

15
II.1.6 Migrasi Hidrokarbon
Hidrokarbon bermigrasi dari batuan induk yang mempunyai permeabilitas
rendah ke dalam batuan reservoar yang mempunyai permeabilitas tinggi di mana
hidrokarbon dapat diproduksi. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya migrasi
adalah buoyancy karena hidrokarbon mempunyai densitas yang lebih kecil
dibandingkan air.

Migrasi hidrokarbon dibedakan atas migrasi primer, yaitu perpindahan


hidrokarbon keluar dari batuan induk, dan migrasi sekunder, yaitu kelanjutan dari
migrasi primer ke dalam batuan reservoar atau hingga ke permukaan. Minyak dan
gas dapat juga bermigrasi (bocor) dari reservoar ke perangkap yang lebih tinggi
atau ke permukaan. Hidrokarbon relatif tidak larut dalam air sehingga akan
bermigrasi dalam fase yang terpisah. Tingkat kelarutan bervariasi mulai dari 24
ppm untuk metana hingga 1800 ppm untuk benzena. Senyawa lainnya seperti
pentana bahkan memiliki tingkat kelarutan yang lebih rendah, 2-3 ppm. Namun
kelarutan akan meningkat tajam dengan meningkatnya tekanan (Knut, 2010).

Laju migrasi merupakan fungsi laju pembentukan hidrokarbon dalam


batuan induk. Hal ini merupakan fungsi dari suhu yang terintegrasi dengan waktu.
Sejarah perkembangan suhu merupakan fungsi dari kedalaman penguburan dan
gradien geotermal. Penguburan yang dalam jutaan tahun lalu akan mengakibatkan
semua minyak terurai menjadi gas.

II.1.7 Perangkap Hidrokarbon


Perangkap terdiri dari batuan reservoar yang ditutupi oleh batuan dengan
permeabilitas rendah (cap rocks) yang menghambat minyak dan gas untuk lewat.
Perangkap ini harus tertutup di bagian atas sehingga fluida minyak, gas, dan
termasuk air dapat terperangkap di dalamnya. Titik di mana hidrokarbon dapat
keluar dari struktur ini disebut spill point. Cap rocks bisa saja tidak 100% efektif
dalam menghambat aliran hidrokarbon, tetapi hidrokarbon akan tetap terakumulasi
bila laju kebocoran lebih rendah daripada laju suplai hidrokarbon ke dalam
perangkap. Cap rocks juga biasanya tidak 100% impermeabel terhadap air, tetapi

16
lebih bersifat impermeabel terhadap minyak dan gas akibat adanya gaya kapilaritas
dalam pori-pori yang kecil (Knut, 2010).

Perangkap terdiri dari 2 jenis (Knut, 2010), yaitu:


1. Perangkap struktural, yaitu perangkap yang terbentuk oleh deformasi struktur
geologi (lipatan, patahan) batuan.
2. Perangkap stratigrafi, yaitu perangkap yang terbentuk karena adanya perubahan
sifat sedimen atau stratigrafi baik lateral maupun vertikal.

Gambar 2.5 Jenis perangkap hidrokarbon (Knut, 2010)

Selain kedua jenis perangkap di atas terkadang juga ditemukan perangkap


berupa kombinasi antara perangkap struktural dan stratigrafi. Satu hal penting
adalah struktur harus terbentuk sebelum hidrokarbon bermigrasi. Struktur yang
terbentuk setelah fase utama pematangan hidrokarbon tidak akan menjadi
perangkap yang efektif. Namun dalam beberapa kasus perangkap tersebut dapat
berisi gas karena gas terbentuk dan bermigrasi setelah minyak. Berbeda dengan
perangkap struktural, perangkap stratigrafi sudah terbentuk saat pembentukan
batuan sehingga hubungannya terhadap migrasi hidrokarbon tidak begitu penting.

17
II.2 Geologi Regional
Cekungan Kutai terletak di bagian timur Kalimantan, melingkupi wilayah
onshore dan offshore dengan luas mencapai 165.000 km2.

Gambar 2.6 Lokasi Cekungan Kutai (IHS, 2013)

Bagian utara cekungan dibatasi oleh Mangkalihat High yang merupakan


sebuah basement high berumur Oligosen yang memisahkan antara Cekungan Kutai
dan Cekungan Tarakan. Bagian timur cekungan berbatasan dengan sub-cekungan
Makasar Utara. Di bagian selatan Paternoster Shelf memisahkan Cekungan Kutai
dengan Meratus, sedangkan di bagian barat Cekungan Kutai berbatasan dengan
Kucing High, sebuah kompleks batuan metamorfik pre-tertier (Moss et al, 2000).

Dalam tatanan lempeng tektonik, Cekungan Kutai terbentuk di bagian


tenggara tepian Sundaland yang dipengaruhi oleh interaksi antara tiga lempeng
besar, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Berdasarkan data gravitasi,
Cekungan Kutai dibagi menjadi Upper Kutai di bagian barat dan Lower Kutai di
bagian timur (Wain & Berod, 1989). Dua area tersebut dipisahkan oleh Kutai High,
yang diekspresikan di permukaan dengan sebuah dataran rendah di sebelah barat
Sungai Mahakam. Van de Weerd dan Armin (1992) menyatakan bahwa basemen

18
Upper Kutai merupakan tipe kontinental, sedangkan Lower Kutai merupakan
dataran tambahan sebagai kelanjutan dari zona subduksi Meratus.

Anderson (1980) dan Hutchinson (1989) membuat peta heat flow dari
cekungan di Asia Tenggara yang menunjukkan bahwa Cekungan Kutai memiliki
heat flow sekitar 1-2 HFU, yang mengindikasikan karakteristik basemen campuran.
Namun Katili (1984) menyatakan bahwa Cekungan Kutai merupakan lengah yang
gagal dari sistem triple fracture yang berhubungan dengan pembukaan Selat
Makasar pada akhir Tersier. Sebagai konsekuensinya maka heat flow di area ini
harus lebih tinggi dibandingkan peta Anderson.

II.2.1 Evolusi Cekungan


Proses pembentukan Cekungan Kutai dimulai sejak Eosen Awal yang
berkaitan dengan pecahnya Sundaland akibat pengaruh konvergensi antara lempeng
Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Cekungan Kutai terbentuk melalui rifting yang
terjadi pada Eosen Tengah. Rifting tersebut mengakibatkan terbentuknya rangkaian
graben dan half-graben dengan orientasi utara dan timur laut (Moss & Chambers,
2000). Endapan alluvial fan merupakan endapan pertama yang mengisi graben
tersebut, kemudian diikuti oleh endapan-endapan yang semakin mengarah ke laut
ke bagian timur cekungan. Pada Eosen Akhir hampir semua bagian Cekungan Kutai
didominasi oleh endapan marine shale dengan foraminiferal shoals dan carbonate
build-ups di puncak blok patahan (Hal et al., 2009).

Saat Eosen berakhir fase ekstensional selesai kemudian dilanjutkan dengan


terjadinya subsiden di sepanjang cekungan. Subsiden ini berlanjut hingga Oligosen
dan terjadi pengendapan shale yang luas. Pengendapan karbonat secara lokal terus
berlanjut di daerah tinggian basemen dan dekat dengan batas cekungan.
Unconformity regional ditemukan di Oligosen Akhir yang kemungkinan
merupakan hasil dari pengangkatan di Kalimantan Tengah (Moss & Chambers,
2000). Kemungkinan lain yang menjadi penyebab unconformity tersebut adalah
terjadinya kembali ekstensional dalam cekungan (Hall et al., 2009). Patahan

19
ekstensional yang terbentuk pada Oligosen berkembang secara orthogonal terhadap
patahan ekstensional Eosen (Moss & Chambers, 2000).

Gambar 2.7 Tatanan tektonik Cekungan Kutai (IHS, 2013)

Pengangkatan sedimen Paleogen di bagian barat yang terjadi pada Oligosen


Akhir menjadikan sedimen-sedimen tersebut sebagai sumber untuk pengendapan
sedimen pada Miosen awal. Pengendapan tersebut menghasilkan dua asosiasi
fasies, yaitu fasies deltaik dan fasies laut dalam. Menjelang akhir Miosen Awal
kemudian terjadi inversi.

Pada awal Miosen Tengah terjadi pengangkatan dan erosi secara bersamaan
di bagian barat Cekungan Kutai (Paterson et al., 1997). Inversi dari deposenter kuno
menjadi sumber untuk pengendapan batupasir yang kaya dengan mineral kuarsa di
Cekungan Lower Kutai, yang kemudian menjadi reservoir utama di Cekungan
Kutai. Pada Miosen Tengah ini berkembang sistem delta yang endapannya menebal
ke arah timur hingga mencapai 5.000 m di daerah Nilam-Tunu. Endapan Miosen
Tengah ini dikelompokkan dalam Grup Balikpapan yang terdiri dari Formasi
Mentawir, Gelingseh, dan Anggota Klandasan.

20
Pada Miosen Akhir inversi terjadi kembali dan berlangsung hingga
sekarang. Pada masa ini sistem delta semakin berkembang di mana endapannya
dikelompokkan dalam Grup Kampung Baru yang terdiri dari Formasi Tanjung Batu
dan Formasi Sepinggan.

II.2.2 Stratigrafi Regional


Cekungan Kutai terletak di atas basemen sedimen turbidit yang terendapkan
dalam cekungan laut (oceanic). Stratigrafi Cekungan Kutai terdiri dari 2 fase utama
(Allen & Chambers, 1998), yaitu:
1. Fase transgresi Paleogen
Fase ini dimulai dengan terjadinya tektonik ekstensional dan pengisian cekungan
pada Eosen dan diakhiri dengan ekstensional post rift marine shale dan platform
karbonat pada Oligosen Akhir. Sedimen transgresi ini terdiri dari sedimen klastik
yang berbutir halus sampai kasar dan lempung yang diendapkan dalam
lingkungan paralik.

2. Fase regresi Neogen


Fase ini menghasilkan prograsi delta yang dimulai pada Miosen Akhir hingga
sekarang. Sedimen regresi ini terdiri dari lapisan-lapisan sedimen klastik delta
hingga paralik/ laut dangkal dengan progradasi dari barat ke timur. Pada fase ini
diendapkan juga lapisan batubara yang cukup banyak.

Informasi tentang basemen diperoleh dari singkapan yang terdapat di daerah


hulu sungai Mahakam dan sungai Boh. Basemen terdiri dari batuan mafik dan
batuan sedimen yang menunjukkan variasi metamorfisma berkaitan dengan fase
vulkanisme pada Eosen Awal hingga Eosen Tengah. Secara lokal kadang ditemui
konglomerat basaltik dan vulkanoklastik. Dari data pemboran terdapat basemen
vulkanik berusia Kapur.

Endapan tertua di Cekungan Kutai adalah Lapisan Boh berumur Eosen


Tengah yang terdiri dari litologi serpih, lanau, dan batupasir berukuran halus. Eosen
Tengah dan Eosen Akhir dibatasi oleh fase regresi, ditandai dengan adanya endapan
klastik kasar yang dikenal sebagai Lapisan Keham Halo dengan litologi penyusun

21
konglomerat dan batupasir. Pada Eosen Akhir terjadi pengendapan Lapisan Atan
yang terdiri dari serpih dan batugamping, yang berakhir pada peralihan Oligosen
Awal dan Oligosen Akhir oleh suatu fase regresi. Hal ini ditandai dengan adanya
pengendapan klastik kasar berumur Oligosen Akhir yang disebut Lapisan Marah,
berupa batupasir dan konglomerat. Di atas Lapisan Marah kemudian diendapkan
Formasi Pamaluan yang didominasi oleh serpih dan batulanau.

Gambar 2.8 Kolom stratigrafi Cekungan Kutai (Satyana, 1999)

22
Pada Miosen Awal terjadi pengendapan batugamping Formasi Bebulu
secara selaras di atas Formasi Pamaluan. Batugamping tersebut membentuk
platform yang besar pada sub cekungan Kutai. Pada periode yang sama diendapkan
juga Formasi Pulaubalang yang terutama terdiri dari serpih, serta batupasir dan
batugamping mudstone. Miosen Tengah merupakan awal terbentuknya delta
Mahakam. Pada periode ini Grup Balikpapan diendapkan secara tidak selaras
menggantikan Formasi Pulaubalang. Grup Balikpapan terdiri atas formasi
Mentawir, Gelingseh, dan Klandasan. Formasi Mentawir tersusun atas litologi
dominan batupasir yang berselingan dengan batulempung, batulanau, dan batubara.
Batupasir Formasi Mentawir bersifat masif dan berukuran butir halus hingga
sedang. Semakin ke arah timur Formasi Mentawir bergradasi menjadi perselingan
batupasir berbutir halus dengan serpih dan sisipan batubara yang dikenal sebagai
Formasi Gelingseh.

Pada Miosen Akhir terjadi pengendapan Formasi Klandasan secara selaras


di atas Formasi Mentawir dan Gelingseh. Formasi Klandasan terdiri dari serpih,
napal, batupasir, dan batugamping. Kemudian di atas Formasi Klandasan
diendapkan Formasi Sepinggan dengan litologi serpih dan batupasir. Pengendapan
Formasi Sepinggan berakhir pada Miosen Akhir yang ditandai dengan terjadinya
regresi dan dilanjutkan dengan pengendapan Formasi Kampung Baru. Formasi ini
tersusun atas dominan batupasir, batulanau, serpih dan batubara. Pada Pleistosen
diendapkan Formasi Attaka secara selaras di atas Formasi Sepinggan. Formasi
Attaka terdiri dari serpih dan batupasir.

II.3 Petroleum Geology


II.3.1 Batuan induk Dan Migrasi
Batuan induk utama di Cekungan Kutai adalah carbonaceous shales,
marine shales, dan batubara berumur Miosen Awal – Miosen Akhir (Paterson et al.,
1997). Batuan induk ini mempunyai kerogen tipe III. Potensi batuan induk yang
bagus ditemukan pada sedimen delta plain – delta front, sedangkan semakin ke arah
distal di daerah open shelf mempunyai kualitas yang buruk. Sedimen Formasi
Pulaubalang berumur Miosen Awal merupakan batuan induk yang bagus. Formasi

23
ini terdiri dari batulempung laut dalam dengan kandungan kerogen terigenous.
Formasi ini telah mencapai kematangan dan menghasilkan minyak yang kemudian
bermigrasi ke Grup Balikpapan. Di Grup Balikpapan sendiri carbonaceous shale
dan batubara berumur Miosen Tengah mengandung kerogen tipe I dalam jumlah
signifikan, yang berasal dari biodegradasi material teresterial. Minyak yang
dihasilkan dari teresterial ini berupa waxy dengan level gravitasi menengah.
Batubara pada Grup Balikpapan berpotensi menghasilkan minyak dan juga gas
(Duval et al., 1992). Shales Grup Kampung Baru yang berumur Miosen Akhir juga
berpotensi sebagai batuan induk tapi umumnya belum matang di daerah Delta
Mahakam.

Kisaran TOC yang diukur pada batubara adalah 50-80% dan carbonaceous
shales 5-10%, dengan inisial HI mencapai 300 mg HC/g TOC untuk keduanya
(Peterson et al, 1997). Prodelta – bathyal shales mempunyai TOC 0,5-1% dan HI
< 100 mg HC/g TOC. Gradien geotermal dalam Cekungan Kutai berkisar 21-55
o
C/km dengan rata-rata sekitar 32 oC/km. Konduktivitas termal sedimen sekitar
5,24 mmcal/oC/cm/sec, sedangkan nilai heat flow sekitar 1,64 microcal/sg cm/sec
(Thamrin & Prayitno, 1985). Nilai ini dianggap normal-tinggi untuk cekungan yang
stabil. Minyak pada batubara mulai terbentuk pada kisaran Ro 0,3-0,6% namun
tetap tertahan di dalam hingga mengalami rekahan akibat aktivitas tektonik, atau
hingga gas mulai terbentuk saat Ro ≥ 0,6%. Untuk carbonaceous shales minyak
terbentuk pada Ro 0,4-0,7%, wet gas pada Ro 0,7-1%, dan dry gas terbentuk pada
Ro> 1%. Marine shales hanya berpotensi menghasilkan gas, yaitu dengan Ro 0,8%.

Batuan induk dalam Cekungan Kutai menghasilkan minyak pada


kedalaman 3.500-4.000 m dan gas pada kedalaman 5.000-6.000 m di bagian tengah
cekungan, sedangkan di daerah pinggiran cekungan batuan induk mencapai
kematangan pada kedalaman sekitar 2.900 m. Top zona overpressured shales Eosen
yang berada di atas basemen, dipercaya menjadi batas bawah batuan induk. Teori
yang berkembang saat ini meyakini bahwa kebanyakan hidrokarbon terbentuk
dalam fasies delta plain yang kaya batubara, pasir, serta berada pada kondisi normal
pressure (Burrus et al., 1992).

24
Migrasi hidrokarbon umumnya terjadi secara lateral melalui tubuh batupasir
yang saling berhubungan serta sebagian terjadi secara vertikal melalui patahan.
Karena itu kunci utama keberhasilan migrasi hidrokarbon adalah jumlah lapisan
batupasir dalam cekungan, arsitektur dan lapisan batupasir yang saling
berhubungan. Lapangan Bekapai dan Attaka merupakan contoh migrasi vertikal di
Cekungan Kutai.

Di daerah Sangatta terdapat bukti yang menunjukkan bahwa minyak mulai


bermigrasi sejak Miosen Akhir dan Pliosen, bukan pada Miosen Awal – Miosen
Tengah, karena antiklin Sangatta belum terbentuk pada saat minyak tersebut
bermigrasi. Di daerah delta Mahakam umumnya minyak terbentuk pada Miosen
Akhir dan Pliosen, serta kemungkinan masih berlangsung hingga sekarang.
Hidrokarbon tersebut bermigrasi dan mulai mengisi struktur/ perangkap sekitar 5
Ma di Tambora dan 2 Ma di Tunu (Burrus et al., 1992).

II.3.2 Reservoar
Reservoar paling produktif di Cekungan Kutai terdapat dalam sedimen
klastik Grup Balikpapan dan Formasi Kampung Baru yang berumur Miosen
Tengah hingga Pliosen. Selain itu ditemukan juga potensi reservoar dalam sedimen
berumur Eosen hingga Oligosen.
1. Reservoar deltaik Miosen Tengah – Pliosen
Sebagai akibat dari inversi yang terjadi pada Miosen Awal, sedimen deltaik
diendapkan secara progradasi mengarah ke timur dari Antiklonorium Samarinda
ke daerah paparan (shelf) dan laut dalam Selat Makasar (Moss & Chambers,
2000). Reservoar utama interval ini terdiri dari paralic-fluvial, deltaik, dan slope
deepwater fans. Reservoar tersebut umumnya kaya akan kuarsa berukuran halus
karena telah mengalami beberapa kali proses recycle dari hasil erosi basemen
dan sedimen Paleogen (Moss & Chambers, 2000). Namun di beberapa tempat di
onshore terdapat reservoar dengan kandungan material vulkanik. Di bagian
proksimal lingkungan delta plain – delta front, distributary channel umumnya
mempunyai energi yang tinggi, sedangkan di bagian distal mempunyai tipikal

25
energi yang rendah sehingga reservoar dalam fasies channel tersebut cenderung
mempunyai kualitas yang buruk. Batupasir tidal dan fluvial distributary channel
umumnya berukuran butir kasar – halus dengan ketebalan 3-15 m. Penyebaran
lateral channel ini umumnya kurang dari 650 m. Kandungan batupasir dan
ketebalan reservoar berkurang secara perlahan dari arah barat ke timur.
Distributary channel seringkali terbentuk bertumpuk dengan tebal mungkin
lebih dari 150 m. Batupasir pada lingkungan ini umumnya mempunyai potensi
resevoar yang bagus dengan porositas 20-35% dan permeabilitas 100-10000 mD.
Lain halnya dengan batupasir delta front bar, kualitasnya cenderung buruk
dengan porositas 10-30% dan permeablitas 0,1-100 mD. Namun pada kedalaman
sekitar 4.420 m, porositas batupasir pada kedua fasies tersebut hampir sama
sekitar 10% akibat efek mekanik dan penguburan (IHS, 2013).

2. Turbidit laut dalam


Struktur slump yang terdapat pada slope cekungan mengindikasikan bahwa
sedimen deltaik ditransportasikan menerus hingga laut dalam melalui proses arus
turbidit. Akibatnya suksesi di lantai cekungan (basin floor) mirip dengan yang
terjadi di daerah paparan, berupa debrites, basin floor fans, dan channel levee
complexes. Basin floor fans dan slope channel levee complexes biasanya
dominan menghasilkan pasir. Tubuh batupasir yang terbentuk dapat mencapai
10 km dengan porositas mencapai lebih dari 25% dan permeabilitas lebih dari
100 mD. Reservoar laut dalam umumnya mengandung gas (IHS, 2013).

3. Karbonat terumbu
Carbonate build-up juga merupakan target reservoar kedua di Cekungan Kutai.
Karbonat ini berumur Oligosen Awal – Holosen yang banyak terdapat di bagian
tengah paparan di mana input sedimen terigenous sedikit. Selama Miosen Awal
distribusi karbonat ini cukup luas. Tubuh karbonat bertumpukan dengan
ketebalan bervariasi antara 10 m hingga lebih dari 1000 m, memanjang dengan
bentuk bagian atas flat hingga kerucut. Porositas pada umumnya kecil karena
proses rekristalisasi. Presipitasi sparry kalsit menghancurkan porositas dan
permeabilitas primer sehingga umumnya porositas dan permeabilitas yang

26
terdapat pada karbonat ini merupakan sekunder yang berasal dari dissolusi
butiran. Permeabilitas yang ada seringkali bertambah karena keberadaan
rekahan. Jenis reservoar karbonat ini telah beberapa kali dites, tetapi hanya
lapangan Karendan (Oligosen Akhir) di bagian barat dan lapangan Dian (Miosen
Akhir) di bagian tengah cekungan yang mempunyai hasil yang bagus (IHS,
2013).

II.3.3 Seal
Tidak ada bukti keberadaan seal secara regional dalam Cekungan Kutai.
Seal reservoar umumnya berupa intraformasi shale yang terdapat pada Formasi
Ujoh Bilang, Bebulu, Balikpapan, dan Kampung Baru. Seal tersebut mempunyai
sealing capacity vertikal yang lebih baik dibandingkan secara lateral. Seal kapiler
hidrokarbon yang sangat bagus dalam sedimen delta terdapat pada shales delta front
dalam zona transisi pressure. Contohnya di lapangan Nilam, seal mempunyai
kapasitas mendukung kolom gas sebesar 50 m. Seal berupa struktur/ patahan
umumnya bukan merupakan seal yang baik di Cekungan Kutai, seperti yang
terdapat di Mutiara, Tamborah, dan Semberah. Namun ada juga yang berfungsi
dengan baik seperti di Punan (IHS, 2013).

II.3.4 Perangkap
Terdapat 3 jenis tipe struktur di Cekungan Kutai yang berhubungan dengan
aktivitas rifting, kompresi, dan gravitasi. Aktivitas tektonik tersebut mengakibatkan
terbentuknya sinklin, antiklin, lipatan kompresional dan antiklin yang berasosiasi
dengan sesar naik pada sedimen berumur Miosen Tengah dan yang lebih tua, serta
growth faulted structures with closure pada Miosen Akhir hingga Pliosen.

Jenis perangkap yang berkembang di Cekungan Kutai didominasi oleh


perangkap struktur, khususnya 4-way dip closure yang terkadang berasosiasi
dengan sesar. Perangkap stratigrafi juga menjadi perangkap penting namun lebih
sulit diidentifikasi, sehingga sering kali dibutuhkan kualitas seismik yang bagus dan
data 3D serta analisa sesimik atribut lebih lanjut. Perangkap stratigrafi ini biasanya
berkembang di endapan mouth bar. Pada komplek mouth bar terjadi pengurangan

27
permeabilitas secara berangsur ke arah laut dan sering menyebabkan isolasi
terhadap reservoar.

28
III. HIPOTESIS DAN METODE PENELITIAN

III.1 Hipotesis
Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan di daerah penelitian, disusun
beberapa hipotesis terkait dengan tujuan penelitian, yaitu:
1. Batuan sedimen berumur Oligosen dan Miosen yang terdapat di dalam atau
sekitar blok “ENERGI” berpotensi menjadi batuan induk.
2. Batuan induk tersebut kemungkinan sudah mencapai jendela kematangan
serta menghasilkan minyak dan gas.
3. Minyak dan gas yang dihasilkan bermigrasi secara vertikal dan lateral,
kemudian terperangkap dalam struktur yang terdapat di dalam blok
“ENERGI”.

III.2 Data Dan Alat


Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sumur dan data
seismik yang dimiliki oleh PT Saka Indonesia Pangkah Limited. Penggunaan data
tersebut sudah mendapat persetujuan dari PT Saka Indonesia Pangkah Limited.

Gambar 3.1 Basemap dan database

29
Terdapat 4 sumur yang digunakan dalam penelitian seperti terlihat pada
gambar 3.1, yaitu sumur Sapunang-1, Tunan Utara-1, Maruat-1, dan SIS-A#1. Data
sumur yang digunakan berupa data log, final well report, temperatur, biostratigrafi,
dan data geokimia. Data seismik yang digunakan berupa data seismik 3D hasil
reprocessing PSDM dengan luas sekitar 450 km2.

Tabel 3.1 Ketersediaan data

Total Log Geokimia Biostratigrafi


Nama Sumur Temperatur
Depth (ft) GR Res Dens Neut Mudlog Rock-Eval Ro Umur Lingkungan
Sapunang-1 9565 √ √ √ √ √ √ - TL √ √ √ √ - TL
Tunan Utara-1 8908 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - TL
Maruat-1 11230 √ √ √ - TL √ - TL √ √ √ √ √ √ - TL
SIS-A#1 9505 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
TL: Tidak Lengkap

Software yang digunakan untuk melakukan pemodelan dalam penelitian ini


adalah Petroleum System Tools ZetaWare. Software ini adalah simulator yang dapat
membuat model 1D, 2D dan 3D pembentukan, migrasi, dan akumulasi hidrokarbon
dalam suatu cekungan. Petroleum System Tools ZetaWare terdiri dari 3 jenis
software, yaitu Genesis, KinEx, dan Trinity.

III.3 Cara Analisis


Metode teknis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
tiga bagian yaitu analisa data sumur, interpretasi seismik, dan pemodelan petroleum
system.

Hydrocarbon kitchen atau dapur minyak dan gas bumi didefinisikan sebagai
suatu area di bawah permukaan bumi di mana batuan induk sudah mencapai tingkat
kematangan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi. Jadi local kitchen diartikan
sebagai kitchen yang bersifat lokal dengan luas area yang terbatas dan lebih kecil
dibandingkan dengan kitchen utama yang terdapat di dalam suatu cekungan.
Deteksi awal keberadaan local kithen ini dapat dilihat dari data seismik dengan
melihat apakah terdapat graben atau area rendahan yang cukup dalam (> 3,5 detik).

Tahap pertama yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisa data
sumur. Analisa terhadap data sumur dilakukan untuk memperoleh informasi jenis

30
dan persentase litologi dalam setiap lapisan/ formasi, kedalaman, ketebalan, dan
umur lapisan/ formasi. Analisa ini dilakukan dengan memanfaatkan log gamma ray,
resistivitas, mudlog/ composite log, dan data biostratigrafi. Pada tahap ini dilakukan
identifikasi awal apakah terdapat batuan sedimen yang berpotensi menjadi batuan
induk. Indikasi awalnya berupa keberadaan serpih atau batubara yang tebal. Sesuai
dengan geologi regional batuan induk di Cekungan Kutai berasal dari batuan
sedimen berumur Miosen Awal, Miosen Tengah, dan Miosen Akhir. Karena itu
dalam penelitian ini pengelompokan potensi batuan induk dilakukan berdasarkan
umur, yang juga sesuai dengan pengelompokan formasi di Cekungan Kutai.
Kedalaman dari setiap top interval/ formasi yang sudah diidentifikasi akan menjadi
marker untuk interpretasi interval/ formasi tersebut di seismik.

Evaluasi batuan induk selanjutnya adalah analisa kuantitas melalui


crossplot antara TOC terhadap kedalaman, analisa kualitas dengan menggunakan
diagram Van Krevelen, atau Peters dan Cassa, atau Espitalie sesuai dengan data
yang ada, serta analisa kematangan melalui crossplot antara Ro terhadap
kedalaman.

Interpetasi seismik dilakukan untuk melihat struktur dan kemenerusan


lapisan/ formasi secara lateral sehingga diperoleh geometri kondisi bawah
permukaan pada lokasi penelitian. Sebelum melakukan interpretasi tersebut perlu
dilakukan pengikatan data seismik dan sumur agar posisi setiap lapisan/ formasi
yang akan di pick sudah berada pada tempat yang seharusnya. Hal ini sangat penting
karena akan mempengaruhi model cekungan yang akan dihasilkan. Setelah
melakukan pengikatan data seismik dan sumur, maka dilakukan interpretasi top
interval/ formasi yang sudah diidentifikasi sebelumnya di sumur terhadap seluruh
data seismik atau bisa juga dengan spasi tertentu misalnya tiap 10 line seismik, baik
inline maupun crossline. Selain itu dilakukan juga interpretasi struktur.
Berdasarkan kedua hasil interpretasi tersebut selanjutnya dilakukan gridding
diseluruh data sesimik yang ada, sehingga diperoleh peta struktur kedalaman dari
setiap interval potensi batuan induk.

31
Pemodelan cekungan yang merupakan inti dari penelitian dilakukan dengan
membangun model stratigrafi dari sumur yang mempunyai data geokimia atau dari
pseudo well, kemudian membangun model burial dan thermal history berdasarkan
model stratigrafi tersebut. Model burial dan thermal history ini dibuat dengan
menggunakan aplikasi Genesis. Integrasi antara data geokimia, suhu/ regional heat
flow dengan burial dan thermal history akan menunjukkan waktu pembentukan
hidrokarbon. Dengan menggunakan aplikasi Kinex, model kinetis pembentukan
hidrokarbon setiap interval dapat dilakukan. Dari simulasi ini akan dapat
diperkirakan jenis hidrokarbon dan pada temperatur berapa hidrokarbon tersebut
terbentuk serta terekspulsi.

Peta struktur kedalaman yang sudah dihasilkan sebelumnya kemudian


diintegrasikan dengan properti batuan induk dalam aplikasi Trinity. Dari integrasi
tersebut akan diperoleh maturity maps, migration modelling, dan expelled HC
volume.

III.4 Prosedur Penelitian (Flowchart)


Seperti disebutkan sebelumnya basin modelling adalah suatu analisa
merekonstruksi evolusi geologi, sehingga pemodelan yang dihasilkan akan
membantu untuk memahami evolusi yang terjadi dalam cekungan termasuk evolusi
petroleum system dari waktu ke waktu. Untuk membangun model digunakan data
jenis dan properti batuan, TOC, vitrinite reflectance, suhu/ regional heat flow, dan
data seismik sehingga diperoleh peta struktur yang nantinya digunakan untuk
membangun model migrasi dan akumulasi hidrokarbon.

Secara umum, alur kerja penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan daerah penelitian.
2. Melakukan pengolahan data sumur berupa evaluasi stratigrafi berdasarkan log
dan laporan biostratigrafi untuk memperoleh jenis dan persentase litologi dalam
setiap lapisan/ formasi, kedalaman, ketebalan, dan umur lapisan/ formasi.
3. Melakukan identifikasi dan evaluasi batuan induk berdasarkan data geokimia,
sehingga diperoleh kuantitas, kualitas, dan kematangan batuan induk.

32
4. Pengolahan data sesimik dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan
pengikatan data sumur dengan data seismik, kemudian dilanjutkan dengan
picking top lapisan batuan induk, struktur, dan mapping.
5. Integrasi hasil pengolahan data sumur dan seismik menjadi dasar dalam
melakukan basin modelling.
6. Burial dan thermal history dapat dibangun di lokasi sumur atau dengan memilih
suatu lokasi tertentu yang cukup dalam di area penelitian sebagai pseudo well.
Pseudo well ini disusun berdasarkan data kedalaman dari seismik, dan model
stratigrafi dari sumur yang telah dievaluasi sebelumnya.
7. Dalam pembuatan burial dan thermal history salah satu yang penting dilakukan
adalah kalibrasi vitrinit reflektansi, suhu dan heat flow.
8. Hasil akhir dari basin modelling adalah peta kematangan, model migrasi, serta
volume hidrokarbon (minyak dan/ atau gas) yang terekspulsi dari batuan induk.
9. Selanjutnya dilakukan pembahasan mengenai hasil pemodelan tersebut yang
kemudian ditutup dengan kesimpulan.

33
34
Gambar 3.2 Flowchart prosedur penelitian
III.5 Jadwal Penelitian
Penelitian dimulai dengan pengumpulan data berupa tulisan-tulisan yang
terkait dengan daerah penelitian, data sumur, serta data seismik yang dilakukan
pada bulan Juni 2016. Kemudian dilakukan studi pustaka selama 1 bulan untuk
lebih memahami kondisi area penelitian. Pengolahan data untuk analisa dan
interpretasi mulai dilakukan sejak Juli 2016 selama 4 bulan. Paralel dengan
pengolahan data, penulisan tesis juga dilakukan sekitar 5 bulan. Selama pengolahan
data dan penulisan tesis tersebut, penulis berkonsultasi dengan pembimbing.
Kolokium dan ujian tesis dilaksanakan antara Februari hingga Maret 2017 sebagai
akhir dari penelitian.

Tabel 3.2 Jadwal penelitian

2016 2017
No Kegiatan
Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb
1 Pengumpulan Data
2 Studi Pustaka
3 Analisa dan Interpretasi
4 Penulisan Tesis
5 Konsultasi
6 Kolokium/ Ujian Tesis

35
IV. PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

IV.1 Identifikasi Batuan Induk


Proses identifikasi batuan induk dilakukan terhadap empat sumur yang
tersedia, yaitu sumur Sapunang-1, Tunan Utara-1, Maruat-1, dan SIS-A#1.
Keempat sumur tersebut menembus sedimen berumur Miosen, di mana secara
regional serpih berumur Miosen merupakan batuan induk penghasil hidrokarbon di
Cekungan Kutai. Sumur Sapunang-1 dan Maruat-1 bahkan menembus hingga
Oligosen yang juga berpotensi menjadi batuan induk. Data geokimia yang diperoleh
adalah data hasil pirolisis batuan induk (Rock-Eval), data kandungan material
organik (TOC), dan data reflektansi vitrinit (Ro). Namun tidak semua data-data
tersebut dimiliki secara lengkap oleh setiap sumur. Sedimen berumur Miosen yang
berpotensi menjadi batuan induk secara lebih detail dibedakan menjadi Miosen
Awal (Formasi Pulaubalang), Miosen Tengah (Formasi Gelingseh), dan Miosen
Akhir (Formasi Klandasan). Sedimen berumur Oligosen diwakili oleh Formasi
Pamaluan.

Formasi Pulaubalang ditembus oleh sumur Tunan Utara-1 dan Maruat-1.


Data log dan mudlog dari kedua sumur tersebut menunjukkan bahwa Formasi
Pulaubalang tersusun dominan oleh serpih dan batulanau, serta sejumlah kecil
batupasir dan batugamping. Ketebalan serpih bervariasi antara 800 – 1500ft.
Berdasarkan data analisis biostratigrafi, di sumur Tunan Utara-1 ditemukan
Lepidocyclina dan Amphistegina (biostratigraphy report of Tunan Utara-1, 1981),
sedangkan di sumur Maruat-1 ditemukan foraminifera bentonik Cyclammina
cancellata, Sphaeroidina bulloides, dan Pullenia bulliodes yang mengindikasikan
sedimen pada interval ini diendapkan pada zona inner neritic – outer neritic dan
ada juga yang diendapkan hingga upper bathyal, dengan lingkungan pengendapan
delta front – marine (final report of Maruat-1, 1972). Secara umum serpih yang
diendapkan pada lingkungan ini termasuk dalam kerogen tipe II (oil & gas prone)
dan tipe III (gas prone).

36
Formasi Gelingseh tersusun oleh serpih, batulanau, batupasir, batugamping,
dan sejumlah kecil batubara/ lignit. Jenis batuan penyusun yang dominan berbeda-
beda di setiap sumur, begitu juga dengan ketebalannya. Di sumur Sapunang-1 dan
Tunan Utara-1 yang terletak di bagian barat laut daerah penelitian, litologi
penyusun yang dominan adalah serpih. Sumur Maruat-1 yang terletak di atas
paternoster didominasi oleh batugamping, sedangkan sumur SIS-A#1 yang terletak
semakin ke arah timur didominasi oleh batupasir dan serpih. Secara umum Formasi
Gelingseh menebal ke arah timur, dengan ketebalan serpih bervariasi antara 250 –
2700ft. Data analisis biostratigrafi menunjukkan bahwa sedimen Formasi
Gelingseh diendapkan pada zona inner neritic – outer neritic, dengan lingkungan
pengendapan delta front – marine. Hal ini ditandai dengan ditemukannya fosil
foraminifera bentonik seperti Amphistegina, Cyclammina cancellata, Robulus
nikobarensis, Sphaeroidina bulloides, dan Orbulina (final report of Maruat-1,
1972; biostratigraphy report of Tunan Utara-1, 1981; biostratigraphy report of SIS-
A#1, 2015). Serpih yang diendapkan pada lingkungan ini termasuk dalam kerogen
tipe II (oil & gas prone) dan tipe III (gas prone).

Sedimen Formasi Klandasan merupakan sedimen paling muda yang masih


mempunyai potensi menjadi batuan induk. Formasi klandasan umumnya dominan
tersusun oleh serpih, serta batulanau, batupasir, batugamping, dan batubara/ lignit.
Ketebalan serpih bervariasi antara 100 – 2100ft. Fosil-fosil foraminifera bentonik
yang ditemukan pada interval ini antara lain Elphidium crispum, Arenorbulina, dan
Pseudorotalia yang mengindikasikan Formasi Klandasan diendapkan pada zona
transisi – middle neritic (final report of Maruat-1, 1972; biostratigraphy report of
Tunan Utara-1, 1981; biostratigraphy report of Sapunang-1, 1981), kecuali di
bagian timur seperti sumur SIS-A#1, sebagian sedimen tersebut diendapkan hingga
outer neritic bahkan upper bathyal ditandai dengan kehadiran Chilostomella
oolina, Gyroidina soldanii, dan Cyclammina cancellata (biostratigraphy report of
SIS-A#1, 2015). Berdasarkan lingkungan pengendapannya serpih dalam formasi
ini termasuk kerogen tipe II (oil & gas prone) dan tipe III (gas prone). Namun
mengingat daerah penelitian berada di tepian cekungan, kemungkinan serpih dalam
Formasi Klandasan belum matang sehingga tidak menjadi fokus pada penelitian ini.

37
SIS-A#1 Tunan Utara-1 Sapunang-1

A B C

Miosen Akhir ~ Fm Klandasan

Miosen Tengah ~ Fm Gelingseh

Miosen Akhir ~ Fm P. Balang

Oligosen Akhir ~ Fm Pamaluan

Gambar 4.1 Contoh data log dan interpretasi litologi pada sumur: A. SIS-A#1 (Miosen
Akhir), B. Tunan Utara-1 (Miosen Tengah), dan C. Sapunang-1 (Miosen Awal)

Sedimen berumur Oligosen Akhir dalam Formasi Pamaluan merupakan


sedimen tertua yang ditembus oleh sumur-sumur di daerah penelitian. Formasi ini
dominan tersusun oleh serpih, serta sejumlah kecil batulanau, batupasir, dan
batugamping. Berdasarkan sumur Sapunang-1 dan Maruat-1, ketebalan serpih
bervariasi antara 150 – 1400ft. Data analisis biostratigrafi menunjukkan bahwa
sedimen Formasi Pamaluan diendapkan pada zona outer neritic – bathyal, dengan

38
lingkungan pengendapan shelf – slope. Hal ini ditandai dengan ditemukannya fosil
foraminifera bentonik seperti Cyclammina cancellata, Bathysiphon, dan
Sphaeroidina bulloides (final report of Maruat-1, 1972; biostratigraphy report of
Sapunang-1, 1981). Serpih yang diendapkan pada lingkungan ini termasuk dalam
kerogen tipe II (oil & gas prone).

Gambar 4.1 adalah contoh log dan interpretasi litologi pada beberapa sumur
di lokasi penelitian. Pada gambar tersebut terlihat terdapat serpih yang tebal di
interval berumur Miosen Akhir, Miosen Tengah, Miosen Awal, dan Oligosen Akhir
yang menjadi indikasi awal bahwa interval-interval tersebut berpotensi menjadi
batuan induk di daerah penelitian.

IV.1.1 Analisis Kuantitas Material Organik


Peters dan Cassa tahun 1994 membuat suatu klasifikasi untuk
mengelompokkan potensi batuan induk berdasarkan nilai TOC. Klasifikasi tersebut
membagi batuan induk menjadi 5 kelompok, mulai dari batuan induk berpotensi
rendah (poor) dengan nilai TOC kurang dari 0,5% hingga batuan induk berpotensi
paling baik (excellent) dengan nilai TOC lebih dari 4%. Skala nilai tersebut
digunakan untuk mengidentifikasi serta menganalisis kuantitas material organik
batuan induk di daerah penelitian.

Analisis kuantitas material organik dilakukan dengan cara membuat kurva


TOC terhadap kedalaman pada setiap interval batuan yang berpotensi menjadi
batuan induk yang telah diidentifikasi sebelumnya. Analisis ini dilakukan terhadap
empat sumur yaitu Sapunang-1, Tunan Utara-1, Maruat-1, dan SIS-A#1 dengan
hasil sebagai berikut:
1. Sedimen berumur Miosen Akhir dalam Formasi Klandasan berada pada
kedalaman 3.050 – 6.850 ft dengan nilai TOC berkisar antara 0,2 – 9,3 %. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa sedimen dalam interval ini mempunyai potensi
rendah hingga paling baik menjadi batuan induk. Nilai TOC rendah berasal dari
sumur Sapunang-1.

39
2. Sedimen berumur Miosen Tengah dalam Formasi Gelingseh berada pada
kedalaman 3.850 – 9.500 ft dengan nilai TOC berkisar antara 0,2 – 6 %. Kisaran
nilai TOC ini menunjukkan bahwa sedimen dalam Formasi Gelingseh
mempunyai potensi rendah hingga paling baik menjadi batuan induk. Seluruh
TOC yang berasal dari sumur Sapunang-1 mempunyai nilai kurang dari 0,5 %.

Gambar 4.2 Plot nilai TOC terhadap kedalaman pada beberapa sumur di blok “ENERGI”

3. Sedimen berumur Miosen Awal dalam Formasi Pulaubalang berada pada


kedalaman 5.650 – 9.300 ft dengan nilai TOC berkisar antara 0,2 – 17,8 %. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa sedimen dalam formasi Pulaubalang mempunyai
potensi rendah hingga paling baik menjadi batuan induk. Terdapat enam nilai
TOC yang kurang dari 0,5 % dan semuanya berasal dari sumur Sapunang-1.

40
4. Sedimen berumur Oligosen Akhir dalam Formasi Pamaluan berada pada
kedalaman 9.200 – 11.300 ft dengan nilai TOC berkisar antara 0,6 – 12,7 %.
Kisaran nilai TOC tersebut menunjukkan bahwa interval ini mempunyai potensi
cukup hingga paling baik menjadi batuan induk.

IV.1.2 Analisis Kualitas Material Organik


Kerogen adalah material organik dalam batuan yang tidak terlarut oleh
pelarut basa, asam, maupun organik nonoksidan yang bila mengalami pemanasan
dapat menghasilkan minyak dan/ atau gas. Jenis material organik yang berbeda
akan membentuk tipe kerogen yang berbeda pula. Tipe kerogen dari suatu batuan
dapat diketahui dengan melakukan analisis kualitas material organik. Hasil analisis
tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi jenis hidrokarbon yang
dihasilkan oleh suatu batuan induk.

Kerogen dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) tipe berdasarkan


perbandingan antara atom H/C dan O/C, indeks hidrogen dan Tmaks, dan bisa juga
berdasarkan material organiknya (kelompok maseral). Data analisis geokimia yang
tersedia untuk penelitian ini tidak lengkap. Hanya data indeks hidrogen dan Tmaks
yang cukup representatif dan dimiliki oleh empat sumur sehingga analisis kualitas
material organik dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data indeks
hidrogen dan Tmaks, mengacu pada metode Espitalie (1985). Analisis ini dilakukan
dengan cara membuat kurva Tmaks terhadap indeks hidrogen.

Total terdapat 199 sampel yang mempunyai data indeks hidrogen dan
Tmaks dari empat sumur di daerah penelitian. Sampel ini mencakup keempat
interval sedimen yang berpotensi menjadi batuan induk, berumur Oligosen akhir
hingga Miosen akhir. Nilai indeks hidrogen berkisar antara 25 mg/g hingga 480
mg/g sedangkan nilai Tmaks sekitar 403oC – 451oC.

41
Gambar 4.3 Plot nilai Tmaks terhadap indeks hidrogen

IV.1.3 Analisis Kematangan Material Organik


Analisis kematangan material organik dilakukan untuk mengetahui jendela
kematangan pembentukan hidrokarbon dari suatu batuan induk. Kematangan
material organik ini dapat ditentukan oleh reflektansi vitrinit (Ro) dan Tmaks
(Peters dan Cassa, 1994). Parameter tersebut diplot terhadap kedalaman untuk
memperoleh kedalaman jendela kematangan kerogen pembentukan hidrokarbon.

Analisis kematangan material organik berdasarkan reflektansi vitrinit (Ro)


merupakan analisis kematangan berdasarkan ukuran kemampuan kerogen untuk
memantulkan cahaya, khususnya dari vitrinit. Reflektansi ini terjadi akibat adanya
perubahan fisik kerogen yang mengalami peningkatan suhu sehingga nilai pantulan
akan semakin tinggi. Menurut Peters dan Cassa, ketika mencapai katagenesis
kerogen akan semakin memantulkan cahaya dan dengan nilai Ro 0,6 – 1,3%,
kerogen telah memasuki jendela kematangan dan mulai menghasilkan hidrokarbon.

42
Terdapat 70 sampel analisis reflektansi vitrinit dari empat sumur di daerah
penelitian dengan nilai terendah 0,2% dan nilai tertinggi 0,64%.

Selain menggunakan data reflektansi vitrinit (Ro), analisis kematangan pada


penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan data Tmaks. Tmaks merupakan
suhu maksimum pada saat pembentukan hidrokarbon berdasarkan hasil pirolisis
Rock-Eval. Menurut Peters dan Cassa kematangan kerogen tercapai ketika suhu
Tmaks melebihi 435 oC, sementara akhir kematangan tercapai pada suhu >470 oC.
Dari total 199 sampel terdapat beberapa sampel yang mempunyai nilai Tmax tidak
sesuai pola umum, misalnya sampel dari sumur Maruat pada kedalaman 6.857 ft,
8.563 ft dan 9.810 ft dengan nilai Tmax masing-masing 404oC, 403oC dan 406oC.
Kemungkinan ini terjadi karena sampel cutting yang diukur merupakan caving dari
batuan di atasnya.

Gambar 4.4 Plot nilai Ro dan Tmaks terhadap kedalaman

43
Hasil analisis kematangan material organik seperti terlihat pada gambar 4.4
mengindikasikan bahwa awal jendela kematangan batuan induk (Ro 0,6% ~ Tmaks
435oC) di daerah penelitian terjadi pada kedalaman sekitar 9.250 ft, sedangkan
puncak jendela kematangan (Ro 0,9% ~ Tmaks 450 oC) tercapai pada kedalaman
sekitar 15.700 ft.

IV.2 Burial dan Thermal History


Burial history merupakan rekonstruksi sejarah pengendapan/ penguburan
formasi batuan yang berisi informasi jenis batuan, kedalaman, ketebalan, dan umur.
Thermal history digunakan untuk memperkirakan sejarah temperatur dari formasi
batuan dalam burial history, sehingga dapat diprediksi tingkat kematangan batuan
induk di dalamnya. Thermal history model dihasilkan dari kalibrasi data temperatur
dan vitrinit reflektansi dari sumur yang tersedia. Pemodelan thermal history ini
dipengaruhi oleh beberapa parameter, yaitu temperatur permukaan, heat flow, dan
model thermal.

Lokasi
Penelitian

0 1000

Gambar 4.5 Peta heat flow Asia Tenggara (Pollack et al., 1993)

Panas dalam cekungan sedimen dapat berpindah melalui proses konduksi,


konveksi, dan radiasi (Beardsmore and Cull, 2001). Nilai heat flow yang digunakan
mengacu pada peta heat flow Asia Tenggara (Pollack et al., 1993) seperti terlihat

44
pada gambar 4.5 dan selanjutnya dilakukan trial and error terhadap model kurva
temperatur dan vitrinit reflektansi. Temperatur permukaan yang digunakan sesuai
dengan pengukuran pada saat pengeboran sumur. Dengan mengkombinasikan
antara burial history dengan data temperatur dan reflektansi vitrinit, maka akan
dihasilkan model yang dapat memperkirakan waktu pembentukan minyak dan gas.

Pemodelan burial dan thermal history dilakukan di tiga lokasi, yaitu di


lokasi sumur Maruat-1, SIS-A#1, serta satu pseudo well yang mewakili lokasi local
kitchen di daerah penelitian. Dalam membangun pemodelan ini data yang
digunakan adalah jenis batuan, kedalaman, ketebalan, umur, serta geokimia batuan
induk. Faktor erosi tidak dimasukkan dalam pemodelan karena dari data
biostratigrafi sumur yang tersedia tidak terlihat adanya loncatan umur. Begitu juga
dengan nilai Ro, tidak ada anomali/ perubahan yang signifikan dari pola umum.
Berdasarkan hal tersebut kalaupun pernah terjadi erosi, kemungkin batuan yang
tererosi hanya tipis dan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pemodelan.

Maruat-1 SIS-A#1
Pseudo Well
SIS-A#1 Deep

0km 10km

Gambar 4.6 Lokasi sumur pemodelan, Maruat-1, SIS-A#1, dan Pseudo Well SIS-A#1 Deep

45
IV.2.1 Pemodelan Maruat-1
Tabel berikut merupakan data input yang digunakan untuk membangun
model stratigrafi sumur Maruat-1. Data ini diperoleh dari final well report, mudlog,
serta analisa biostratigrafi.

Tabel 4.1 Data stratigrafi untuk pemodelan sumur Maruat-1

Fm. Name Top (ft) Age (my) Type Lithology %


sandstone 32%, limestone 5%,
Younger 0 0 N
shale 33%, silt 30%
sandstone 32%, limestone 5%,
Early Pliocene 1804 3.4 N
shale 33%, silt 30%
sandstone 12%, limestone 38%,
Upper Late Miocene 2789 5.2 N
shale 24%, silt 26%
sandstone 33%, limestone 8%,
Lower Late Miocene 3346 7.2 N
shale 28%, silt 21,coal 9%
sandstone 5%, limestone 76%,
Upper Middle Miocene 4134 10.5 N
shale 7%, silt 5%,coal 7%
sandstone 5%, limestone 73%,
Lower Middle Miocene 4577 13.5 N
shale 15%, silt 7%
sandstone 9%, limestone 5%,
Upper Early Miocene 5905 17 N
shale 48%, silt 38%
sandstone 12%, limestone 2%,
Late Oligocene 9186 25.2 N
shale 67%, silt 19%
Base Late Oligocene 11230 28 N
* N: normal formation

Data stratigrafi tersebut kemudian dikombinasikan dengan data geokimia


berupa hasil rock-eval, TOC, serta tipe kerogen (organofasies) sesuai dengan hasil
evaluasi batuan induk sebelumnya. Aplikasi Genesis secara lebih rinci
menyediakan jenis lingkungan pengendapan batuan induk sesuai dengan
organofasies.

Gambar 4.7 merupakan hasil model stratigrafi sumur Maruat-1. Model ini
terdiri dari batuan sedimen berumur holosen (younger) hingga Oligosen Akhir. Dari
gambar tersebut terlihat pada interval Miosen Awal hingga Oligosen Akhir terdapat
shale tebal yang dapat berpotensi menjadi batuan induk, dengan rata-rata nilai HI
149 mg/g dan TOC 2,9% untuk interval Miosen Awal serta HI 140 mg/g dan TOC
2,2% untuk interval Oligosen Akhir. Evaluasi batuan induk yang dilakukan
sebelumnya menunjukkan kedua interval tersebut mempunyai kerogen tipe III.

46
Kerogen tipe III biasanya terdapat pada batuan sedimen yang diendapkan di
lingkungan pengendapan transisi dan delta. Laporan biostratigrafi sumur Maruat-1
menyebutkan bahwa umumnya sedimen berumur Miosen Awal pada sumur
tersebut diendapkan pada zona inner neritic – outer neritic, dengan lingkungan
pengendapan delta front – marine (Maruat-1 final report, 1972). Dalam aplikasi
Genesis kedua interval ini digolongkan dalam organofasies D/E, dengan
lingkungan pengendapan delta plain/ front coals and shales gas prone.

Gambar 4.7 Model stratigrafi sumur Maruat-1, disertai contoh parameter batuan induk
interval Oligo Akhir (HI 140 mg/g; TOC 2.2%; delta plain/ front coals and shales gas prone)

47
Vitrinit reflektansi dan temperatur merupakan dua faktor yang digunakan
untuk mengkalibrasi burial dan thermal history. Data pengukuran vitrinit
reflektansi dan temperatur di sumur Maruat-1 disajikan dalam tabel 4.1. Kedua
faktor tersebut diplot terhadap kedalaman untuk kemudian dimodelkan.
Berdasarkan peta heat flow Asia Tenggara (Pollack et al., 1993) present day heat
flow di bagian selatan Cekungan Kutai berkisar antara 60 – 80 mw/m2 sehingga
nilai ini dipakai dalam pemodelan.

Tabel 4.2 Data pengukuran vitrinit reflektansi dan temperatur sumur Maruat-1

Depth (ft) VR (%) error +- Depth (ft) Temp (°C) error +-


3527 0.37 0.02 234,7 21 3
3642 0.3 0.02 3566 49 3
3855 0.37 0.02 3769 51 3
4446 0.33 0.02 3878 51 3
4702 0.36 0.02 3976 52 3
6135 0.47 0.02 4032 52 3
6792 0.48 0.02 6095 67 3
7448 0.44 0.02 6715 71 3
7907 0.5 0.02
8252 0.55 0.02
8908 0.56 0.02
9351 0.53 0.02
9876 0.58 0.02
10516 0.58 0.02

Ketika melakukan pemodelan vitrinit reflektansi dan temperatur dengan heat flow
60-80 mw/m2, ternyata kurva temperatur yang dihasilkan jauh menyimpang (lebih
tinggi dari hasil pengukuran). Setelah beberapa kali simulasi kemudian diperoleh
model vitrinit reflektansi dan temperatur yang mendekati hasil pengukuran dengan
heat flow 51 mw/m2, tetapi tidak ideal karena kurva temperatur masih tetap lebih
tinggi dari hasil pengukuran. Gambar 4.8 menunjukkan pemodelan yang dihasilkan.

48
Gambar 4.8 Plot data pengukuran vitrinit reflektansi dan temperatur dengan kedalaman,
serta garis kurva sebagai hasil pemodelan sumur Maruat-1

Gambar 4.9 Burial history sumur Maruat-1

49
Dengan menggunakan parameter-parameter tersebut, maka dihasilkan
model burial dan thermal history yang menunjukkan bahwa pada sumur Maruat-1
dengan TD 11.230 ft, jendela kematangan minyak dengan Ro ~ 0,6% berada pada
kedalaman 10.400 ft, sedangkan gas belum matang di lokasi ini.

IV.2.2 Pemodelan SIS-A#1


Tabel berikut merupakan data input yang digunakan untuk membangun
model stratigrafi sumur SIS-A#1. Data ini diperoleh dari final well report, mudlog,
serta analisa biostratigrafi.
Tabel 4.3 Data stratigrafi untuk pemodelan sumur SIS-A#1

Fm. Name Top (ft) Age (my) Type Lithology %


sandstone 10%, limestone 30%,
Younger 0 0 N
shale 50%, silt 8%, coal 2%
limestone 85%, shale 10%, silt
Early Pliocene 2152 3.4 N
5%
limestone 85%, shale 10%, silt
Upper Late Miocene 2514 5.2 N
5%
sandstone 18%, limestone 12%,
Lower Late Miocene 3422 7.2 N
shale 55%, silt 15%
sandstone 44%, limestone 8%,
Upper Middle Miocene 7047 10.5 N
shale 32%, silt 15%, coal 1%
sandstone 47%, limestone 6%,
Lower Middle Miocene 9300 13.5 N
shale 20%, silt 27%
Base Middle Miocene 9505 15.97 N
* N: normal formation

Dengan menggunakan data stratigrafi pada tabel 4.3 dihasilkan model


stratigrafi sumur SIS-A#1 seperti pada gambar 4.10. Model stratigrafi tersebut juga
dibangun dengan memasukkan data-data geokimia dengan rata-rata nilai HI 157
mg/g dan TOC 1,5% untuk interval Miosen Akhir serta HI 240 mg/g dan TOC 1,9%
untuk interval Miosen Tengah. Berdasarkan identifikasi batuan induk pada bab
sebelumnya, diketahui bahwa interval potensial batuan induk berumur Miosen
Akhir dan Miosen Tengah di sumur SIS-A#1 didominasi kerogen tipe III, dengan
sedikit kerogen tipe II. Dalam laporan biostratigrafi sumur SIS-A#1 disebutkan
bahwa kedua interval tersebut diendapkan dalam lingkungan pengendapan delta

50
front – marine. Kedua interval ini digolongkan dalam organofasies D/E, dengan
lingkungan pengendapan delta plain/ front coals and shales gas prone.

Gambar 4.10 Model stratigrafi sumur SIS-A#1, disertai contoh parameter batuan induk
interval Miosen Tengah (HI 240 mg/g; TOC 1.9%; delta plain/front coals and shales gas prone)

Data pengukuran vitrinit reflektansi dan temperatur di sumur SIS-A#1


disajikan dalam tabel 4.4. Peta heat flow Asia Tenggara (Pollack et al., 1993)
present day heat flow dengan nilai 60-80 mw/m2 tetap digunakan sebagai input heat
flow dalam pemodelan ini.

51
Tabel 4.4 Data pengukuran vitrinit reflektansi dan temperatur sumur SIS-A#1

Depth (ft) VR (%) error +- Depth (ft) Temp (°C) error +-


5700 0.35 0.02 274 23 3
5800 0.35 0.02 4181.8 66 3
5890 0.36 0.02 4200 67 3
5940 0.37 0.02 4310 68 3
7270 0.42 0.02 5878.9 96 3
7300 0.39 0.02 6764.9 98 3
7520 0.43 0.02 6842.8 99 3
7955 0.45 0.02 6933.9 99 3
8030 0.45 0.02 7044.3 99 3
8540 0.53 0.02 7151.7 92 3
9300 0.53 0.02 7545.7 95 3
9420 0.54 0.02 7820.5 99 3
9500 0.55 0.02 8111.4 101 3
8256.4 102 3
8354.4 103 3
8547.4 104 3
8549.4 105 3

Gambar 4.11 Plot data pengukuran vitrinit reflektansi dan temperatur dengan
kedalaman, serta garis kurva sebagai hasil pemodelan sumur SIS-A#1

52
Sama seperti di sumur Maruat-1, pemodelan dengan heat flow 60-80 mw/m2
menghasilkan model kurva temperatur yang berbeda (lebih tinggi) dari data
temperatur hasil pengukuran. Melalui proses trial and error kemudian diperoleh
model vitrinit reflektansi dan temperatur yang sangat mirip dengan hasil
pengukuran (gambar 4.11). Nilai heat flow yang digunakan pada pemodelan ini
adalah 53 mw/m2.

Model burial dan thermal history di sumur SIS-A#1 ditunjukkan oleh


gambar 4.13. Hasil pemodelan tersebut menunjukkan di sumur SIS-A#1 dengan TD
9.505 ft pada batuan induk berumur Miosen Tengah belum mencapai jendela
kematangan. Jendela kematangan minyak dengan Ro ~ 0,6% diprediksi berada pada
kedalaman 10.300 ft, sekitar 800 ft lebih dalam dari TD sumur SIS-A#1.

Gambar 4.12 Burial history sumur SIS-A#1

IV.2.3 Pemodelan SIS-A#1 Deep (Pseudo Well-1)


Sumur SIS-A#1 dibor dengan kedalaman TD 9.505 ft pada sedimen
berumur Miosen Tengah. Secara seismik terlihat terdapat sedimen yang tebal dan

53
dalam di bawah TD sumur SIS-A#1. Karena itu pada sumur SIS-A#1 dilakukan
proyeksi lebih dalam yang dinamai pseudo well SIS-A#1 Deep.

Top Late Miocene

Top Mid Miocene

Top Early Miocene

Top Late Oligocene

Gambar 4.13 Seismik inline NW – SE melalui sumur SIS-A#1

Tabel 4.5 Data stratigrafi untuk pemodelan pseudo well SIS-A#1 deep

Fm. Name Top (ft) Age (my) Type Lithology %


sandstone 10%, limestone 30%,
Younger 0 0 N
shale 50%, silt 8%, coal 2%
limestone 85%, shale 10%, silt
Early Pliocene 2152 3.4 N
5%
limestone 85%, shale 10%, silt
Upper Late Miocene 2514 5.2 N
5%
sandstone 18%, limestone 12%,
Lower Late Miocene 3422 7.2 N
shale 55%, silt 15%
sandstone 44%, limestone 8%,
Upper Middle Miocene 7047 11.8 N
shale 32%, silt 15%, coal 1%
sandstone 47%, limestone 6%,
Lower Middle Miocene 9300 13.5 N
shale 20%, silt 27%
sandstone 30%, limestone 5%,
Upper Early Miocene 12004 15.5 N
shale 45%, silt 20%
sandstone 10%, limestone 3%,
Late Oligocene 16988 25.2 N
shale 65%, silt 22%
Base Late Oligocene 21500 28 N
* N: normal formation

54
Dalam pseudo well ini data stratigrafi untuk interval Oligosen Akhir dan
Miosen Awal disesuaikan dengan data stratigrafi sumur-sumur sekitar yang
menembus interval tersebut. Data stratigrafi untuk pemodelan SIS-A#1 deep dapat
dilihat pada tabel 4.5.

Data pengukuran vitrinit reflektansi dan temperatur yang digunakan sama


dengan data di sumur SIS-A#1, kemudian dengan parameter yang sama dimodelkan
hingga mencapai interval Oligosen Akhir. Hasil pemodelan burial dan thermal
history menunjukkan bahwa pada pseudo well SIS-A#1 deep, jendela kematangan
minyak dengan Ro ~ 0,6% berada pada kedalaman 10.250 ft, sedangkan jendela
kematangan gas dengan Ro ~ 0,9% berada pada kedalaman 13.845 ft.

Gambar 4.14 Burial history pseudo well SIS-A#1 deep

IV.3 Pembentukan dan Migrasi Hidrokarbon


Keberadaan hidrokarbon dalam suatu perangkap dapat memberikan
informasi mengenai proses pembentukan, ekspulsi, migrasi, dan akumulasi
hidrokarbon (Karlsen dan Skeie, 2006). Informasi mengenai waktu pembentukan
hidrokarbon tersebut merupakan salah satu yang paling penting karena dua alasan.

55
Pertama, jalur migrasi bisa sangat bervariasi akibat pengaruh kompaksi, diagenesa,
sementasi, rekahan, dan konfigurasi struktur yang terjadi belakangan. Kedua, jika
pembentukan hidrokarbon terjadi belakangan, maka hanya ada sedikit waktu untuk
terjadinya biodegrasi, rekahan, kebocoran seal, dan proses destruktif lainnya yang
akan merusak atau memodifikasi akumulasi hidrokarbon (Waples, 1994).

IV.3.1 Model Kinetis Batuan Induk


Pemodelan burial dan thermal history menunjukkan bahwa batuan berumur
Oligosen Akhir hingga Miosen Tengah telah mencapai jendela kematangan. Ketiga
interval tersebut umumnya mempunyai kerogen tipe III dan digolongkan dalam
organofasies D/E. Model kinetik yang digunakan adalah model Pepper dan Corvi
(1995) di mana pembentukan gas berasal langsung dari kerogen. Berdasarkan
informasi tersebut dapat dibuat simulasi pada temperatur berapa hidrokarbon
terbentuk dan terekspulsi serta berapa besar volumenya.

Simulasi dilakukan untuk Pseudo Well SIS-A#1 Deep. Parameter yang


dibutuhkan dalam simulasi ini antara lain HI, TOC, ketebalan, dan tipe kerogen
(organofasies) setiap interval batuan induk seperti disajikan dalam tabel di bawah.

Tabel 4.6 Paramater batuan induk sebagai input model kinetis

HI TOC Ketebalan
Interval Organofasies
(mg/g) (%) (ft)
Miosen Tengah 240 1,87 825 D/E
Miosen Awal 149 2,93 1300 D/E
Oligosen Akhir 140 2,18 1150 D/E

Gambar 4.15 merupakan salah satu window dalam aplikasi Kinex yang
menunjukkan hasil input parameter pada tabel 4.6 yang secara berurutan dari atas
ke bawah interval Miosen Tengah, Miosen Awal, dan Oligosen Akhir.

56
Gambar 4.15 Parameter batuan induk Pseudo Well SIS-A#1 Deep

Hasil simulasi menunjukkan bahwa batuan induk di area penelitian mampu


menghasilkan minyak dan gas. Minyak umumnya berasal dari batuan induk
berumur Miosen Tengah yang mempunyai nilai HI relatif lebih tinggi dibandingkan
dua interval lainnya. Pada gambar 4.16 terlihat minyak sudah mulai terbentuk pada
temperatur di bawah 50oC dalam jumlah yang sangat kecil, namun saat temperatur
mencapai 100oC pembentukan minyak meningkat secara signifikan. Minyak yang
dihasilkan mulai terekspulsi pada temperatur 141oC. Batuan induk mampu
mengekspulsi minyak sebesar 3,1 mmbo/km2.

Gas mulai terbentuk pada temperatur 125oC dan kemudian mulai terekspulsi
saat temperatur mencapai 144oC. Total gas yang dapat terekspulsi dari batuan induk
adalah sebesar 420 bcf/km2.

57
Gambar 4.16 HC generation/ expulsion vs temperature

IV.3.2 Peta Kematangan Batuan Induk


Peta kematangan batuan induk dibuat untuk mengetahui di mana area yang
sudah mengahsilkan minyak dan gas serta mana yang belum. Seperti diketahui
kematangan batuan induk dapat dilihat berdasarkan nilai vitrinit reflektansi dan
temperatur yang mana kedua hal tersebut berkaitan dengan kedalaman. Karena itu
peta kematangan dibuat berdasarkan kerangka peta struktur kedalaman. Dalam
pemodelan ini nilai Ro 0,6% dan temperatur 100oC digunakan sebagai parameter
jendela kematangan minyak serta Ro 0,9% dan temperatur 125oC sebagai parameter
jendela kematangan gas sesuai dengan hasil pemodelan kinetis pada sub bab
sebelumnya.

Peta kematangan dibuat dalam dua kurun waktu, yaitu pada saat ini dan pada
8 juta tahun yang lalu sebagai periode pembentukan perangkap hidrokarbon, di

58
mana pembentukan perangkap terjadi pada periode Miosen Tengah hingga Plio-

9840
Pleistosen (Satyana, 1999) akibat inversi Cekungan Kutai. Berikut adalah peta
kematangan dari tiap interval batuan induk.
9830

A B 60

45 0
55

4
0.28

50
60

55
0.32 65

N
65
0.3

0.3

65
0.3

55
60 65 SR-Res 11.8 Ma PSDM (A).dat STS
0.2

50
45
30 50

40
SR-Res 11.8 Ma PSDM (A).dat ARCO Vitrinite Ro(%) 8 Ma
60
8

80 100 120 140 160 180 200 220 240


0.28

0.2

40
60
0.3

55
50 3 65
0.2

8 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 55 5


2
8

0.28 0.3 60
0.3 70 3000 ft
4 3000 ft 45

45
45
ilubis Dec 16 2016

55
ilubis Dec 16 2016

55

40
0.2

40
0.3

0.32
8

50
45

55 50
0.28
0.28

65

60
55

40
0.3
0.2

40
50 65

50
8

60
40
60
60 50

45
0.3
0.2

60
55
8

60
0.2 55

50

55

60

60
8
0.3

0.28

65

60
9820

0.3 45

50
60 60
0.
0.2 28

60

60
8 60
45 60
0.2

45
45 55
8
0.28

55

55
45
0.28

55

45

60
0.28

8 0.2

45
60
0.2

0.2

60
8

55
55
8

0.28 50
0.28

55
35
0.28

55
45
35

55
45 50

45

505
45

5
55

55

45

55

50
50
50
0.3 45
45

45
50

55
45

40
60
0.28

50
50
0.2
8 50
55

50

55

40
45
0.2
9810

45
40
9840

50

45
45

35

40
30
40

35
Area belum matang Area belum matang 45

40
Area pembentukan minyak Area pembentukan minyak

40
35
9800
9830

C D
0.45
0.4
5

90
10

90
0.5 0.5

0 95

90
5

105
0.6

0.5 95
95

N
0.6

0.5

N
11
5

95

0.5
0.7

11
0.5

0.6
SR-Res 11.8 Ma PSDM (A).dat ARCO Vitrinite Ro(%) 0 Ma 95 5 SR-Res 11.8 Ma PSDM (A).dat STS
0.45

80
85
0.4

0.7 0 0.5 1 1.5 2 10 80 100 120 140 160 180 200 220 240
0.5

95 5
90

0.5 0.6
0.55

100
5

5
95
90

0.5 3000 ft 10 11 3000 ft


11

5 0 5
0.5
0
0.6

ilubis Dec 16 2016 105 ilubis Dec 16 2016


90
100
0.35

105

10

0.5
11
0.6

5
0.4

95

5
80
0.4

70

0.6
10

0.65
0.6
0.5

0.55

110
5

85
0.6

90
0.6

10

95

11
0.6
5

105
0

0
10
9790

70

0
0.6

10
0.5
0.3

0.55
10

100
5
5

10
105
5

105
5

85
90 105
0.45
9820

0.6
0.4

10
0.6

105
5

0.6 0.5
5
105

0.4
0.6

75
0.5

10

10
5

10

5
0

0
0.55

70

10
5
100

75
10
0.6

80
0.6

70

5
0.35

0.5
5 100
10
100
5
75
10
5

90 10
5
0.5

480 500 480 520 500 540 10 520 560


10

0
5

95

95
0.5

0.55 100
90

10
85 95 0
0.6
0.5

90

0.5 95
0.6
85
0.3
5

10

80
5

0.5
5
10
0
90
0.4
5
0.5

85

95

85
0.5
9810

95
0.55

10
0
85

95

0.4 0.4
5
0.5
0.4

80

90
0.4

80
0.4

90
5

85
85
0.4

Area belum matang 0.5


Area belum matang 95
90

75

Area pembentukan minyak Area pembentukan minyak


80
9800

Gambar 4.17 Peta kematangan batuan induk Miosen Tengah pada 8 juta tahun yang lalu
berdasarkan vitrinit reflektansi (A), dan temperatur (B), serta pada saat ini berdasarkan
vitrinit reflektansi (C), dan temperatur (D)
9790

480 500 520 540 560


480 500 520

59
9840
9830
80
0.4

A B

80
0.4
5

0.35

7075
0.4

80
85 60

65
0.3

0.45

85

90
N

0.3
N
0.4 80

85
0.40.4

0.35
SR 15.5 Ma PSDM (A).dat STS

75
70
0.3
0.4
SR 15.5 Ma PSDM (A).dat ARCO Vitrinite Ro(%) 8 Ma

80
80 100 120 140 160 180 200 220 240

5
5
5

70
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
75

85

75
85
75

65
0.4 85

90
0.3

85
0.3 5 0.3 3000 ft
5 3000 ft

75
5 5

75

95
90
0.4

80
75

70
0.5
ilubis Dec 16 2016
0.4 0.4 ilubis Dec 16 2016

90
85
5

70
80

70
80
75
75

0.4
0.4
80

0.35

80
0.5

95

95
0.3

0.5
0.35

75

70
5

80
0.4
85 95

0.3
0.5
80

5
0.4

85
90
0.4

85
0.4 95

75
90

0.5
5

0.45
0.3 0.4 80 85

90
5
65
9820

0.4

90
0.45
0.3

85
70
0.3

90
5
5 70
5

65
0.3 90
70 85

70
0.45
0.45 70

0.45
70 60

65

70
0.4
0.3

0.4

90

90

80
65

65
0.45

65
0.4 85
80

65
0.3

90
70

90

75
5
75 80

0.45

85
65
0.5

75
75
95

85
75

85
70

70

85
70

80
0.3

0.4

0.3
5

80
5

65
75

55
70
0.4

80
0.3

85
5 60

0.35
75

75
80

0.4
0.4 85

0.35
5

0.3
75 70

75
70
0.3

75
0.35
5
75

70

0.35

75

70
65 65

0.3
70
9810

0.3
65

80
0.4
9840

0.3
0.4 0.4 80

60
55
0.4

75

0.35
70

55

0.3 65

60
55
50
0.3

Area belum matang


5

Area belum matang 75

70

45
Area pembentukan minyak Area pembentukan minyak
9800
9830

C 0.6
D 105

115
0.7 0.6 110

115
11
5 5
0.7
0.7

0.7

N N
0.7

0.75

120
0.6 SR 15.5 Ma PSDM (A).dat ARCO Vitrinite Ro(%) 0 Ma 5 11 SR 15.5 Ma PSDM (A).dat STS
0.7 5 0.8 11 5 5
12 12 80 100 120 140 160 180 200 220 240
5

0 0.5 1 1.5 2
0.6

0.7 0

0
0.7

10

12
5
11

125
5
0.8

0.7 3000 ft

11
3000 ft 12
0.6

0.9

5
12 0

12
12
11
0.8 75
5

5 0.9

0
0.
0.75 5

5
ilubis Dec 16 2016

0
0

13 0
13
ilubis Dec 16 2016
12

5
0.8
0.6

5
0.7

0.75 120
5

0.95 135
0.7

0.7

12
0.6
5

95
0.9

13
13
0
0.8 8

11
10

11
5

5
0.

5
5

12
0.65

13
0.75

0.85

12
0
0.65 0.8 0

0
90

5 0.9 110

11
0.7
0.8

12

5
0.8

125
11

5
13
0

12
0.9
0.5

10
9790

5
0.5

0.8

5
12
0.7 0.85
0
5

13
0.6 10
5 120

0
0.6
0.8

0.5
0.8
9820

0.8

5
0.8

12
90

5
5

125
0.8

100

115
0.7

95

10 5
0.8

0.5 5 12 12
0.7

5
12
0
95

12
5

0.8

5
0.8
0.5

125
95

0.45 0.5
0.75

0.5
0.5 0.75 120
0.8

125
0.5

12
0.6
5

5
12
0.5

120
0.5

0
95
0.8

0.7

12
5

0.7 0.7

130

0
1
5

5 11 20
51
0.8

15
0.7

0.75

0
12
115
95

480 500 520 540 560

120
480 500 520
0.5
0.7

5
0.6

0.6 10 11

11
5 5 0
105
0.6

11
5
0.65

110
0.7
0.7

11
0.65

0.5 0.6 120

0
10
5 0

12
0
0.7

11
105

5
0.65 0.65
110
105
0.6
9810

11

0.6
5
0.7

120
0.6

0.6

10
95

5
0.5

90
0.6

11
5

0
0.5

10
0.6

0
5

10 05
0.6

1
0

Area belum matang Area belum matang


0.5

100
0.5

95

11

Area pembentukan minyak


5 0.6

Area pembentukan minyak


0
5

11
5

Area pembentukan gas Area pembentukan gas


85
0.4
5
9800

Gambar 4.18 Peta kematangan batuan induk Miosen Awal pada 8 juta tahun yang lalu
berdasarkan vitrinit reflektansi (A), dan temperatur (B), serta pada saat ini berdasarkan
vitrinit reflektansi (C), dan temperatur (D)
9790

480 500 480 520 500 540 520 560

60
9840
9830
A B
0
17

1.6

0
17
1.6
1.6

1.4
170

160

15
1.4 1.2

0
N N
0
1.4 16

1.4
SR Oligocene PSDM (A).dat ARCO Vitrinite Ro(%) 8 Ma 0 SR Oligocene PSDM (A).dat STS
16

160
1.4 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 80 100 120 140 160 180 200 220 240
1.6
170
3000 ft 3000 ft
1.2 1.2
1.8 ilubis Dec 16 2016 ilubis Dec 16 2016
150

1.2
18

150
0

1.2
1.2

16
1.4

17
1

0
1.2

150
15
1.6 14 17
1 0 0 17
0
1
1.2
9820

15
0

1.6
1 1.8 150
1
1

1.2
2 14
1 0 140

1.4

16
15

0
1.2
2

18

150
14

130

0
1

140
1
14
1 0

1.2
1 130 140

150
0
1.4 13
0

1
0.8 13
0.8

12
13 0
14 0
0
1.2 15
0
1 14 140 140
1 1 0 140
1 130
9810

0.8
0.8

14
120

0
120 120
1
9840

12
0
11
0
0.8

110
0.6
13
0
0.6

100 100 12
11 0
0.8 0
90 10
0

0.6

Area belum matang Area belum matang

10
0

11
0.6

0.6

0
90
90
0.4

80 0
10
Area pembentukan minyak

11
Area pembentukan minyak

0
0.6

70
0.4

80
10
900
Area pembentukan gas Area pembentukan gas
9800
9830

C D
2

1.8 18
0
2
2

N N
2

SR Oligocene PSDM (A).dat ARCO Vitrinite Ro(%) 0 Ma


190 SR Oligocene PSDM (A).dat STS
2 2.2

180
2.4 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 80 100 120 140 160 180 200 220 240
2

20
0
18

180
0

3000 ft 180 3000 ft

18
2.6 ilubis Dec 16 2016 ilubis Dec 16 2016

0
1.8
1.8

180
1.8

2.8
17

20
0

0
1.8
1.6

1.8
2.4
0
1.6

17
170
1.6

1.8
2

180
9790

1.8
1.4

2.4

160

200
2

2.4
9820

20
0
17
1.6 0
1.8

16

180
0
2.8
2.2
2

2.6

1.4
2.2

21
1.8

190
1.6

2
1.2

150
1.4

2.2

1.6
16
0 190

170
1.6

17
1.6

0
480 500 480 520 500 540 520 560
15
1.2

1.6 17
1.4 0
0
16
1.8

2
16
1.4

0
1.2

1.6 17
0 180
1.8

16
0
1.2
1.6

17
0

1.4 150 160


1.2 1.4 1.4
9810

1.2 15
1.6 0 17
14 0
1 0
15 14
0 0
1

15
0
13
0

1.4
1.2

16
0
130
1 140
0.8
0.8

0.8
12
0

Area belum matang Area belum matang


1

13

14
0

0
12
13
0
0
12 13
0.8 1

14
0 0

Area pembentukan minyak


0.6

Area pembentukan minyak


0

11
0
130
0.8

12
110
0
100

Area pembentukan gas Area pembentukan gas


9800

Gambar 4.19 Peta kematangan batuan induk Oligocene Akhir pada 8 juta tahun
yang lalu berdasarkan vitrinit reflektansi (A), dan temperatur (B), serta pada saat ini
berdasarkan vitrinit reflektansi (C), dan temperatur (D)
9790

IV.3.3 Peta Ekspulsi Batuan Induk


480 500 520 540 560
480 500 520

Peta ekspulsi batuan induk dibuat untuk mengetahui area mana yang dapat
mengekspulsi minyak atau gas dan berapa besar volume yang terekspulsi.
Pemodelan ekspulsi ini dilakukan terhadap ketiga interval batuan induk yang pada
bab sebelumnya diketahui sudah mampu menghasilkan minyak dan gas. Parameter
yang digunakan sesuai dengan properti masing-masing batuan induk.

61
9840
9830
60 0
11

50
A B

60

110

10
50
40

90
0
60

30

11
50

0
40

40

20
10
N
40
N

0
10
20
10 20 110

20
SR Oligocene PSDM (A).dat Gas Expelled (bcf/km2) 8 Ma SR Oligocene PSDM (A).dat Gas Expelled (bcf/km2) 0 Ma
40

30
30 0 20 40 60 80 100 120 0 20 40 60 80 100 120

30
50 10

20
40 60 0 100

13
60 90

0
10 10 80 90 3000 ft

70
3000 ft
20 20
90
ilubis Dec 16 2016 70 ilubis Dec 16 2016
80

90
10

100
10 80

20
90

90
90
50

90
10

80
60
20
30

80
60

90
20

60

10

70
40
50

100
20
60 10

70

130
0

80
10
10

60
20
70
9820

10

60
80

120
60 80

10
50 12
0

13
30

90

0
100
20
50 80

50
80

10

12
40

30
80

90

20

0
30
30

50

110
10

10

100
120
40
10
50
12

50
10
60 70 0

0
60
70

60
60
50
40 50

40

10
40

0
20

10
10
30 20

60
10

11
20

0
10
50

60 90
60 70 50 40

30

20
80 80
80

40
20 40

30
50
20
10 40 40 50
40
9810

30
10

60
10

50
10
40

30
20
9800

Gambar 4.20 Peta ekspulsi batuan induk Oligocene Akhir pada 8 juta tahun yang
lalu (A), dan saat ini (B)

Hasil pemodelan menunjukkan bahwa minyak dan gas yang dihasilkan oleh
9790

batuan induk berumur Miosen Tengah dan Miosen Awal belum terekspulsi. Hanya
480
batuan induk berumur Oligosen Akhir yang sudah mampu mengekspulsi
500 480 520 500 540 520 560

hidrokarbon berupa gas. Peta ekspulsi gas batuan induk Oligosen Akhir ini dapat
dilihat gambar 4.20.

IV.3.4 Peta Migrasi Batuan Induk


Tujuan pembuatan peta migrasi adalah untuk memodelkan jalur migrasi
hidrokarbon serta mengidentifikasi perangkap dan volume hidrokarbon yang
mungkin terakumulasi di dalamnya. Input yang dibutuhkan dalam pemodelan
migrasi ini adalah peta struktur reservoir dan peta ekspulsi batuan induk serta
asumsi migration loss dan sealing capacity.

Target utama reservoir di daerah penelitian adalah batupasir berumur


Miosen Tengah dan Miosen Akhir sehingga migrasi hidrokarbon yang dimodelkan
adalah migrasi hidrokarbon pada kedua interval tersebut dengan menggunakan peta
ekspulsi batuan induk Oligosen Akhir sebagai sumber hidrokarbon. Dari hasil
pemodelan terlihat gas yang terekspulsi dari batuan induk bermigrasi dan
terakumulasi dalam perangkap-perangkap seperti terlihat pada gambar berikut.

62
37
50
40
00

42
50

7500
4500
47
50

50

50
525

55
00

00
0

00
6762750
5
50560
7750

75 00 60
5
N

00 0
40 42

47

0
0050

50

70 65
62

00 0062

70
50

72

00
Res 8.95 Ma PSDM (A).dat

50
50
4000 5000 6000 7000 8000

50 3000 ft
00 6500
67707

75
5 ilubis Dec 20 2016
57 650002050

00
00
50 70

675
0
62 67

625

65

60
0
50 50 67

00

00
50

650
67
0

50
40

45

67 6750

600

62
00

00

50

50
70
00 6750
00
70

50
6000
45

62
00

500
7000
40

725

77
6500

0
00 6750 67

50
50

0
425 65
0 00

6750
60

6250

62
00
45

50

75
42

50
00

62

00
00
50

75
65

50
4750

00 75

00
60
00

55

00
00
45
52 0
600

5750
00
50 77

62
50
5760

50
47 00
50 50

77 75
60
60
42

45

50 00
650

00
00 550
50

00
52 0
50
45
00 57

0
50

8000
50 6500
00 62
50
57
50 6000

47

5750
50

77
50 6000

50
72
00

50
00 550
55 0 75
00
67

70
50

00
5250
65
00
5250

57
50

60
00
5500
50
00 67

62
52 50

50
50

5500

60
00
Migration path 55
00

Gas accumulation 60 62
50

65
00

00
62 500 750
6 6
50
57
50
00
65

6500

55
00
Gambar 4.21 Peta migrasi hidrokarbon pada reservoir Miosen Akhir 6750 50

52
00

50
700
0
70

725
7500
00

47
0 725

50
0
85872875

00 0
9800705000
9250

7275000
0 50 0
00

75 77
50 82 5250
50
10
95 8

10

00
00 00

0
25

N
7700

95 SR-Res 11.8 Ma PSDM (A).dat


65
72

0
750

00 10
675

850 8250
62

800

50
00
50

92
0

0 5000 6000 7000 8000 9000 10000


50
00 6000

9500
0

00
97
8750

75
50

00
0
72

80
57

75
10 925
50

00 00 9 3000 ft
50

87 50
00 0
90

50 0 10
0

25
00

82 0
7250 50 ilubis Dec 16 2016
9250

85
1025

00
87
60

50

70 90
00

10

00 00
0

0
00

92
92 750

00
9550

72 50
97

10750
0
8

50
00

50

9 9
62 25
950

50 0
85
47

9000
0
85
50

00
50

7500 8750
00
00

52

80
8500 00 90
50

92
9000

00
50

7 87
67 725500 50
50 0
8500
82

70
850

875

92
50

00 50 92 92
85 50 50
0

00
0

95
875

65
00
55

00
50
00

92
9000
57

92
8500

8750
52

60 5
50

50

57
8750
50

8500
00 75

55 50 87
47

00 50
50

950

82
0
50

50 9000 95
0
00
5250

62

00
50

900

87
9000

50

92
0

57 50
55
8000

50
00 8250
50 8000
00 72
50
77

65
50
50

00
92

50 9000
00 8250 8500
9500
8500
85
700

8250
00
67

72 800
50 0
50

7750 750

90

77
7

00

6750 50
7500

75

92

65 75
00

50

00 00
87
62 50
50 70
00 85
72 00
50
82
50
80 67
00 50
67

82
50

50
80

60
00

480 500 00 520


77 62
50 85 50
00
67
65

50
00

80
75 50

62
72

00
00

50

62
Migration path
70

50
77
00

50

5
60 750
00
75
00

62
Gas accumulation 6 6 50
7075050 65
00
00 0
72

67
50

50

72
50
60

75
00
00

Gambar 4.22 Peta migrasi hidrokarbon pada reservoir Miosen Tengah


77
50

57

625
50

55
00

IV.4 Volume Hidrokarbon


Pada sub bab sebelumnya diketahui bahwa dari ketiga interval batuan induk
yang sudah menghasilkan minyak dan atau gas hanya batuan induk Oligosen Akhir

63
yang mampu mengekspulsi gas. Karena itu volume hidrokarbon yang akan dihitung
hanya batuan induk Oligosen Akhir dengan jenis hidrokarbon berupa gas. Dalam
penelitian ini akan dilakukan dua jenis perhitungan, yaitu yang pertama
menggunakan software Trinity dan kedua menggunakan formula dengan metode
Lewis untuk free gas dan adaptasi perhitungan volume CBM untuk adsorb gas.

Berdasarkan peta struktur kedalaman dan peta ekspulsi gas dapat


diperkirakan luas area penyuplai gas yang areanya dibatasi sesuai dengan data yang
ada. Total luas area penyuplai gas tersebut sekitar 31 km2 seperti terlihat pada
gambar 4.23. Dengan menggunakan software Trinity serta memasukkan input
berupa peta struktur kedalaman, peta ekspulsi, dan poligon area penyuplai gas
interval Oligosen Akhir maka diperoleh total gas yang terekspulsi adalah sebesar
2268 bcf (2,3 tcf). Gas mulai terekspulsi sejak 11 juta tahun yang lalu dari area
terdalam di bagian Utara daerah penelitian.

0
00
19
0
50
19
19500
0
50

19
00
19

0
0
19

50
50

19
0

19000

0
19500

50
0 2000500
19 20 SR Oligocene PSDM (A).dat
0
00 0
21 150 000 12000 16000 20000 24000
19 2 22
00
0

0
00

1900
0 3000 ft
19

1900 22
0 5
17 23 00
50 00 ilubis Dec 16 2016
0

0 0
1900

18500 23
50
0
18500
17
00
0

19
18 00
18500

0
1950

22

50
0
00

00
170
0
0
16

19

220
00

215
50

1800
0

21
00

0
0

00

50
17

18
00

00
0

0
21000

22
1900

50
18
50

0
0
0

1950

18500 23
16 50
50 0
0

210
50

0 24000
0
16

15
15

1900
50
15

50
20500
50

00

00
18

23

0
0

00
0

18
0

00
17000

20000

1950

0
2150
1750

0
0

21
00
0

17500

0
17500

20500
17500

1700
0
00

140
1950
14

17
200

00 0
1650
15 0

50
50

0
00

0 00
155
0

00
16
20000

0
15000 1900
17
17

00
50

0
0

16
17

00 16 15
00

14

0 00 50
0

0
00
17

19000
16

1800 0 18
0
00

50

0 50
0
0

18500
1500 16
0 50
1515 0
0050
14 0
0 16500
1600 1650 17000
50 0 0 0
14000 14
5
13500 13 14000 150 17
50 00 00 50
0 1400 0
13 0
17

50 1 15
00

13
14 450 000
13

0
14

00
0
00

00 0 0 13
00

0
12

0 50
0
50

0
14
13
0

12 12 16
15
00
00

00 50
16

50
50
0
0

0 0 0
00

14
0

12500 00
00

13050
130

0
11500
11000
15 500

11
11

14
00

112 50
00

20500
0

12 000
11

50
12 0
50

13 11
00 00
0

0 00 0
0 1000 10
50
0 0
1111125
13
50000

90
95

00
00

00
00
12
1100

8500
5000

Area ekspulsi/ penyuplai gas (31 km2)

Gambar 4.23 Area ekspulsi/ penyuplai gas dari batuan induk Oligosen Akhir

64
1000

2500
Oil Charge (mmstb)
Gas Charge (bcf)
Source: Late Oligocene (23.03) SIS-A#1

2000
800

Fetch area: 31.11 km2


Oil expelled 0.00 mmstb
Gas expelled: 2268.89 bcf

Charge Volumes (STP)


Migration loss 31 mmboe

1500
600
GOR (scf/bbl)

eq 8%, 1.00 mmboe/km2


Available since 8.00 my ---
Oil charge: 0.00 mmstb
Gas charge: 1727.30 bcf

1000
400
200

500
0

0
Miocene Pliocene Quaternary

20 16 12 8 4 0
Time in my

Gambar 4.24 Charge volume history batuan induk Oligosen Akhir

Selanjutnya dilakukan perhitungan volume hidrokarbon free gas dan adsorb


gas. Untuk menghitung volume gas tersebut dibutuhkan beberapa parameter, yaitu
porositas, saturasi air, densitas batuan induk, serta formation volume factor dan
initial gas concentration/ gas content. Nilai porositas, saturasi air dan densitas
batuan induk diperoleh berdasarkan analisis petrofisik dengan menggunakan log
gamma ray, resistivitas, densitas, dan neutron. Dari keempat sumur yang tersedia
sumur Maruat-1 dan Sapunang-1 dibor hingga interval Oligosen Akhir. Namun dari
kedua sumur tersebut analisis petrofisik hanya bisa dilakukan terhadap sumur
Sapunang-1 karena data log sumur Maruat-1 pada interval Oligosen Akhir tidak
lengkap. Hasil analisis petrofisik tersebut disajikan dalam tabel 4.7 (Saka, 2016).

Nilai initial gas concentration/ gas content biasanya diperoleh berdasarkan


analisis laboratorium. Namun data analisis laboratorium untuk gas content tidak
tersedia sehingga perkiraan nilai adsorb gas dalam penelitian ini dilakukan
berdasarkan analogi terhadap adsorb gas shale formation di US, yaitu Barnet shale
dan Woodford shale. Nilai adsorb gas dipengaruhi oleh nilai TOC dan kedalaman
batuan induk. Semakin tinggi nilai TOC dan semakin dalam batuan induk maka
nilai adsorb gas juga akan semakin besar.

65
Gambar 4.25 Hubungan nilai TOC terhadap pressure dan adsorb gas Barnet dan Woodford
shale sebagai analogi nilai adsorb gas dalam batuan induk di daerah penelitian (NSAI, 2012)

Interval Oligosen Akhir pada sumur Sapunang-1 berada pada kedalaman


sekitar 9.300 – 9.565 ft (TD) dengan pressure sekitar 4500 – 4800 psi. Berdasarkan
gambar 4.25 pada pressure sekitar 4500 – 5000 psi, 1% TOC mengandung adsorb
gas content sekitar 20 – 25 scf/ ton. Nilai rata-rata TOC pada interval Oligosen
Akhir pada sumur Sapunang-1 sebesar 0,83%, sehingga adsorb gas pada interval
ini sekitar 13,6 – 24,5 scf/ ton. Free gas diperoleh dengan menggunakan input data
pada tabel 4.7 ke dalam formula Lewis (gambar 2.3). Hasilnya adalah sebesar 38,7
– 275,5 scf/ ton. Volume gas yang terdapat dalam batuan induk Oligosen Akhir
merupakan penjumlahan free gas dan adsorb gas yaitu sebesar 52,3 – 300 scf/ ton,
atau sebanding dengan 44,2 – 253,7 bcf/ km2 dengan rata-rata 81 bcf/ km2.

Menurut Cooles (1985) batuan induk dengan nilai TOC > 1,5% dapat
menghasilkan hidrokarbon dengan nilai efisiensi ekspulsi sebesar 60-90%. Nilai
efisiensi ekspulsi batuan induk Oligosen Akhir akan lebih rendah dari 60% karena
rata-rata TOC nya hanya sebesar 0,83%. Dengan asumsi nilai efisiensi ekspulsi
sebesar 45%, maka dengan luas area penyuplai gas 31 km2 total gas yang terekspulsi
adalah sebesar 2062 bcf (2,1 tcf).

66
Tabel 4.7 Data hasil analisis petrofisik serta perhitungan volume free gas dan adsorb gas
batuan induk Oligosen Akhir

Parameter Satuan Min Ml Max


Porositas % 0.1 0.15 0.28
Saturasi Air % 0.70 0.85 0.90
3
Densitas g/cm 1.70 2.05 2.30
1/Bg scf/rcf 205 220 235
Ave TOC % 0.68 0.83 0.98
Free Gas scf/ton 38.7 77.5 275.5
Adsorb Gas scf/ton 13.6 18.7 24.5

67
V. PEMBAHASAN

V.1 Potensi Batuan Induk


Penelitian basin modelling ini dilakukan dengan menggunakan data 4 sumur
dan data seismik 3D PSDM. Sebelum melakukan basin modelling, terlebih dahulu
dilakukan identifikasi dan evaluasi batuan induk untuk mengetahui potensi batuan
induk yang terdapat di daerah penelitian. Identifikasi yang dilakukan menunjukkan
di daerah penelitian terdapat empat interval berumur Oligosen Akhir hingga Miosen
Akhir yang mempunyai potensi untuk menjadi batuan induk. Bila dibandingkan
dengan batuan induk secara regional, interval Oligosen Akhir merupakan potensi
batuan induk tambahan yang terdapat di daerah penelitian. Interval ini jarang
ditemui sebagai batuan induk di Cekungan Kutai karena berada sangat dalam dan
hanya sedikit sumur yang mencapainya sehingga walaupun mempunyai potensi
sebagai batuan induk umumnya sudah dalam kondisi overmature. Evaluasi batuan
induk dilakukan terhadap keempat interval batuan yang sudah teridentifikasi
sebelumnya meliputi evaluasi kuantitas material organik, kualitas/ tipe material
organik, dan kematangan material organik.

Dalam mengidentifikasi batuan induk hal pertama yang dilakukan adalah


analisis kuantitas material organik dalam batuan induk. Analisis ini dilakukan untuk
mengetahui nilai kekayaan dari suatu batuan induk yang dinyatakan sebagai Total
Organic Carbon (TOC). Nilai TOC mewakili jumlah karbon organik yang terdapat
di dalam batuan yang dinyatakan dengan satuan persen berat dari batuan. Hasil
analisis kuantitas material organik seperti terlihat pada Gambar 4.2 menunjukkan
bahwa semua interval sedimen berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Akhir
mempunyai potensi menjadi batuan induk, dengan rata-rata nilai kekayaan material
organik berpotensi cukup – sangat baik, berdasarkan klasifikasi Peter dan Cassa
(1994). Dari keempat sumur yang dianalisa hanya sumur Sapunang-1 yang
mempunyai nilai TOC rendah atau kurang dari 0,5%, kecuali untuk sedimen
berumur Oligosen Akhir.

68
Kualitas material organik juga mempengaruhi besar kecilnya potensi batuan
sedimen sebagai batuan induk. Kualitas ini diwakili oleh jenis material organik
(maseral) yang terkandung dalam batuan tersebut. Jenis material organik
dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan dari organisme asalnya. Material
organik dalam batuan sedimen akan mengalami reaksi kimia dan membentuk
kerogen. Hasil plot nilai Tmaks terhadap indeks hidrogen (Espitalie, 1985)
menunjukkan bahwa keempat interval sedimen mempunyai kerogen tipe II dan tipe
III, dengan dominasi kerogen tipe III (gas prone). Hal ini sesuai dengan interpretasi
sebelumnya pada bab IV.1, di mana berdasarkan lingkungan pengendapannya tipe
kerogen yang akan diperoleh adalah tipe II dan tipe III.

Namun khusus untuk interval sedimen berumur Oligosen Akhir, tipe


kerogen hasil analisis kualitas material organik berbeda dengan tipe kerogen
berdasarkan data biostratigrafi lingkungan pengendapan. Hasil analisis kualitas
material organik menunjukkan bahwa sedimen berumur Oligosen Akhir
mempunyai kerogen tipe III (gas prone) sedangkan data biostratigrafi menunjukkan
bahwa sedimen berumur Oligosen akhir tersebut berada pada zona outer neritic –
bathyal dengan lingkungan pengendapan shelf – slope, di mana sedimen yang
diendapkan dalam lingkungan ini biasanya cenderung membentuk kerogen tipe II
(oil & gas prone).

Kerogen umumnya terbentuk pada kedalaman yang dangkal. Saat batuan


induk terkubur semakin dalam maka kerogen akan mengalami peningkatan suhu
dan tekanan secara terus-menerus seiring berjalannya waktu. Pada suatu kondisi
tertentu, kerogen tersebut akan mencapai jendela kematangan dan mulai
menghasilkan hidrokarbon. Analisis kematangan material organik dilakukan
berdasarkan nilai Ro dan Tmaks. Hasil analisis yang disajikan pada gambar 4.4
mengindikasikan bahwa awal jendela kematangan batuan induk (Ro 0,6% ~ Tmaks
435 oC) di daerah penelitian terjadi pada kedalaman sekitar 9.250 ft, sedangkan
puncak jendela kematangan (Ro 0,9% ~ Tmaks 450 oC) tercapai pada kedalaman
sekitar 15.700 ft. Dari empat sumur yang dianalisis, bagian bawah/ terdalam dari
sumur Maruat-1 dan Sapunang-1 berpotensi telah berada pada awal jendela

69
kematangan, sedangkan dua sumur lainnya yaitu SIS-A#1 dan Tunan Utara-1 masih
belum matang. Data gradien geotermal di sekitar daerah penelitian berkisar antara
1,4 – 1,6 o
F/100ft. Hasil perhitungan dengan menggunakan data tersebut
menunjukkan awal jendela kematangan berada pada kedalaman 8.500 – 9.100 ft,
dengan nilai temperatur 203 – 212 oF atau setara dengan 95 – 100 oC.

Evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa batuan induk di daerah


penelitian mempunyai potensi yang baik dan mampu menghasilkan hidrokarbon,
khususnya gas.

V.2 Pemodelan Cekungan


Setelah evaluasi batuan induk selesai, penelitian dilanjutkan dengan
pemodelan burial dan thermal history untuk mengetahui tingkat kematangan batuan
induk serta waktu pembentukan hidrokarbon. Dalam pemodelan ini digunakan
steady state heat flow karena fase rifting di Cekungan Kutai berakhir pada Eosen
Tengah sehingga tidak berpengaruh terhadap kondisi heat flow sedimen yang
berumur lebih muda, yang merupakan objek dalam penelitian ini.

Dalam proses pemodelan burial dan thermal history nilai heat flow yang
cocok dengan kalibrasi data pengukuran Ro dan temperatur berkisar antara 51-53
mw/m2. Nilai tersebut lebih rendah dari referensi yang digunakan yaitu 60-80
mw/m2 (Pollack et al., 1993). Hal ini dapat dipahami karena Pollack melakukan
pemetaan heat flow secara regional meliputi Asia Tenggara sehingga mempunyai
tingkat kesalahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengukuran melalui
sumur. Di lokasi sumur SIS-A#1 model vitrinit reflektansi dan temperatur yang
dihasilkan sangat mirip dengan vitrinit reflektansi dan temperatur hasil pengukuran
(gambar 4.11).

Hasil pemodelan burial dan thermal history menunjukkan bahwa di lokasi


sumur Maruat-1 jendela kematangan minyak dengan Ro ~ 0,6% berada pada
kedalaman 10.400 ft, sedangkan gas belum matang di lokasi ini. Dari empat interval
batuan induk hanya batuan induk berumur Oligosen Akhir yang mencapai
kematangan dan mulai menghasilkan minyak sejak Pliosen Awal (3,6 juta tahun

70
yang lalu). Hasil pemodelan sumur SIS-A#1 (gambar 4.12) terlihat bahwa hingga
TD 9.505 ft pada batuan induk berumur Miosen Tengah belum tercapai jendela
kematangan.

Dari identifikasi batuan induk yang telah dilakukan sebelumnya diketahui


bahwa sedimen berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Akhir di area South Sesulu
mempunyai potensi menjadi batuan induk. Ini berarti masih ada potensi batuan
induk berumur Oligosen Akhir dan Miosen Awal yang belum dicapai oleh sumur
SIS-A#1. Data biostratigrafi menunjukkan bahwa sumur SIS-A#1 baru menembus
bagian atas dari Miosen Tengah (SIS-A#1 biostratigraphy report, 2015).

Untuk mendapatkan gambaran kematangan batuan induk secara


menyeluruh, maka dilakukan pemodelan di lokasi yang lebih dalam. Lokasi sumur
SIS-A#1 dapat mewakili salah satu area yang dalam karena sedimen berumur
Miosen Awal dan Oligosen Akhir belum tercapai dan berdasarkan seismik kedua
interval tersebut berada cukup dalam. Hasil pemodelan burial dan thermal history
pseudo well SIS-A#1 deep menunjukkan bahwa batuan induk berumur Oligosen
Akhir hingga Miosen Tengah sudah mencapai kematangan di mana batuan induk
berumur Oligosen Akhir mulai menghasilkan minyak sejak 19,4 juta tahun yang
lalu dan gas sejak 13,4 juta tahun yang lalu (gambar 4.14).

Hasil simulasi model kinetis batuan induk di area penelitian menunjukkan


minyak sudah mulai terbentuk pada temperatur di bawah 50 oC dalam jumlah yang
sangat kecil dan meningkat signifikan saat temperatur mencapai 100 oC. Minyak
tersebut kemudian mulai terekspulsi pada temperatur 141 oC dengan total ekspulsi
sebesar 3,1 mmbo/km2. Gas mulai terbentuk pada temperatur 125 oC dan kemudian
mulai terekspulsi saat temperatur mencapai 144 oC. Total gas yang terekspulsi dari
batuan induk adalah sebesar 420 bcf/km2. Volume minyak yang dihasilkan tidak
besar karena batuan induk di daerah penelitian didominasi oleh kerogen tipe III (gas
prone). Dari ketiga interval batuan induk hanya interval Miosen Tengah yang
mampu menghasilkan minyak karena mempunyai nilai HI lebih tinggi di antara
ketiganya dengan rata-rata nilai HI 240 mg/g.

71
Pemodelan burial dan thermal history serta simulasi model kinetis
menunjukkan bahwa ketiga interval batuan induk sudah mencapai jendela
kematangan dan mampu menghasilkan minyak dan atau gas. Peta kematangan
batuan induk dibuat untuk mengetahui area mana yang sudah mengahasilkan
minyak dan gas serta mana yang belum. Seperti dijelaskan sebelumnya, peta
kematangan dibuat dalam dua kurun waktu, yaitu pada 8 juta tahun yang lalu yang
memberikan gambaran bagaimana penyebaran kematangan batuan induk pada saat
awal terbentuknya perangkap, dan kondisi penyebaran kematangan saat ini.

Pada gambar 4.17 dapat dilihat bahwa 8 juta tahun yang lalu batuan induk
Miosen Tengah belum mencapai jendela kematangan. Namun pada saat ini sudah
menghasilkan minyak dengan nilai maksimal Ro 0,75% dan temperatur 115 oC di
bagian Utara daerah penelitian. Gambar 4.18 A menunjukkan pada 8 juta tahun
yang lalu nilai maksimal Ro batuan induk Miosen Awal hanya 0,55% sehingga
belum mencapai jendela kematangan, dengan nilai maksimal temperatur 97 oC.
Pada saat ini batuan induk Miosen Awal sudah menghasilkan minyak dengan area
yang cukup luas dan juga sudah menghasilkan gas dengan nilai maksimal Ro 0,95%
dan temperatur 135 oC di bagian Utara daerah penelitian.

Berdasarkan model burial dan thermal history pseudo well SIS-A#1 deep
batuan induk Oligosen Akhir mulai menghasilkan minyak sejak 19,4 juta tahun
yang lalu dan gas sejak 13,4 juta tahun yang lalu. Sesuai dengan model tersebut
terlihat pada gambar 4.19 A dan B bahwa pada 8 juta tahun yang lalu batuan induk
Oligosen Akhir sudah menghasilkan gas meliputi 75% area penelitian, sedangkan
pada saat ini hampir 90% area penelitian berada pada area pembentukan gas. Di
bagian Utara penelitian bahkan kemungkinan batuan induk sudah berada pada
kondisi terlalu matang (overmature) dengan nilai Ro mencapai 2,8% dan
temperatur 210 oC.

Dari peta kematangan batuan induk dapat dilihat penyebaran batuan induk
secara lateral. Selanjutnya yang lebih penting untuk diketahui adalah apakah ketiga
interval batuan induk tersebut sudah mengekspulsi minyak dan gas yang dihasilkan
atau belum. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa minyak dan gas yang dihasilkan

72
oleh batuan induk berumur Miosen Tengah dan Miosen Awal belum terekspulsi.
Hal ini diakibatkan karena kedua interval tersebut belum mencapai temperatur yang
dibutuhkan agar minyak dan gas dapat terekspulsi, sesuai dengan hasil pemodelan
kinetis yaitu 141 oC untuk minyak dan 144 oC untuk gas. Batuan induk berumur
Oligosen Akhir secara temperatur sudah mampu mengekspulsi minyak dan gas.
Namun hasil pemodelan ekspulsi menunjukkan bahwa ternyata batuan induk
Oligosen Akhir tidak dapat mengekspulsi minyak, hal ini disebabkan karena batuan
induk ini mempunyai kerogen tipe III (gas prone) dengan rata-rata nilai HI 140
mg/g sehingga tidak dapat atau hanya menghasilkan minyak dalam jumlah kecil.

V.3 Potensi Minyak dan Gas


Berdasarkan analisis dan pemodelan batuan induk yang telah dilakukan
diketahui bahwa jenis hidrokarbon yang dihasilkan dari ketiga batuan induk di
daerah penelitian umumnya adalah gas. Minyak hanya dihasilkan oleh batuan induk
Miosen Tengah tetapi belum dapat terekspulsi sehingga target eksplorasi di daerah
penelitian hanya berupa gas. Namun masih ada kemungkinan kecil ditemukan
minyak apabila minyak yang berasal dari batuan induk Miosen Tengah di daerah
yang lebih dalam di bagian Utara dapat bermigrasi hingga mencapai daerah
penelitian.

Untuk mengetahui potensi gas yang terdapat di daerah penelitian dilakukan


perhitungan volume gas dalam batun induk Oligosen Akhir. Hasil perhitungan
menunjukkan volume gas yang terdapat dalam batuan induk Oligosen Akhir
sebesar 55,3 – 296,2 scf/ ton atau sebanding dengan 46,7 – 250,5 bcf/ km2 dengan
rata-rata 81 bcf/ km2. Volume ini adalah gas yang saat ini terkandung dalam batuan
induk sehingga dengan asumsi nilai efisiensi ekspulsi sebesar 45%, maka dengan
luas area penyuplai gas 31 km2 total gas yang terekspulsi adalah sebesar 2054 bcf
(2,1 tcf).

Selain itu dilakukan juga perhitungan dengan menggunakan software


Trinity sebagai kelanjutan dari pemodelan cekungan. Gas yang dihasilkan oleh
batuan induk Oligosen Akhir mulai terekspulsi sejak 11 juta tahun yang lalu,

73
dengan total gas yang terekspulsi adalah sebesar 2268 bcf (2,3 tcf). Volume gas
tersebut mirip dengan perhitungan sebelumnya.

Peta model migrasi yang ada menunjukkan gas yang terekspulsi dari local
kitchen kemudian bermigrasi baik secara lateral maupun vertikal melalui patahan.
Sebagai tambahan di bagian Utara juga terlihat pola migrasi hidrokarbon menuju
daerah penelitian yang berasal dari bagian Utara penelitian yang secara regional
semakin dalam (main kitchen Cekungan Kutai). Namun belum diketahui apakah
hidrokarbon tersebut dapat mencapai daerah penelitian, karena walaupun secara
umum diketahui hidrokarbon dapat bermigrasi hingga 30 km tetapi menurut
Paterson (1997) jarak maksimal migrasi hidrokarbon di Mahakam hanya 10 km.
Selain itu di bagian Utara daerah penelitian terdapat banyak lapangan minyak dan
gas sehingga kemungkinan minyak dan gas yang bermigrasi sudah mengisi
perangkap-perangkap tersebut sebelum mencapai daerah penelitian.

Volume gas akan mengalami pengurangan selama proses migrasi hingga


terakumulasi dalam perangkap, karena sebagian akan terus bermigrasi dan bahkan
ada yang mencapai permukaan melalui patahan sesuai dengan kondisi bawah
permukaannya. Jika dalam pemodelan terdapat 6 bcf/km2 (1 mmboe/km2) gas yang
hilang selama migrasi dan perangkap terbentuk sejak 8 juta tahun yang lalu, maka
gas yang dapat terakumulasi dalam perangkap-perangkap hidrokarbon di daerah
penelitian hanya sebesar 1727 bcf atau sekitar 76% dari gas yang terekspulsi dari
batuan induk Oligosen Akhir di daerah penelitian.

74

Anda mungkin juga menyukai