Anda di halaman 1dari 7

KONSELING TRAUMA PASCA BENCANA

Herman Nirwana
Jurusan Bimbingan dan Konseling FIP Universitas Negeri Padang
Korespondensi: Jln. Prof. Dr. Hamka Air Tawar, Padang, Sumatera Barat
e-mail: herman.nirwana@yahoo.com

Abstract

As a country with thousands of islands, geographically Indonesia is very potential


to natural disasters which cause great lost, environmental damage and
psychological effects. Besides, violence, such robbery, rapes, and bombing
frequently took place in Indonesia. It is estimated that 1.50 % of population
suffered from Post Traumatic Stress Disorder (PSTD) due to the violence. Studies
show in America that 15 up to 43 % of females and 14 up to 43 % of males
experience trauma in their lives. Great numbers of individuals suffer from deep
misery, uncertainty and desperation after natural disaster or violence and in turn
leave them in stress, depression and trauma. One of services recommended to help
those people go through with psychological problems is counseling, particularly
relaxation and desensitization techniques.

Kata kunci: trauma, konseling trauma

PENDAHULUAN geologis, hidrologis, dan demografis


yang rawan bencana” (Soemantri, 2012:

K ehidupan yang dijalani individu


penuh dengan stres tingkat ren-
dah di setiap hari, dan kadang-
kadang berhadapan dengan stres yang
lebih serius, misalnya gempa bumi,
1). Dengan demikian, bencana alam
sudah menjadi bagian dalam kehidupan
penduduk Indonesia, karena kejadian
alam di Indonesia hampir setiap hari
terjadi. Sebagai contoh adalah terjadinya
banjir, dan perampokan. Dalam meng- gempa bumi sedikitnya satu kali dalam
hadapi stres tersebut, ada individu yang sehari. Di samping kejadian alam yang
bisa mengatasinya, namun kadang- muncul setiap hari, masih ada kejadian
kadang juga tidak sedikit individu yang alam yang lain seperti tanah longsor,
tidak bisa mengatasinya, sehingga me- angin putting beliung, banjir, dan letusan
nimbulkan masalah bagi individu. Bisa gunung berapi. Bencana alam yang ter-
tidaknya individu mengatasi stres di- jadi senantiasa mengakibatkan hilangnya
tentukan oleh tingkat kepercayaan diri nyawa manusia, kerusakan lingkungan,
dan kemampuan yang dimilikinya kerugian harta benda, dan berdampak
(Weaver, Flannelly, dan Preston, 2003). psikologis. Dari data yang ada disim-
Dengan kata lain, individu yang me- pulkan bahwa: (1) peristiwa bencana
miliki kepercayaan yang tinggi dan me- secara nasional didominasi oleh bencana
miliki kemampuan yang memadai, cen- angin topan, banjir, kebakaran, keke-
derung bisa mengatasi stres yang ringan, dan tanah longsor; dan (2) ba-
dihadapinya. nyaknya korban meninggal didominasi
“Indonesia sebagai negara ke- oleh peristiwa bencana gempa bumi dan
pulauan berada pada posisi geografis, tsunami (Soemantri, 2012).

123
124 Herman Nirwana, Konseling Trauma Paasca Bencana

Bencana alam yang melanda ke- bilitas emosional, dan optimisme untuk
hidupan seperti sunami, gempa bumi, memulai kehidupan baru pasca ke-
dan bajir merubah kehidupan manusia hilangan semua yang berarti dalam
yang damai dan bahagia menjadi hidupnya. Karena itu, bantuan berupa
kehidupan yang sangat menakutkan. layanan konseling trauma merupakan
Akibat peristiwa tersebut, harta benda kebutuhan yang tidak kalah penting
hilang dan lenyap seketika, dan tidak untuk diprioritaskan.
sedikit nyawa manusia melayang. Di Ada dua kondisi psikologis yang
samping itu, peristiwa kekerasan juga sangat berat yang dialami oleh para kor-
sering terjadi dalam kehidupan, seperti ban bencana yang lolos dari maut. Per-
pemboman, pemerkosaan, kecelakaan tama, mereka menanggung beban psiko-
kapal, peperangan, pembajakan pesawat. logis yang tidak ringan karena mereka
Sebanyak 1,50 persen populasi meng- harus hidup dengan trauma kehilangan
alami Post-Traumatic Stress Disorder sanak keluarga dan orang-orang yang
(PTSD) dalam kurun empat tahun karena dicintainya. Kehilangan orang yang
mengalami berbagai peristiwa tersebut sangat berarti dalam hidupnya bisa
(Kinchin, 2007). dirasakan sebagai pukulan psikologis
Hasil penelitian di Amerika mem- yang berat. Tidak semua orang sanggup
perlihatkan 15-43% wanita dan 14-43% mengatasi penderitaan dipisahkan secara
pria mengalami peristiwa trauma selama paksa dari orang-orang yang dicintainya.
kehidupan mereka. Anak-anak dan Di sisi lain, mereka kini juga kehilangan
remaja yang menglami peristiwa trauma, pekerjaan dan akses usaha serta modal
3-15% wanita dan 1-6% pria mengalami untuk melanjutkan hidup.
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Kedua, dalam kondisi yang serba
(National Center for PTSD, dalam sulit itu, mereka harus mampu segera
Nilsson, Gustafsson, dan Svedin, 2010). bangkit dan melakukan penguatan diri
Dari penelitian tersebut terlihat bahwa sendiri, mengambil hikmah dari seluruh
wanita memiliki resiko lebih tinggi musibah itu untuk modal dasar memulai
mengalami PTSD dari pria. Di samping kehidupan baru dari titik nol, bahkan
itu, penelitian di Swedia juga memper- bisa jadi mereka harus memulai dari
lihatkan 15.5-24.5% remaja dilaporkan kondisi minus. Membangun kehidupan
mengalami trauma (Svedin, Nilson, dan yang bermakna, butuh ketegaran jiwa
Lindell, dalam Nilson, Gustafsson, dan dan keyakinan kuat atas kebesaran Allah
Svedin, 2010). dibarengi dengan usaha yang tak kenal
Peristiwa traumatis menyerang lelah.
kehidupan manusia secara tiba-tiba, dan
mengubah kahidupan manusia menjadi
berantakan. Setelah peristiwa tersebut TRAUMA DAN POST TRAUMATIC
sebagian individu tidak yakin untuk bisa STRESS DISORDER
hidup secara baik lagi seperti sebelum Penelitian terbaru mengungkapkan
terkena bencana atau peristiwa traumatis bahwa beragam pengalaman yang di-
(Kinchin, 2007). Dengan kata lain, indi- alami individu bisa menimbulkan
vidu atau selamat banyak yang meng- trauma, seperti penculikan, penyerangan,
alami guncangan berat, stres, depresi, perkosaan, dan menyaksikan pembunuh-
dan trauma setelah bencana. Kondisi ini
an anggota keluarga, atau kematian
menjadi ancaman serius bagi kehidupan.
anggota keluarga dekat. Empat belas
Dan menjadi lebih serius lagi atau
persen (14%) individu mengalami trau-
bahaya bagi anak-anak, pasangan,
kerabat dekat, atau teman-teman lainnya ma setelah ditinggalkan anggota keluar-
(Kinchin, 2007). Mereka membutuhkan ga yang dicintai (Weaver, Flannelly, dan
layanan untuk kesehatan mental, sta- Preston, 2003).
Ta’dib, Volume 15, No. 2 (Desember 2012) 125

Trauma merupakan suatu kejadian derung menimbulkan Post Traumatic


pisik atau emosional serius yang menye- Stress Disorder (PTSD) pada individu
babkan kerusakan substansial terhadap dibandingkan dengan peristiwa berba-
pisik dan psikologis seseorang dalam haya lainnya (Goleman, 1995; Marotta,
rentangan waktu yang relative lama 2000; Garrett, dalam Locke, Myers, dan
(Weaver, Flannelly, dan Preston, 2003). Herr, 2001; Kinchin, 2007). Alasannya,
Sementara trauma psikis dalam psikologi dalam peristiwa tersebut (pemerkosaan
diartikan sebagai kecemasan hebat dan dan perampokan) yang menjadi obyek
mendadak akibat peristiwa dilingkungan kekerasan hanya individu sendiri, se-
seseorang yang melampaui batas ke- mentara pada peristiwa kekerasan lain-
mampuannya untuk bertahan, mengatasi nya (misalnya kebakaran dan gempa
atau menghindar. Di samping itu, trauma bumi) obyeknya banyak orang.
adalah suatu kondisi emosional yang Di samping faktor peristiwa, faktor
berkembang setelah suatu peristiwa lain yang memicu PTSD adalah ketidak-
trauma yang tidak mengenakkan, me- berdayaan individu (Goleman, 1995).
nyedihkan, menakutkan, mencemaskan Misalnya seorang yang diserang dengan
dan menjengkelkan, seperti peristiwa: pisau dan ia tahu dan memiliki ke-
pemerkosaan, peperangan, kekerasan terampilan bagaimana cara bertindak
dalam keluarga, kecelakaan, bencana untuk membela diri, maka ia tidak akan
alam dan peristiwa-peristiwa tertentu trauma; sementara individu lain yang
yang membuat batin tertekan (Lawson, tidak mengetahui cara membela diri akan
2001; Kinchin, 2007). Trauma psikis mengatakan “mati aku”. Orang yang ti-
terjadi ketika seseorang dihadapkan pada dak mengetahui cara membela diri
peristiwa yang menekan yang menye- cenderung lebih mudah terkena PTSD.
babkan rasa tidak berdaya dan dirasakan Berdasarkan penjelasan di atas,
mengancam. Reaksi umum terhadap bisa disimpulkan anak-anak cenderung
kejadian dan pengalaman yang traumatis lebih mudah terkena PTSD dibanding-
adalah berusaha menghilangkannya dari kan orang tua. Hal ini didasarkan pada
kesadaran, namun bayangan kejadian itu kenyataan karena anak-anak kurang
tetap berada dalam memori. memiliki kemampuan dalam mengha-
Peristiwa mengerikan yang dialami dapi bahaya dibandingkan dengan orang
individu menjadi ingatan yang meng- tua. Dengan kata lain, semakin kecil
hiasi jaringan susunan emosi. Gejala umur seseorang cenderung tidak mampu
tersebut merupakan tanda amigdala ter- dia menghadapi bahaya, dan cenderung
lalu banyak tergugah sehingga memaksa semakin besar pula kemungkinannya
ingatan yang hidup akan sesuatu peris- untuk mengalami PTSD.
tiwa terus menerus menerobos ke- Faktor ketiga yang mendorong
sadaran. Setiap peristiwa yang menim- PTSD adalah fear conditioning (peng-
bulkan trauma bisa menanamkan ingat- kondisian rasa takut (Goleman, 1995),
an-ingatan pemicu di amigdala, misal- yaitu pengkondisian sesuatu yang awal-
nya: selamat dari kapal tenggelam, nya sama sekali tidak ditakuti menjadi
pemboman, kebakaran, gempa bumi, sesuatu yang menakutkan bagi individu.
dirampok, diperkosa, dan lain-lain Pengkondisian rasa takut ini dilakukan
(Goleman, 1995; Kinchin, 2007). Di an- oleh orang dewasa kepada anak-anak.
tara semua peristiwa itu, peristiwa se- Misalnya, seorang anak usia dua tahun
perti selamat dari kapal tenggelam, yang takut melihat kucing karena ia
pemerkosaan dan perampokan cen- pernah dicakar oleh kucing. Setelah
126 Herman Nirwana, Konseling Trauma Paasca Bencana

peristiwa tersebut orangtua selalu me- KONSELING TRAUMA


nakut-nakuti anaknya dengan memper- Layanan konseling trauma pada
lihatkan kucing, atau ketika anaknya prinsipnya dibutuhkan oleh semua kor-
mendengar suara kucing. Cara-cara se- ban selamat yang mengalami stres dan
perti itu merupakan pengkondisian rasa depresi berat, baik itu orang tua maupun
takut pada anak, yang pada akhirnya anak-anak. Anak-anak perlu dibantu
anak akan takut mendengarkan suara untuk bisa menatap masa depannya dan
kucing, apalagi melihat kucing. membangun harapan baru dengan kon-
Hampir semua orang yang me- disi yang baru pula. Bagi orang tua,
ngembangkan PTSD dengan emosi yang layanan konseling trauma akan mem-
intens terhadap suatu stimulus yang bantu mereka memahami dan menerima
menyerupai peristiwa traumatis yang kenyataan hidup saat ini; untuk se-
dialaminya. Hal ini kemudian diikuti lanjutnya mampu melupakan semua
dengan intrusion, yaitu keadaan yang tragedi dan memulai kehidupan baru.
ditandai dengan emosi, pikiran, dan Di samping untuk menstabilkan
kenangan yang selalu hidup dalam kondisi emosional, layanan konseling
pikiran seseorang sepanjang hari. Gejala trauma bagi orang tua idealnya juga
ini juga cenderung menimbulkan mimpi memberikan keterampilan yang dapat
buruk, sehingga individu juga takut dijadikan modal awal memulai kehidup-
tidur. Pada akhirnya, kurang tidur akan an baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru
berdampak pada peningkatan emosional sesuai kapasitas yang dimiliki dan daya
yang akan mendorong individu untuk dukung lingkungan. Dengan demikian,
mengonsumsi alkohol, atau bunuh diri. mereka bisa sesegera mungkin menjalani
Gejala lain individu yang mengalami hidup secara mandiri sehingga mereka
trauma berat cenderung menarik diri tidak terus-menerus menyandarkan ke-
dari interaksi sosial. Di samping itu, hidupannya pada orang lain, termasuk
gejala umum individu yang mengalami pada pemerintah. Untuk mencapai efek-
PTSD adalah selalu tegang dan gelisah, tivitas layanan, konseling trauma di-
mudah terkejut, lekas marah, depresi dan lakukan dengan dua format, yaitu format
penyalahgunaan obat, sesekali melukai individual (untuk korban yang tingkat
diri sendiri, halusinasi, susah tidur, pe-
stres dan depresinya berat), dan format
nurunan berat badan, sering sakit kepala, kelompok (untuk individu yang beban
dan gangguan seksual (Weaver, dkk. psikologisnya masih pada derajat se-
2003). dang).
Bila dikaitkan penjelasan sebe- Sebelum pelaksanaan layanan kon-
lumnya dengan pandangan behavioristik,
seling diberikan, langkah pertama adalah
maka perilaku traumatis terbentuk me- menciptakan rasa aman (Weaver, dkk.
lalui pengalaman belajar, terutama fear 2003). Bagi individu yang mengalami
conditioning yang dilakukan oleh ling- trauma, dunia ini dirasa tidak aman dan
kungan. Perilaku individu merupakan nyaman. Oleh sebab itu, mereka memer-
hasil dari pengalamannya (George dan lukan orang lain yang bisa memberikan
Cristiani, 1995; Hock, 1999), dan de- perlindungan dan rasa nyaman pada
ngan demikian perilaku traumatis yang mereka, sehingga mereka merasa tidak
dialami individu merupakan hasil belajar sendirian dalam hidup ini. Penciptaan
atau produk pengalamannya. Oleh sebab rasa aman teresebut bisa dilakukan de-
itu untuk menghilangkan perilaku ngan mengadakan permainan yang bisa
traumatis atau perilaku salah suai lainnya mendorong individu untuk melupakan
juga dihilangkan melalui pengalaman sejenak peristiwa traumatis yang di-
belajar (relearning). alaminya. Bagi individu yang mengalami
Ta’dib, Volume 15, No. 2 (Desember 2012) 127

trauma karena perampokan di tempat mulai dari situasi yang menimbulkan


kerja, penciptaan rasa aman bisa di- kecemasan rendah sampai tinggi (Wolpe,
lakukan dengan memberi izin untuk dalam Hock, 1999; Holden, dalam
tidak masuk kerja dalam beberapa hari; Locke, Myers, dan Herr, 2001). Jumlah
dan bagi yang kena rampok di rumah, tahapan atau hirarki urutan kecemasan
bisa dilakukan dengan pindah rumah yang disusun tergantung pada tingkat
buat sementara. kecemasan yang dialami klien, biasanya
Pendekatan klasikal bisa diterap- sampai lima, enam, atau lebih (Wolpe,
kan untuk kasus-kasus yang berhubung- dalam Hock, 1999). “Dalam teknik ini,
an dengan rasa takut yang tidak adaptif klien dilatih dulu untuk relaksasi ke-
(Prawitasari, 2011). Salah satu teknik mudian secara bertahap relaksasi ini
yang digunakan secara luas bagi klien dipasangkan dengan situasi yang me-
yang mengalami masalah kecemasan nakutkannya sampai akhirnya ia dapat
karena peristiwa traumatis adalah mengatasi rasa takutnya” (Prawitasasi,
disensitisasi sistematik (Holden, dalam 2011: 159).
Locke, Myers, dan Herr, 2001; George Proses disensitisasi dimulai dengan
dan Cristiani, 1995). Prawitasari (2011: menyuruh klien duduk dalam keadaan
159) menyebutnya dengan istilah “nir- santai dan nyaman sambil memejamkan
peka beraturan”. Teknik ini didasarkan matanya. Teknik ini disebut latihan
atas prinsip classical conditioning. rileksasi, yaitu proses penegangan dan
Asumsi dasar yang mendasari teknik ini pengenduran berbagai otot, seperti
adalah bahwa semua perilaku individu lengan, tangan, wajah, perut, kaki, dan
terbentuk melalui pengalaman atau hasil lain sebagainya (Wolpe dalam Hock,
belajar, dan untuk mengubah, memo- 1999). Setelah klien merasa rileks, ia
difikasi atau menghilangkan perilaku diminta untuk membayangkan sesuatu
tersebut juga melalui belajar. Oleh sebab yang paling sedikit menimbulkan
itu, responsi terhadap kecemasan itu bisa kecemasan sesuai dengan hirarki yang
dipelajari atau dikondisikan (Wolpe, telah disusun. Apabila klien masih bisa
dalam Hock, 1999), dan proses ini santai dalam membayangkan peristiwa
disebut dengan terapi (Corey, 2012). tersebut, konselor bisa bergerak maju
Sebelum disensitisasi dimulai, dalam hirarki selanjutnya sampai klien
konselor melakukan konseling untuk memberi isyarat bahwa pada situasi
mengetahui informasi spesifik tentang itulah dia mengalami kecemasan, dan
kecemasan klien guna memahami latar pada saat itu pula skenario dihentikan
belakang diri klien secara komprehensif. (Wolpe, dalam Hock, 1999). Klien
Konselor harus mengidentifikasi gejala- disuruh membuka matanya dan disuruh
gejala trauma atau PTSD yang dialami duduh santai.
oleh klien (Lawson, 2001) dengan me- Apabila klien tidak bersedia
nanyakan kepada klien tentang kondisi melanjutkan pada hirarki kecemasan
atau peristiwa khusus yang memicu rasa yang lebih tinggi, konselor bersama
takut tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika klien membahas secara mendalam apa
klien merasa nyaman, dan rasa nyaman yang dialaminya, atau melanjutkannya
itu diciptakan oleh konselor. pada konseling berikutnya. Sebaliknya
Setelah penyulut kecemasan ter- bila klien bersedia melanjutkan kon-
deteksi, konselor bersama klein me- seling, pengendoran ketegangan dimulai
nyusun daftar urutan situasi yang me- lagi dan dilanjutkan dengan hirarki
nyulut kecemasan dalam bentuk hirarki, kecemasan yang lebih tinggi lagi. Kon-
128 Herman Nirwana, Konseling Trauma Paasca Bencana

seling dihentikan manakala klien sudah gempa bumi, dan sunami. Jika di-
tidak mengalami kecemasan lagi. De- bandingkan antara pria dan wanita,
ngan demikian, pada klien yang meng- ternyata wanita lebih banyak yang
alami PTSD yang tinggi, teknik di- mengalami trauma. Di samping itu,
sensitisasi cenderung dilakukan ber- wanita lebih beresiko mengalami Post-
ulang-ulang. Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Banyaknya individu yang beresiko
tinggi mengalami PTSD setelah peris-
PENUTUP tiwa trauma mengindikasikan mereka
Berdasarkan uraian terdahulu bisa sangat membutuhkan layanan konseling
disimpulkan bahwa banyak individu trauma. Oleh sebab itu, kepada konselor
yang mengalami trauma dalam ke- disarankan untuk memberikan layanan
hidupannya, apalagi bagi masyarakat konseling trauma melalui penciptaan
Indonesia yang rawan tertimpa bencana. rasa aman, dan konseling perorangan
Peristiwa yang menimbulkan trauma dengan penggunaan teknik desensitisasi
bagi individu di antaranya perampokan, sistematis yang didahului dengan teknik
pemerkosaan, kecelakaan, kebajiran, rileksasi.

DAFTAR RUJUKAN

Corey, G. 2012. Theory & Practice of traumatic Stress Disorder. Journal


Group Counceling. Belmont, CA: of Counceling & Development, 78,
Brooks/ Cole. 492-495.
George, R.L. dan Cristiani, T.S. 1995. Nilson, R.; Gustafsson, P.E.; dan Svedin,
Counseling: Theory and practice. C.G. 2010. Self-ReportPotentially
Needham Heights, Massachusetts: Traumatic Live Events and
Allyn and Bacon. Symptoms of Post-Traumatic
Stress and Dissociation. Nordic
Goleman, D. 1995. Emotional Intelligen- Journal of Psychiatry. 64, 19-26.
ce. New York: Bantam Books.
Prawitasari, J.E. 2011. Psikologi Klinis:
Hock, R.R. 1999. Forty Studies That Pengantar terapan mikro &
Changed Psychology. Upper makro. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Saddle River, New Jersey:
Prentice-Hall, Inc. Soemantri, H. 2012. Strategi
Pengarasutamaan Pengurangan
Kinchin, D. 2007. A Guide to Resiko Bencana Di Sekolah.
Psychological Debriefing. London: Makalah disajikan dalam Rapat
Jessica Kingsley Publishers. Kooordinasi Tim Pengembangan
Lawson, D.M. 2001. The Development Kurikulum Propinsi dan Kabu-
pf Abusive Personality: A Trauma paten/Kota Se Indonesia, Tanggal
Response. Journal of Counceling 23-26 Juli di Hotel Mercure Ancol
& Development, 79. 505-509. Jakarta.
Locke, D.C.; Myers, J.E.; dan Herr, E.L. Weaver, A.J., Flannelly, L.T., dan
(Eds.). (2001). The Handbook of Preston, J.D. 2003. Counseling
Counseling. Thousand Oaks, Survivors of Traumatic Events: A
California: Sage Publications. handbook for pastors and other
helping professional. Avenue
Marotta, S.A. 2000. Best Practices for
South, Nashville: Abingdon Press.
Councelors Who Treat Post-
162 Herman Nirwana, Konseling Trauma Paasca Bencana

Indeks
bencana...........................123, 124, 125, 128 trauma .............123, 124, 125, 126, 127, 128
konseling ................ 123, 124, 126, 127, 128 traumatis ........................ 124, 125, 126, 127
konselor..........................................127, 128

Anda mungkin juga menyukai