Anda di halaman 1dari 26

217

REFORMULASI INOVASI KURIKULUM:


KAJIAN LIFE SKILL UNTUK MENGANTARKAN PESERTA DIDIK
MENJADI WARGA NEGARA YANG SUKSES

Rohmalina Wahab
Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang
Jl. Prof. Zainal Abidin Fikri No. 1 KM. 3,5 Palembang

Abstract
Life skill oriented education for students is a provision in facing andsolving life's problems,
wether as an independent personal life,as member of community, and as a citizen. There are
four types of life skills that must beowned by the individual; the personal skills, social skills,
academic skills, and vocational skills. The efforts to reformulate life skill education is by
presentinglearning package which is presented in a limited and open according to the needsand
potential of local resources, wether in business activities in agriculture,aquaculture farms,
plantations, fisheries and agricultural production,domestic industry, or other types of activity ,
in which participants learnif curriculum provided is less able to fulfill the needs, can add,
subtract and evenchange itself according to desired needs. Life skills education should
beimplemented in accordance with the objectives, functions and benefits of lifeskills to create an
individual to be able to face life independently.

Keywords: reformulation, innovation, curriculum, life skills

A. Pendahuluan
Pendidikan berjalan setiap saat dan di segala tempat. setiap orang, baik anak-anak
maupun orang dewasa, mengalami proses pendidikan melalui apa yang dijumpai atau
dikerjakannya. walaupun tidak ada pendidikan yang sengaja diberikan, secara alamiah
setiap orang akan terus belajar dari lingkungannya.
Secara filosofis, pendidikan diartikan sebagai proses perolehan pengalaman
belajar yang berguna bagi peserta didik. Pengalaman belajar tersebut diharapkan
mampu mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik sehingga siap digunakan
untuk menyelesaikan problema kehidupan yang dihadapinya. pengalaman belajar yang
diperoleh peserta didik diharapkan juga mengilhami mereka ketika menghadapi
problema dalam kehidupan sesungguhnya (Senge, 2000).
Secara historis, pendidikan sudah ada sejak manusia ada dimuka bumi. Ketika
kehidupan masih sederhana, orang tua mendidik anaknya, atau anak belajar kepada
orang tua atau orang lain yang lebih dewasa dilingkungannya, seperti makan yang baik,
cara membersihkan badan, bahkan tidak jarang anak belajar dengan alam disekitarnya.
Anak-anak belajar bercocok tanam, berburu dan berbagai kehidupan keseharian.
Intinya, anak belajar agar mampu menghadapi tugas-tugas kehidupan, mencari solusi
untuk menyelesaikan, dan mengatasi problema yang dihadapi sehari-hari.
Landasan yuridis pendidikan kecakapan hidup mengacu pada UU Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 1 Ayat (1) dijelaskan bahwa :

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


218

"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara"
Dengan demikian, mata pelajararan, mata kuliah, dan mata diklat harus dipahami
sebagai alat, dan bukan sebagai tujuan. Artinya, sebagai alat untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar siap digunakan untuk bekal hidup dan kehidupan, bekerja
untuk mencari nafkah, dan bermasyarakat.
Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar
terutama penduduk usia muda. penduduk usia muda kebanyakan merupakan usia muda
dan kebanyakan merupakan usia akademik dimana mayoritasnya rata-rata menempuh
bermacam pendidikan yang ada.
Pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia sebenarnya sudah sangat
berkualitas, namun ada beberapa hal yang dilupakan sehingga metode pengajaran dirasa
kurang efektif. salah satunya yang terpenting namun sering dilupakan adalah life skill
atau kecakapan hidup. Life skill erat kaitannya dengan kecakapan atau kemampuan yang
diperlukan seseorang agar menjadi independen dalam kehidupan. dalam penerapannya
dibidang pendidikan life skill sangat diperlukan oleh pengajar guna berkomunikasi
dengan siswa di lingkungan akademik. Life skill dapat membantu seorang pengajar
untuk menyampaikan isi materi secara lebih mendalam dan menyeluruh sehingga siswa
dapat lebih mudah memahami materi. Tidak hanya itu, pendidikan life skill harus
diajarkan kepada siswa sebagai bekal untuk hidup mandiri kelak. seorang pendidik
sudah selayaknya dituntut untuk dapat membekalkan nilai-nilai life skill kepada siswa.
dengan demikian pendidikan life skill harus dapat merefleksikan kehidupan nyata dalam
proses pembelajaran agar peserta didik memperoleh kecakapan hidup tersebut, sehingga
peserta didik siap untuk hidup di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itulah dalam tulisan ini akan membahas mengenai life skill ini berkisar
yaitu diawali dengan pengertian kurikulum, kurikulum dan inovasi kurikulum, prinsip-
prinsip dalam pengembangan kurikulum serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dan
tujuan serta fungsi dari kurikulum, tentang konsep pendidikan life skill, pengertian
pendidikan life skill, jenis-jenis pendidikan life skill, prinsip-prinsip pendidikan life skill,
selanjutnya mengenai tujuan dari pendidikan life skill, fungsi pendidikan life skill,
pendekatan yang digunakan dalam life skill dan metode pendidikan life
skill,pelaksanaan pendidikan life skill serta ayat-ayat yang berkenaan dengan life skill
dan terakhir merupakan kesimpulan dari tulisan atau makalah ini. Untuk jelasnya
perhatikan bahasan selanjutnya.

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


219

B. Konsep Pendidikan Life Skill


1. Pengertian Pendidikan Life Skill
Pengertian Life Skill atau biasa disebut sebagai kecakapan hidup jika di lihat dari
segi bahasa berasal dari dua kata yaitu Life dan skill. Life berarti hidup, sedangkan skill
adalah kecakapan, kepandaian, ketrampilan. Sehingga life skill secara bahasa dapat
diartiakan sebagai kecakapan, kepandaian, keterampilan hidup. Umumnya dalam
penggunaan sehari-hari orang menyebut life skill dengan istilah kecakapan hidup.
Penjelasan secara lebih komprehensif tentang kecakapan hidup diajukan oleh
IOWA State University (2003 : 1), life skill diartikan sebagai berikut, a skill is alearned
ability to do something well. Kecakapan tidak hanya diartikan sebagai kemampuan
untuk melakukan sesuatu, lebih daripada itu, kecakapan dimaknai sebagai kemampuan
belajar untuk melakukan sesuatu secara lebih baik. Jadi mampu melakukan sesuatu saja
belum cukup untuk dikatakan sebagai cakap, melainkan kemampuan untuk melakukan
sesuatu tersebut harus ditunjukan secara lebih baik dan diperoleh melalui suatu aktivitas
belajar. Demikianlah IOWA State University mensyarakan aspek kesempurnaan dalam
kontek skill.
Sedangkan life skill oleh IOWA State University (2003 : 1), diartikan sebagai, are
abilities individuals can lear that will help them to be successful in living a produktive
and satisfying life. Kecakapan hidup dimengerti sebagai kemampuan individual untuk
dapat belajar sehingga seseorang memperoleh kesuksesan dalam hidupnya, produktif
dan mampu memperoleh kepuasan hidup. Indikator seseorang telah memperoleh life
skill dengan demikian dapat dilihat dari sejauhmana ia mampu eksis dalam kehidupnya
di tengah-tengah masyarakat. Apabila seseorang mampu produktif dan membuat
berbagai kesuksesan, maka dapat dikatakan orang tersebut memiliki life skill yang baik.
Definisi lain tentang life skill diungkap oleh lifes kills 4 kids (2000:1) bahwa,
In essence, life skill are an “owner’ s manual” for the human body. These
skill help children leard how to maintain their bodies,grow an individuals, work
well with others, make logical decisions, protect them selves when they have to
and achieve their goals in life.
Secara esensial, life skill didefinisikan sebagai semacam petunjuk praktis yang
membantu anak-anak untuk belajar bagaimana merawat tubuh, tumbuh untuk menjadi
seorang individu, bekerja sama dengan orang lain, membuat keputusan-keputusan yang
logis, melindungi diri sendiri untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Sehingga dalam
hal ini untuk menjadi tolak ukur life skill pada diri seseorang adalah terletak pada
kemampuannya untuk meraih tujuan hidupnya. Life skill memotivasi anak-anak dengan
cara membantunya untuk memahami diri dan potensinya sendiri dalam kehidupannya,
sehingga mereka mampu untuk menyusun tujuan-tujuan hidup dan melakukan proses
problem solving apabila dihadapkan persoalan-persoalan hidup.
Istilah life skill menurut Depdiknas (2002: 5) tidak semata-mata diartikan
memiliki keterampilan tertentu (vocational job) saja, namun ia harus memiliki
kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti mambaca, menghitung,
merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelolah sumber daya, bekerja dalam tim,
terus belajar ditempat kerja mempergunakan teknologi. Program pendidikan life skill

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


220

menurut Anwar (2004: 20) adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal
ketrampilan yang praktis terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha
dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat.
Broling (1989) mengemukakan bahwa life skill adalah interaksi berbagai
pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang, sehingga
mereka dapat hidup mandiri. Kent Davis (2000: 1) mengemukakan bahwa kecakapan
hidup (life skill) "manual pribadi" bagi tubuh seseorang. kecakapan ini membantu
peserta didik belajar bagaimana memelihara tubuhnya, tumbuh menjadi dirinya, bekerja
sama dengan secara baik dengan orang lain, membuat keputusan yang logis, melindungi
dirinya sendiri dan mencapai tujuan didalam kehidupannya.
Menurut WHO (1997) life skill yaitu berupa berbagai keterampilan atau
kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berprilaku positif, yang memungkinkan
seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidupnya sehari-
hari secara efektif.
Sedangkan pendidikan kecakapan hidup atau life skill menurut tim broad based
education Depdiknas (2002) adalah kecakapan yang dimiliki oleh seseorang untuk mau
dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa
tertekan, kemudian secara pro aktif dan kreatif dapat mencari serta menemukan solusi
untuk mengatasinya. (Sri Sumarni, 2002: 172).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian life skill adalah
kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan kemudian secara
proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya.
Dengan demikian Pendidikan berorientasi life skill bagi peserta didik adalah
sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik
sebagai kehidupan pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga
negara.dengan hasil yang dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya.
2. Jenis-Jenis Life Skill
Broling (1989) dalam pedoman penyelenggaraan program kecakapan hidup
pendidikan non formal mengelompokkan life skill menjadi tiga kelompok, yaitu: (1)
Kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill), antara lain meliputi ; pengelolahan
rumah pribadi, kesadaran kesehatan, kesadaran keamanan, pengelolahan makanan-gizi,
pengelolahan pakaian, kesadaran pribadi warga negara, pengelolahan waktu luang,
rekreasi, dan kesadaran lingkungan. (2) kecakapan hidup sosial/pribadi (personal /
social skill), antara lain meliputi ; kesadaran diri (minat, bakat, sikap, kecakapan),
percaya diri, komunikasi dengan orang lain, tenggang rasa dan kepedulian pada sesama,
hubungan antar personal, pemahaman masalah, menemukan dan mengembangkan
kebiasaan fositif, kemandirian dan kepemimpinan. (3) kecakapan hidup bekerja
(vocational skill), meliputi: kecakapan memilih pekerjaan, perencanaan kerja, persiapan
keterampilan kerja, latihan keterampilan, pengusahaan kompetensi, menjalankan suatu
profesi, kesadaran untuk menguasai berbagai keterampilan, kemampuan menguasai dan
menerapkan teknologi, merancang dan melaksanakan proses pekerjaan, dan
menghasilkan produk barang dan jasa.

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


221

WHO (World Health Organization) mengelompokkan kecakapan hidup kedalam


lima kelompok, yaitu : (1) kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan
pribadi (personal skill), (2) kecakapan sosial (sosial skill), (3) kecakapan berpikir
(thinking skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan kejuruan
(vocational skill).
Dirjen PLS dan pemuda mengelompokkan life skill secara operasional kedalam
empat jenis, yaitu : (1) kecakapan pribadi (personal skill), yang mencakup kecakapan
mengenal diri sendiri, kecakapan berpikir rasional, dan percaya diri. (2) kecakapan
sosial (social skill) seperti kecakapan melakukan kerja sama, bertenggang rasa, dan
tanggung jawab sosial (3) kecakapan akademik (academik skill), seperti kecakapan
dalam berfikir secara ilmiah, melakukan penelitian, dan percobaan-percobaan dengan
pendekatan ilmiah (4) kecakapan vokasional (vocational skill) berupa kecakapan yang
dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat, seperti di
bidang jasa (perbengkelan, jahit-menjahit, dan produksi barang tertentu (peternakan,
pertanian, perkebunan).
Direktorat kepemudaan mengelompokkan life skill ke dalam tiga kelompok, yaitu
: (1) kecakapan personal, (2) kecakapan sosial, (3) kecakapan vocasional. kecakapan
personal terbagi dua bagian, yaitu ; (a) kecakapan berpikir rasional, yang meliputi:
menggali / menemukan info, mengelolah info, mengambil keputusan, dan memecahkan
masalah secara kreatif (b) kecakapan akademik, yang meliputi kemampuan
mengidentifikasi variabel, kemampuan menjelaskan hubungan variabel dengan gejala,
kemampuan merumuskan hipotesis, kemampuan merancang penelitian, dan kemampuan
melaksanakan penelitian. kecakapan sosial, meliputi: kemampuan komunikasi,
kemampuan bekerja sama, dan kemampuan membuat harmonisasi, kecakapan
vocasional meliputi; kecakapan kejuruan, kecakapan sehari-hari, dan kecakapan kerja.
Slameto (2002) membagi life skill menjadi dua bagian yaitu: kecakapan dasar dan
kecakapan instrumental. life skill yang bersifat dasar adalah kecakapan universal dan
berlaku sepanjang zaman, tidak tergantung pada perubahan waktu dan ruang yang
merupakan fondasi bagi peserta didik baik di jalur pendidikan persekolahan maupun
pendidikan non formal agar bisa mengembangkan keterampilan yang bersifat
instrumental. life skill yang bersifat instrumental adalah kecakapan yang bersifat relatif,
kondisional, dan dapat berubah-rubah sesuai dengan perubahan ruang, waktu, situasi,
dan harus diperbaharui secara terus-menerus sesuai dengan drap perubahan.
Jenis-jenis kecakapan hidup yang telah dijelaskan diatas, pada dasarnya kalau
dikelompokkan hanya ada empat jenis kecakapan hidup, yakni (1) kecakapan pribadi
(personal skill), (2) kecakapan sosial (sosial skill), (3) kecakapan akademik (academic
skill), dan (4) kecakapankerja (vocational skill).
lihat bagan berikut:

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


222

3. Misi Pendidikan Life Skill


Meningkatkan kualitas keterampilan, kecakapan hidup dan profesionalitas, bagi
anggota masyarakat yang membutuhkan dalam rangka meraih kesejahteraan jasmani
dan rohani, dengan menerapkan prinsip belajar sepanjang hayat dan untuk
meningkatkan daya saing bangsa diera global.[http://pakguruonline.pendidikan.net]
4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Life Skill
Pada dasarnya pendidikan kecakapan hidup membantu peserta didik dalam
mengembangkan kemampuan belajar, menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk
dikembangkan dan diamalkan, berani menghadapi problema kehidupan, serta
memecahkan secara kreatif.
Prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup adalah sebagai berikut:
a) Tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku
b) Tidak mengubah kurikulum yang berlaku
c) Pembelajaran menggunakan prinsip empat pilar, yaitu: belajar untuk tahu, belajar
untuk menjadi diri sendiri, belajar untuk melakukan, belajar untuk mencapai
kehidupan bersama.
d) Belajar konstektual (mengaitkan dengan kehidupan nyata) dengan menggunakan
potensi lingkungan sekitar sebagai wahana pendidikan.
e) Mengarah kepada tercapainya hidup sehat dan berkualitas, memperluas wawasan
dan pengetahuan, dan memiliki akses untuk memenuhi standar kehidupan yang
layak.(Anwar : 2004)
5. Sasaran Pendidikan Life Skill
Anggota masyarakat usia produktif 18-45 tahun, perempuan maupun laki-laki,
putus sekolah maupun belum memilki pekerjaan, dengan kriteria :
a) Memiliki kemauan untuk belajar dan bekerja
b) Memiliki komitmen mengikuti kegiatan belajar sampai dengan selesai yang
dibuktikan dengan surat pernyataan kesedihan kesanggupan belajar.
c) Domisi warga masyarakat desa yang berada pada lingkup satu kecamatan.

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


223

6. Tujuan Pendidikan Life Skill


Secara umum tujuan pendidikan life skill yaitu untuk memfungsikan pendidikan
sesuai dengan fitrahnya yaitu untuk mengembangkan potensi manusiawi (peserta didik)
untuk menghadapi peranannya dimasa yang akan datang. (Sri Sumarni, 2002 : 175)
Tujuan dari orientasi life skill adalah untuk memberikan pengalaman belajar
yangberarti bagi peserta didik yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan di dalam
kehidupan sehari-hari. (Abdul Mukti, 2004 : 15)
adapun tujuan pendidikan life skill secara khusus bila dirinci adalah sebagai berikut:
a) Melaksanakan program-program pendidikan dan pelatihan yang mampu
mengembangkan ketrampilan, keahlian dan kecakapan serta nilai-nilai
keprofesian untuk mendorong produktivitas sebagai tenaga kerja yang handal atau
kemandirian berusaha.
b) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengikuti program khusus
berbasis kompetensi, serta fasilitasi penempatan kerja pada dunia usaha / industri
dan / atau berusaha mandiri.
7. Fungsi Pendidikan Life Skill
Fungsi pendidikan pada hakikatnya, adalah untuk menyiapkan peserta didik
"menyiapkan" diartikan bahwa peserta didik pada hakikatnya belum siap, tetapi perlu
disiapkan dan sedang menyiapkan dirinya sendiri. Hal ini merujuk pada proses yang
berlangsung sebelum peserta didik itu siap untuk terjun didalam kehidupan yang nyata.
(Oemar Hamalik, 1995 : 2)
Selanjutnya fungsi-fungsi dari pendidikan life skill yang masih bersifat umum
adalah :
a) Dapat berperan aktif didalam mengembangkan kehidupan sebagai pribadi
b) Mengembangkan kehidupan untuk masyarakat
c) Dapat mengembangkan kehidupan untuk berbangsa dan bernegara
d) Bisa mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi.
8. Pendekatan Pendidikan Life Skill
Pendekatan life skill dengan kecakupan belajar yang relatif luas, maka pendekatan
dalam pelaksanaannya diawali dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a) Analisis kebutuhan (need assesment) dengan teknis mencari informasi peluang
usaha/kerja yang ada sesuai dengan jenis pembelajaran yang akan dilatihkan.
b) Analisis kebutuhan (need assesment) dengan cara mengembangkan usaha baru
dengan memperdayakan potensi sumber daya sekitar.
Ada beberapa macam pendekatan pembelajaran yang digunakan pada kegiatan
belajar mengajar, antara lain :
a) Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna
dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak
hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya
berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa
untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses
pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


224

untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip


membelajarkan–memberdayakansiswa, bukan mengajar siswa.
(http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-
pembelajaran/).
Borko dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran
kontekstual,guru memilih konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan
cara mengaitkanpembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana
anak hidup dan berada serta dengan budaya yang berlaku dalam masyarakatnya
(http.//www.contextual.org.id). Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan dengan apa yang
dipelajari dalam kelas dan dengan kehidupan sehari-hari (Dirjen Dikdasmen,
2001: 8). Dengan memilih konteks secara tepat, maka siswa dapat diarahkan
kepada pemikiranagar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di
lingkungan kelas saja, tetapi diajak untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-
benar terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari, masa depan mereka, dan
lingkungan masyarakat luas.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa dalam mencapai
tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi
informasi.Guru bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk merumuskan, menemukan sesuatu yang baru bagi kelas yang dapat
berupa pengetahuan, keterampilan dari hasil “menemukan sendiri” dan bukan dari
“apa kata guru.
Penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya
untukmengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga
untukmengembangkan sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan
masalahyang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi
dengan sesamateman, misalnya melalui pembelajaran kooperatif, sehingga juga
mengembangkan ketrampilan sosial (social skills) (Dirjen Dikmenum, 2002:6).
Lebih lanjut Schaible,Klopher, dan Raghven, dalam Joyce-Well (2000:172)
menyatakan bahwa pendekatan kontekstual melibatkan siswa dalam masalah yang
sebenarnya dalam penelitian dengan menghadapkan anak didik pada bidang
penelitian, membantu mereka mengidentifikasi masalah yang konseptual atau
metodologis dalam bidang penelitian dan mengajak mereka untuk merancang cara
dalam mengatasi masalah.
b) Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual. Yaitu
bahwa pendekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-
tiba(Suwarna,2005).
Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963).
Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999) kelebihan
teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif
melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


225

pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran


terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.
Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur
kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan
atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang
akan dapat membina konsep dalam struktur kognitifnya dengan menghubungkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia ada padanya dan proses ini
dikenali sebagai accretion. Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang
boleh berubah selaras dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali
sebagai penalaan atau tuning. Seseorang juga boleh membina konsep-konsep
dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan analogi, iaitu berdasarkan
pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993)
konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan konsep-konsep yang sedia
ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing.
Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran kerana
belajar digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkaitkan perkara
yang dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada pada mereka. Dalam proses
ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu perkara.
Kajian Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999) membuktikan
kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah
mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan
pelajar yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994),
Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997)
turut membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat membantu pelajar
untuk mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.
c) Pendekatan Deduktif – Induktif
1) Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-
istilah pada bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh
suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila
siswa telah mengetahui wilayah persoalannya dan konsep
dasarnya(Suwarna,2005).
2) Pendekatan Induktif
Ciri utama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah
menggunakan data untuk membangun konsep atau untuk memperoleh
pengertian. Data yang digunakan mungkin merupakan data primer atau dapat
pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi dilingkungan.
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah
pembelajaran dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan
meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba
pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan
teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama
mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka.

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


226

Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer


informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006)
melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All
new learning involves transfer of information based on previous learning”,
artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis
pembelajaran sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif
dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui
kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan;
dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa
dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang
disampaikan.
Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran
pendekatan deduktif adalah dengan pendekatan induktif.Beberapa contoh
pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran inkuiri,
pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran
berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan.Pembelajaran dengan pendekatan
induktif dimulai dengan melakukan pengamati terhadap hal-hal khususdan
menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah konstekstual,
siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur
berdasar pengamatan siswa sendiri.
Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif
efektif untuk mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan
memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi.
Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu
konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa
abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan
menganalisis apa yang diamati.
Dalam fase pendekatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal
atau masalah. Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai
dalam membahas materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada
prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai “ilmu” hanya
diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan
pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau
diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000: 16). Dalam kegiatan
memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan
pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara
bergantian. (http://rochmad-unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-
induktif-deduktif.html)
d) Pendekatan Konsep dan Proses
1) Pendekatan Konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa
dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


227

terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan


konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa
dibimbing untuk memahami konsep
(http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-
pembelajaran/).
2) Pendekatan Proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan
kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa,
merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan
keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984.
Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam
kegiatan belajar. (http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-
dan-metode-pembelajaran/).
Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang
pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama,
prosesmengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman
pribadi bagipeserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan
menjadi bagianintegral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan
pengalamanyang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya
sendiri.Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik
dalamsetiap proses pendidikan yang dialaminya
(http://groups.yahoo.com/group/sd-islam/message/1907).
e) Pendekatan Sains, Tekhnologi dan Masyarakat
National Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1)memandang STM
sebagai the teaching and learning of science in thecontext of human experience.
STM dipandang sebagai proses pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan
konteks pengalaman manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk
meningkatakan kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains
dalam kehidupan sehari-hari.Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN
STATE(2006:1) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach
whichreflects the widespread realization that in order to meet the
increasingdemands of a technical society, education must integrate
acrossdisciplines.
Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan STM haruslah
diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan berbagai disiplin (ilmu) dalam
rangka memahami berbagai hubungan yang terjadi di antara sains, teknologi dan
masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara
sistem politik, tradisi masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi
terhadap hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalam
pengembangan pembelajaran di era sekarang ini.
Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006: 1),
bahwa STM merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a
understand the many ways that scinence and technology shape culture, values,

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


228

and institution, and how such factors shape science and technology. STM
dengandemikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui
bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah proses-proses sosial di
masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains dan
teknologi.
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association (NSTA) (dalam
Poedjiadi, 2000) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan
pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara
biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran,
kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini
guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih
lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
STM ini tercakup jugaadanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih
ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari-hari, yang dalam pemecahannya
menggunakanlangkah-langkah.
(ilmiahhttp://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatanan-metode-
pembelajaran/).
9. Kurikulum Pendidikan Life Skill
Adalah paket pembelajaran yang disajikan secara terbatas dan terbuka sesuai
dengan kebutuhan dan potensi sumber daya lokal, baik dalam kegiatan usaha di bidang
pertanian, budidaya peternakan, perkebunan, perikanan maupun hasil produksi
pertanian, industri rumah tangga, atau jenis kegiatan yang lain, dimana peserta belajar
apabila kurikulum yang disediakan tersebut kurang dapat memenuhi, dapat
menambahkan , mengurangi bahkan mengubah sendiri sesuai dengan kebutuhan yang
diinginkan.
Pada sekolah formal, seperti telah dijelaskan diatas dengan melakukan inovasi
kurikulum sesuai dengan prinsip orientasi penghasilan output dapat dipakai atau
dilaksanakan. Lain halnya pada pendidikan non formal.
10. Metodologi Pendidikan Life Skill
Metodologi pembelajaran dapat di rancang dalam bentuk kegiatan yang
memadukan proses belajar proses belajar di kelas dan praktek dilapangan, dengan
menggunakan prinsip pembelajaran orang dewasa (POD) dan dilakukan secara
partisifatif dengan metode-metode ceramah (30%) sisanya adalah simulasi, praktek,
diskusi kelompok, game dan field study, bahkan proses belajar dapat menggunakan
proses domplet.
a) Pengorganisasian Pendidikan Life Skill
1) Pengelolahan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran dikelolah oleh didukung oleh tim pelatih masyarakat
dan sumber daya lain yang dapat menunjang keberhasilan program.
2) Fasillitator / Pelatih
Fasilitator/pelatih adalah tenaga ahli pelatihan di bidang teknis baik yang berasal
dari masyarakat setempat ditingkat kecamatan, maupun dari unsur pemerintah
atau swasta.

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


229

3) Tempat pelatihan
Disesuaikan dengan daya jangkau peserta belajar, dengan prinsip mudah akses.
4) Waktu pelatihan
Disesuaikan dengan alokasi anggaran di rancang 5 hari efektif, dengan alokasi
pembagian waktu 2 hari sesi kelas dan 3 hari lapangan, atau dibuat sebaliknya.
5) Sumber dana
Berasal dari swadaya masyarakat dan dana DOK pelmas maupun BLM atau
diknas kabupaten/kota yang dapat diakses.
b) Contah Paket Pendidikan Life Skill
Nama Program: Pelatihan & Pengembangan Budidaya Jeruk
Tujuan Pelatihan:
1) Peningkatkan pemahaman dan ketrampilan tentang budidaya jeruk keprok yang
berkelanjutan.
2) Mendorong meningkatkan produksi dan pendapatan petani jeruk.
3) Meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam hal akses ke pasar dan
pomadalan
Materi dan Metode Pelatihan:
Cakupan materi pelatihan dan pengembangan demplot budidaya jeruk dan
pengembangannya meliputi :
1) Analisis usaha (rancangan bisnis agrobisnis jeruk)
2) Pembibitan
3) Pemupukan
4) Penangan hama dan penyakit
5) Penanganan pasca panen
6) Distribusi dan pemasaran
7) Aplikasi teknologi tepat guna untuk produktivitas dan pasca panen budidaya
jeruk
8) Penataan lahan dan pengembangan domplet
9) Pengorganisasian kelompok tani
10) Rencana kerja tindak lanjut
11) Monitoring kegiatan pengembangan agribisnis jeruk.
Durasi Waktu: Pelaksanaan kegiatan adalah 4 (empat) hari efektif.
Metode Pelatihan: Menggunakan prinsip pembelajaran orang dewasa dan dilakukan
secara partisipatif dengan metode-metode ceramah (30%) sisanya adalah simulasi,
praktek, diskusi kelompok, game, pemutaran film, dan jika memungkinkan dilakukan
kunjungan ke lokasi petani jeruk yang sukses (field study)

C. Pelaksanaan Pendidikan Life Skill


1. Life Skill dalam Pendidikan Formal
Pada jenjang pendidikan dasar yaitu TK/RA, SD/MI, SLTP/MTS, akan lebih
ditekankan pada pengembangan jenerik (GLS), di samping upaya mengakrabkan peserta
didik dengan prikehidupan nyata di lingkungannya, menumbuhkan kesadaran tentang
makna / nilai perbuatan seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya,

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


230

memberikan sentuhan awal terhadap pengembangan keterampilan psikomotorik dan


memberikan pilihan-pilhan tindakan yang dapat memacu kreativitas.
Pada jenjang pendidikan dasar ditekankan pada pengembangan GLS, LLS, baik
yang bersifat AS maupun VS sebaiknya diberikan pada tahapan pengenalan dan
diberikan sesuai dengan perkembangan fisik maupun psikologis peserta didik.
Pengembanganan pre AS dan pre VS dimaksudkan sebagai pemandu bakat dan minat,
sedangkam GLS sebagai bekal dasar untuk penyesuaian dalam hidup bermasyarakat.
Ditingkat SD/MI, SLTP/ MTS difokuskan pada kecakapan jenerik (GLS) yang
mencakup kesadaran diri dan kesadaran personal, serta kecakapan sosial. Hal ini
didasarkan atas prinsip bahwa GLS merupakan pendasi life skill yang akan diperlukan
dalam kehidupan sehari-hari, apapun kegiatan seseorang ini bukan berarti pada tingkat
SD/MI, SLTP/ MTS, tidak dikembangkan kecakapan akademik, namun jika
dikembangkan barulah pada tahap awal misalnya untuk kecakapan akademik, bahkan
kecakapan berfikir rasional pada dasarnya merupakan dasar-dasar kecakapan akademik.
Pada jenjang pendidikan menengah umum SLTA/ MA, Selain penekanan
kecakapan akademik AS dan GLS perlu ditambahkan VS, sebagai bekal antisipasi
memasuki dunia kerja bila tidak dapat melanjutkan pendidikan. Sedangkan pada SMK
dan kursus keterampilan, disamping kecakapan vakasional (VS), GLS perlu diperkuat
sebagai antisipasi bagi mereka yang ingin melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Pelaksanaan life skill di sekolah harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan
fisiologis dan psikologis peserta didik. Pada pelaksaan SLTA/MA sapat dilakukan
melalui 3 cara :
1. Re orientasi pembelajaran
2. Pembekalan kecakapan vakasioanal bagi siswa yang berpotensi tidak melanjutkan
dan putus sekolah.
3. Repormasi sekolah di bidang budaya sekolah, menejemen sekolah dan hubungan
sinerji.
Pendidkan kecakapan di SLTA diarahkan agar siswa menguasai bahasa asing
sebagai wahana komunikasi dan suatu kecakapan vokasional lain yang dapat digunakan
untuk mencari penghasilan. Pelaksaan vokasional skill sebaiknya dilepaskan dari
kewajiban SLTA/MA dan diarahkan kepada komuniti college. Meskipun di pihak lain
sekoalh dapat berperan sebagai bagian community college, yaitu menjual paket program
vacasional tertentu, misalnya bekerja sama dengan SMK/ community college untuk
menyediakan paket pendidikan kecakapan vakasional, misalnya bahasa Inggris.
Hal penting yang perlu disepakati adalah definisi paket vocational skills yaitu
kecakapan yang dapat menjadikan seseorang mampu mendapatkan penghasilan guna
menopang kebutuhannya. Contoh: bahasa asing, olahraga, kesenian. Perawatan
kesehatan, pengasuhan anak, pemasaran, tata boga, tata busana, elektronik. Ini perlu
disinkronkan dengan kondisi sosial budaya lingkungan sekitar.
Penentuan paket dilakukan oleh siswa sesuai dengan bakat dan potensi yang
dimiliki, serta bidang kerja yang tersedia di masyarakat/dunia kerja. Peran guru lebih
bersifat konselor atau kompromi antara pilihan siswa dengan pilihan yang tersedia di
sekolah dan lingkungannya. Program kecakapan vokasional bagi SLTA dimaksudkan

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


231

untuk memberi bekal bagi yang segera memasuki dunia kerja. Oleh karena itu program
ini tidak merupakan wajib bagi semua siswa, tetapi pilahan dan diarahkan bagi yang
potensial putus sekolah atau tidak melanjutkan keperguruan tinggi.
Kriteria kecakapan vokasional bagi SLTA secara aktual merujuk pada jenis dan
lingkup kejuruan (vocational) yang dikembangkan oleh beberapa lembaga sebagai
community college (SMK, BLK, DUDI, dan Lemdiklat). Jika merujuk pada kecakapan
yang dikembangkan SLTA dalam kurikulum 1999, terdapat 93 program, 22 bidang,
dikembangkan oleh LLK (Lembaga Latihan Kerja) dan LPK (Lembaga Pelatihan Kerja)
baik yang dibina Diklusemas dan Disnaker mancapai 26 keterampilan dan 7 bidang
kejuruan. (Anwar 2005 : 35)

Gambar Prinsip-Prinsip Didaktis Pelaksanaan Pendidikan Keterampilan Hidup dalam Jalur Pendidikan

2. Life skill dalam Pendidikan Non-Formal


Program pembelajaran life skill dapat diterapkan di semua jalur dan jenjang
pendidikan, setelah melalui proses penyesuaian kondisi kelompok sasaran dan potensi
lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Implementasi
dalam jalur pendidikan luar sekolah digambarkan berikut ini;

Daily Living Skill Personal/Social Skill Occupational Skill


- Pengelolaan kebutuhan - Kesadaran diri (minat, - Memilih pekerjaan
pribadi bakat, sikap, kecakapan) - Perencanaan kerja
- Pengelolaan keuangan - Percaya diri - Persiapan ket. Kerja
pribadi - Komunikasi - Latihan keterampilan
- Pengelolaan rumah - Tenggang rasa & - Penguasaan kompetensi
pribadi kepedulian - Kesadaran untuk
- Kesadaran kesehatan - Hubungan antar personal menguasai keterampilan
- Kesadaran keamanan - Pemahaman & - Kemampuan menguasai-
- Pengelolaan makanan- pemecahan masalah menerapkan teknologi

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


232

gizi - Menemukan & - Merancang& melakukan


- Pengelolaan pakaian mengembangkan proses pekerjaan
- Tanggung jawab sebagai kebiasaan positif - Menghasilkan produk
pribadi warga negara - Kemandirian barang dan jasa
- Pengelolaan waktu luang - Kepemimpinan
- Rekreasi
- Kesadaran lingkungan

Gambar Pembagian Life Skill (Broling, 1989)

Life Skill Diknas Personal Social Academic Vocational


Program PLS Skills Skills Skills Skills
1. PADU ** ** *
2. Keaksaraan Fungsional ** ** ***
3. Kesetaraan ** * *** **
4. Kursus ** * ** ***
5. Magang ** * ***
6. Kelompok Belajar Usaha ** ** ***
7. KUPP ** ** ***
8. Pendidikan Wanita *** ** **

Keterangan:
*** sangat kuat ** kuat * terkait

Gambar Keterkaitan antara Komponen Life Skills dalam Pembelajaran Masyarakat pada Satuan dan
Program PLS

Personal Skills Social Skills Academic Vocational Skills


Skills
1. Disiplin 1. Kerjasama 1. Menggunakan alat
2. Semangat 2. Pelayanan 2. Mengenal bahan
3. Daya tahan fisik 3. Jaringan/ 3. Mengerjakan cepat, tepat, akurat
kemitraan
4. Etos kerja 4. Membuat berbagai disain
5. Motivasi prestasi
6. Tanggung jawab
7. Manajemen usaha
- Permodalan
- Pemasaran

Gambar Impelementasi Life Skills dalam Kursus Las

Personal Skills Social Skills Academic Vocational Skills


Skills
1. Disiplin 1. Kerjasama 1. Menggunakan alat
2. Semangat 2. Pelayanan 2. Mengenal bahan
3. Daya tahan fisik 3. Jaringan/ 3. Mengerjakan (cepat, tepat,
kemitraan akurat)
4. Etos kerja 4. Membuat berbagai model
pemangkasan dan penataan
rambut

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


233

5. Motivasi prestasi
6. Tanggung jawab
7. Manajemen usaha
- Permodalan
- Pemasaran

Gambar Implementasi Life Skills dalam Kursus Kecantikan

3. Pendidikan Life Skill dalam Dimensi Kewirausahaan


Pelatihan (training) adalah pembelajaran pengembangan individu yang bersifat
mendesak karena adanya kebutuhan sekarang (Nadler, 1982). Moekijat (1989)
mengemukakan bahwa pelatihan adalah suatu kegiatan penyesuaian atau pemberian
pengaruh kepada seorang pegawai untuk meningkatkan kecakapannya guna suatu
kegiatan tertentu. Arti sepenuhnya tentang pelatihan adalah lebih banyak pada aspek
keterampilan dari pada sekedar pendidikan/pengajaran yang berhubungan dengan
memberikan pengatahuan, karena pelatihan mencakup baik pengalaman mengerjakan
suatu pekerjaan maupun pengetahuan. Menurut Robinso pelatihan sebagai suatu intruksi
atau proses pendidikan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan
pengetahuan serta keterampilan yang telah dimiliki (Hidayat dan Syamsulbahri, 2001).
Definisi tersebut secara eksplisit mengindikasikan bahwa tujuan dasar dari pelatihan
adalah untuk membangun atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan individu
guna mencapai tingkat yang diinginkan. Argumen yang menjelaskan tentang pentingnya
upaya pengembangan pengetahuan dan keterampilan individu tersebut cukup bervariasi,
diantaranya dikemukakan oleh Maslow dalam teorinya Needs of hierarchy bahwa
peningkatan pengetahuan dan keterampilan individu sangat dibutuhkan tidaksaja untuk
membekali yang bersangkutan dalam memulai atau mengembangkan aktivitas tertentu,
tetapi juga dibutuhkan guna mencapai tingkat kepuasan yang telah dilakukan. Kepuasan
hasil kerja menjadi sangat penting karena merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi motivasi kerja seseorang.
Argumen yang sama juga dikemukakan oleh Frederick Herzberg bahwa
peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekerja melalui pelatihan sangat diperlukan
tidak saja untuk meningkatkan produktivitas kerja, tetapi juga untuk mengurangi rasa
tidak puas atas lingkungan kerja (Hidayat dan Syamsulbahri 2001). Tingkat pencapaian
tujuan pelatihan menurut Robinso dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:
karakteristik dari individu peserta, bahan belajar pelatihan, dan metode/teknik pelatihan.
Selanjutnya ada tiga hal yang harus menjadi perhatian utama dalam penyusunan
program pelatihan yang akan dilaksanakan, yaitu : (1) bahan belajar pelatihan (materi),
(2) metode/teknik, dan (3) evaluasi hasil pelatihan. Asumsi dasar disesuaikan dengan
karakteristik dari binaan dan kebutuhan rill untuk membuka usaha yang akan dan telah
dikembangkan.
Hal ini berarti adanya pelatihan bagi warga belajar, maka pelaksanaan pekerjaan
menjadi lebih efektif dan efisien. Unsur-unsur pelatihan ; (1) direncanakan dengan
sengaja; (2) ada tujuan yang hendak dicapai; (3) ada kegiatan belajar dan berlatih; (4) isi
bahan belajar dan bahan pelatihan menekankan pada keahlian atau keterampilan; (5) ada

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


234

peserta; (6) dilaksanakan dalam waktu relatif singkat; dan (7) ada tempat belajar dan
berlatih.
Procton dan Thornton (1983) mengartikan latihan keterampilan sebagai perbuatan
sadar dalam menjanjikan berlangsungnya proses belajar. Pelatihan dapat dibagi atas dua
model, yaitu model terbuka dan model tertutup. Model terbuka yaitu : (1) outside
factors exist which cannot be identified at the outset, (2) a working hypothesis, (3)
descriptive, and (4) verbal. Sedangkan model tertutup, yaitu : (1) all factor can be
identified or accounted for in the model, (2) outcomes predetermined, (3) predictive,
and (4) mathematical (Nadler, 1982). Lebih lanjut ia mengajukan model yang disebut
the Critical Events Model (CEM), yang dioperasionalkan melalui sembilan langkah dan
setiap langkah melalui proses evaluasi dan tindak lanjut. Model CEM ini, selanjutnya
digambarkan sebagai berikut :

Gambar The Critical Evenst Model (Nadler, 1982)

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


235

Gambar Model Proses Instructional Desain (Kelly, 1995)

Gambar tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pelatihan dimulai dari


identifikasi kebutuhan organisasi, menentukan unjuk kerja atau keterampilan,
identifikasi kebutuhan pembelajar, merumuskan tujuan, membuat kurikulum, memilih
strategi instruksional, menghasilkan sumber-sumber instruksional, mengadakan
pelatihan, dan selanjutnya kembali kepada identifikasikan kebutuhan untuk melihat
kekuatan dan kelemahan pelaksanaan sebelumnya sehingga perlu direvisi atau
disempurnakan dalam rangka pengembangan program atau organisasi.
Salah satu model desain pembelajaran dalam pelatihan seperti dikemukakan oleh
Mary Gaill Biebel yang terdiri atas 14 langkah, dalam proses pelatihan ; Star ; (1)
analisis masalah, (2) analisis tugas dan sasaran, (3) analisis tugas untuk pelatihan, (4)
menilai kebutuhan latihan, (5) menulis tujuan pembelajaran, (6) menentukan prasyarat
pembelajaran, (7) membuat disain sillabus, (8) membuat strategi pengaturan, (9)
mengembangkan strategi tes, (10) mengembangkan bahan belajar, (11) uji coba bahan
belajar, (12) revisi bahan belajar, (13) pilot pembelajaran, (14) revisi pembelajaran, dan
seterusnya (Kelly, 1995).
Proses pengembangan program pembelajaran orang dewasa, meliputi ; (1)
mempertahankan dan memelihara iklim pembelajaran ke arah perubahan, (2)
menciptakan dan memelihara mekanisme untuk perencanaan timbal balik, (3)
mendiagnosis kebutuhan belajar peserta, (4) menerjemahkan kebutuhan belajar kedalam
sasaran hadil pelatihan, (5) perancangan dan pengelolahan suatu pola pengalaman
belajar, (6) mengevaluasi exten kepada sasaran hasil yang telah dicapai (memelihara
iklim kepemimpinan dan perencanaan timbal balik kepada siklus langkah 3 untuk
pengembangan program berlanjut).
Tujuan pelatihan adalah untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah
laku, ketrampilan dan pengetahuan dari para karyawan, sesuai dengan kebutuhan
perusahaan yang bersangkutan (Nitisasmito, 1982). Asas-asas umum pelatiahan
menurut Yoder, (1962) terdiri atas ; (1) individual differences; (2) relation to job
analisis; (3) motivation; (4) active participation; (5) selection of trainess; (6) selective
of trainers; (70 trainers training; (8) training methods; (9) principles of learning.
Pelatiahn merupakan fasilitator terhadap peserta pelatihan. Menurut Bonnie J. Cain dan
John P. Comins (1977) peran pelatih adalah ; (1) memaksimalkan partisipasi para
peserta pelatiahn. (2) membantu peserta pelatihan melihat seluruh masalahnya dalam

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


236

proses pengambilan keputusan, dan (3) memberikan keahlian teknis yang dibutuhkan
peserta pelatihan dalam memproduksi bahan belajar.
Perencanaan pelatihan yang strategis dalam dunia bisnis dikemukakan oleh
Svenson dan Rinderer (1992) dengan langkah-langkah yang lebih rinci, sebagai berikut :
I. Overview
a. Training implications of business plan : (1) Growth goals, (2) quality control,
dan (3) cost control.
b. Major training strategies : (1) Manager training, (2) cook training, dan (3)
counter training
c. Cost/benefit analysis ; (1) Training costs, (2) cost of not training, dan (3)
expected return on investment.
d. Implementation ; (1) outside resources to develop systems and materials, dan (2)
our managers to exsecute the training
II. Development of systems and materials
a. Analysis of tasks and skilla ; (1) Timing, dan (2) resource requirements
b. Development of training materials ; (1) Timing, dan (2) resource requirements
c. Develop training store concept ; (1) Timing, (2) resource requirements
d. Develop evaluation system ; (1) Timing, dan (2) resourse requirements
III. Implementation
a. Training the managers for implementation
b. Implementation support
c. Evaluation method
d. Management feedback and control process
Pandangan senada juga dikemukakan oleh Procton dan Thornton (1983) bahwa
pelatihan keterampilan mencakup kejadian-kejadian yang berurutan atau proses yang
terus-menerus dengan kekuatan-kekuatan dan batas-batas yang dapat ditentukan.
Menurutnya, langkah-langkah pelatihan dan sembilan, yaitu : (1) menentukan
kebutuhan latiahan, (2) metode pemberian instruksi, (3) menyiapkan program latihan.
(4) rancangan evaluasi latihan. (5) langkah-langkah sebelum pelatiahn, (6) instruksi, (7)
langkah-langkah sesudah latihan, (8) umpan balik dari hasil latihan, dan (9) evaluasi
manjemen.
Secara konseptual Middleton mengemukakan, bahwa untuk menyusun sebuah
materi pelatihan yang baik, harus memperhatikan spesialisasi. Kebutuhan keterampilan,
dan specialisation to different skill market. Pelatihan untuk sektor modern harus
memperhatikan sedikitnya dua faktor utama ; (1) the degree of division of labour and
specialisation, (2) the central role of production technologies and processes (Hidayat
dan Syamsulbahri. 2001). Khusu untuk sektor informal menurut Middleton hendaknya
lebih dititikberatkan pada aspek : (1) keterampilan teknik produksi, (2) keterampilan
mobilisasi kapital, (3) keterampilan manajemen usaha, (4) pengetahuan dan
keterampilan pemasaran produksi.
Ada delapan faktor yang harus diperhatikan agar pelatihan (training) dapat
berhasil dengan baik, yaitu : Pertama, individual differences, tiap-tiap individu
mempunyai ciri khas yang berbeda satu sama lain, baik mengenai sifat, tingkah laku,

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


237

maupun pengalamannya. Kedua, relation to job analysis, analisis ini bermaksud


memberikan pengertian akan tugas yang harus dilaksanakan dalam suatu pekerjaan dan
untuk mengetahui alat-alat apa yang harus digunakan dalam menjalankan pekerjaan itu.
Oleh karena itu, untuk memberikan suatu pelatihan terlebih dahulu harus diketahui
keahlian dan kebutuhan, sehingga pelatihan terlebih dahulu harus diketahui keahlian
dan kebutuahn, sehingga pelatihan dapat diarahkan untuk mencapai atau memenuhi
kebutuhan tersebut. Ketiga, motivation, pelatihan sebaiknya dirancang sedemikian rupa
sehingga dapat menimbulkan motivasi kepada trainees. Motivasi dalam pelatihan sangat
perlu sebab pada dasarnya motif yang mendorongnya untuk melakukan pekerjaan
sehari-harinya. Keempat, active participation, tugas pelatiahn tidak hanya memberikan
teori dan praktek, tetapi juga dapat membentuk cara berfikir kritis, dan bagaimana
mempraktekkan pengetahuan yang diperolehnya. Melalui partisipasi trainees, maka
mereka semakin menyadari masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga ia berusaha
memecahkan masalah yang sulit secara bersama-sama. Kelima, selection of trainees,
pelatihan sebaiknya diberikan kepada mereka yang berminat dan menunjukkan bakat
untuk dapat mengikuti latihan itu dengan berhasil, sehingga perlunya diadakan seleksi
calon peserta. Keenam, selection of trainers, seorang pelatih harus mempunyai
kecakapan vak, seperti : pengetahuan vak yang mendalam dan mempunyai kecakapan
vak, mempunyai rasa tanggung jawab dan sadar akan kewajiban, bijaksana dalam segala
tindakan dan sabar, dapat berfikir secara logis, dan mempunyai kepribadian yang
menarik. Ketujuh, trainer training, seorang pelatih sebelum diserahi tugas sebagai
pelatih hendaknya telah mendapatkan pendidikan khusus untuk menjadi pelatih.
Kedelapan, training methods, metode yang digunakan dalam pelatihan harus sesuai
dengan jenis pelatihan yang diberikan (As’ad, 1991).
Pelatihan kewirausahaan sebagai usaha untuk terjadinya proses belajar individu
atau kelompok. Dalam proses pelatihan yang melibatkan orang dewasa sebagai peserta
didik, oleh Marger diuraikan empat faktor yang harus diperhatikan:
1. Belajar adalah untuk masa sekarang dan masa depan
2. Kemungkinan bagi warga belajar untuk memanfaatkan pengetahuan dipengaruhi
oleh sikap terhadap materi pelatihan
3. Manusia sebagai fasilitator mempengaruhi sikap terhadap bahan belajar dan terhadap
proses pembelajaran.
4. Salah satu tujuan yang harus dicapai adalah mempengaruhi para warga belajar
melalui sikap positif terhadap bahan belajar (Soebari, 2000).
Seorang pengelola pelatihan dapat mengambil studi banding dari strategi yang
biasanya diterapkan oleh seorang pelatih olahraga, yaitu ;
1. Biasanya memberikan instruksi dari luar
2. Mendorong belajar melalui perbuatan (learning by doing)
3. Mematuhi aturan atau standar yang ditetapkan
4. Patut dihormati
5. Menciptakan suasana percaya diri
6. Menggunakan peraga secara bijak
7. Mengakui perbedaan individual

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


238

8. Membiarkan pemain mengetahui dimana mereka harus bermain


9. Mengajukan berbagai pertanyaan untuk mendorong berfikir.
10. Memiliki kesabaran
11. Mengerjakan suatu hal dalam satu awaktu dan
12. Mengulangi latihan (Soebari, 2000)
Pelatihan adalah usaha berencana yang diselenggarakan supaya dicapai
penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang relavan dengan kebutuhan
peserta pelatihan. Umumnya pelatihan dilakukan untuk pendidikan jangka pendek
dengan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk tujuan tertentu. Pendidikan
dalam bentuk pelatihan, relavan diberikan kepada masyarakat lapisan bawah seperti
perempuan didaerah pedesaan untuk mempelajari keterampilan hidup (life skill).
Kegiatan pendidikan pelatihan yang terjangka pendek tidak membosankan peserta dan
hasilnya dapat dengan cepat dinikmati. Pelatihan dilaksanakan untuk meningkatkan
kualitas peserta atau mengembangkan kemandirian. Istilah kemandirian berusaha yang
dipersamakan dengan kewirausahaan, selanjutnya dapat dibandingkan dengan
entrepreneur. Misalnya jenis pelatihan yang diselenggarakan KKB Jawa Barat meliputi.
Pelatihan Business Plan, pelatihan Salesmenship Profesional, pelatihan strategi
pemasaran, pelatihan manejemen produksi, pelatiahn manajemen mutu, manajemen
desain produk, dan sebagainya. Untuk dapat menyusun pelatihan kewirausahaan, maka
upaya yang harus dilakukan pengelolah, yaitu :
1. Mempelajari modul-modul pelatihan yang telah ada
2. Melakukan wawancara mendalam dengan berbagai nara sumber yang berkompeten,
dan
3. Memaksimalkan peran mitra lokal, khususnya kontribusi pemgetahuan dan
pengalaman mereka dalam menyusun materi pelatihan (Hidayat dan Syamsulbahri,
2001)
Secara teoritis, Robinso membedakan dua metode utama dalam melaksanakan
pelatihan ; (1) Didaktic Method, dan (2) Participative Method (Hidayat dan
Syamsulbahri, 2001). Aplikasi dari metode yang pertama umumnya dilakukan dengan
pola tutorial atau memberi ceramah langsung di kelas. Sementara, aplikasi dari metode
kedua lebih bervariasi, seperti ; role paying, diskusi kelompok, praktek kelompok,
konferensi, simulasi, dan studi kasus. Keputusan dalam pemilihan metode pelatihan
hendaknya tidak didasarkan atas pertimbangan karena keberhasilan suatu metode dalam
pelatihan tertentu. Indikator yang perlu diperhitungkan dalam pemilihan metode ; tujuan
pelatihan, karakteristik peserta, kendala- kendala teknis dan keuangan yang dihadapi.
Diantara metode konvensional yang sering digunakan untuk mengevaluasi tingkat
penguasaan materi pelatihan oleh para binaan adalah melalui ujian tertulis. Namun
metode ini akan lebih komprehensif jika dikombinasikan dengan metode praktek
mandiri. Secara umum, prinsip dasar dari metode evaluasi yang disebut kedua adalah
menilai hasil kerja praktek yang dilakukan secara mandiri.
4. Pendidikan Life Skill di Perguruan Tinggi
Dalam dunia Perguruan Tinggi Pendidikan Life Skill dalam rangka
meningkatkan keprofesionalan Mahasiswa banyak cara yang dilakukan antara lain

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


239

misalnya Budaya Kampus, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan kampus baik oleh


mahasiswa maupun oleh para dosen untuk meningkatkan dan pencapaian
keprofesionalan bagi Mahasiswa.
Kemudian, dalam proses pembelajaran melaksanakan hal-hal atau kegiatan yang
membuat skill atau profesional siswa dengan melalui misalnya, review buku, membuat
artikel, membuat proposal, membuat kelompok pengajian, workshop dan seminar dan
konferensi serta banyak lagi kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan.
a) Richard (2001:206) dalam buku kurikulum Development menjelaskan bahwa ada
beberapa hal yang dapat meningkatkan keprofesionalisme seseorang: Ikut
konferensi, dengan mengikuti konferensi dapat membuat jaringan dengan orang
lain dan bisa mempelajari tentang hal-hal yang trend isu-isu pendidikan beserta
prakteknya,
b) Workshop dan Seminar melalui kegiatan ini dalam beberapa institusi dapat
membuat bidang-bidang yang diminati misalnya cara membuat modul, RPP,
Silabi, dan membuat multimedia.
c) Membuat kelompok Kajian atau Kelompok Belajar hal ini akan dapat memahami
dengan baik suatu topik, dan akan punya kesempatan untuk berdiskusi apa yang
telah dibaca dengan temannya.
d) Saling mengobservasi sesama, hal ini berguna untuk melakukan kritikan atas
refleksi hasil pengajarannya yang belum profesional agar menjadi profesional.
e) Menulis tentang pengajaran, yaitu menulis jurnal tentang metode mengajar dan
dapat dijelaskan pada orang lain,
f) Membuat proyek kegiatan, dapat memberikan kesempatan untuk membuat materi
tentang mengajar, media, video, dan sumber mengajar,
g) Action Research, dapat membuat penelitan tindakan kelas, dapat memilih kegiatan
yang telah dibahas sesuai dengan kebutuhan untuuk meningkatkan
keprofesionalan.
Sementara kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam kategori karya pengembangan
intelektual adalah melalui atau meliputi tulisan yang dipublikasikan, review buku,
membuat modul atau diklat, membuat media pembelajaran, laporan penelitian, dan
karya seni, misalnya patung, rupa, tari, lukis, sastra, dan lain-lain.

D. Kesimpulan
Dengan demikian Pendidikan berorientasi life skill bagi peserta didik adalah
sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik
sebagai kehidupan pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga
negara.dengan hasil yang dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Jenis-jenis kecakapan hidup yang telah dijelaskan diatas, pada dasarnya kalau
dikelompokkan hanya ada empat jenis kecakapan hidup, yakni (1) kecakapan pribadi
(personal skill), (2) kecakapan sosial (sosial skill), (3) kecakapan akademik (academic
skill), dan (4) kecakapankerja (vocational skill).

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


240

Adapun sasaran pendidikan life skill adalah' Anggota masyarakat usia produktif
18-45 tahun, perempuan maupun laki-laki, putus sekolah maupun belum memilki
pekerjaan, dengan kriteria :
a) Memiliki kemauan untuk belajar dan bekerja
b) Memiliki komitmen mengikuti kegiatan belajar sampai dengan selesai yang
dibuktikan dengan surat pernyataan kesedihan kesanggupan belajar.
c) Domisi warga masyarakat desa yang berada pada lingkup satu kecamatan.
Tujuan dari pendidikan life skill adalah untuk memberikan pengalaman belajar
yang berarti bagi peserta didik yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan di dalam
kehidupan sehari-hari.
Kurikulum Pendidikan Life Skill Adalah paket pembelajaran yang disajikan
secara terbatas dan terbuka sesuai dengan kebutuhan dan potensi sumber daya lokal,
baik dalam kegiatan usaha di bidang pertanian, budidaya peternakan, perkebunan,
perikanan maupun hasil produksi pertanian, industri rumah tangga, atau jenis kegiatan
yang lain, dimana peserta belajar apabila kurikulum yang disediakan tersebut kurang
dapat memenuhi, dapat menambahkan, mengurangi bahkan mengubah sendiri sesuai
dengan kebutuhan yang diinginkan.
Pelaksanaan pendidikan life skill sebagai berikut:
a) Life skill dalam pendidikan formal
b) Life skill dalam pendidikan non formal
c) Life skill dalam dimensi kewirausahaan
Pendidikan life skill implementasi program inovasi kurikulum dapat dilakukan
pertama di sekolah formal baik tingkat sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah
menengah atas dan perguruan tinggi, dengan dilakukan sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh tujuan pendidikan dimana dilaksanakan, selanjutnya life skill dapat juga
dilakukan melalui jalur luar sekolah dan juga dapat dilakukan melalui pelatihan-
pelatihan. Kesemua itu pendidikan Life Skill dilaksanakan adalah sesuai dengan tujuan
dan fungsi serta manfaat Life Skill tersebut, Yaitu untuk menciptakan seseorang
individu menjadi mampu menghadapi kehidupan secara mandiri.

Daftar Pustaka
Abdullah, (1999), Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik, Jakarta: Gaya Media
Pratama
Abdul Rahim Rashid. (1998). Ilmu Sejarah: Teori dan amalan dalam pengajaran
dan pembelajaran Sejarah. Kertas kerja yang dibentangkan dalam Simposium Sejarah,
Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 30–31 Oktober.
Anwar, (2004) pendidikan kecakapan hidup (life skill education): konsep dan aplikasi,
bandung : Alfabeta
Anwar, (2004) Pendidikan Kecakapan Hidup, Konsep dan Aplikasi, Bandung : CV.
Alifa Beta.
Anwar, (2006), Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education), Bandung: CV
Alfabeta

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


241

Alpiyanto, (2011), Heart Teaching Rahasia Mudah Mendidik Dengan Hati. Jakarta :
Multimedia Grafitama.
Aqib Zainal, (2011), Pendidikan Ketrampilan Hidup Sehat, Bandung : Yrama Widya.
Arifin Muzaiyyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Asy-Syaibani, Omar Muhammad al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.
B. Uno Hamzah, (2011), Belajar Dengan Pendekatan Paikem, Jakarta : Bumi Aksara
B. Uno Hamzah, (2008), Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta : Bumi
Aksara.
Danim Sudarwan, (2007), Metode Penelitian untuk Ilmu Prilaku, Jakarta : Bumi
Aksara.
Depdiknas. (2002). Pengembangan Pelaksanaan Broad-Based Education, High-
Based Education, dan Life Skills di SMU. Jakarta: Depdiknas.
Ditjen Diklusepa, Depdiknas, (2004), pedoman penyelenggaraan program kecakapan
hidup (Life Skills) pendidikan non formal, Jakarta : Ditjen Diklusepa
Eisner, E.W. (1979), The Educational Imagination: On the Design and Evalution of
School Programmes. New York: Macmillan.
Fatimah Enung, (2006), Psikologi Perkembangan, Bandung : Pustaka Setia.
Firdaus M Yunus. (2004). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo freire-Y.B
Mangunwijaya. Yogyakarta: Logung Pustaka
Ginanjar Ari Agustian,(2002), Emotional Spiritual Quotient. Jakarta : Arga
Halim Abduh Soebahar, (2002), Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam
Mulia.
Hamalik Oemar, (1995), Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta : Bumi Aksara.
Hamalik Oemar, (2007), Proses Belajar Mengajar, Jakarta : Bumi Aksara
(http://groups.yahoo.com/group/sd-islam/message/1907).
Hamka, Dr, Prof, Tafsir Al – Azhar, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983
Illich, Ivan, (2000), Membebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah, Terj. Sony
Keraf, Jakarta: Obor.
Isjoni , (2009), Guru Sebagai Motivator Perubahan. Jogjakarta : Pustaka Pelajar.
Johnson Elaini, (2008), Contextual Teaching & Learning. Bandung : Hlc
Langgulung, H. (1995), "Pendidikan Islam dalam Masyarakat Demokrasi". Dalam
Concencie: Jurnal Pendidikan Islam. Nomor 1 Volume III, Juni.
Majid Abdul, dkk,. (2008), Islam dan tuntunan dan pedoman hidup, bandung : value
press.
Muhaimin, (2009), Rekonstruktursi Pendidikan Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Mukti Abdul, (2004), Quantum Transformasi Idealisme, Semarang : IAIN Wali Songo
Fakultas Tarbiyah Buletin LPM Edukasi, Edisi 4.
Mulyasa, (2002), Remaja Rosda Karya. Bandung : Manajemen Berbasis Sekolah.
Nalawijaya Rohman, (2007), Teori & Praktek Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan
: Indo Press.
Nasution, S, (1993), Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Aditya Bhakti.

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012


242

Nuraida & Alkaf Halid, (2009), Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Islamic
Research Publishing.
Purwanto Ngalim,(2002). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sajirun, (2006), Mengajar Dari Kedalaman Cinta, Palembang : IAIN Raden Fatah
Press
Shihab, Quraish, Tafsir Al – Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009
Soetopo, H.S & Soemanto w, (1979). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum:
Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Subandijah, (1993). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Suhandoyo, (1993). Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia
MelaluiInteraksi Positif dengan Lingkungan. Yogyakarta: PPM IKIP
Yogyakarta.
Sujanto, (2008), Psikologi Kepribadian. Jakarta : Bumi Aksara.
Sukardi Ismail, (2011), Model dan Metode Pembelajaran Modern ; Suatu Pengantar.
Palembang : Tunas Gemilang.
Sukmandinata, Nana Syaodih, (1999), Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumarni Sri, (2002) Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem
dan Prospek Pendidikan Islam. Yogyakarta : IAIN Kalijaga Fak Tarbiyah
Supriyadi. (1999). Buku Pegangan Perkuliahan Teknologi Pengajaran Fisika.
Yogyakarta: Jurdik Fisika Fmifa Uny
Supriadi Oding, (2010), Rahasia Sukses Kepala Sekolah, Yogyakarta : Haks Bang
Pressindo
Suryabrata Sumadi, (1982), Psikologi Kepribadian, Jakarta : Raja Grafindo.
Suryadi Ace, Mewujudkan Masyarakat Pembelajar (Konsep, Kebijakan Dan
Implementasi)
Suyanto & Djihad Hisyam, (2000), Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Millenium III, Yogyakarta: Adicita
Qurrah, Husein Sulaiman, (1979), al-Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah fi Bina al-Manhaj,
Mesir: Dar al-Ma'arif
Tim BBE, Depdiknas, (2003), Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill
Education), Jakarta : Depdiknas
Topatimasang, (1999), Sekolah Itu Candu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahab Rohmalina, (2011), Psikologi Agama, Palembang : Grafika Telindo Press.
William, J. Galer & Alexander, M., (1960), Curriculum Planning for Better Teaching
and Learning, New York: Holt Rinehart and Winston.

TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012

Anda mungkin juga menyukai