Anda di halaman 1dari 22

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DENGAN


KEJADIAN LEPTOSPIROSIS DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS NGRAYUN KABUPATEN
PONOROGO

Diajukan oleh:

Annisa Firdaus

J 50012 0013

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
ABSTRAK

HUBUNGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DENGAN


KEJADIAN LEPTOSPIROSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
NGRAYUN KABUPATEN PONOROGO

Annisa Firdaus¹, N Juni Triastuti², Burhannudin Ichsan², Fakultas Kedokteran


Universitas Muhammadiyah Surakarta

Latar Belakang: Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan suatu indikator
kesehatan yang sering berkaitan dengan penyakit infeksi. Banyak masyarakat
tidak memperdulikan bagaimana cara berperilaku hidup bersih dan sehat
dengan benar, khusunya masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan yang
mayoritas memiliki PHBS yang buruk dan memiliki resiko tinggi terkena
penyakit infeksi seperti halnya Leptospirosis. Dalam hal ini PHBS memiliki
hubungan dalam penularan penyakit Leptospirosis.
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan perilaku
hidup bersih dan sehat dengan kejadian Leptospirosis di wilayah kerja
Puskesmas Ngrayun, Kabupaten Ponorogo.
Metode: Desain penelitian adalah penelitian observasional analitik dengan
pendekatan case control. Sampel penelitian adalah sebagian masyarakat
penderita Leptospirsis di wilayah kerja Puskesmas Ngrayun Kabupaten
Ponorogo dengan teknik pengambilan sampel non random sampling. Besar
sampel sebanyak 80 responden. Data selanjutnya dianalisis dengan uji chi-
square.
Hasil: hasil hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan kejadian
Leptospirosis didapatkan rerata PHBS baik sebesar 47.5% sedangkan PHBS
yang buruk 52.5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa rerata skor PHBS
buruk lebih tinggi daripada PHBS baik. Nilai p (sig) sebesar 0,000 telah
memenuhi criteria normal yaitu p<0.05 sehingga dalam penelitian ini
didapatkan hubungan yang bermakna.
Kesimpulan: Terdapat hubungan signifikan antara hubungan perilaku hidup
bersih dan sehat dengan kejadian Leptospirosis di wilayah kerja Puskesmas
Ngrayun Kabupaten Ponorogo.

Kata Kunci: Perilaku hidup bersih dan sehat, Leptospirosis.

¹ Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta


² Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN CLEAN AND HEALTHY LIFESYTLE


TO LEPTOSPIROSIS INCIDENT IN THE WORKING AREA OF
PUSKESMAS NGRAYUN DISTRICT PONOROGO

Annisa Firdaus¹, N. Juni Triastuti², Burhanudin Ichsan², Faculty of Medicine,


University of Muhammadiyah Surakarta

Background : Clean and healthy lifestyle is indicator of health related to


infectious disease. Many people not care how to do good healthy and clean
lifestyle, especially people living in rural area majority have bad clean and
heathy lifestyle will have a high risk of infectious disease, such as
Leptospirosis. In this case, the clean and healthy lifestyle have a relationship
transmission in the incidence of Leptospirosis.
Purpose of the Research : Purpose of the research is to analyze relationship
between clean and healthy lifestyle to Leptospirosis incident in the working
area of Puskesmas Ngrayun district Ponorogo.
Methode: The design of the research is a analytic observational research by
employing case control approach. The sample of the research is some people
patient with Leptospirosis live in the working area of Puskesmas Ngrayun,
district Ponorogo by using non random sampling technique. The amount
sample were 80 respondent. The data were analyzed by using chi- square test
or alternative Fisher.
Objective: The objective of research is analyzed relationship between clean
and healthy lifestyle to Leptospirosis incident in the working are of
Puskesmas Ngrayun district Ponorogo.
Results: The result of relationship between clean and healthy lifestyle to
Leptospirosis is a mean good clean and healthy lifestyle 47.5% and bad clean
and healthy lifestyle 52.5%, so that it can be concluded that mean bad clean
and healthy lifestyle more higher than good clean and healthy lifestyle. The
p- value(sig) of 0.000 met normal criteria, namely p<0.05 that the research
found significant relationship.
Conclusion: There is a relationship between clean and healthy lifestyle to
Leptospirosis incident in the working area of Puskesmas Ngrayun district
Ponorogo.

Keywords : Healthy and clean lifestyle, Leptospirosis.

¹ Students faculty of medicine University of Muhammadiyah Surakarta


² Teachers Faculty of Medicine University of Muhammadiyah Surakarta
PENDAHULUAN
Surat keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1114/menkes/SK/VIII/2005 tentang pedoman pelaksanaan promosi kesehatan
di daerah yang secara operasional bertujuan agar masyarakat mampu
berperilaku hidup bersih dan sehat sebagai bentuk pemecahan masalah-
masalah kesehatan yang dihadapinya (Depkes RI, 2007)
Angka perbedaan yang sangat tinggi terjadi pada perilaku hidup bersih
dan sehat di kota dan pedesaan. Perilaku hidup bersih dan sehat di perkotaan
memiliki angka 42,3% sedangkan di pedesaan hanya 22,9% dan termasuk
golongan rendah kebawah. Rendahnya hal tersebut sering berkaitan dengan
kurangnya penggunaan air bersih, kebiasaan buang air besar di jamban yang
tidak sehat dan tidak terbiasa mencuci tangan dengan benar sebelum/setelah
makan dan buang air besar (Riskesdas, 2013).
Penyakit infeksi dilihat dari epidemiologi dipengaruhi oleh 3 faktor
pokok yaitu faktor agent, faktor host (penjamu) dan faktor ketiga yaitu
lingkungan. Pada kejadian Leptospirosis faktor lingkungan seperti genangan
air dan sanitasi yang buruk menjadi faktor resiko munculnya penyakit
tersebut. Leptospirosis dapat terjadi sebagai resiko pekerjaan (occupational
hazard) yang umumnya menyerang petani, pekerja tambang, dokter hewan,
peternak, peternak sapi perah, pekerja potong hewan, nelayan, dan tentara
(Febrian, et al 2011).
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh
dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta
memiliki curah hujan yang tinggi. World Health Organization (WHO)
menyebutkan kejadian Leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar
antara 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara
tropis berkisar antara 10–100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun
(WHO, 2003).
Pada tahun 2000 telah dilaporkan oleh sistem pengawasan penyakit
nasional kepada kantor pusat epidemiologi dan departemen kendali penyakit
di Thailand, bahwa lebih dari 14.000 kasus dilaporkan dengan angka kejadian
23,1/100.000 dan tingkat kematian 0,6/100.000 penduduk telah dicurigai
Leptopirosis. Sistem pengawasan menyatakan adanya demam tinggi, rasa
dingin, sakit kepala, mata merah dan kegagalan bernafas merupakan ciri khas
pada penyakit ini (Hinjoy, 2014).
Indonesia merupakan negara dengan insiden Leptopirosis peringkat
ke-3 untuk mortalitasnya menurut International Leptospirosis Society (ILS).
Hal ini sesuai dengan jumlah kasus Leptopirosis di DKI Jakarta, akibat banjir
besar yang terjadi tahun 2002 mencapai 113 pasien Leptospirosis dan 20
orang meninggal dunia (Okatini, et al 2007).
Penyebaran penyakit ini terkait dengan pekerjaan petani, peternak dan
penjagalan hewan serta sanitasi yang buruk dan pemukiman yang tidak
teratur (Rahmawati, 2013). Leptopirosis di Indonesia pada tahun 2005-2011
tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Demak,
Purworejo, Klaten, Semarang, Pati), DIY, Jawa Timur (Ponorogo, Gresik,
Malang), Bengkulu (Kaur), Kep.Riau (Tanjung Uban) dan Sulawesi Selatan
(Makassar, Gowa, Maros, Pinrang) (Ningsih, et al 2014).
Daerah Ponorogo mulai dilaporkan pada tahun 2012. Kejadian Luar
Biasa (KLB) terjadi pada tahun 2015 di Kecamatan Ngrayun. Data Dinkes
Ponorogo menyatakan adanya korban jiwa dari kejadian Leptopirosis.
(Dinkes Ponorogo, 2015).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dengan
adanya kejadian luar biasa (KLB) pada Leptospirosis dan rendahnya perilaku
hidup bersih dan sehat di daerah pedesaan, maka perlu dilakukan penelitian
tentang hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan kejadian
Leptopirosis di wilayah kerja puskesmas Ngrayun, Kabupaten Ponorogo,
Jawa Timur.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional
analitik dengan pendekatan case control yang digunakan untuk mengetahui
apakah terdapat hubungan perilaku hidup bersih sehat dengan kejadian
Leptospirosis. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2015 di wilayah
kerja Puskesmas Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Teknik sampling yang
digunakan adalah non random sampling yaitu purposive sampling dengan
jumlah sampel 80 orang.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah penderita Leptospirosis
yang tercatat dalam rekam medik satu tahun terakhir, bertempat tinggal di
Kecamatan Ngrayun. Kriteria ekslusi terdiri dari responden menolak
berpartisipasi dalam penelitian, penderita pindah tempat saat dilakukan
penelitian.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perilaku hidup
bersih dan sehat sebagai variabel bebas dan kejadian Leptospirosis sebagai
variabel terikat.

HASIL
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Ngrayun Kabupaten
Ponorogo pada bulan Desember 2015. Sampel diambil dari pasien yang
bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Ngrayun, Kabupaten Ponorogo
pada bulan Desember 2015. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
didapatkan 80 sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subjek
penelitian, kemudian ditentukan besarnya sampel penelitian sebanyak 80
sampel berdasarkan rumus penentuan besar sampel. Hasil deskripsi dan
analisis data disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Umur
Umur Frekuensi Presentase (%)
<21 6 7.5
21-30 9 11,25
31-40 23 28,75
41-50 16 20
51-60 11 13,75
61-70 15 18,75
Total 80 100

Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)
Laki- Laki 52 65
Perempuan 28 35
Total 80 100

Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan


Pekerjaan Frekuensi Presentase (%)
Buruh 16 20
Pedagang 5 6,3
Petani 53 66,3
Peternak 6 7,5
Total 80 100
Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan pendidikan
Pendidikan Frekuensi Presentase (%)
SD 33 41,3
SMP 18 22,5
SMA 29 36,3
Total 80 100

Tabel 6. Hasil uji Chi- Square Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
dengan Kejadian Leptospirosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ngrayun, Kabupaten
Ponorogo.
Kejadian Leptospirosis
Negatif Positif Total
PHBS Leptospirosis Leptospirosis (P)
N % N % N %
Baik 30 79% 8 21% 38 100%
Buruk 10 24% 32 76% 42 100% <0,001
Total 40 50% 40 50% 80 100%

Tabel 7. Jumlah perilaku hidup bersih dan sehat pada responden


PHBS N %
Baik 38 47,5%
Buruk 42 52,5%
Tabel 8. Hasil hubungan air bersih dengan kejadian Leptospirosis.
Air Kejadian Leptospirosis Nilai OR 95%Cl
Bersih P
Kasus Kontrol
∑ % ∑ %
Baik 3 7,5% 14 35,0%
Buruk 37 92,5% 26 65,0% 0,003 6,641 1,732-
25,46
Total 40 100% 40 100%

Tabel 9. Hasil hubungan populasi tikus dengan kejadian Leptospirosis.


Populasi Kejadian Leptospirosis Nilai OR 95%Cl
Tikus P
Kasus Kontrol
∑ % ∑ %
Ada 37 92,5% 27 67,5%
0,005 5,938 1,540-
Tidak Ada 3 7,5% 13 32,5%
22,903
Total 40 100% 40 100%

Tabel 10. Hasil hubungan pembuangan sampah dengan kejadian


Leptospirosis.
Pembuangan Kejadian Leptospirosis Nilai OR 95%Cl
Sampah P
Kasus Kontrol
∑ % ∑ %
Baik 1 2,5% 16 40,0%
<0,001 26,000 3,238-
Buruk 39 97,5% 24 60,0%
208,803
Total 40 100% 40 100%

Tabel 11. Hasil hubungan genangan air dengan kejadian Leptospirosis.


Genangan Kejadian Leptospirosis Nilai OR 95%Cl
Air p
Kasus Kontrol
∑ % ∑ %
Ada 32 80% 20 50%
Tidak Ada 8 20% 20 50% 0,005 4,000 1,483-
10,788
Total 40 100% 40 100%

Tabel 12. Hasil hubungan hewan ternak dengan kejadian Leptospirosis.


Hewan Kejadian Leptospirosis Nilai OR 95%Cl
Ternak p
Kasus Kontrol
∑ % ∑ %
Ada 31 77,5% 17 42,5%
Tidak Ada 9 22,5% 23 57,5% 0,001 4,660 1,764-
12,311
Total 40 100% 40 100%

Tabel 13. Distribusi Ubin Kedap Air Responden


Ubin Kejadian Leptospirosis Nilai OR 95%Cl
Kedap Air p
Kasus Kontrol
∑ % ∑ %
Ada 6 15% 25 62,5%
Tidak Ada 34 85% 15 37,5% <0,001 9,444 3,212-27,767
Total 40 100% 40 100%

Tabel 14. Hasil hubungan jamban dengan kejadian Leptospirosis.


Jamban Kejadian Leptospirosis Nilai OR 95%Cl
p
Kasus Kontrol
∑ % ∑ %
Baik 1 2,5% 10 25%
Buruk 39 97,5% 30 75% 0,003 13,000 1,576-107,228
Total 4 100% 40% 100%

Tabel 15. Distribusi Makanan Sehat Responden


Makanan Kejadian Leptospirosis Nilai OR 95%Cl
Sehat p
Kasus Kontrol
∑ % ∑ %
Baik 5 12,5% 18 45%
Buruk 35 87,5% 22 55% 0,001 5,727 1,859-
17,645
Total 40 100% 40 100%

Tabel 16. Hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan kejadian
Leptospirosis.
Kejadian Leptospirosis Nilai OR 95%Cl
PHBS p
Kasus Kontrol
∑ % ∑ %
Buruk 32 80% 10 25%
<0,001 12,000 4,180-
Baik 8 20% 30 75%
34,454
Total 40 100% 40 100%
PEMBAHASAN

Berdasarkan perhitungan statistik terhadap data- data yang telah


diperoleh dari penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Ngrayun Kabupaten Ponorogo. Hasil data analisis univariat, menunjukkan
masyarakat yang bekerja sebagai petani sebanyak (66,3%), pekerja buruh
sebesar 20%, pedagang sebesar 6,3%, dan peternak sebesar 7,5%. Segi
pekerjaan, petani/nelayan mempunyai resiko besar untuk terkena
Leptospirosis. Setiap hari, mereka yang bekerja sebagai petani/nelayan
selalu kontak dengan air, baik air sungai di depan rumahnya maupun air
sungai yang ditampung di dalam rumahnya. Pada sore hari, rata-rata
mereka melakukan kegiatan rutin seperti mandi dan mencuci di sungai
(Farida, 2008)
Penelitian lain juga menyatakan umumnya penderita yang menderita
Leptospirosis bekerja sebagai petani yang setiap harinya selalu kontak
dengan air yang terdapat bakteri saat bekerja di sawah (Pujiyanti,2012).
Data hasil analisis univariat menyatakan jenis kelamin laki-laki
sebesar (65%) dan perempuan (35%). Sesuai dengan hasil yang
menyatakan penderita Leptospirosis lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Sebab sebagian pekerjaan sawah banyak
dilakukan oleh laki-laki dibandingkan perempuan yang hanya bertugas
membantu sewaktu-waktu. Aktivitas yang berkenaan dengan air seperti
berada di sungai, sawah, dan tempat tempat yang berhubungan dengan air
membuat laki-laki mudah terserang Leptospirosis (Ramadhani, 2012).
Namun, penelitian lain menyatakan jenis kelamin tidak memiliki
hubungan dengan kejadian Leptospirosis, sebab manusia dengan semua
jenis kelamin adalah rentan terhadap infeksi Leptospirosis dan akan lebih
beresiko lagi apabila dikaitkan dengan jenis pekerjaan (Okatini, 2007)
Jenjang pendidikan paling tinggi pada responden adalah SMA
dengan jumlah 29 orang atau (36,3%), SMP berjumlah 18 orang atau
sebesar (22,5%), dan pada SD sebanyak 33 orang atau sebesar 43,1%.
Pada uji chi square terdapat hubungan yang bermakna secara statistik
antara pendidikan responden dengan kejadian Leptospirosis, dimana kasus
Leptospirosis beresiko terjadi pada responden yang berpendidikan rendah
dibandingkan responden berpendidikan tinggi, karena masyarakat yang
memiliki pendidikan rendah akan mengalami kesulitan untuk menerima
daya terima saat pendidikan, penyuluhan dan sosialisasi pencegahan dan
penanggulangan Leptospirosis (Bambang, 2011)
Faktor perilaku yang terbukti berhubungan dengan kejadian
Leptospirosis antara lain riwayat kontak dengan tikus, hewan peliharaan
seperti anjing, kerbau, sapi, kebiasaan mandi dan mencuci di sungai,
kontak genangan air, keberadaan sampah (Rejeki, 2012).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara
kondisi air bersih dengan kejadian Leptospirosis di wilayah kerja
Puskesmas Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Hasil uji chi square diperoleh
nilai p sebesar 0,003 atau (p<0,05). dengan nilai OR sebesar 6,641 dan
95%Cl= 1,732-25,465 maka dapat diketahui bahwa responden dengan
kondisi air bersih yang buruk memiliki resiko terkena Leptospirosis 6,6
kali lebih besar dibandingkan responden yang memiliki air bersih dengan
kondisi yang baik.
Hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa sebagian besar
responden kasus dengan kondisi air bersih yang baik dan sehat yaitu
sebanyak 3 orang atau 7,5% dan responden yang memiliki kondisi air
sehat yang tidak terawat/buruk sebanyak 37 orang atau 92,5% karena pada
sebagian besar responden kasus mendapatkan sumber air bersih yang
diperoleh dari sungai yang mudah tercemari berbagai infeksi penyakit.
Sebaliknya pada responden kontrol, dimana kondisi air bersih yang baik
lebih banyak daripada kondisi air bersih yang tidak terawat/buruk.
Menurut (Okatini, 2007) sarana air bersih yang tidak memadai
berhubungan dengan kejadian Leptospirosis. Walaupun masyarakat selalu
memasak air sebelum diminum, namun karena daerah yang kumuh, dan
dekat dengan sungai, maka kejadian kontaminasi air dengan bakteri
Leptospira sp sangat mudah terjadi.
Penelitian lain juga menyatakan bahwa kebiasaan masyarakat
memandikan hewan ternak di sungai juga merupakan sumber pencemaran
air sungai dan memiliki resiko 4,52 kali lebih mudah terkena
Leptospirosis, sebab air sungai bisa terkontaminasi oleh bakteri Leptospira
sp yang dibawa oleh urine tikus ataupun sapi, kambing, dan kerbau
sehingga bakteri tersebut masuk kedalam manusia lewat kulit dan mukosa
yang lecet/terluka (Rejeki, 2013)
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa ada hubungan antara
populasi tikus dengan kejadian Leptospirosis di wilayah kerja Puskesmas
Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Hasil uji chi square diperoleh nilai p
sebesar 0,005 atau (p<0,05). dengan nilai OR sebesar 5,938 dan 95%Cl =
1,540-22,903 maka dapat diketahui bahwa responden dengan kondisi
rumah yang terdapat tikus memiliki resiko 5,9 kali lebih besar terkena
Leptospirosis daripada responden yang didalam rumahnya tidak terdapat
tikus dalam keadaan mati/hidup.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa
sebagian besar responden kasus terdapat tikus didalam rumahnya sebanyak
37 orang atau sebanyak 92,5% dan sedangkan yang tidak terdapat tikus
didalam rumah responden sebanyak 3 orang atau 7,5%.
Kondisi lingkungan rumah sangat erat kaitannya dengan
keberadaan tikus yang merupakan reservoir utama dari Leptospirosis.
Rumah yang tidak sehat biasa digunakan tikus untuk lalu lintas masuk ke
dalam rumah, sehingga rumah tersebut dijadikan sebagai tempat tinggal
tikus. Lantai rumah yang sebagian besar masih tanah sangat potensial
untuk berkembangnya bakteri Leptospira sp, sebab bakteri ini mampu
dalam tanah dan air hingga berbulan-bulan (Ramadhani, 2010).
Hal tersebut juga sesuai menurut (Supraptono, 2011) hasil
penelitiannya yang menggunakan Chi square p sebesar 0,001 atau p<
0,005 menunjukkan bahwa penduduk yang di tempat tinggalnya terdapat
hewan ternak yang dicurigai terdapat bakteri Leptospira sp memiliki
resiko terkena Leptospirosis 24,5 kali dibandingkan penduduk yang
tempat tinggalnya tidak ada hewan ternak.
Hasil analisis statistic menunjukkan ada hubungan anatara hewan
ternak dengan kejadian Leptospirosis di wilayah kerja Puskesmas
Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Hasil uji chi square diperoleh nilai p
sebesar 0,001 atau (p<0,05). dengan nilai OR sebesar 4,660 dan 95%Cl =
1,764-12,311 maka dapat diketahui bahwa responden yang memelihara
hewan ternak mempunyai resiko 4,6 kali lebih besar daripada responden
yang tidak memelihara hewan ternak di rumah.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa
sebagian besar responden kasus yang memelihara hewan ternak sebanyak
31 orang atau sebesar 77,5% dan sedangkan responden yang tidak
memelihara hewan ternak sebanyak 9 orang atau sebesar 22,5%.
Hasil penelitian mengenai hewan ternak seperti sapi yang
menderita Leptospirosis merupakan reservoir sumber penularan, sebab
keberadaan hewan ternak dan kandang yang lembab memungkinkan sapi
untuk terkena Leptospirosis (Mulyani, 2014).
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan
pembuangan sampah dengan kejadian Leptospirosis di wilayah kerja
Puskesmas Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Hasil uji chi square diperoleh
dengan nilai p sebesar 0,000 atau (p<0,05). dengan nilai OR sebesar 26
dan 95%Cl = 3,238-208,803 maka dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki tempat pembuangan sampah yang buruk memiliki resiko 26 kali
lebih besar menderita Leptospirosis daripada responden yang memiliki
pembuangan sampah dengan kondisi yang baik. Pada umumnya responden
kasus tidak memiliki tempat pembuangan sampah yang baik dan jarang
memiliki tempat sampah yang memiliki penutup sampah, serta jarangnya
frekuensi pembuangan sampah yang dilakukan oleh responden.
Hal ini sesuai menurut (Priyanto, 2008) mengatakan bahwa ada
hubungan antara adanya sampah dengan Leptospirosis (p<0,001) atau
p<0,005 dan beresiko terpapar sebesar 8,46 kali dibanding rumah yang
didalamnya tidak terdapat sampah. Penelitian lain juga menyatakan
bahwa keberadaan sampah di dalam/diluar rumah merupakan faktor resiko
terhadap terjadinya Leptospirosis dengan nilai p sebesar 0,002 atau p<0,05
(Rejeki, 2005)
Namun menurut penelitian lain menyatakan bahwa keberadaan
sampah tidak mempengaruhi terhadap kejadian Leptospirosis. Kondisi
rumah yang memiliki tempat sampah terbuka, namun frekuensi membuang
sampah ke tempat pembuangan sampah dilakukan setiap hari, tidak akan
menyebabkan penimbunan sampah di dalam rumah yang dapat
mengundang tikus masuk ke dalam rumah (Ramadhani, 2010).
Hasil uji chi square menyatakan bahwa ada hubungan antara
adanya genangan air dengan kejadian Leptospirosis (p=0,038) atau p<0,05
sebab genangan air yang berada di sekitar rumah akan beresiko terkena
Leptospirosis 2,23 kali dibandingkan rumah yang tidak ada genangan air
(Priyanto, 2008)
Begitu juga dengan hasil lain menyatakan keberadaan air yang
menggenang berhubungan dengan Leptospirosis (p<0,001) atau p<0,05
(Mayasari, 2013)
Hasil analisis uji Chi- Square diperoleh bahwa nilai p sebesar
0,001 atau (p<0,05) sehingga Ho ditolak. Hal ini berarti dapat diketahui
bahwa ada hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan
kejadian Leptospirosis. Sedangkan untuk mengetahui kekuatan hubungan
antara kedua variable tersebut dilakukan perhitungan odds ratio (OR),
didapatkan odds ratio (OR) untuk perilaku hidup bersih dan sehat dengan
kejadian Leptospirosis sebesar = 12,000 dengan interval 4,180-34,454
yang berarti bahwa responden yang memiliki perilaku hidup bersih dan
sehat yang buruk lebih besar 12 kali menderita Leptospirosis bila
dibandingkan responden yang memiliki perilaku hidup bersih dan sehat
yang baik.
Indikator perilaku hidup bersih dan sehat dari data yang
sudah diolah, diperoleh bahwa indikator perilaku hidup bersih dan
sehat yang buruk memiliki hubungan dengan kejadian Leptospirosis.
Pembuangan sampah memiliki resiko paling besar dengan kejadian
Leptospirosis sebesar 26 kali, sehingga responden yang memiliki
pembuangan sampah buruk memiliki resiko sebesar 26 kali lebih besar
menderita Leptospirosis dibandingkan dengan responden yang
memilki pembuangan sampah yang baik, sedangkan pada jamban
responden yang buruk/kurang terawat memiliki resiko sebesar 13 kali
lebih besar menderita Leptospirosis, kemudian pada responden yang
tidak memiliki ubin kedap air memiliki resiko sebesar 9,4 kali lebih
besar terkena Leptospirosis, pada responden yang tidak memiliki air
bersih memiliki resiko sebesar 6,6 kali lebih besar terkena
Leptospirosis daripada responden yang memiliki air bersih, pada
populasi tikus responden yang rumahnya terdapat tikus memiliki
resiko sebesar 5,9 kali lebih besar terkena Leptospirosis daripada
responden yang tidak terdapat tikus dalam rumahnya, lalu konsumsi
makanan yang tidak hygienis dan sehat memiliki resiko sebesar 5,7
kali lebih besar terkena Leptospirosis, kemudian pada responden yang
memiliki hewan ternak memiliki resiko sebesar 4,6 kali lebih besar
terkena Leptospirosis, dan yang terakhir adalah adanya genangan air di
sekitar rumah responden memiliki resiko sebesar 4 kali lebih besar
untuk terkena Leptospirosis daripada responden yang tidak memiliki
hewan ternak.
Kelemahan dalam penelitian ini yaitu tidak diperhatikannya
faktor-faktor yang menjadi perancu dalam penenelitian ini dan
kejujuran responden dalam mengisi kuesioner sehingga penulis harus
melakukan pendekatan personal pada saat mencari informasi yang
dibutuhkan. Sedangkan kelebihan dari penelitian ini sampel yang
digunakan sudah memenuhi kriteria dan sudah memenuhi target.
Penelitian ini juga menggunakan rancangan case control dimana
memiliki kelebihan hasil korelasi yang lebih tajam, dengan
menggunakan subjek kontrol positif dan control negativ.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan dari penelitian ini bahwa terdapat hubungan bermakna
antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan kejadian Leptospirosis
wilayah kerja Puskesmas Ngrayun, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten
Ponorogo dengan hasil uji chi square (p<0,001) atau p<0,05 dan nilai (OR
12,000, 95%Cl= 4,180-34,454).
Responden dengan perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk
mempunyai resiko 12 kali lipat lebih besar terkena Leptospirosis
dibandingkan responden yang memiliki perilaku hidup bersih dan sehat
yang baik.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kepada dr. EM. Sutrisna M.Kes selaku dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, segenap
dewan dan staff Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Kepala Puskesmas Ngrayun beserta staffnya yang telah bersedia
membantu dalam penelitian dan teman-teman angkatan 2012 Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah secara
langsung maupun tidak langsung membantu penulisan.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Y., Sumardiyono, W.B., 2013. Modul Field Lab. Semester V Perilaku
Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS). Revisi II. Surakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas Kedokteran Universitas Negeri
Surakarta pp 1-27.

Auliya, R., 2014. Hubungan Antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga Dan
Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Leptospirosis. Journal Of Public
Health Unnes. Volume 3, 2014.
Azocar, L.A., Smits, H.L., Monti, G., 2014. Leptospirosis in Dogs and Cats:
Epidemiology, Clinical Disease, Zoonotic Implications And Prevention.
Journal Arch. Med. Vet 46, 337-348.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riskesdas 2013: Laporan


Nasional 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Charan, J., Saxena, D., Mulla, S., 2012. Propilaxys And Treatment For
Leptospirosis: Where The Evidance. Journal National Of Physiology
Pharmacy & Pharmacology 2012, Volume 2 Issue 2:78-83.

Dahlan, M., 2009. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika.

_________., 2013.Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel Dalam


Penelitian Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Farida, D.H., & Ristiyanto., 2008.Distribusi dan Faktor Resiko Lingkungan


Penularan Leptospirosis di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Media
Litbang Kesehatan, Volume XVIII No 4, 2008:193-201.

Dinas Kesehatan Kota Ponorogo. 2015. Laporan Leptopirosis Bulanan Tahun


2015.

Rejeki, DSS., Nurlaela, S., Octaviana, D., 2013. Pemetaan Dan Analisis Faktor
Resiko Leptospirosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Volume 8
No 04, November 2013:179-186.

Febrian, F., & Solikhah., 2013. Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis
Di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun
2011. Jurnal KES MAS.Volume 7 No 01, Maret 2013.ISSN : 1978-0575.

Hinjoy, S., 2014. Epidemiology Of Leptospirosis From Thai Disease Survaillance


System 2003-2012. Journal OSIR, Juni 2014, Volume 7 Issue 2, p.1-5.

Kusmiyati, N., Susan., Supar., 2005. Leptospirosis Pada Hewan Dan Manusia Di
Indonesia. Jurnal WARTAZOA. Volume 15 No 4, Tahun 2005.

Laras, K., Van Bao, C., Bounlu, K., Tien Kim, N.K., Olson, G., et al. 2002. The
Importance Of Leptospirosis In Southeast Asia. Journal Am. J. Trop.
Med. Hyg.,67(3), 2002, pp. 278-286.

Mehta, M., Patel, B., Prakash., Gharat, Vaibhat., 2013. A Step Toward
Controlling The Havoc Of Leptospirosis Comprehensive And Combined
Efforts. National Journal Of Community Medicine. Volume 4, Issue 4 :
Oct- Dec 2013. .
Muliawan, S., 2011. Bakteri Spiral Pathogen.Jakarta : Penerbit Erlangga.

Mulyani, T.G., Sumiarto, B., Yuriarti. 2014. Pembelian Ternak Dan Kelembapan
Tinggi Merupakan Faktor Risiko Leptospirosis Pada Sapi Di Girimulyo,
Kulon Progo, Jogjakarta. Jurnal Veteriner, Volume 15 No 2, Juni
2014:199-2014.

Murti B., 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogjakarta. Gajah Mada University
Press.

Notoatmodjo, S., 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Pp 20-
21.

Okatini, M., Purwana., Rachmadi., Made D.I., 2007. Jurnal Hubungan Faktor
Lingkungan Dan Karakteristik Individu Terhadap Kejadian Penyakit
Leptospirosis Di Jakarta, 2003-2005. Jurnal MAKARA KESEHATAN,
Volume 11 No 1, Juni 2007: 17-24.

Pujiyanti, A., Trapsilowati, W., Ristiyanto., 2014. Determinan Perilaku Pada


Kejadian Leptospirosis Di Kabupaten Demak Jawa Tengah Tahun 2008.
Jurnal Media Litbangkes.Volume 24 No 3, September 2014:111-116.

Rahmawati., 2013. Analisis Spasial Kejadian Luar Biasa (KLB) Kasus


Leptospirosis di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2011. Jurnal
BALABA.Volume 9 No 02, Desember 2013: 53-57.

Ramadhani, T., & Yunianto, B., 2010. Kondisi Lingkungan Pemukiman Yang
Tidak Sehat BeresikoTerhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus Di
Semarang). Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Volume XX, 2010: 46-53.

Sastroasmoro, S., & Ismail, S., 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis
Edisi 4. Bandung: Sagung Seto.

Supraptono, B., Sumiarto, B., Pramono, D. 2011. Interaksi 13 Faktor Risiko


Leptospirosis. Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 27 No 2, Juni
2011: 55-65.

Taufiqurrahman, M., 2004. Metodelogi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.


Klaten: CSGF, pp 19-65.

Taufiq, M., Nyorong., Mappeaty., Riskiyani, S., 2014. Gambaran Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) Masyarakat di Kelurahan Parangloe
Kecamatan Tamanrea Kota Makassar. Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanudin Makassar.

WHO. Human Leptospirosis : Guidance for diagnosis, surveillance and control.


Geneva, 2003.

Widoyono., 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Yunianto, B., & Ramadhani, T., 2010. Kajian Epidemiologi Kejadian


Leptospirosis Di Kota Semarang Dan Kabupaten Demak Tahun 2008.
Jurnal BALABA, Volume 6 No 01, Juni 2010: 7-11.

Zein, U., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi V. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam pp 1823-1826.

Anda mungkin juga menyukai