Anda di halaman 1dari 29

Refleksi Kasus September 2017

“MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI


MASTOIDEKTOMI SINISTRA DENGAN PARESE
NERVUS FACIALIS”

Disusun Oleh:
AMALIA MEGA PUTRI MUJUR
N 111 17 083

Pembimbing Klinik:
dr. Sofyan Bulango, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang

mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif

pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.

Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit

ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan

rasa sakit pada tubuh. Anestesi berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan

aesthetos, "persepsi, kemampuan untuk merasa".

Praktek anestesi mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Anestesi

umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya

kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal

(trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.

Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam

suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang

dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas berjalan

dengan baik.

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut

atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan

intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa

trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff,


sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara

dan bifurkasio trakea.

Teknik dan alat alat anestesi yang dipakai untuk bayi dan anak anak pada

umumnya berbeda dengan alat yang dipakai oleh dewasa. Anatomi dan fisiologi

pada bayi dan anak anak berbeda dengan dewasa juga psikologisnya sangat

berbeda. Oleh karena hal tersebut maka pengelolaan dan tehniknyapun berbeda

dengan dewasa.

Mastoidektomi adalah prosedur pembedahan untuk menghilangkan proses

infeksi pada tulang mastoid. Tujuan mastoidektomi adalah menghindari kerusakan

lebih lanjut terhadap organ telinga dan sekitarnya.

Kelumpuhan nervus fasialis adalah kelumpuhan otot-otot wjah sehingga

wajah passion tampak tidak simetris pada waktu berbicara dan berekspresi. Hanya

merupakan gejala sehingga harus dicari penyebab dan derajat kelumpuhannya

untuk menentukan terapi dan prognosis


BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

1. Nama : Nn. Marlina


2. Usia : 22 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Alamat : Kab. Banggai
5. Tanggal masuk : 28 Agusutus 2017
6. Tanggal operasi : 29 Agustus 2017
7. Tanggal pengambilan data : 29 Agustus 2017
8. Ruangan : Pav. Aster
9. Rumah sakit : RSUD Undata

B. ANAMNESIS

1. Keluhan utama

Keluar cairan pada telinga kiri

2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien masuk dengan keluhan keluar cairan pada telinga kiri yang

dirasakan sejak 3 tahun yang lalu dan memberat kurang lebih 2 minggu

terakhir. Pasien mengeluhkan cairan yang keluar berwarna kuning, konsistusi

cair, berbau dan jumlahnya cukup banyak. Keluhan juga disertai dengan

penurunan pendengaran pada telinga sebelah kiri dan pasien juga merasakan

nyeri pada telinga sebelah kiri.


Pusing berputar (-), mual (-), muntah (-), telinga berdengung (-). Tidak ada

keluhan pada hidung dan tenggorokan.

3. Riwayat penyakit terdahulu

Pasien memiliki keluhan bibir mencong ke arah kiri sejak 4 tahun yang

lalu. Riwayat asma (-), riwayat alergi makanan atau obat-obatan (-)

4. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan

pasien.

5. Riwayat Operasi sebelumnya

Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya.

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status generalis
Keadaan umum : Sehat
Kesadaran : Kompos mentis (GCS E4 V5 M6)
Status gizi : Baik
BB : 60 kg

- Primary survey
 Airway : Paten
 Breathing : Respirasi 22 kali/menit
 Circulation : Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi: 88 kali/menit, reguler, kuat angkat
- Secondary survey
Kepala
 Bentuk : Normocephali , lesi (-)
 Rambut : Warna hitam
 Wajah : Simetris, paralisis fasial (-), deformitas (-), bibir
tampak asimetris.
 Kulit : Pucat (-), sianosis (-), massa (-).

- Mata
 Eksoftalmus (-), palpebra edema (-), ptosis (-), kalazion
 Kornea : Katarak (-)
 Pupil : Bentuk isokor, bulat, refleks cahaya (+/+)
 Konjungtiva : anemis (-/-)
 Sklera : ikterik (-)

- Telinga
 Bentuk dan ukuran normal, simetris kanan dan kiri

- Hidung & sinus


 Deviasi septum nasi (-), bentuk cuping hidung kiri dan kanan
simetris, polip (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-), nyeri tekan pada
sinus (-)

- Mulut & faring


 Bibir : asimetris, sianosis (-), pucat (-)
 Gusi : gingivitis (-), berdarah (-)
 Gigi : karies dentis (-), ompong (2), palsu (-)
 Lidah : deviasi lidah (-), lidah kotor (-)
 Tonsil : T1/T1 hiperemis (-)
 Lai-lain :-
 Mallampathy :1

- Leher
 Inspeksi : jaringan parut (-), massa (-)
 Palpasi :pembengkakan kelenjar limfe (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-), nyeri tekan (-)
 Trakhea : Deviasi trakhea (-)

- Paru
 Inspeksi : normochest, retraksi (-), massa (-), cicatrix (-)
 Palpasi : nyeri tekan (-), ekspansi paru simetris kiri dan
kanan, fremitus taktil kesan normal.
 Perkusi : sonor (+) diseluruh paru, batas paru hepar SIC VI
dextra.
 Auskultasi :vesicular +/+, bunyi tambahan (-).

- Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
(s),
 Perkusi:
Batas atas : SIC II linea parasternal dextra et sinistra
Batas kanan : SIC V linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung I/II murnireguler, murmur (-), gallop
(-).

- Abdomen
 Inspeksi : bentuk cembung terhadap thorax dan symphisis
pubis
 Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal diseluruh kuadran
abdomen
 Perkusi : timpani (+) diseluruh kuadran abdomen, ascites (-)
 Palpasi : pembesaran organ (-)

- Genitalia: kesan normal


- Ekstremitas
 Atas : edema (-), akral dingin (-/-)
 Bawah : edema (-), akral dingin (-/-)

2. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan darah rutin

- WBC : 5,7 x 103/uL (3,8 – 10,8)


- RBC : 4,19 x 106/uL (3,8 – 4,8)
- HGB : 12,1 g/dL (11 – 16)
- HCT : 36,9 % (37 – 47)
- PLT : 263 x 103/uL (150 – 500)
- CT : 6 menit (4 – 10 menit)
- BT : 3 menit (1-5 menit)
- HbsAg : Non-reaktif
3. RESUME

Pasien masuk dengan keluhan keluar cairan pada telinga kiri yang

dirasakan sejak 3 tahun yang lalu dan memberat kurang lebih 2 minggu

terakhir. Pasien mengeluhkan cairan yang keluar berwarna kuning, konsistusi

cair, berbau dan jumlahnya cukup banyak. Keluhan juga disertai dengan
penurunan pendengaran pada telinga sebelah kiri dan pasien juga merasakan

nyeri pada telinga sebelah kiri. Pasien memiliki riwayat bibir mencong ke arah

kiri sejak 4 tahun yang lalu.

4. DIAGNOSIS PRA-BEDAH

OMSK sinistra + Mastoiditis Kronis Sinistra

5. PENATALAKSAAN

1. Medikamentosa
 IVFD RL 20 tpm
 Ceftriaxom 1 gr/12 jam
 Dexamethasone 1 amp/ 8 jam
2. Tindakan
Mastoidektomi sinistra

6. PROGNOSIS

Dubia

7. LAPORAN ANESTESI:

1. Diagnosis pra bedah: OMSK sinistra + Mastoiditis kronik sinistra

2. Diagnosis pasca bedah: OMSK sinistra + Mastoiditis Kronik Sinistra

3. Penatalaksanaan anestesia

a. Jenis pembedahan: Mastoidektomi

b. Jenis anestesia: General Anesthesia

c. Teknik anestesia: Intubasi Endotrakeal


d. Anestesi umum :

1. Premedikasi :Sedacum, Fentanyl


2. Obat induksi : Propofol
3. Obat pelumpuh otot : Notrixum
4. Maintanance anastesi : Sevoflurane , O2

e. Obat Emergensi :
1. Ephedrine dosis 5-20 mg
2. Dexamethason dosis 0.5- 25 mg/hari IV
f.Obat Tambahan Post Operaif :
1. Analgetik : Ketorolac dosis 30 mg IV
2. Anti emetik: Ondansentron dosis 10 mg IV
g. Maintanance: O2, Sevoflurane inhalasi

h. Relaksasi: Inj notrixum 25 mg dan 15 mg

i. Respirasi: spontan respirasi

j. Posisi supine

k. Cairan durante operasi: RL 1000 cc

l. Catatan anestesia selama pembedahan

m. Jumlah perdarahan: 150 cc

n. Lama anestesia: 09.00 – 14.50

o. Lama operasi: 09.25 – 14.40

Setelah pasien terinduksi dengan tanda refleks bulu mata menghilang,

diberikan oksigen. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang

laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan

dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop
didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan

akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan

dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita

suara yang tampak keputihan bentuk huruf V.


Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut

sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum

memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior

sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet

dapat dicabut.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu

ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara

nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa

endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda

berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang

timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa

lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit

sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah

esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar

suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan

lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal

tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan

oksigenasi yang cukup.


Setelah intubasi dilakukan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi

inhalasi O2 dan sevoflurane. Maintenance sevoflurane dapat diatur baik

diturunkan maupun dinaikkan sesuai kebutuhan pasien. Ventilasi dilakukan


dengan respirasi spontan hingga operasi selesai. Selama maintenance

diperhatikan monitor tanda-tanda vital, vital sign dicatat setiap 5 menit.

Selama operasi, nadi di monitor tiap 5 menit dengan hasil

Jumlah perdarahan 150cc. Pembedahan berlangsung selama ± 315

menit dengan pemberian cairan RL. Setelah operasi selesai maintenance

kadar oksigen dan sevoflurane diturunkan hingga 0%. ETT yang terpasang

tidak langsung dilepas, dilakukan suction terlebih dahulu. Setelah ETT

dilepas dipasang masker oksigen serta dimonitoring saturasi oksigen pasien.

Setelah saturasi oksigen mencapai kadar 100% pasien dipindahkan dari

ruang OK ke recovery room. Dilakukan pemantauan keadaan umum, tingkat

kesadaran, dan vital sign.

A. Pre-operatif
1. Infus RL 20 tpm
2. Keadaan umum dan vital sign baik
B. INTRA OPERATIF

Monitoring Anestesi
140
120
100
80
60
40
20
0
00 10 20 30 40 50 00 10 20 30 40 50 00 10 20 30 40 50 00 10 20 30 40 50 00 10 20 30 4
9: 9: 9: 9: 9: 9: 10: 10: 10: 10: 10: 10: 11: 11: 11: 11: 11: 11: 12: 12: 12: 12: 12: 12: 13: 13: 13: 13: 13:

Sistolik Nadi Diastolik

Keterangan :
: Mulai anestesi

: Mulai operasi

: Operasi selesai

: Anestesi selesai (sign out)

No Kriteria Skor
.
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2
motorik atas perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
atas perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang 1
adekuat/distress/hipoventilasi 0
 Apneu/tidak bernafas
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari 1
semula 0
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
Tabel 1. Aldrete Scoring System

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.


 Terapi Cairan
 BB : 60 Kg
 EBV : 65 cc/kg BB x 60 kg = 3900 cc
 Jumlah perdarahan : ± 250 cc
% perdarahan :250/3900 x 100% = 6,4 %

 Pemberian Cairan:
o Cairan masuk :
Durante operatif :Kristaloid RL 1500 cc
Total input cairan : 1500 cc

o Cairan keluar :
Durante operatif : Perdarahan : ± 250 cc
Total output cairan : ± 250cc

PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : = 35 cc/KgBB/24jam
= 35 x 60 kg= 2100 cc/ 24 jam = 87,5 cc/jam

Jadi jumlah cairan maintenance selama 5 jam 25 menit adalah =


473.95 ml.

2. Cairan defisit pengganti puasa (P) :


Lama puasa x maintenance = 10 jam x 87,5 = 875 ml
Cairan yang masuk saat puasa :

jumlah tetesan(tpm) x lama puasa (m)


Jumlah cairan(ml)=⌊ ⌋
( 20 )

20 x 600
Jumlah cairan( ml)=⌊ ⌋ = 600 mL
( 20 )
Jadi, defisit cairan pengganti puasa selama 10 jam adalah

875 - 600 = 275 mL

3. Stress Operasi Besar 6-8 : 6 cc x 60 kg = 360 ml/jam

Total kebutuhan cairan selama 5 jam 25 menit operasi = (875 ml+


275 mL + 360 mL = 1510 mL

b. Cairan masuk :

 Kristaloid : 1500 mL

 Total cairan masuk : 1500 ml

c. Keseimbangan kebutuhan:

Cairan masuk – cairan dibutuhkan =1500 – 1510 ml = -10 ml

d. Perhitungan cairan pengganti darah :

Transfusi + 3x cairan kristaloid = volume perdarahan

0 + 3x = 250

3x=250

X : 3 x 250 = 750 ml

Untuk mengganti kehilangan darah 250 cc diperlukan ± 750 cairan


kristaloid.

Total defisit cairan :

10 + 750 = 760 ml.


BAB III

PEMBAHASAN

Pada dasarnya baik pada anak maupun dewasa tujuan anestesi

adalah sama, yaitu menghilangkan rasa sakit dan membuat nyaman pasien selama

operasi berlangsung dan setelahnya. General anesthesia merupakan jenis anestesi

yang sering digunakan untuk pasien yang akan menjalani operasi. Komponen dari

anestesi umum meliputi analgesik, amnesia, musclerelaxation, monitoring vital

sign dan penurunan kesadaran. Selama operasi berlangsung, tanda vital akan

dipantau melalui monitor fungsi tubuh secara umum yaitu denyut nadi, nafas,

tekanan darah, dan saturasi oksigen. Selain itu, intubasi diperlukan untuk

membuka jalan nafas pada anestesi umum.

Keputusan unutk menggunakan anestesi umum adalah yang pertama

karena pasien dengan pasien tidak kooperatif misalnya seperti anak – anak. Kedua

dikarenakan lokasi operasi, operasi di daerah kepala dan leher dipilih anestesia

umum, sedangkan operasi di daerah tubuh bagian bawah yakni abdominal bawah,

anus, ekstremitas bawah dapat digunakan blok spinal. Ketiga, posisi operasi juga

ikut menentukan jenis anestesi, contoh seperti posisi tengkurap otomatis harus

diberikan anestesi umum. Keempat, manipulasi yang dilakukan jika sangat luas

dengan segala resikonya maka akan dipertimbangkan dipilih anestesi umum.

Kelima, durasi operasi menentukan pilihan juga, jika durasi operasi lama maka
akan dipilih anestesi umum. Pada pasien ini dilakukan anestesi umum karena pada

pasien lokasi pembedahan di daerah telinga, operasi ini memerlukan durasi

operasi yang cukup lama.

Anastesi yang digunakan pada kasus ini adalah dengan general anastesi

dengan mempertimbangkan lokasi operasi dan umur pasien dimana pemilihan

anastesi general lebih menguntungkan pada kasus ini. Sedangkan tekniknya

dengan menggunakan intubasi endotrakeal, karena dengan ini saturasi oksigen bisa

ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dan dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah.

Secara umum, terdapat 2 jenis intubasi, yakni intubasi orotrakeal dan nasotrakeal. Penggunaanya

dikondisikan dengan keadaan saat operasi.

Rees dan Gray membagi anestesi menjadi 3 bagian (trias anestesi) yaitu

hipnotika, analgetika, dan relaksasi. Tahapan anestesi umum yaitu premedikasi,

induksi, maintanance, dan pengakhiran anestesia.

Premedikasi bertujuan untuk menenangkan pasien, menghilangkan rasa

sakit, memudahkan induksi, mengurangi sekresi saluran napas, dan mencegah

mual/muntah pasca bedah.

Sedacum merupakan golongan benzodiazepin merupakan agen obat

antiansietas yang bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor di beberapa

tempat di sistem saraf pusat termasuk sistem limbik dan formatio retikularis,

menghasilkan efek sedasi yang dimediasi oleh sistem reseptor GABA,

meningkatkan permeabilitas membran neuron yaitu pertukaran ion Cl - sehingga

menghambat efek inhibisi GABA. Dosis injeksi intramuskular premedikasi

sebelum operasi: dewasa 0,07-0,1 mg/kgbb; anak 0,15-0,2 mg/kgbb. Injeksi


intravena premedikasi sebelum diagnostik/intervensi bedah 2,5-5 mg, selanjutnya

1 mg bila diperlukan.

Kemudian pasien diberikan Fentanil 70 µg intravena digunakan sebagai

analgesi opioid. Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan

sebagai tambahan untuk general anastesi yang memiliki kerja cepat dan efek

durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal.

Induksi merupakan mulai masuknya obat anestesi sampai hilangnya

kesadaran Obat-obat yang digunakan pada pasien ini adalah Propofol 100 mg/iv.

Propofol merupakan obat hipnotik dan sedasi lipofilik yang menyebabkan depresi

sistem saraf pusat global dengan cara berperan agonis pada reseptor GABA.

Propofol tidak mempunyai efek analgesik dan tidak menurunkan nilai ambang

nyeri. Dosis da penggunaan propofol antara lain:

1. Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.

2. Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infuse.

3. Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrate

to effect).

Atracurium ( Notrixum ) merupakan neuromuscular blocking agent yang

sangat selektif dan kompetitif (non-depolarising) dengan lama kerja sedang. Non-

depolarising agent bekerja antagonis terhadap neurotransmitter asetilkolin melalui

ikatan reseptor site pada motor-end-plate. Atracurium dapat digunakan pada

berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Atracurium

tidak mempunyai efek langsung terhadap tekanan intraocular, dan karena itu dapat
digunakan pada bedah opthalmik. Indikasinya sebagai adjuvant terhadap anestesi

umum agar intubasi trakea dapat dilakukan dan untuk relaksasi otot rangka selama

proses pembedahan atau ventilasi terkendali, serta untuk memfasilitasi ventilasi

mekanik pada pasien Intensive Care Unit (ICU). Rute pemberian dengan injeksi

intravena atau infus kontinyu. Dosis dewasa : secara IV 0,3-0,6 mg/kg (tergantung

durasi blokade penuh yang dibutuhkan) dan akan memberikan relaksasi yang

memadai selama 15-35 menit. Intubasi endotrakea biasanya sudah dapat

dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi intravena 0,5-0,6 mg/kg. Blokade penuh

dapat diperpanjang dengan dosis tambahan sebesar 0,1-0,2 mg/kg sesuai

kebutuhan. Pemberian dosis tambahan secara berturut-turut tidak meningkatkan

akumulasi efek blokade neuromuskuler. Pemulihan spontan sejak akhir blokade

penuh terjadi dalam waktu sekitar 35 menit diukur dari respon pemulihan tetanik

sebesar 95% fungsi neuromuscular normal.

Blokade neuromuscular oleh atracurium dapat dengan cepat dipulihkan

dengan memberikan dosis standar anticholinesterase agent, seperti neostigmine

dan edrophonium, disertai atau didahului dengan pemberian atropine, tanpa terjadi

rekurarisasi.

Pemeliharaan/maintanance adalah tahapan dimana pembedahan dapat

berlangsung dengan baik (untuk para ahli bedah). Yang digunakan adalah anestesi

inhalasi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya

gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut, obat-obat yang

bisa dipakai antara lain isoflouran, halotan, desfluran, dan sevofluran. Pada pasien

ini digunakan pemeliharaan dengan sevofluran. Sevoflurane merupakan cairan


volatile yang mengganggu aktivitas kanal ion neuron terutama reseptor

neurotransmitter sinaptik termasuk nikotinic acetylcholine, GABA, dan reseptor

glutamat. Sevofluran lebih banyak digunakan karena efek recovery lebih cepat.

Selain itu, efek samping berupa mual dan muntah juga lebih kecil risikonya

dibandingkan obat inhalasi lainnya seperti halothan, dll. Sevofluran juga tidak

menimbulkan aritmia jantung. Dosis yang digunakan untuk induksi anestesi

tergantung Individual, sedangkan dosis pemeliharaan anestesi: 0,5-3% dengan

atau tanpa N2O.

Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 1 ampul (1

ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang

bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa

nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara

dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang

lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence

depresi nafas..

Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap

(suction), dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi,

dipasang pharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup.

Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah

terjaga bebas (intact protective airway reflexes). Ekstubasi juga dapat dilakukan

saat pasien masih dalam anestesi dalam. Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa

mengurangi risiko batuk dan laringospasme pada saat ekstubasi.


Nervus fasialis atau saraf otak ke VII tersusun dari dua bagian yaitu saraf

motorik dan saraf sensorik yang sering disebut dengan saraf intermedius. Inti

motorik yang merupakan penyusun utama saraf fasialis terletak di pons.

Serabutnya mengitari inti nervus VI dan keluar di bagian lateral pons, sedangkan

saraf intermedius keluar di permukaan lateral pons. Kedua saraf ini kemudian

bersatu membentuk berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan terus

menuju os mastoid. Setelah melewati os mastoid kedua saraf keluar dari tulang

tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan bercabang untuk mensarafi otot-

otot wajah.

Namun selain mensyarafi otot-otot ekspresi wajah, saraf fasialis juga

membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan selaput mukosa

rongga mulut dan hidung, menghantar berbagai jenis sensasi, termasuk sensasi

eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian

depan lidah (Lumbantobing, 1998).

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.

levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian

posterior dan stapedius di telinga tengah).


2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa

faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula

submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.


3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua

pertiga bagian depan lidah.


4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa

raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus

trigeminus.

Perbedaan Parese N. VII Sentral dan N. VII Perifer

Inti nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi kelompok atas dan bawah.

Inti bagian atas mensarafi otot wajah bagian atas dan inti bagian bawah mensarafi

otot wajah bagian bawah. Inti nervus fasialis bagian bawah mendapat innervasi

kontralateral dari korteks somatomotorik dan inti nervus fasialis bagian atas

mendapat inervasi dari kedua belah korteks somatomotorik. Oleh karena itu, pada

paresis nervus fasialis UMN (karena lesi di korteks atau kapsula interna) otot

wajah bagian bawah saja yang jelas paretik, sedangkan otot wajah atas tidak jelas

lumpuh. Sebaliknya, pada kelumpuhan nervus fasialis LMN (karena lesi

infranuklearis), baik otot wajah atas maupun bawah, kedua-duanya jelas lumpuh.
Gambar 1. Perbedaan parese N. VII sentral dextra dan N. VII perifer

Parese nervus fasialis timbul karena berbagai etiologi dengan

proses patogenesis yang bervariasi, yaitu :

1. Trauma

Parese nervus fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi

fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka

tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab.

Nervus fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akusik

atau neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.

2. Tumor

Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling

sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat.

Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann,

kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang

akhir dari nervus fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat

kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri

karotis dapat mengganggu fungsi motorik nervus fasialis secara ipsilateral.

3. Toksik
Paralisis nervus fasialis perifer telah dijelaskan dalam banyak kasus

embriopati talidomid..Larutan antiseptic kloroseksol yang banyak digunakan

dalam pasta elektroda dan berbagai krim kulit, telah dilaporkan bahwa dapat

menyebabkan paralisis fasialis yang tiba-tiba.Ingesti etilenglikol, baik dalam

percobaan bunuh diri maupun mabuk, dapat mengakibatkan kelemahan fasial tipe

perifer, baik permanen ataupun temporer.

4. Kongenital

Parese nervus fasialis bilateral kadang merupakan kelainan congenital yang

kemungkinan terjadi karena adanya gangguan perkembangan nervus fasialis dan

seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).

5. Idiopatik (Bell’s Palsy)

Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya

atau tidak menyertai penyakit lain. Karena proses yang dikenal awam sebagai

masuk angin atau dalam bahasa inggris “cold” nerfus facialis bisa sembab. Karena

terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe

LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.

6. Penyakit-penyakit tertentu

Parese fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM,

hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah.

Gejala dan Manifestasi Klinik

Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu,

terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer.
Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2

sisi, tidak lumpuh ; yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan

N VII jenis perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot

sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus

pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama N. Fasialis.

Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat

persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah

bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral)

(gambar 3). Karenanya kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus VII

(lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan mengakibatkan

kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak.

Penderitanya masih dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata

(persarafan bilateral) ; tetapi pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut

(menyeringai, memperlihatkan gigi geligi) pada sisi yang lumpuh bila disuruh.

Kontraksi involunter masih dapat terjadi, bila penderita tertawa secara spontan,

maka sudut mulut dapat terangkat.

Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter

maupun yang involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) nervus

VII sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada strok

dan lesi-butuh-ruang (space occupying lesion) yang mengenai korteks motorik,

kapsula interna, talamus, mesensefalon dan pons di atas inti nervus VII. Dalam hal

demikian pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan nervus VII

supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber.


Gejala dan manifestasi klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi:

A. Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi dan

gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau

tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

B. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman

pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.

Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus

intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana korda

timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

C. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan hiperakusis

D. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri di belakang

dan didalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di

membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah parese fasialis


perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi

herpertik terlihat di membrana timpani, kanalis auditorius eksterna dan pinna.

E. Lesi di meatus akustikus internus

Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya

nervus akustikus

F. Lesi ditempat keluarnya nervus fasialis dari pons

Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya

nervus trigeminus, nervus akustikus dan kadang – kadang juga nervus abdusen,

nervus aksesorius dan nervus hipoglossus.

Jadi, berdasarkan topografi letak lesi, gejala parese nervus fasialis terdiri atas:6

 Gejala kelumpuhan intratemporal tergantung dari letak lesi, dapat ditemukan

kelumpuhan otot-otot wajah/muka, lagoftalmus, ada/tidaknya air mata pada

sisi lesi, gangguan pengecap, hiperakusis, gejala neurologis pada lesi nuclear

 Gejala kelumpuhan ekstratemporal biasanya karena gangguan pada kelenjar

parotis seperti trauma, radang dan tumor.

Pada operasi ini, yaitu Mastoidektomi sinistra dengan parese nervus

facialis sinistra di lakukan general anestesi dengan obat-obat anestesi yang tidak

ada efek sampingnya pada parese nervus facialis dan tidak memiliki

kontraindikasi.
BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :

1. Pada kasus dilakukan operasi Mastoidektomi pada Perempuan usia 22 Tahun,

dan dilakukan jenis anestesi dengan General Anestesi dengan teknik Intubas

Endotrakeal. Status fisik pada kasus ini adalah ASA II. Indikasi dilakukannya

teknik intubasi adalah Untuk patensi jalan napas, menjamin ventilasi,

oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan napas.

2. Pada pasien ini menjemen anestesi dimulai dari pre operatif, intra operatif

serta post operatif.

3. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti

baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Setelah menjalani

operasi dilakukan perawatan di Ruang Bangsal karena bromagee score

kurang dari 2
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 .

Penerbit BukuKedokteran EGC. Jakarta 1997

2. Bagian Anestesiologi RS Wahidin Sudirohusodo. Catatan Anestesi.

3. Dobson, Michael. 20015, Penuntun Praktis Anestesi (Anaesthesia At The

District Hospital), penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.

4. Ery L. 1998. Belajar Ilmu Anestesi. Semarang: FK-UNDIP.

5. Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation,

http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.ht

ml

6. Muhardi, M., et al. 1989. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anastesiologi dan

Terapi Intensif FKUI.

7. Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagia

n Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256.

8. Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation: A retrospective

study. Anaesthesia. 1987;42:487-490


9. Samsuhidrajat R., De JongW. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.

Jakarta: EGC. p: 756-764.

10. Wilson ME, Speigelhalter D, Robertson JA, et al. Predicting difficult

intubation. Br J Anaesth. 1988;61:211-216

Anda mungkin juga menyukai