Di susun oleh
Kelas : G
i
PROGRAM STUDI EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur sebagai ucapan terima kasih kehadirat Allah SWT., karena
dengan zat-Nya yang Maha Rahman dan Maha Rahim penyusun diberikan
kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah multi level marketing(MLM) ini
dengan tepat waktu.. Tak lupa pula penyusun ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang turut berpartisipasi dalam penyelesaian tugas ini. Selanjutnya
penyusun memohon maaf jika di dalam rangkuman ini terdapat banyak
kekeliruan dan kesalahan, tentunya penyusun memohon kritik dan saran yang
konstruktif agar dalam proses penyelesaian tugas berikutnya dapat mencapai hasil
yang maksimal. Besar harapan penulis, agar rangkuman ini dapat berguna untuk
menambah wawasan dan referensi
Penyusun
iii
Daftar isi
Halaman sampul ..................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.2.Tujuan ..................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................... 2
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
2.2 Multi level Marketing (MLM) dalam Islam
3
Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem
bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan)
dan zhulm ( merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Sistem
pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan
orang yang di atas. Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan
dari lima unsur. 1, Maysir (judi), 2. Aniaya (zhulm), 3. Gharar (penipuan), 4.
Haram,5, Riba (bunga), 6. Iktinaz atau Ihtikar dan 7. Bathil.
Kalau kita ingin mengembangkan bisnis MLM, maka ia harus terbebas
dari unsur-unsur di atas. Oleh karena itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta
tata cara penjualannya harus halal, tidak haram dan tidak syubhat serta tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah di atas.
MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi)
mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan
sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian, MLM dipandang
memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah. Menurut Muhammad
Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan
Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah
Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari
sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di terima
oleh masyarakat kebanyakan. (Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Ekonomi dan Bank
Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002, hlm. 30)
Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM tidak hanya sekedar
menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang
berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus,
hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa
marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen.
Dalam istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah / Simsar. (Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah, jilid II, hlm 159)
Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra
niaga dalam fikih Islam termasuk dalam akad ijarah, yaitu suatu transaksi
4
memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah) Semua
ulama membolehkan akad seperti ini (Fikih Sunnah, III, hlm 159).
Sama halnya seperti cara berdagang yang lain, strategi MLM harus
memenuhi rukun jual beli serta akhlak (etika) yang baik. Di samping itu
komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat), memenuhi
kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan produk yang tidak
jelas status halalnya. Atau menggunakan modus penawaran (iklan) produksi
promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.
b.Insentif dan penghargaan
Perusahaan MLM biasa memberi reward atau insentif pada mereka yang
berprestasi. Islam membenarkan seseorang mendapatkan insentif lebih besar dari
yang lainnya disebabkan keberhasilannya dalam memenuhi target penjualan
tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif dalam memperluas jaringan dan
levelnya secara produktif. Kaidah Ushul Fiqh mengatakan:” Besarnya ijrah (upah)
itu tergantung pada kadar kesulitan dan pada kadar kesungguhan.”
Penghargaan kepada Up Line yang mengembangkan jaringan (level) di
bawahnya (Down Line) dengan cara bersungguh-sungguh, memberikan
pembinaan (tarbiyah, pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah) memang
patut di lakukan. Dan atas jerih payahnya itu ia berhak mendapat bonus dari
perusahaan, karena ini selaras dengan sabda Rasulullah:” “Barangsiapa di dalam
Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya diberi pahala, serta pahala dari
orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun” (hadist).
Intensif diberikan dengan merujuk skim ijarah. Intensif ditentukan oleh
dua kriteria, yaitu dari segi prestasi penjualan produk dan dari sisi berapa berapa
banyak down line yang dibina sehingga ikut menyukseskan kinerja.
Dalam hal menetapkan nilai insentif ini, ada tiga syarat syari’ah yang
harus dipenuhi, yakni:adil, terbuka, dan berorientasi falah (keuntungan dunia dan
akhirat). Insentif (bonus) seseorang (Up line ) tidak boleh mengurangi hak orang
lain di bawahnya (down line), sehingga tidak ada yang dizalimi. Sistem intensif
juga harus transparan diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan dalam
menentukan sistemnya dan pembagian insentif (bonus), para anggota perlu
5
diikutsertakan, sebagaimana yang terjadi di MLM Syari’ah Ahad-Net
Internasional. Dalam hal ini tetap dilakukan musyawarah, sehingga penetapan
sistem bonus tidak sepihak. Selanjutnya, keuntungan dalam bisnis MLM,
berorientasi pada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin mengatakan bahwa keuntungan dalam Islam adalah keuntungan dunia
dan akhirat. Keuntungan akhirat maksudnya, bahwa dengan menjalankan bisnis
itu, seseorang telah dianggap menjalankan ibadah, (asalkan bisnisnya sesuai
dengan syari’ah). Dengan bisnis, seseorang juga telah membantu orang lain dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya
tetap dalam koridor tasyakur, untuk menghindarkan penerimanya dari takabur
(bangga/sombong) dan kufur nikmat, apalagi melupakan Tuhan. MLM yang
Islami senantiasa berpedoman pada akhlak Islam.
Sebagaimana disebut di atas bahwa penghargaan yang diberikan kepada
anggota yang sukses mengembangkan jaringan, dan secara sungguh-sungguh
memberikan pembinaan (tarbiyah), pengawasan serta keteladanan prestasi
(uswah), harus selaras dengan ajaran agama Islam. Karena itu, applause ataupun
gathering party yang diberikan atas prestasi seseorang, haruslah sesuai dengan
nilai-nilai aqidah dan akhlak. Ekspresi penghargaan atas kesuksesan anggota
MLM, tidak boleh melampaui batas (bertentangan dengan ajaran Islam). Applause
yang diberikan juga tidak boleh mengesankan kultus individu, mendewakan
seseorang. Karena hal itu dapat menimbulkan penerimanya menjai takabbur, dan
‘ujub. Perayaan kesuksesan seharusnya dilakukan dalam bingkai tasyakkur.
(Lihat, Drs.H.Muhammad Hidayat, MBA, Analisis Teoritis Normatif MLM dalam
Perspektif Muamalah, 2002)
Karena itu pula, Islam sangat mengecam seseorang yang dalam
menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangannya semakin jauh dari nilai-nilai
ketuhanan. Firman Allah, ” Mereka tidak lalai dari mengingat Allah dalam
melakukan bisnis dan jual beli. Mereka mendirikan shalat dan membayar
zakat”(QS.24:37)
6
Dari ayat tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa seluruh aktivitas
bisnis tidak boleh melupakan Tuhan dan jauh dari nilai-nilai keilahian, baik dalam
kegiatan produksi, distribusi, strategi pemasaran, maupun pada saat menikmati
kesuksesan (menerima penghargaan dan applause).
Jadi, dalam menjalankan bisnis MLM perlu diwaspadai dampak negatif
psikologis yang mungkin timbul, sehingga membahayakan kepribadian, seperti
yang dilansir Dewan Syari’ah Partai Keadilan, yaitu adanya eksploitasi obsesi
yang berlebihan untuk mencapai terget jaringan dan penjualan. Karena terpacu
oleh sistem ini, suasana yang tak kondusif kadang mengarah pada pola hidup
hura-hura ala jahiliyah, seperti ketika mengadakan acara pertemuan para members
.
c.Kewajaran harga produk
Setiap perdagangan pasti berorientasi pada keuntungan. Namun Islam
sangat menekankan kewajaran dalam memperoleh keuntungan tersebut. Artinya,
harga produk harus wajar dan tidak dimark up sedemikian rupa dalam jumlah
yang amat mahal, sebagaimana yang banyak terjadi di perusahaan bisnis MLM
saat ini. Sekalipun Al-quran tidak menentukan secara fixed besaran nominal
keuntungan yang wajar dalam perdagangan, namun dengan tegas Al-quran
berpesan, agar pengambilan keuntungan dilakukan secara fair, saling ridha dan
menguntungkan.
Firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang saling ridha di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah maha Penyayang kepadamu. (QS.4:29).
Dalam konteks ini, tidak sedikit masyarakat yang berpendapat bahwa
produk yang ditawarkan perusahaan MLM sangat mahal dan terlalu eksklusif,
sehingga kerap kali memberatkan anggota yang berada di level bawah (down line)
serta masyarakat pemakai dan sangat menguntungkan level di atasnya (up line).
Seringkali harga produk dimark up sampai dua bahkan tiga kali lipat dari harga
yang sepatutnya. Hal ini seharusnya dihindari, karena cara ini adalah mengambil
7
keuntungan dengan cara yang bathil, karena mengandung unsur kezaliman, yakni
memberatkan masyarakat konsumen.
Penetapan harga yang terlalu tinggi dari harga normal, sehingga
memberatkan konsumen, dapat dianalogikan dengan ghabn, yaitu menjual satu
barang dengan harga tinggi dari harga pasar.
d.12 syarat agar MLM menjadi syari’ah
1. Produk yang dipasarkan harus halal, thayyib (berkualitas) dan menjauhi
syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih meragukan).
2. Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana
yang terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah)
3. Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya
harus sesuai syari’ah.
4. Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up
sampai dua kali lipat), sehingga anggota terzalimi dengan harga yang amat
mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh.
5. Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang
terdiri dari para ulama yang memahami masalah ekonomi.
6. Formula intensif harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak
menempatkan up line hanya menerima pasif income tanpa bekerja, up line
tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down linenya.
7. Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.
8. Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang
awal menjadi anggota dengan yang akhir.
9. Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
10. Tidak menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut
dengan pemenuhan kebutuhan primer.
11. Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh
mencerminkan sikap hura-hura dan pesta pora, karena sikap itu tidak
syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan MLM.
12. Perusahaan MLM harus berorientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.
8
BAB III
KESIMPULAN
MLM adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai
tenaga penyalur secara langsung. Sistem penjualan ini menggunakan beberapa
level (tingkatan) di dalam pemasaran barang dagangannya.
Pakar marketing ternama Don Failla, membagi marketing menjadi
tiga macam. Pertama, retail (eceran), Kedua, direct selling (penjualan langsung ke
konsumen), Ketiga multi level marketing (pemasaran berjenjang melalui jaringan
distribusi yang dibangun dengan memposisikan pelanggan sekaligus sebagai
tenaga pemasaran).
9
DAFTAR PUSTAKA
http://www.iaei-pusat.org/article/ekonomi-syariah/multi-level-marketing-menurut-
hukum-islam-?language=id
10