Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................2

LATAR BELAKANG MASALAH..............................................................2

RUMUSAN MASALAH...............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................3

PENGERTIAN PEMBUKAAN LAHAN......................................................3

LANDASAN HUKUM..................................................................................6

CONTOH KASUS ........................................................................................9

BAB III PENUTUP ...................................................................................................11

KESIMPULAN .............................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................12

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara mengenai hukum memang tiada habisnya. Mulai dari ranah pidana hingga
perdata memang dipenuhi oleh pro dan kontra. Disisi lain, hukum memang determinan
dengan fluktuasi politik yang ada. Salah satu jenis kasus yang amat erat kaitannya dengan
politik adalah kasus-kasus mengenai permasalahan lingkungan.

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya. Sumberdaya hayati yang melimpah
menjadikan negara ini surga bagi para investor. Tanah yang subur dan menjanjikan menjadi
primadona bagi para pengusaha yang bergerak dalam lini perkebunan. Namun, tidak sedikit
pengusaha nakal yang menggunakan cara kotor untuk membuka lahan. Salah satunya dengan
membakar hutan yang ada. Dalam UU No.32 tahun 2009 pasal 69 (1) huruf h berbunyi
“Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. Namun,
ketentuan ini memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-
masing. Kearifan lokal yang dimaksud adalah kebolehan membakar lahan dengan maksimal 2
hektar. Namun, apakah semua itu benar-benar terlaksana?

B. Rumusan Masalah
1. Apakah tindakan membuka lahan dengan cara membakar hutan dapat dibenarkan?
2. Apa landasan hukum yang digunakan?
3. Apa saja contoh kasus tersebut?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Pembukaan lahan atau landclearing adalah pembukaan lahan untuk keperluan lain
nya seperti perkebunan, transmigrasi, pertanian dan lain sebagainya. Pembukaan lahan
merupakan komponen biaya inventasi disamping pembibitan yang telah dibicarakan.
Tahapan-tahapan pekerjaan sudah tertentu sehingga jadwal kerja harus harus dilaksanakan
secara konsekuen. Keterlambatan suatu pekerjaan diselesaikan akan berlarut pada pekerjaan
lain sehingga akan menambah biaya. Tantangan yang dihadapi cukup banyak misalnya alam (
gangguan cuaca, hewan liar, dan lain-lain ), biaya yang harus berkesinambungan, sumber
daya manusia yang harus tersedia serta alat-alat beserta suku cadangnya.

Pembukaan lahan sendiri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dalam usaha tani
yang didalamnya terdapat perencanaan tata ruang dan tata letak yang kegiatanya meliputi
pengukuran areal, pembangunan impra struktur. Sedangkan, hukum lingkungan adalah
keseluruhan peraturan yang megatur tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan terhadap lingkungan.

Menurut Danu Saputro, Hukum Lingkungan adalah hukum yang mendasari


penyelenggaraan, perlindungan, dan tata pengolaan. Serta ketahanan lingkungan.1

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan” Kebakaran Hutan” ialah:


“Suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau
hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.”

Menurut pakar kehutanan, Prof. Bambang Hero Saharjo:

“Pembakaran yang penjalaran apinya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan
seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati yang tetap berdiri, log, tunggak pohon,
gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon.”

Secara teori, kebakaran hutan dapat terjadi karena :

1. Terjadi Secara Alamiah

1 Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika).hlm.46

3
Kebakaran hutan secara alami banyak dipicu oleh petir, lelehan lahar gunung api, dan
gesekan antara pepohonan. Sambaran petir dan gesekan pohon bisa berubah menjadi
kebakaran bila kondisi hutannya memungkinkan, seperti kekeringan yang panjang.
Di hutan-hutan subtropis seperti Amerika Serikat dan Kanada, sambaran petir dan gesekan
ranting pepohonan sering memicu kebakaran. Namun di hutan hujan tropis seperti Indonesia,
hal ini sedikit mustahil. Karena terjadinya petir biasanya akan diiringi oleh turunnya
hujan atau petir terjadi di sepanjang hujan. Sehingga sangat tidak mungkin menimbulkan
kebakaran.
Pemicu alamiah lainnya adalah gesekan antara cabang dan ranting pepohonan. Hal ini
pun biasanya hanya terjadi di hutan-hutan yang kering. Hutan hujan tropis memiliki
kelembaban tinggi sehingga kemungkinan gesekan antar pohon menyebabkan kebakaran
sangat kecil.

2. Dipicu Aktivitas Manusia.

Kebakaran hutan yang dipicu kegiatan manusia bisa diakibatkan dua hal, secara
sengaja dan tidak sengaja. Kebakaran secara sengaja kebanyakan disebabkan karena
eksploitasi sumber daya alam, baik untuk meremajakan hutan, membersihkan lahan atau
memberantas hama. Sedangkan kebakaran tak disengaja lebih disebabkan oleh kelalaian,
seperti lupa mematikan api unggun, membakar sampah, membuang puntung rokok
sembarangan, dan tindakan kelalaian lainnya.
Di Indonesia, 99% kejadian kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia baik
sengaja maupun tidak sengaja. Hanya 1% diantaranya yang terjadi secara alamiah. Sejak era
tahun 1980-an pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri
diduga menjadi penyebab utamanya.

3. Dampak Langsung

Dampak merugikan yang bisa dirasakan langsung antara lain jatuhnya korban jiwa,
korban luka, kerusakan infrastruktur, kehilangan properti, kerusakan lahan. Untuk kasus
kebakaran besar tak jarang harus dilakukan evakuasi permukiman penduduk. Hal ini bisa
mengakibatkan kehilangan lingkungan sosial dan kebudayaan setempat.

4. Dampak Ekologis

4
Kebakaran hutan merupakan bencana bagi keanekaragaman hayati. Tak terhitung
berapa jumlah spesies tumbuhan dan plasma nutfah yang hilang. Vegetasi yang rusak
menyebabkan hutan tidak bisa menjalankan fungsi ekologisnya secara maksimal. Juga
menyebabkan hilangnya habitat bagi satwa liar penghuni hutan.
Kebakaran hutan banyak melepaskan emisi karbon dan gas rumah kaca lain ke atmosfer.
Karbon yang seharusnya tersimpan dalam tanah hutan dan biomassa dilepaskan dengan tiba-
tiba. Terlebih di hutan gambut, dimana lapisan tanah gambut yang kaya karbon dengan
kedalamannya bisa mencapai 10 meter ikut terbakar. Pengaruh pelepasan emisi gas rumah
kaca ikut andil memperburuk perubahan iklim.

B. Dampak Kebakaran Hutan

1. Dampak Ekonomi

Secara ekonomi hilangnya hutan menimbulkan potensi kerugian yang besar seperti
kehilangan keuntungan karena deforestasi dan keanekaragaman hayati. Belum lagi dengan
kerugian langsung yang berdampak pada mata pencaharian masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan.

2. Dampak Kesehatan

Asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan berdampak langsung pada gangguan
saluran pernapasan. Asap mengandung sejumlah gas dan partikel kimia yang menggangu
pernapasan seperti seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid,
akrelein, benzen, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3).
Material tersebut memicu dampak buruk yang nyata pada manula, bayi dan pengidap
penyakit paru. Meskipun tidak dipungkiri dampak tersebut bisa mengenai orang sehat.6

3. Menyuburkan Tanah

Kebakaran hutan membuat efek menyuburkan tanah hutan karena abu sisa
pembakaran menjadi mineral penting bagi tanah hutan. Tanah hutan menjadi kaya dengan
kandungan mineral.

4. Efek Peremajaan Tanaman

Selain itu ada juga efek peremajaan hutan. Biasanya setelah hutan habis terbakar akan
tumbuh tunas-tunas baru yang berkembang sangat pesat. Tunas-tunas tersebut mendapatkan
penyinaran maksimal, karena tidak terhalang tajuk tanaman lain.

5
5. Pembersihan Lahan

Membakar hutan juga sering digunakan sebagai salah satu metode pembersihan lahan
untuk perkebunan dan pertanian. Biaya pembersihan lahan yang sangat murah, minim tenaga
kerja dan tidak perlu peralatan canggih.

C. Landasan Hukum

Pembakaran hutan untuk membuka lahan petanian, yang pada dasarnya ini adalah lahan
itu untuk digunakan dalam pertanian, maka di haruskan adanya perizinan terlebih dahulu
sebelum pembukaan lahan untuk pertanian. Ketentuan tentang perizinan pembakaran hutan
khususnya oleh masyarakat hukum adat di atur oleh pemerintah pusal dan daerah provinsi.
Beberapa dari tingkat pusat ada dua yang mengatur yaitu : Peraturan Mentri Negara
Lingkungan Hidup Pasal 4 Ayat (1) Nomor 10 tahun 2010 Tentang mekanisme Pencegahan
Pemcemaran Dan Kerusakan Lingkungan Hidup, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 Ayat (2). Berdasarkan
Peraturan Mentri Negara Lingkungan Hidup Pasal 4 Ayat (1) Nomor 10 Tahun 2010 Tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Peraturan dan
ketentuan ini tentang tata cara pembakaran yang di atur oleh peraturan mentri ini hanya boleh
dilakukan oleh masyarakat hukum adat, sesuai yang di cantumkan pada pasal 4, perizinan
yang dimaksut yaitu masyarakat yang ingin melakukan pembakaran terlebih dahulu
memberikan kepada kepala desa dan selanjutnya disampaikan kepada instnsi terkait yaitu di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kebupatan/kota yang mana akan
memberikan izin tindakan pembakaran hutan.

Sama halnya dengan pasal 69 ayat (1) h dan ayat (2). Undang-undang nomor 32 tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disampaikan di dalam Pasal
(1)h ; Setiap orang dilarang membuka lahan dengan cara dibakar, akan tetapi di dalam pasal
(2) ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kearifan lokal di daerahnya masing-masing. Kearifan yang dimaksud
dalam ketentuan ini adalah melakuakn pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2
hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh
sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Menurut amanah Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah


pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus, atau kondisi

6
yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan. Pelaksanaan
pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.2

Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran


Lingkungan Hidup menegaskan bahwa penanggulangan kebakaran lahan tidak perlu bagi
masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk lading atau kebun menurut
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 Tentang penanggulangaan Bencana termasuk dalam
“Menghargai kebudayaan lokal” untuk tujuan penanggualangan bencana bukan merupakan
tindakan perusakan terhadap lingkungan hidup (menurut UU No.32 tahun 2009 Tentang
Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau
tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup
tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan).3

Adapun beberapa kualifikasi hukum dari peristiwa kebakaran hutan dan akibat yang
ditimbulkannya yaitu: tindak pembakaran hutan yang menimbulkan atau akibat berupa
kerusakan lngkungan hidup, tindakan menimbulkan kebakaran hutan atau karena kealfaanya
(lalai) menyebabkan hutan menjadi terbakar. Untuk menjerat pelaku pembakaran hutan dan
lahan, ada beberapa ketentuan perundang-undangan yang bisa diberlakukan yaitu UU Nomor
32 Tahun 2009 tentang PPLH.4

1. Sanksi Administrasi

Hakikat dari dasar penjatuhan sanksi administrasi mensyaratkan ketentuan


perundang-undangan yang dilanggar untuk menentukan batas pelanggarang yang
terjadi. Oleh karena itu, harus terdapat rumusan hukum terlebih dahulu sebagai dasar
bagi alat kekuasaan public yang digunakan oleh penguasa atas reaksi ketidakpatuhan
terhadap norma hukum. Sanksi administrasi dalam lingkungan hidup berupa paksaan
pemerintah yang ditujukan kepada penanggung jawab pelaku usaha atau kegiatan
untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat
yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran dan pemulihan atas beban biaya
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan. Kecuali ditentukan lain berdasarkan
Undang-Undang sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (1), di samping itu
dikenakan pembayaran sejumlah uang Pasal 25 ayat (5) Nomor 32 tahun 2009 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2 Salim, H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2003), h. 11


3 Ibid, h.12
4 Gatot Soemartono, hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004) h. 133

7
2. Sanksi Perdata

Bagi pelaku yang terlibat dalam tindakan pembakaran hutan, hanya dapat
terjadi bila dihubungkan dengan akibat yang timbul dan nyata-nyata merugikan
kepentingan manusia termasuk bukti melakukan perusakan/pencemaran Lingkungan
Hidup. Bila disyaratkan harus terdapat unsur kerugian yang diderita manusia, maka
tidak ada pertanggung jawaban hukum dengan dasar Perbuatan Melawan Hukum
(PMH). Namun demikian, UUPLH mengakui kewenangan organisasi yang begerak di
dalam bidang Lingkungan Hidup memiliki uis standi untuk mewakili melakukan
gugatan (class action), organisasi Lingkungan Hidup mengajukan gugatan ke
pengadilan sekalipun tidak ada unsur kerugian manusia. Dalam hal ini bisa diwakili
oleh organisasi Lingkungan Hidup atau yang bergerak dibidang tersebut, sehingga
Lingkungan Hidup mempunyai hak untuk dilingdungi.

3. Sanksi Pidana

Kebijakan diterapkan terhadap pelaku yang terlibat dalam tindakan


pembakaran hutan atau kerena kelalaiannya menyebabkan hutan menjadi terbakar,
dengan pidana kurungan dan/atau denda Pasal 18 ayat (3) UUPLH selama ini, UU
Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan juga mengatur tiga sanksi sekaligus terhadap
pelaku kebakaran hutan : Sanksi Administrasi (Pasal 80 ayat (2); sanksi pidana (Pasal
78-79, Tanggung jawab perdata dang anti rugi (Pasal 80 ayat (1). Ketentuan ini tidak
jauh berbeda dengan UUPLH, hanya ada sedikit penekanan pada sanksi pidana.
Tersangka pelaku pembakaran hutan atau kebakaran akibat kelalaian, juga dikenakan
sanksi pidana yaitu pidana penjara dan hukuman kurungan. Ketentuan pidana juga
diatur dalam PP Nomor 28 tahun 1985.

D. Contoh Kasus Pembakaran Lahan

PEMBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN (2014)

Contoh Kasus:

1. Pada bulan Maret 2014 terjadi kebakaran hutan besar-besaran di Kalimantan Barat
sehingga mengganggu segala aktivitas yang ada. Sejumlah 123 titik api tersebar di
sejumlah hutan di Kalimantan Barat hingga menimbulkan kebakaran yang berimbas
tidak hanya kepada kegundulan hutan saja, namun juga polusi udara dan jarak
pandang menjadi terbatas. Menurut beberapa penelitian yang ada, kebakaran ini

8
disengaja untuk membuka lahan perkebunan atau hunian baru. Pembakaran ini
dilakukan pada waktu yang tepat, yaitu pada saat kemarau dan banyak dedaunan
kering sehingga dengan mudahnya api merembet ke segala penjuru. Akibat dari
pembakaran hutan ini, banyak penerbangan lokal menuju Kalimantan dan Sumatra
yang ditunda, bahkan hal ini juga mempengaruhi penerbanga di Malaysia dan
Singapura.5

2. Sedikit berbeda dengan kasus di Kalimantan, lahan yang berada di Riau merupakan
lahan gambut. Gambut hanya bisa terbakar dalam keadaan kering dan musim kemarau
tidak membuat gambut kering. Menurut Sumarto (Kepala Humas Kemenhut)
kebakaran hutan ini sudah direncanakan oleh oknum tertentu. Di awali dengan
pembakaran lahan. Bagaimana caranya? oknum sadar bahwa gambut sangat sulit
dibakar, maka dibuatlah kanal-kanal. Kanal-kanal tersebut terdapat sungai kecil yang
fungsinya untuk mengeringkan gambut dari air. ''Masalahnya gambut itu selalu basah
di akarnya, dan tugas dari sungai kecil itu supaya air di dalam akar gambut itu
mengalir dan gambut jadi kering,'' kata Sumarto. Jika sudah kering barulah dibakar
untuk membuat lahan baru yang kosong. Tapi efek lainnya tidak diperkirakan. Api
yang sudah masuk ke dalam akar gambur sangat sulit untuk dipadamkan. Sekalipun
sudah dilakukan penyemperotan, namun api tetap membara di akarnya dan akan
kembali terbakar jika terkena angin.

3. Pada tahun 2015, sebanyak 12 perusahaan dijadikan tersangka pelaku pembakaran


hutan dan lahan, kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Ke-12 perusahaan tersebut
beroperasi di berbagai wilayah, termasuk Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.
“Perusahaan-perusahaan itu ada yang bergerak di bidang perkebunan, ada yang di
bidang hutan tanaman industri (HTI),” kata Badrodin dalam jumpa pers di kantor
Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan, pada Senin (12/10). Dari 12 perusahaan
yang dijadikan tersangka, ada empat kasus yang masuk tahap satu. Artinya penyidik
dari kepolisian telah menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum
(JPU). Menurut Badrodin, ada dua perusahaan asing yang masuk jajaran 12 tersangka.
Keduanya masing-masing dari Malaysia dan Cina. Mereka dikenai Pasal 108 UU
No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
berisi ancaman pidana hukuman penjara minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun
5 Diakses dari http://www.harianterbit.com/hanterdaerah/read/2015/08/25/39284/81/20/BMKG-Jumlah-Titik-
Api-di-Kalimantan-Barat-Terus-bertambah pada Selasa, 3 April 2018.

9
serta denda minimal Rp3 miliar dan maksimal Rp10 miliar. Selain perusahaan,
sebanyak 209 orang juga dikenai status tersangka. Bulan lalu, kepolisian
menetapkan tujuh perusahaan sebagai tersangka pelaku pembakaran hutan. Ketujuh
perusahaan itu adalah PT RPP di Sumatra Selatan, PT BMH di Sumsel, PT RPS di
Sumsel, PT LIH di Riau, PT GAP di Kalimantan Tengah, PT MBA di Kalimantan
Tengah, dan PT ASP di Kalteng.
4. Gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap
PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8 triliun ditolak oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Palembang. Dalam putusannya, majelis menilai, penggugat tidak
bisa membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian. Ketua
majelis hakim Parlas Nababan mengatakan, selain menolak gugatan, KLHK selaku
penggugat juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp10.521.000. Putusan
tersebut dibacakan dalam sidang terbuka yang dihadiri kedua belah pihak, organisasi
penggiat lingkungan dan awak media di Palembang, Rabu (30/12). Parlas
membacakan hal-hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutus. Di antaranya,
adanya ketersediaan peralatan pengendalian kebakaran, lahan yang terbakar masih
dapat ditanami lagi, pekerjaan penanaman diserahkan ke pihak ketiga, adanya
pelaporan secara reguler dan diketahui tidak ada laporan kerusakan lahan di Dinas
Kehutanan Ogan Komering Ilir (OKI). Atas dasar itu, majelis menyatakan tidak ada
hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian. Dari hasil laboratorium diketahui
tidak ada indikasi tanaman rusak karena setelah terbakar, tanaman akasia masih dapat
tumbuh dengan baik. Kemudian, pihak penggugat juga tidak dapat membuktikan
adanya kerugian ekologi, seperti adanya perhitungan kehilangan unsur hara,
kehilangan keanekaragaman hayati, sehingga tidak dapat dibuktikan perbuatan
melawan hukumnya. Selain itu, majelis juga menilai justru PT BMH yang mengalami
kerugian sehingga menolak gugatan perdata KLHK senilai Rp7,8 trilun.Parlas
mengatakan, berdasarkan fakta, keterangan saksi dan ahli diketahui bahwa pihak
penggugat (KLHK) tidak dapat membuktikan perhitungan kerugian seperti yang
digugatkan melalui hasil laboratorium terakreditasi sesuai peraturan UU. "Atas
pertimbangan itu, majelis hakim menolak gugatan dan membebankan biaya perkara
ke pihak penggugat (KLHK)," kata Parlas. Gugatan ini dilayangkan negara atas
terbakarnya lahan hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20 ribu hektare milik
PT BMH pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku
Kabupaten OKI.

10
5. Pembabatan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit di kawasan Hutan
Lindung Sungai Lesan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur telah mengancam
populasi Orangutan Kalimantan, subspesies 'Pongo pygmaeus morio'. Hasil survei
terbaru lembaga peduli kelestarian Orangutan yakni Centre for Orangutan Protection
(COP) yang disampaikan secara tertulis di Samarinda pada 12 Januari 2018 mencatat
bahwa populasi orangutan di kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan (HLSL) terus
menurun dari tahun ke tahun. Menurut data COP, populasi orangutan di HLSL pada
akhir 2017 tercatat hanya 0,39 individu per kilometer persegi, turun dibanding 2015
yang tercatat sekitar 1,84 individu per kilometer persergi. Bahkan, populasi orangutan
di kawasan HLSL pernah mencapai 3,69 individu per kilometer persegi pada 2005.6

6 Diakses dari http://www.mediaindonesia.com/read/detail/140567-pembukaan-lahan-sawit-ancam-populasi-


orangutan-kalimantan pada Selasa, 3 April 2018.

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pembukaan lahan sendiri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dalam usaha tani
yang didalamnya terdapat perencanaan tata ruang dan tata letak yang kegiatannya meliputi
pengukuran area, dan pembangunan infrastruktur. Hal ini terjadi dikarenakan 2 faktor yaitu
terjadi secara alamiah (oleh alam sendiri) dan dipicu aktifitas manusia (perilaku manusia
terhadap alam), yang menyebabkan suatu dampak seperti dampak secara langsung, dampak
ekologis, dampak ekonomi, dampak kesehatan, menyuburkan tanah, efek peremajaan
tanaman, pembersihan lahan dan memusnahkan hama.

Penanggulangan tentang kebakaran hutan dilakukan sejak era kemerdekaan dan


setelah kemerdekaan hingga saat ini. Kegiatan pengendalian kebakaran hutan mencakup
pencegahan, pemadaman, hingga ke rehabilitasi pasca kebakaran.

Ketentuan tentang perizinan pembakaran hutan khususnya oleh masyarakat hukum


adat di atur oleh pemerintah pusal dan daerah provinsi. Beberapa dari tingkat pusat ada dua
yang mengatur yaitu :

1. Peraturan Mentri Negara Lingkungan Hidup Pasal 4 Ayat (1) Nomor 10 tahun 2010
Tentang mekanisme Pencegahan Pemcemaran Dan Kerusakan Lingkungan Hidup.
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pasal 69 Ayat (2).

Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah pembakaran


hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus, atau kondisi yang tidak
dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan. Pelaksanaan pembakaran secara
terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

Untuk menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan yang menyeleweng dari aturan,
ada beberapa ketentuan perundang-undangan yang bisa diberlakukan yaitu UU Nomor 23
tahun tindakan pembakaran hutan dalam rangka pembukaan lahan perkebunan ditinjau dari
prespektif hukum. pelaku dapat dijerat dengan sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi
pidana.

12
DAFTAR PUSTAKA

S.H., Salim. 2003, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika


Soemartono, Gatot. 2004, Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
https://nasional.tempo.co/read/712396/aturan-ini-izinkan-pembakaran-hutan-dan-lahan

13

Anda mungkin juga menyukai