Anda di halaman 1dari 13

Ahmadiyah sebagai Kelompok Rentan di Indonesia

Citra Maudy Mahanani


NIM. 16/395820/SP/27309

Kekerasan negara terhadap Ahmadiyah bermuara dari fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang tendensius untuk membubarkan Ahmadiyah. Dengan legitimasi yang begitu besar,
fatwa MUI begitu sakral dan menjadi sebuah kebenaran. Dengan wacana sesat yang
disematkan kepada Jemaat Ahmadiyah, kekerasan terus terjadi bahkan melibatkan masyarakat.
Negara sebagai pihak yang seharusnya menjadi penjamin kemananan justru menjadi pelaku
dengan membiarkan kekerasan terjadi. Namun, respon masyarakat atas keberadaan Jemaat
Ahmadiyah sangat beragam tergantung pada konteks masyarakatnya.

Ahmadiyah di Indonesia

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukanlah sebuah kelompok agama yang baru di
Indonesia. Jika mayoritas penyebaran agama di Indonesia berawal dari perdagangan,
Ahmadiyah datang karena keinginan putra-putra bangsa Indonesia yang ketika itu menuntut
ilmu agama Islam di pusat Jemaat Ahmadiyah di Qadian, India (Yosfialdi, 2012: 67-69).
Kedatangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia berawal dari tiga orang lulusan sekolah Sumatra
Thawalib yang dipimpin oleh DR. H. Abdul Karim Amarullah (Haji Rasul) di Padang Panjang.
Ketiga lulusan tersebut bermaksud melanjutkan studi ke luar negeri usai lulus dari Sumatra
Thawalib. Dua orang di antaranya adalah Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin, asal
Parabek, Bukittinggi.

Pada tahun 1953, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas sebagai suatu
organisasi keormasan di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya badan
hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tanggal 13 Maret 1953. Periode
perkembangan Ahmadiyah di Indonesia berkembang pesat pada era 1990-an bersamaan
dengan diluncurkannya Muslim Television Ahmadiyyaa (MTA). Sejak saat itu, jemaat
Ahamdiyah terus mengalami perkembangan setiap tahunnya.

Seiring dengan perkembangan waktu, doktrin-doktrin agama yang diyakini oleh


Ahmadiyah, seperti pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi, mendapat penolakan
yang keras dari umat islam aliran utama yang menamakan dirinya sebagai kelompok Sunni.
Kelompok inilah yang menjadi penganut mayoritas masyarakat Islam di Indonesia. Mereka
menganggap Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya sebagai penoda ajaran islam.

Meski demikian, bila dilihat dari sisi sejarahnya, meski ada pertentangan ajaran
Ahmadiyah dengan sejumlah ulama aliran utama, tidak ada diskriminasi atau kekerasan yang
menimpa pengikut Ahmadiyah hingga akhir Orde Baru. Diskusi dan dialog masih menjadi
wadah mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan masyarakat ketika itu.
Begitu pula ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada tahun 1980
terkait ajaran Ahmadiyah. Tidak ada protes atau kekerasan terbuka yang pernah diarahkan
terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah.

Kondisi tersebut perlahan berubah pasca Orde Baru seiring terbukanya ruang
kebebasan politik. Seperti yang pernah terjadi pada Januari 2005, Kejaksaan Agung dan
instansi pemerintah lainnya (Kementerian Agama, MUI, BIN) mengeluarkan rekomendasi
kepada Susilo Bambang Yudhoyono selaku presiden ketika itu untuk melarang organisasi
Ahmadiyah, kegiatan, ajaran, dan kitab-kitab rujukannya. Tahun ini pulalah awal bagi
persekusi-persekusi serius terhadap Jemaat Ahmadiyah. Tepatnya pada tangga l5 Juli, Kmapus
Mubarak Parung sekaligus pusat JAI diserang massa dari berbagai kelompok islam. Persekusi
yang awalnya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu seperi Front Pembela Islam (FPI)
terus menyebar ke kelompok-kelompok lainnya bahkan ke sebagian masyarakat.

Tidak berhenti di sana, pada Juli 2005 pula MUI melalui Musyawarah Nasional MUI
VII mengeluarkan fatwa yang berisi tentang penilaian Ahmadiyah yang berada “di luar” islam
serta sesat dan menyesatkan. MUI minta kepada pemerintah Indonesia untuk melarang
penyebaran doktrin Ahmadiyah ke seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta
menutup semua tempat kegiatannya. Fatma tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta
keputusan Muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi pada Desember 1985.
Dalam fatwa tersebut juga dijelaskan bawha penerapan ajaran-ajaran Ahmadiyah telah
mengakibatkan perpecahan di antara masyarakat islam dan membahayakan stabilitas sosial dan
keamanan negara (Yosfialdi, 2012: 96-98)

Ada dua konteks yang harus dilihat untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama,
konteks meingkatnya penolakan Ahmadiyah di pentas dunia global, khususnya negara-negara
berpenduduk muslim. Kedua, konteks nasional terkait dengan menguatnya kelompok-kelompok
fundamentalis. Fatwa sesat Ahmadiyah 1980 dapat dijadikan cerminan yang memperlihatkan
menguatnya fundamentalisme di dalam kehidupan umat beragama. Itu sebabnya, tidak heran
bila keluarnya fatwa sesat Ahmadiyah tahun 1980 bersamaan dengan keluarnya fatwa haram
mengucapkan selamat natal yang sama-sama berasal dari MUI.

Fatwa MUI tentang Ahmadiyah berdampak luas di Indonesia. Menurut Ahmad Subakir
(2009) dan Platzdasch (2011), fatwa-fatwa MUI selama ini disinyalir telah menyulut aksi
kekerasan terhadap Ahmadiyah di berbagai daerah. Aksi kekerasan tersebut terjadi mulai dari
pengusiran, penutupan tempat ibadah, dan kekerasan fisik lainnya.

Akan tetapi, pertegangan yang mulai terjadi tersebut tidak lantas mendapat repson dari
pemerintah hingga Juni 2008. Pada tanggal 9 Juni 2008, seminggu setelah tragedi Monas,
pemerintah melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung mengeluarkan
Surat Keputusan Bersama (SKB). Dalam surat tersebut memerintahkan penganut Ahmadiyah
untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi beberapa pihak,
SKB tiga mentri tersebut dianggap memicu munculnya surat keputusan atau peraturan
gubernur yang melarang kegiatan keagamaan Ahmadiyah di daerahnya masing-masing.

Terlepas dari itu, The Wahid Institute (2008) mengatakan bahwa munculnya SKB ini
merupakan desakan massa yang menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Sependapat
dengan hal tersebut, Bagir (2011) turut menyatakan bahwa SKB tiga menteri berpengaruh pada
interaksi masyarakat dengan Jemaat Ahmadiyah. Kekerasan yang dialami oleh Jemaat
Ahamadiyah berawal dari adanya klaim beberapa pihak bahwa merek atelah melanggar SKB
(atau keputusan mdi masing-masing daerah). Tidak hanya itu, SKB tersebut juga berakibat
pada munculnya segregasi di antara kelompok keagamaan, yaitu Ahmadiyah dan non-
Ahmadiyah. Interaksi sosial yang terjalin selama berpuluh-puluh tahun berujung pada
pembatasan interaksi masyarakat dengan Ahmadiyah. Akibatnya, secara sosial, Jemaat
Ahamdiyah mengalami kerugian karena terbatasnya akses yang diberikan.

Sejak lahirnya SKB dan fatwa MUI, serangan terhadap masjid, pemukiman, dan Jemaat
Ahmadiyah terus meningkat secara signifikan. Peningkatan ini sejalan dengan naiknya angka
kekerasan atas gereja-gereja yang dianggap tidak memiliki izin untuk berdiri. Salah satu
kekerasan yang pernah menimpa Jemaat Ahamdiyah adalah serangan yang terjadi pada 6
Februari 2011 di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Pada penyerangan ini, tiga anggota Jemaat
Ahmadiyah meninggal dunia akibat dianiaya oleh massa.

Pasca serangan ini, ketakutan dialami oleh para Ahmadi. Ketakutan tersebut semakin
bertambah apabila di daerah yang bersangkutan menerbitkan Peraturan Daerah berupa
Peraturan Gubernur, Walikota dan Bupati, yang intinya melarang aktivitas para Ahmadi.
Bahkan operasi khusus dilakukan oleh TNI di Jawa Barat dengan sandi Operasi Sajadah
(Yosfialdi, 2012). Bagi mereka, operasi ini bertujuan untuk mengajak para Ahmadi mengikuti
islam aliran utama dan memfungsikan masjid-masjid milih Ahmadiyah menjadi fasilitas
umum. Tidak berhenti di sana, pemaksaan pindah keyakinan terhadap Jemaat Ahmadiyah juga
terjadi di beberapa tempat (Hasani & Naipospos, 2011).

Bila selama ini mereka kerap menempuh jalur pemerintah pusat untuk membubarkan
dan melarang ajaran Ahamdiyah di Indonesia, dalam beberapa waktu terakhir, kelompok-
kelompok ini telah menempuh jalur daerah. Pelarangan Ahmadiyah melalui Pemerintah
Daerah dianggap lebih realistis dibanding lewat Pemerintah Pusat. Hal ini terlihat jelas dari
banyaknya Perda yang melarang aktivitas Ahmadiyah seperti Peraturan Gubernur Jawa Timur,
Jawa Barat, Banten, dan sebagainya.

Konteks Masyarakat Bandung, Jawa Barat

Bagi masyarakat Bandung, terutama Kecamatan Astana Anyar, agama menjadi salah
satu hal sentral dalam kehidupan sehari-hari karena berkaitan dengan keyakinan dan sifatnya
yang transenden. Proses penyadaran religius ini sangat ditentukan oleh keberadaan elit agama
sebagai pihak yang menyosialisasikan agama di tengah masyarakat. Kata elit, secara
etimologis, berasal dari bahasa Latin yaitu eligere yang artinya memilih. Istilah ini berkembang
pada abad ke-14 menjadi a choice of persons (orang-orang pilihan). Lalu pada abad ke-15
dipakai untuk menyebutkan best of the best (yang terbaik dari yang terbaik). Istilah elit ini
dipakai untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu
masyarakat (Alfan Alfian, 2009).

Megambil pengertian tersebut, maka, elit agama dapat diartikan sebagai kelompok kecil
masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pengaruh keagamaan di masyarakat sehingga
menjadi rujukan dan tempat untuk bertanya dalam konteks agama. Dalam kehidupan sehari-
hari, elit agama biasa disebut sebagai ulama, kyai, ustadz, atau dalam masyarakat Sunda disebut
sebagai ajengan. Hampir dipastikan bahwa setiap kampung atau RW memiliki elit agama,
dengan kapasitas yang berbeda-beda. Mereka bertangggung jawab secara religius mengayomi
umat ke arah nilai-nilai agama. Pengayoman tersebut, salah satuya, terlembaga pada pengajian-
pengajian yang dilakukan di tingkat kampung maupun desa.

Elit agama ini memiliki karisma tersendiri dalam masyarakat karena mereka dianggap
otoritatif dalam menginterpretasikan ajaran agama yang bersumber dari teks kitab suci. Jika
Geertz (1960) menjelaskan bahwa yang membuat seorang kyai menjadi karismatik adalah
karena perannya sebagai perantara budaya (cultural broker), maka di Kecamatan Astana Anyar
karismatik elit agama juga dilihat dari peran politik yang dimainkannya. Hubungan elit agama
dengan masyarakat ibarat hubungan yang vertikal. Posisi masyarakat menerima apa yang
menjadi pilihan dan keputusan elit agama. Hubungan ini persis seperti apa yang pernah
digambarkan oleh Karl D. Jackson ketika menggambarkan hubungan kewibawaan tradisional
dengan masyarakat di Jawa Barat. Menurut Jackson (1990), pada saat tertentu seorang elit
agama akan mempengaruhi dan mengubah pola pikir masyarakat. Kewibawaan tradisional,
dalam interaksinya dengan masyarakat, mengirimkan pesan (dari teks keagamaan) kepada
masyarakat, dan mereka menerimanya sebagai dasar perilakunya.

Elit agama adalah mereka yang menyediakan, melindungi, mendidik, dan memiliki
status tunggal dari masyarakat yang punya hubungan ketergantungan yang mapan. Perintah-
perintahnya diterima masyarakat semata-mata atas dasar siapa dia dan hubungan tertentu yang
tersebar dengan tokoh lainnya termasuk Kepala Desa. Sehingga, ketika ada perintah dan
permintaan dari elit agama, reaksi yang biasa ditunjukkan adalah mengabulkannya (Jackson,
1990).

Keberadaan elit agama sangat berpengaruh terutama yang berkaitan dengan masalah-
masalah agama, bahkan kehidupan sosial. Hampir semua persoalan keagamaan dipegang oleh
elit agama. Peran-peran elit agama tersebut dapat dilihat dari bagaimana mereka mampu
memberikan keputusan terkait boleh tidaknya mengadakan pengajian di Kampung Ciladong
yang masyarakatnya menganut paham Ahmadiyah, menentukan jadwal-jadwal pengajian,
menegur dan menasehati masyarakat yang menyimpang, dan lain-lain (Yosfialdi, 2012).
Begitu pula dengan peran elit lokal. Mereka turut hadir dalam pengajian di tingkat desa dan di
kampung-kampung, sebagai media komunikasi dan pembinaan anggota. Pengajian tersebut
berkembang menjadi tempat rakyat dan kaum awam mengikat diri secara taqliddi dalam
kesatuan orang saleh (Mulkhan, 2000).

Weber (1964) pernah mengatakan bahwa tindakan sosial dan tipe otoritas yang
dilakukan oleh elit agama adalah tipe otoritas tradisional yang berlandaskan pada suatu
kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi-tradisi masaa dulu serta legitimasi status
mereka. Dengan demikian, alasan penting masyarakat Astana Anyar taat pada otoritas
tradisional ini adalah kepercayaan mereka bahwa hal tersebut sudah selalu ada.
Kepempimpinan elit agama di kecataman ini sangat ditentukan oleh pribadi dan kedudukan
yang dipegangnya. Misalnya saja, adanya salah satu elit agama yang dominan di tingkat desa
tersebut dan menjadikan isu Ahmadiyah menjadi persoalan yang besar. Pernah ada di desa
tersebut salah satu elit agama yang juga menjabat sebagai Ketua MUI tingkat desa. Ia adalah
seorang ulama besar di desa dan juga dihormati oleh masyarakat. Terlebih lagi ia dan
keluarganya memiliki pesantren, hal tersebut dapat menaikkan derajatnya di tengah
masyarakat.

Adanya pemimpin dominan yang tidak kooperatif dan tidak menerima perbedaan
tersebut menjadikan kelompok-kelompok “kedua” di daerah tersebut menjadi lebih rentan.
Sikap yang cenderung reaktif dan tidak toleran salah satunya berdampak pada munculnya
anggapan warga desa yang berpandangan bahwa Ahamdiyah mengancam akidah sosial.
Terlebih lagi dengan adanya surat keputusan yang telah dibuat oleh Pemerintah Daerah
Bandung sendiri, maka tindakan-tindakan yang mengarah pada penolakan keberadaan Ahmadi
seolah-olah dapat dibenarkan atau baik adanya.

Dari sisi praktik dan paham keagamaan, Kecamatan Astana Anyar (lokasi berdirinya
masjid An-Nashir) ini telah hidup berdampingan dengan para Ahmadi sebelum Indonesia
merdeka, yaitu tahun 1948. Keberadaan kelompok Ahmadiyah di desa ini cukup diterima. Hal
tersebut dibuktikan dengan terjalinnya hubungan sosial yang kohesif antara mereka para
Ahmadi dan masyarakat umum. Kondisi ini pun diakui oleh Rifat, yang merupakan Jemaat
Ahmadiyah keturunan. Menurut pemaparannya, sejak zaman kakeknya dulu, kehidupan
mereka dengan masyarakat setempat selalu akur.

“Tidak pernah sih (mendapat perlakuan diskriminatif), karena di rumah pun, kalau ada
yang berkunjung, orang pasti melihat seperti simbol-simbol yang sering digunakan
oleh Ahmadi. Misalnya seperti kalender Ahmadiyah. Kalau mereka yang sadar, maka
mereka akan bertanya. Tapi hanya bertanya lalu yasudah, hubungan kami masih baik-
baik saja. Teman-teman saya juga tidak sampai melakukan diskriminasi.”
(Wawancara, 25 Februari 2018).
Secara umum, paham dan praktik kegamaan Ahmadiyah tidak berbeda jauh dengan
aliran utama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat. Namun demikian, ada beberapa prinsip
yang oleh masyarakat dianggap menyimpang dan bertentangan yaitu masalah kenabian Mirza
Ghulam Ahmad dan Tadzkirah sebagai kitab suci para Ahmadi. Resistensi yang dialami Jemaat
Ahmadiyah sebelum masa reformsi hanya sebatas ucapan yang disampaikan sebagian kecil
kalangan elit agama lewat pengajian-pengajian. Tokoh agama kerap kali merasa bertanggung
jawab menjaga keimanan umatnya dari gangguan keyakinan yang menyalahi ajaran islam.
Meski mendapat resistensi dari kalangan agama, akan tetapi hal tersebut tidak sampai berujung
pada konflik fisik karena bisa didialogkan melalui diskusi dan debat terbuka.
Dalam pandangan masyarakat, penganut Ahmadiyah tidak berbeda dengan masyarakat
yang lainnya, mereka sama-sama warga desa tersebut. Tidak sedikit masyarakat yang menaruh
rasa hormat dan kagum kepada warga Ahmadiyah lantaran sikap, akhlak, dan religiusitas
mereka yang terpuji. Ciri khas Ahmadiyah yang membedakan dengan warga lainnya salah
satunya adalah perempuan yang ikut beribadah salat Jumat. Mengenai kebiasaan tersebut,
sebagian masyarakat berpendapatnya justru tidak ada salahnya mereka meniru cara
beroganisasi dan beribadah Ahmadiyah demi memajukan umat islam.

“Lalu juga tentang jumatan bagi perempuan. Itu kan sebenarnya masih dianggap tabu
ya (bagi ajaran islam kebanyakan). Kalau kami, perempuan juga melakukan jumatan
karena dalilnya tidak ada yang mengatakan bahwa jumatan itu hanya dilakukan oleh
laki-laki. Hanya, perempuan ini tidak diwajibkan kalau memang tidak ada pekerjaan
apa-apa di rumah. Daripada tidak melakukan apa-apa, maka kita setiap hari jumat itu,
kami yang Ahmadiyah keluar dan ikut salat. Nah, lama-kelamaan hal tersebut bisa
diterima oleh lingkungan kerja saya.” (Wawancara dengan Rifat, 25 Februari 2018).

Resistensi JAI sebagai Komunitas Rentan

Penerimaan yang terjadi di lingkungan Rifat tidak muncul tanpa alasan. Keberadaan
JAI telah diakui secara legal oleh negara dengan pengesahan organisasi ini sebagai badan
hukum melalui SK Menteri Kehakiman RI tanggal 13 Maret 1953 No. JA/5/23/13 dan
Tambahan Berita Negara RI No 26 tanggal 31 Maret 1953 JAI telah terdaftar di Departemen
Agama RI, Departemen Sosial, serta Departemen Dalam Negeri. Namun, setelah terbitnya
SKB Tiga Menteri pada tahun 2008, hak-hak JAI semakin terbatas. Padahal seharusnya,
sebagai badan hukum yang resmi, JAI mendapatkan hak-hak yang sama dengan lembaga yang
lainnya.

Model relasi minoritas versus mayoritas-dominan menunjukkan lemahnya posisi tawar


kelompok JAI. Mereka adalah kelompok yang rentan akan praktik-praktik diskriminasi
kelompok dominan. Relasi ini semakin kompleks ketika ranah teologis kemudian bergeser ke
arah politis, terutama setelah melibatkan aktor negara di dalamnya. Akses terhadap berbagai
sumber daya ini pun menjadikan kelompok dominan menjadi penekan yang mampu
menundukkan negara.

Dalam menyikapi keluarnya SKB tersebut, para Ahmadi berusaha menerimanya


dengan lapang dada. Usaha untuk dialog dengan pemerintah untuk mencegah terbitnya SKB
pun sudah diupayakan sebelumnya. Maka, dalam pandangan mereka, jika toh SKB tetap terbit,
maka hal tersebut harus dipatuhi. Dalam menyikapi SKB ini, pengurus JAI cabang Bandung
memberikan penjelasan kepada seluruh jemaat. Namun, dalam hal berkegiatan mereka tidak
benar-benar berhenti tetapi berusaha tidak terlihat mencolok dan selalu lapor pada pihak
kepolisian. Rifat menjelaskan hal tersebut dalam kutipan berikut.

“Sejak saat itu (keluarnya SKB) kami memang tidak boleh terlalu mencolok gitu kalau
berkegiatan. Setiap kali kami mau melakukan kegiatan, yang kami lakukan adalah
menghubungi polisi setempat. Misalnya, setiap satu tahun sekali kami ada pertemuan
satu daerah. Kalau di Bandung, yang kita bertemu se-Bandung Raya. Itu acara tahunan
yang nanti juga kadang negara lain juga ada yang datang.” (Wawancara, 25 Februari
2018).
Konsep tentang mainstream (arus utama Islam) di Indonesia mengarah pada kelompok-
kelompok Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam serta dijadikan referensi
dalam berbagai urusan yang berhubungan dengan hukum-hukum dalam kasus umat islam di
Indonesia masa kini. Ortodoksi—dalam istilah Martin van Bruinessen—diwakili oleh MUI,
termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada di dalamnya. Dalam visi ini, Ahlus
Sunnah wal Jama’ah merupakan arus utama Islam yang ortodoks dan yang menyimpang
darinya dalah sempalan dan sesat (vam Bruinessen, 1989: 17).

Konsep tersebut senantiasa mengacu pada kekuatan-kekuatan yang telah cukup kuat,
mapan, terinstitusionalisasi, dan lekat dengan adanya praktik hegemoni yang dihasilkan
sebagai hasil dari kolaborasi dengan kekuatan politik. Hal ini berguna memonopoli kehidupan
agama suatu masyarakat, serta memberlakukan sistem kepercayaan dan praktik kegamaan
mereka sendiri (Clarke dalam Boy, 2009: 2). Sehingga, dominasi menjadi konsep penting
dalam memahami aliran utama ini. “Truth Claim” merupakan senjata ampuh yang dilontarkan
oleh kelompok arus utama untuk menyatakan kebenaran tafsir mereka atas ajaran agama Islam
(Maliki, 2010: 49).

Hasilnya, aliran-aliran arus utama ini mampu mendominasi bingkai beragama umat
Islam, tidak hanya dari segi ritualitas namun juga secara bersamaan terpolarisasi dalam arus
tersebut. Begitu pula dengan preferensi umat. Mereka akan selalu berkiblat pada kelompok
arus utama termasuk dari produk hukum, maupun politik yang selalu mengaitkan diri pada
entitasnya. Keadaaan ini mendorong pandangan yang eksklusif dan cenderung memperlakukan
perbedaan di luar arus utama sebagai sebuah penyimpangan. Apa yang berbeda selalu diartikan
sebagai racun yang harus dimusnahkan, kalau memang tak bisa diobati (Maliki, 2010: 50).Hal
ini terlihat dari pernyataan Rifat ketika ditanya soal perlakuan diskriminatif yang pernah ia
alami. Ia mengaku bahwa dirinya kerap menyembunyikan identitasnya dari lingkungannya
demi keamanan.

“Perlakuan tidak enak sih saya tidak pernah, karena dengan kondisi yang sekarang ini,
di mana kita banyak ujian, banyak yang membenci maka kita tidak boleh sembarangan
mengatakan bahwa kita adalah Ahmadi. Kita harus tahu dulu situasi dan kondisinya.
Kalau memang kondisi dan situasinya itu memungkinkan kita untuk mengatakan
identitas kita bahwa kita Ahmadi, ya kita akan terbuka. Jadi selama tidak ada yang
bertanya, kami tidak boleh mendeklarasikan diri bahwa kami Ahmadi.” (Wawancara,
25 Februari 2018).
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, atas desakan dari kelompok
Islam arus utama untuk menindak JAI, Departemen Agama telah mengadakan dialg sebanyak
tujuh kali (sejak 7 September 2007 hingga 14 Januari 2008) untuk mencari solusi. Dalam dialog
yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI dan diharidi oleh
perwakilan JAI, tokoh agama Islam, Kejaksaan Agung, Polri, TNI, Departemen Dalam Negeri
dan Kementerian Budaya dan Pariwisata, dihasilkan 12 butir kesepakatan yang ditandatangani
oleh PB JAI, instansi pemerintah serta tokoh Agama Islam. Dalam kesepakatan tersebut berisi
pernyataan PB JAI bahwa warga Jai adalah bagian dari umat Islam dan memiliki keyakinan
yang sama dengan mereka. Sebagai tindak lanjut, Badan Koordinasi Pengawas Aliran
Kepercayaan (Bakopakem) juga ditunjuk sebagai pemantau yang berhak memberikan
rekomendasi atas hasil pantauan.

Oleh karena kewenangan tersebut, Bakorpakem memutuskan bahwa Ahmadiyah


menyimpang dari ajaran Islam dan harus dihentikan. Mereka berdalih bahwa keterangan
tersebut didasarkan pada pemantauan selama tiga bulan di 33 kabupaten di 55 komunitas JAI,
dan pantauan langsung dengan 277 pengikut yang dilakukan oleh 35 tim pemantau.
Bakorpakem juga menilai bahwa JAI tidak konsisten dalam melaksanakan kesepakatan yang
tertuang dalam 12 butir pernyataan sebelumnya. Sehingga, Bakorpakem merekomendasikan
agar JAI menghentikan segala kegiatan dan penafsiran ajaran agama yang menyimpang. Tak
lama dari kejadian ini, publikasi tersebut segera ditindaklanjuti oleh terbitnya SKB.

Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada celah bagi para Ahmadi untuk bersuara.
Para pengikut Ahmadiyah secara memang memiliki jumlah jemaat yang sedikit bila
dibandingkan dengan aliran agama Islam yang lainnya. Namun, mereka memiliki aktor-aktor
intelektual mulai dari dosen, aktivis mahasiswa, seniman dan lain-lain yang cukup berpengaruh
dan mampu membangun jaringan untuk menggalang dukungan. Dengan menggunakan suara
dari kelompok intelektual dan menciptakan ruang tersendiri di ranah akademik—yang
cenderung bebas dari kuasa negara atau kelompok dominan—mereka mampu menyuarakan
kepentingan dan hak-hak mereka (representasi atau tindakan berbicara).

Adapun langkah-langkah yang mereka lakukan antara lain adalah menggalang


dukungan di tingkat nasional. JAI bergabung menjadi bagian dari Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama (AKKBB). Mereka juga akrab dengan salah satu aliansi jurnalis yaitu
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), dan beberapa komunitas lain yang mendukung
kebebasan beragama. Selain itu, dukungan terhadap JAI juga diperoleh dari lingkungan
kampus. Dukungan yang dimaksud bersifat akademis melalui berbagai macam aktivitas
akademis pula. Dukungan semacam ini pernah diberikan salah satunya oleh UGM (Maliki,
2010). UGM pernah bekerja sama dengan JAI dalam menyelenggarakan seminar internasional
yang mengundang Khalifah Ahmadiyah, Mirza Thahir Ahmad pada tahun 2000.

Kesimpulan

Permasalahan yang dihadapi di berbagai daerah di Indonesia adalah masih banyak


diskriminasi terhadap kelompok minoritas baik etnis maupun agama. Padahal, mereka sebagai
masyarakat atau suku bangsa harus diberlakukan sama dengan kelompok mayoritas lainnya.
Demi mewujudkan pemajuan dan perlindungan kaum minoritas antara lain adanya larangan
diskriminasi karena diskriminasi berdampak negatif pada kaum minoritas secara politik, sosial,
budaya, dan ekonomi serta merupakan sumber utama terjadinya ketegangan. Diskriminasi
berarti menunjukkan perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengistimewaan apapun
berdasarkan alasan seperti ras, warna kulit, bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan dan
bertujuan untuk meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan, pemenuhan semua hak dan
kebebasan semua orang yang seharusnya setara.

Frank Furedi (2008) berargumen bahwa ketakutan mengonstruksi gagasan tentang


pentingnya keamanan. Sesuatu yang menjadi ancaman ketika hal tersebut diopinikan melalui
media massa, dipromosikan oleh agensi tertentu dan ada objek (atau pun subjek) rujuan yang
merasa terancam dan takut atas ancaman tersebut. Maka, dalam pandangan ini, ketakutan
merupakan sebuah persepsi yang lahir ketika ada yang mengopinikannya sebagai sebuah
ancaman. Ketakutan, dengan demikian, adalah hasil dari kosntruksi diskursif yang dilakukan
oleh aktor politik. Ia lahir ketika ada sebuah entitas yang mewacanakan seseuatu hal
mengancam eksistensi seseorang, lalu wacana tersebut direspon dengan menjadikannya
sebagai opponent atau lawan.
Dalam artikelnya yang berjudul “The Changing Meaning of Disaster”, Furedi (2007)
memberikan contoh bagaimana beberapa pemikir dalam bidang penelitian bencana melihat
peristiwa 11 September (9/11). Peristiwa itu digunakannya untuk mengeksplorasi respons
perilaku individu dan masyarakat terhadap bencana atau gangguan berskala besar. Temuan
penelitian ini akhirnya dapat membantu memberikan wawasan tentang dinamika respon publik
terhadap penghancuran skala besar dan tindakan terorisme. Sepanjang sejarah, penjelasan
orang tentang penyebab bencana, dampak bencana terhadap kehidupan, dan arti (makna) yang
harus mereka lekatkan padanya telah mengalami komodifikasi.

Seperti yang dikatakan Carr, bencana dan kerentanan didefinisikan oleh manusia,
bukan alam. Dia mencatat bahwa 'tidak setiap angin topan, gempa bumi, atau aliran air adalah
malapetaka'. Jika tidak ada luka serius dari kematian dan kerugian serius lainnya, Carr
berpendapat bahwa manusia akan menganggapnya sebagai 'tidak ada bencana' (Carr dalam
Furedi, 1932: 211). Itu tidak begitu banyak intensitas penderitaan manusia tapi juga sinyal kuat
yang dikirim oleh suatu tindakan besar gangguan fisik yang membentuk persepsi akan
malapetaka.

Dalam konteks kelompok Ahmadiyah, latar belakang yang menyebabkan masyarakat


merasa terancam dengan kehadirannya adalah konstruksi mengenai dampak dari eksistensinya.
Persepsi mengenai sebab-akibat dibentuk oleh naskah budaya yang berusaha memberi banyak
acara, terutama yang ekstrem, dengan melalui pemberian makna. Makna tersebut
dikembangkan melalui wacana bahwa Ahmadiyah berbeda, sesat, dan membahayakan. Sama
seperti ketika masyarakat mengalami sebuah bencana (alam). Furedi menyimpulkan bahwa
paradigma kerentanan telah muncul dari imajinasi budaya Barat yang memandang dunia
sebagai tempat yang semakin terpencil dan berbahaya. Perspektif ini diinformasikan oleh
sebuah persepsi yang menganggap bahwa masyarakat harus membayar harga untuk perilaku
yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungannya.

Paradigma kerentanan masyarakat dan individu memberikan kerangka konseptual


budaya yang dominan untuk memahami respon publik terhadap banjir, bencana alam, ancaman
sosial, dan sebagainya. Sehingga, kerentanan bukanlah sesuatu yang muncul dari tanggapan
atas adanya ketidakamanan, tetapi ia adalah seseuatu yang mendahuluinya. Kerentanan
dikonseptualisasikan dengan “kecenderungan intrinsik untuk terpengaruh, atau rentan terhadap
kerusakan” (Cardona dalam Furedi, 2003: 2). Itulah mengapa belakangan ini konsep mengenai
kelompok rentan mulai umum digunakan.
Identitas ini juga sering dikaitkan dengan wanita, orang tua, penyandang cacat, orang
miskin, dan kelompok rentan—salah satunya Ahmadiyah—yang dicirikan sebagai kelompok
rentan. Lewat persepektif ini, kerentanan merupakan penanda kunci dan ciri khas beragam
mengenai identitas kelompok. Hal ini juga menjadi metafora budaya yang melaluinya
masyarakat menjadi masuk akal. Dengan adanya konsep mengenai kerentanan, maka ia
menjadi suatu keadaan yang mampu mendorong normalisasi rasa kehilangan yang meningkat
terhadap suatu ancaman atau bencana.

Referensi

Alfian, M.A. (2009). Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

Bagir, Z.A. (2011). Telaah Kasus Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada,

Carr, L. J. (1932). Disaster and the sequence-pattern concept of social change American Journal
of Sociology, pp 38,
eramuslim (2008). Bakorpakem Putuskan Ahmadiyah Tetap Menyimpang. [online] Available
at: https://www.eramuslim.com/berita/nasional/bakorpakem-putuskan-ahmadiyah-
tetap-menyimpang.htm#.WxQCWiAxXIU [Accessed 27 May 2018],
Furedi, Frank. (2007). The Changing Meaning of Disaster Area in Area 39(4), pp 482-489,
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books,

Hasani I, Naipospos B. T., (ed). (2011). Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita. Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara,

Hasani, I. et.al. (2011). Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya
terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta: Publikasi SETARA
Insitute,

Jackson, K. D. (1990). Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darus


Islam Jawa Barat. Jakarta: Pustaka Utama Grafitika,

Mulkhan, A. M. (2000). Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya,

Platzdasch, B. (2011). Religious Freedom in Indonesia: The Case of the Ahmadiyah in Jurnal
Institute of Southeast Asian Studies (2),
Subakir, A. (2009). Menyoal Fatwa MUI tentang Larangan Aliran (Aqidah) Ahmadiyah in
Jurnal Kontemplasi 6(1),

Weber, M. (1972). The Sociology of Religion. Boston: Beacon Press,

Yosfialdi, (2012). Pluralisme dan Keberadaan Ahmadiyah di Pedesaan Jawa. pp 67-100,


Laporan Tahunan The Wahid Institute tahun 2008 tentang Pluralisme Beragama/Berkeyakinan
di Indonesia,
Van Brunessen, Martin. (1992). Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar
Bekalang Sosial-Budaya in Ulumul Qur’an III(1), pp 17,

Anda mungkin juga menyukai