Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempercepat modernisasi dalam
segala bidang. Berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin kuat
sejalan dengan tuntutan reformasi dan globalisasi. Untuk itu diperlukan sumber daya
manusia yang memiliki kompetensi, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta
mampu bersaing untuk menghadapi tantangan di era globalisasi. Perkembangan zaman
yang semakin modern juga menuntut adanya peningkatan pendidikan yang sesuai dan
sejalan dengan fungsi serta tujuan pendidikan nasional. Pendidikan sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 bab II pasal 3 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlah mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus benar-benar dapat memberikan
bekal kepada generasi muda untuk menghadapi tuntutan dan perkembangan zaman yang
semakin maju dan kompleks. Sekolah merupakan lembaga dari masyarakat, oleh
masyarakat, untuk masyarakat, dan sekolah menghasilkan kemajuan bagi masyarakat.
Pada hakekatnya, kesempatan
memperoleh pendidikan untuk semua (education for all) semakin dirasakan
masyarakat, karena pendidikan dijadikan kebutuhan pokok (basic needs) dalam
kehidupan masyarakat. Kebudayaan juga sangat berperan dalam kehidupan
bermasyarakat, terutama di daerah yang masih erat akan bahasa daerah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana ciri khas etnis Batak Toba?
2. Bagaimana presepsi pemimpin etnis Batak Toba ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Masyarakat dapat mengetahui bagaimana ciri khas etnis Batak Toba
2. Masyarakat dapat mengetahui presepsi pemimpin etnis Batak Toba dalam kepemimpinan.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh


pemimpin kepada (pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisas

kepemimpinan itu adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan

mencapai tujuan organisasi.

Konsep kepemimpinan dan kekuasaan sebagai terjemahan dari power telah menurunkan

suatu minat yang menarik untuk senantiasa diskusikan sepanjang evolusi pertumbuhan

pemimpin. Konsep kekuasaan amat dekat dengan konsep kepemimpinan.

2.2 Gaya-Gaya Kepemimpinan

Mengidentifikasi dua kategori gaya yang ekstrem yakni: gaya


kepemimpinan otokratis, dan gaya demokratis. Kepemimpinan gaya otkratis dipandang sebagai
gaya yang didasarkan atas kekuatan posisi dan penggunaan otoritas. Gaya kemampuan
demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan kekutsertaan para pengikut dalam proses
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

a. Gaya Kepemimpinan Kontinum

Gaya ini termasuk klasik. Ada dua bidang pengaruh yang ekstrem. Pertama,

bidang pengaruh pimpinan dan kedua, bidang pengaruh bawahan. Ketujuh model

keputusan pemimpin itu :

Pemimpin membuat keputusan kemudian mengumumkan kepada bawahannya,

Pemimpin menjual keputusan,

Pemimpin memberikan pemikiran-pemikiran atau ide-ide dan mengundang pertanyaan-

pertanyaan,
Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang kemungkinan dapat diubah,

Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran, dan membuat keputusan,

b. Gaya Managerial Grid

Gaya kepemimpinan dalam managerial grid antara lain :

manajer sedikit sekali usahanya untuk memikirkan orang-orang yang bekerja dengannya

manajer mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memikirkan baik produksi maupun

orang-orang yang bekerja dengannya, gaya kepemimpinan dari manajer ini ialah mempunyai

rasa tanggung jawab yang tinggi untuk selalu memikirkan orang-orang yang bekerja dalam

organisasinya

manajer semacam ini hanya mau memikirkan tentang usaha peningkatan efisiensi pelaksanaan

kerja.

2.3 Teori-Teori Kepemimpinan

a. Teori Sifat (Trait Theory)

Sejumlah sifat-sifat seperti fisik, mental, kepribadian menjadi pusat perhatian

untuk diteliti disekitar tahun-tahun 1930-1950-an. Hasil dari usaha penelitian yang begitu

besar pada umumnya dinilai tidak memuaskan. Suatu kesimpulan yang diperoleh dari

hasil penelitian kepemimpinan tersebut diketahui, berikut :

1. Kecerdasan muncul pada 10 penelitian,

2. Inisiatif muncul pada 6 penelitian,


3. Keterbukaan dan perasaan humor muncul pada 5 penelitian, dan

4. Entusiasme, kejujuran, simpati, dan kepercayaan pada diri sendiri, muncul pada 4 penelitian.

Keith Davis merumuskan empat sifat umum yang tampaknya mempunyai

pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi.

1.Kecerdasan,

2. Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial,

3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi,

4. Sikap-sikap hubungan kemanusiaan.

b. Teori Kelompok

Teori kelompok dalam kepemimpinan ini memiliki dasar perkembangan yang

berakar pada psikologi sosial. Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya kelompok

bisa mencapai tujuan-tujuannya, harus terdapat suatu pertukaran yang positif diantara

pemimpin dan pengikut-pengikutnya.

c. Teori Situasional dan Model Kontijensi

Dua pengukuran yang digunakan saling bergantian dan ada hubungannya dengan

gaya kepemimpinan tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :

Hubungan kemanusiaan atau gaya yang lunak dihubungkan pemimpin yang tidak melihat

perbedaan yang besar diantara teman kerja yang paling banyak dan paling sedikit disukai atau
memberikan suatu gambaran yang relatif menyenangkan kepada teman kerja yang paling sedikit

disenangi.

Gaya berorientasi tugas atau hard nosed dihubungkan dengan pemimpin yang melihat suatu

perbedaan besar diantara teman kerja yang paling banyak dan paling sedikit disenangi dan

memberikan suatu gambaran yang paling tidak menyenangkan pada teman kerja yang paling

sedikit diskusi.

d. Model Kepemimpinan Kontijensi dari Fiedler

Model ini berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi yang

menyenangkan. Adapun situasi yang menyenangkan itu diterangkan oleh Fiedler

dalam hubungannya dengan dimensi-dimensi empiris berikut:

1. Hubungan pemimpin-anggota,

2. Derajat dari struktur tugas, dan

3. Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal.

Suatu situasi akan dapat menyenangkan pemimpin jika ketiga dimensi diatas

mempunyai derajat yang tinggi. Dengan kata lain, suatu situasi akan menyenangkan jika :

1. Pemimpin diterima oleh para pengikutnya,

2. Tugas-tugas dan semua yang berhubungan dengannya ditentukan secara jelas, dan

3. Penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal diterapkan pada posisi pemimpin.

e. Teori Jalan Kecil – Tujuan (Path – Goal Theory)


Teori Path – Goal versi House, memasukkan empat tipe atau gaya utama

kepemimpinan yang dijelaskan sebagai berikut :

1. Kepemimpinan direktif,

2. Kepemimpinan yang mendukung (supportive leadership),

3. Kepemimpinan partisifatif, dan

4. Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi.

Perilaku pemimpin akan bisa menjadi faktor motivasi terhadap para bawahannya

jika :

Perilaku tersebut dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan bawahan sehingga memungkinkan

tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja, dan

Perilaku tersebut mrupakan komplemen dari lingkungan para bawahan yang berupa latihan,

dukungan, dan penghargaan yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan kerja.

Adapun usaha-usaha yang lebih spesifik yang dapat dicapai oleh pemimpin,

antara lain:

1. Mengetahui dan/atau menumbuhkan kebutuhan-kebutuhan para bawahan untuk

menghasilkan sesuatu yang bisa dikontrol pimpinan,

2. Memberikan insentif kepada bawahan yang mampu mencapai hasil dalam bekerja,
3. Membuat suatu jalan yang mudah dilewati oleh bawahan untuk menaikkan potensinya dengan

cara latiha, dan pengarahan,

4. Membantu para bawahan dengan menjelaskan apa yang bisa diterapkan darinya,

5. Menguangi halangan-halangan yang bisa membuat frustasi, dan

6. Menaikkan kesempatan-kesempatan untuk pemuasan bawahan yang memungkinkan

tercapainya efektivitas kerja.

Pemimpin harus menggunakan gaya yang paling sesuai terhadap variabel-variabel

lingkungan yang ada.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Unsur-Unsur Kebudayaan

1. Sistem Pengetahuan
Sistem pengtahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-perubahan musim yang

diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim hujan dan musim kemarau. Perubahan dua jenis musim

tersebut dipelajari masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk keperluan bercocok tanam.

Selain pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku Batak juga menguasai konsep

pengetahuan yang berkaitan dengan jenis tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka. Pengetahuan tersebut

sangat penting artinya dalam membantu memudahkan hidup mereka sehari-hari, seperti makan, minum,

tidur, pengobatan, dan sebagainya. Jenis tumbuhan bambu misalnya dimanfaatkan suku masyarakat

Batak untuk membuat tabung air, ranting-ranting kayu menjadi kayu bakar, sejenis batang kayu

dimanfaatkan untuk membuat lesung dan alu, yang kegunaannya untuk menumbuk padi.

Pengetahuan tentang beberapa pohon, kulit kayu (lak-lak), serta batu, yang dimanfaatkan

masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja. Sedangkan dari kulit kayu biasanya masyarakat

Batak memanfaatkannya untuk menulis ilmu kedukunan, surat menyurat dan ratapan. Kulit kayu (lak-lak)

tidak ditonjolkan tetapi secara tersirat ada, karena yang menggunakan lak-lak tersebut hanya seorang

Datu. Masyarakat Batak mengetahui dan menguasai kegunaan bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan

secara efektif dan memanfaatkan untuk acara tergambar pemakaman raja-raja. Upacara pemakaman itu

hanya untuk raja-raja, tetua adat, dan para tokoh yang mempunyai kedudukan saja. Hal itu disebabkan

pelaksanaan upacara pemakaman membutuhkan dana yang cukup besar.

2. Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal, yaitu menurut garis keturunan ayah.Dalam

berhubungan antara yang satu dengan yang lain pada masyarakat Batak, mereka harus mampu

menempatkan dirinya dalam struktur itu sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan hubungan

kekerabatan di antara sesamanya dengan cara martutur. Hubungan antara satu marga dengan marga

lainnya sangat erat, setelah terjadinya beberapa kelompok kecil yang diakibatkan sebuah perkawinan.
Memang benar, apabila seorang Batak menyebut anggota marga-nya dengan sebutan dongan-

sabutuha (mereka yang berasal dari rahim yang sama). Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak

laki-laki, dan menjadi punah kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkan. Sistem kekerabatan

patrilineal ini yang menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri atas turunan-turunan,

marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis laki-laki. Laki-laki

itulah yang membentuk kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan menciptakan hubungan besan

(affinal relationship), karena ia harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.

3. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Masyarakat Batak juga memiliki rumah adat Batak. Rumah Batak biasanya didirikan di atas tiang kayu

yang banyak, berdinding miring, beratap ijuk. Letaknya memanjang kira kira 10 – 20 meter dari timur ke

barat. Pintunya ada di sisi barat dan timur pada rumah Karo dan Simanuwun, atau pada salah satu ujung

lantai pada rumah Toba ( masuk dari kolong). Pada bagian puncaknya yang menjulang ke atas di sebelah

barat dan timur dipasang tanduk kerbau atau arca muka manusia dan puncak yang melengkung

membentuk setengah lingkaran ( kecuali rumah empat ayo pada Karo). Pada bagian depan (barat dan

timur) rumah Karo yang disebut ayo ada ornamentasi geometris dengan warna warna merah , putih ,

kuning dan hitam. Pada sisi kanan kiri pada kedua mukanya rumah batak menggunakan lukisan (arca).

Kepala orang atau singa (Kalamakara). Dindingnya diikat dengan tali ijuk yang disusun sedemikian rupa

sehingga menyerupai gambar cecak ( Reret ).

4. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Orang Batak bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi, tetapi masih banyak juga, terutama

diantara orang Karo, Simalungun dan Pakpak yang masih bercocok tanam di ladang. Yang dibuka di hutan

dengan cara di bakar dan menebang pohon.


Pada sistem bercocok tanam di ladang , Huta atau Kutalah yang memegang hak Ulaya tanah.

Sedangkan hanya warga Huta atau Kuta yang berhak untuk memakai wilayah itu. Mereka menggarap

tanah itu seperti menggarap tanahnya sendiri, tetapi tak dapat menjualnya tanpa persetujuan dari Huta

yang diputuskan dengan musyawarah. Tanah yang dimiliki individu juga ada. Pada orang batak toba

misalnya ada tanah panjaenan, tanah pauseang dan tanah parbagian. Alat-alat yang digunakan dalam

bercocok tanam adalah, cangkul, tongkat tugal. Bajak biasanya ditarik oleh kerbau , atau oleh sapi. Orang

Batak umumnya memotong padi dengan sabit ( Sabi-sabi ) , atau dengan ani-ani. Selain itu peternakan

juga suatu penghasilan yang penting pada orang Batak umumnya. Mereka memelihara kerbau, sapi,

babi, kambing, ayam, bebek. Kerbau banyak di gunakan sebagai binatang penghela dan untuk upacara

adat, sedangkan babi dimakan dan untuk pemberian adat. Sapi, kambing, ayam di jual untuk melayani

kota-kota terutama Medan.

Di daerah tepi danau Toba dan di pulau Samosir menangkap ikan merupaka suatu mata

pencaharian yang penting. Penangkapan ikan dilakukan dengan amat intensif dalam musim tertentu,

misalnya dalam bulan Juli sampai Agustus. Pekerjaan dilakukan eksklusif laki-laki dalam prahu lesung

( Solu ) dengan jala , pancing dan perangkap-perangkap ikan. Ikan di jual di pasar-pasar untuk dibawa ke

kota-kota seperti ke Baligo.

6. Sistem Religi

Batak telah dipengaruhi oleh beberapa agama, yaitu agama Islam dan Kristen Protestan yang

masuk sejak permulaan abad ke-19. Agama Islam masuk di Minangkabau sejak tahun 1810 dan sekarang

dianut oleh sebagian besar dari orang Batak selatan (Mandailing dan Angkola). Sedangkan agama Kristen

disiarkan ke daerah Toba dan Simalungun oleh organisasi penyiar agama dari Jerman sejak tahun 1863

dan ke daerah Karo oleh organisasi Belanda pada masa yang sama. Di samping itu juga ada agama-agama

lain dan agama pribumi.


Walaupun sebagian besar orang Batak telah menganut agama Kristen atau Islam, namun banyak

konsep-konsep agama aslinya masih hidup terutama di pedesaan. Hal ini dapat diketahui lewat buku-

buku kuno (pustaha) yang berisi silsilah Batak dan dunia makhluk halus.

Orang Batak punya konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya diciptakan oleh Debata

(Ompung) Mulajadi na Bolon. Dia berada di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan

tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi na Bolon, ia tinggal di langit dan merupakan

maha pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat tinggal di dunia ini dan bernama Silaon na

Bolon (Toba).

Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal tiga konsep,yaitu Tondi, sahala dan

begu.Tondi itu adalah jiwa atau roh orang itu sendiri dan sekaligus juga merupakan

kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.Bedanya dengan tondi ialah

bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya juga berbeda-beda.Sahala

dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari

orang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan peri

kehidupan seseorang.Berkurangnya sahala menyebabkan seseorang kurang disegani, atau ke- datuannya

menjadi hilang.

Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada di dalam rahim ibunya dan demikian

pula sahala atau sumangat (Karo). Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup

kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan

orang itu dalam hidup selanjutnya.Seperti halnya dengan sahala ,yang dapat berkurang atau

bertambah,tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan untuk sementara,

maka orang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya,orang itu mati. Keluarnya tondi dari

badan disebabkan karena ada kekuatan lain(sambaon) yang menawannya.


Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia, hanya secara

kebalikannya,yaitu misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari di lakukan begu pada

malam hari. Orang batak mengenal begu yang baik dan yang jahat.Sesuai dengan kebutuhannya,begu di

puja dengan sajian (pelean).

Di kalangan orang batak toba,begu yang terpenting ialah sumangot ni ompu(begu dari nenek

moyang). Di kalangan orang Batak Karo dikenal adanya beberapa macam begu, ialah:

1. Batara guru atau begu parkakun jabu

2. Bicara guru

3. Begu mate sada wari

4. Mate kayat-kayaten

Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang batak toba juga percaya kepada kekuatan sakti dari

jimat,tongkat wasiat, atau tunggal panaluandan kepada mantra-mantra yang mengandung kekuatan

sakti.Semua kekuatan itu menurut kitab-kitab ilmu gaib orang batk toba(pustaha),berasal dari si Raja

Batak.

7. Kesenian

Seni pada masyarakat Batak umumnya meliputi, seni sastra, seni musik, seni tari, seni bangunan, seni

patung, dan seni kerajinan tangan. Terdapat beberapa seni masyarakat Batak, antara lain:

a. Margondang

Upacara margondang diadakan untuk menyambut kelahiran anak mereka dan sekaligus mengumumkan

kepada warga kampung bahwa dia sudah mempunyai anak. Kata margondang merupakan bentukan dari
kata dasar gondang (gendang) yang mendapat awalan me- atau ber-. Margondang menyatakan kata

kerja yakni bergendang atau memainkan alat musik gendang. Margondang merupakan suatu kebiasaan

masyarakat Batak yang dilakukan dalam suatu upacara tertentu. Tujuan filosofinya adalah untuk

mengukuhkan muatan religi acara tersebut karena merupakan kebiasaan yang diwarisi dari leluhur.

b. Seni Tari (Tor-tor)

Tortor adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang (gendang). Tortor pada dasarnya adalah

ibadat keagamaan dan bersifat sakral, bukan semata-mata seni. Tortor dan gondang diadakan apabila

upacara penting kehidupan masyarakat Batak, misalnya melaksanakan horja (kerja adat) antara lain:

mengawinkan anak, martutuaek memandikan atau memberi namaanak), memasuki rumah baru,

mengadakan pesta saring-saring (upacara menggali kerangka jenazah), pesta bius (mangase Taon);

upacara tahunan, dan pesta edangedang (pesta sukaria).

c. Seni Patung

Dulu, biasanya para raja-raja memesan patung untuk makam. Kehadiran patung pada suku Batak diduga

sudah ada sejak lama sekali. Menurut sejarahnya patung pada mulanya dibuat dari tumpukan –

tumpukan batu yang berwujudkan nenek moyang dengan dasar kepercayaan. Tumpukan-tumpukan batu

itu dibuat menjadi sakral yang kepentingannya erat sekali dengan kepentingan kepercayaan masyarakat.

Kemudian tumpukan batu itu berkembang terus dan berubah menjadi sebuah bentuk patung. Sesuai

dengan perkembangannya dari wujud sakral beralih kepada bentuk yang simbolis memberi rupa wajah

manusia atau binatang. Di Tomok, Pulau Samosir, terdapat jalan setapak kecil yang hanya bisa dilalui

pejalan kaki. Bapak Charles Sidabutar, salah satu keturunan raja yang kini menjaga makam, menjelaskan

bahwa sesuai kepercayaan setempat pada saat itu, jenazah tidak boleh dimakamkan di tanah, melainkan

harus di dalam batu.


d. Kerajinan Tangan (Ulos)

Ulos adalah kain tenun khas suku Batak. Tak hanya sebatas hasil kerajinan seni budaya saja, kain Ulos

pun sarat dengan arti dan makna. Sebagian besar masyarakat Tapanuli menganggap kain tenun Ulos

adalah perlambang ikatan kasih sayang, lambang kedudukan, dan lambang komunikasi dalam

masyarakat adat Batak. Oleh karena itu, kain tenun Ulos selalu digunakan dalam setiap upacara, kegiatan

dan berbagai acara dalam adat Suku Batak. Misalnya, untuk perkawinan, kelahiran anak, punya rumah

baru, sampai acara kematian.

Tiap-tiap kain tenun Ulos yang dihasilkan memiliki arti dan makna tersendiri, baik bagi pemilik ataupun

bagi orang yang menerimanya. Misalnya saja Ulos Ragidup. Ulos ini adalah kain tenun yang tertinggi

derajatnya. Sebab, pembuatannya sangatlah sulit. Kain tenun ulos jenis ini terdiri dari tiga bagian, yaitu 2

sisi yang ditenun sekaligus, dan 1 bagian tengah yang ditenun sendiri dengan motif yang rumit. Motif

Ulos Ragidup ini harus terlihat seperti benar-benar lukisan hidup. Karenanya, ulos jenis ini sering

diartikan sebagai ulos yang melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagian dalam

kehidupan.

Ulos Ragihotang. Ulos ini derajatnya 1 tingkat di bawah ulos ragidup. Pembuatannya tidak serumit Ulos

Ragidup. Namun, Ulos Ragihotang punya arti dan keistimewaan yang berhubungan dengan pekerjaan.

Ulos ini pun sering dipakai dalam upacara adat kematian sebagai pembungkus atau penutup jenazah

yang akan dikebumikan. Ulos jenis ini mengartikan bahwa pekerjaan seseorang di dunia ini telah selesai.

Selain kedua jenis ulos tersebut, ada satu jenis ulos yang disebut Ulos Sibolang. Ulos ini digunakan

sebagai tanda jasa penghormatan. Biasanya dipakai oleh orangtua pengantin atau diberikan oleh

orangtua pengantin perempuan buat menantunya. Oleh karena itu, Ulos Sibolang dijadikan sebagai

lambang penyambutan anggota keluarga baru. Ulos Sibolang juga diberikan kepada seorang wanita yang
ditinggal mati suaminya. Ulos ini diberikan sebagai tanda menghormati jasanya yang telah menjadi istri

yang baik, sekaligus sebagai tanda bahwa ia telah menjadi janda.

3.2 Pemimpin Masyarakat Batak Toba

Batak Toba merupakan salah satu sub suku dari suku Batak yang berdomisili di Provinsi Sumatera Utara.

Masyarakat Batak Toba memiliki berbagai kebudayaan unik, diantaranya; terlihat dalam sistem sosial

mereka yang disebut denganharajaon. Harajaondapat didefinisikan pola kepemimpinan dan sistem

kemasyarakatan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Sistem Harajaon berlaku pada dua level

organisasi sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan kampung atau huta. Selain berkaitan dengan

pengorganisiran para anggota suku maupun huta, harajaon juga mengatur luas teritori dan pola serta

otorisasikepemimpinan dalam suatu suku dan huta (Vergouwen, 1986). Dalam sistem Harajaon,

kepemimpinan dalam satu suku dinamakan Raja Maropat. Posisi Raja Maropat ini erat kaitannya dengan

kelompok kekerabatan yang disebut marga. Hal ini terkait juga dengan mitologi suku Batak yang

meyakini bahwa seluruh orang Batak dari berbagai sub suku adalah keturunan Si Raja Batak yang

kemudian melahirkan banyak keturunan. Keturunan Si Raja Batak inilah yang mengorganisir diri dalam

kelompok-kelompok tertentu guna memperjelas identitas genealogis mereka. Kelompok-kelompok itulah

yang disebut marga. Penentuan pemimpin dalam kelompok suku itu berdasarkan pada silsilah marga

atau tarombo dari masing-masing anggota suku. Bila berdasarkan tarombo tersebut ada seseorang yang

silsilahnya mendekati garis keturunan terdekat dari Si Raja Batak, maka orang itu dapat diangkat sebagai

pemimpin.
Dalam huta maupun horja tidak ada pranata yang mengatur aspek religiusitas masyarakat Batak Toba.

Aspek religiusitas baru dikelola dalam suatu lembaga yang secara struktural lebih tinggi dari horja.

Lembaga itu adalah Bius. Bius merupakan perserikatan yang terdiri dari kelompok-kelompok marga yang

ada di beberapa horja. Perserikatan bius ini dipimpin oleh raja bius yang terdiri dari terdapat empat

orang (raja na opat), yaitu Raja Parmalim (religi), Raja Adat (hukum adat), Raja Parbaringin (sosial, politik

dan keamanan), Raja Bondar (ekonomi). Raja Parmalim merupakan bagian dari Raja Bius yang memiliki

otoritas dibidang agama, dalam hal ini agama Parmalim (agama asli Batak). Masing-masing dari Raja bius

itu dipilih oleh wakil-wakil dari kelompok marga. Raja Parbaringin, misalnya, dipilih oleh penduduk dari

tiap-tiap marga dalam bius melalui suatu musyawarah.

Ciri-ciri utama kelompok terkecil masyarakat Batak Toba, adalah kampung (huta). Kelompok ini menghuni

daerah tertentu dengan batas yang jelas dan disebut kelompok sekampung (sahuta). Kampung (huta)

dibangun oleh satu klen atau marga tertentu dengan membangun satu rumah yang dihuni oleh anggota

keluarga yang berasal dari satu leluhur. Watak persekutuan kampung antara lain:

(1) ada batas-batas yang pasti,

(2) mempunyai lahan untuk perluasan huta maupun untuk perairan, dan

(3) mengelola sendiri aneka ragam kegiatan “dalam negerinya” seperti mengurus parit atau pagar desa,

balai pertemuan, menyelesaikan percekcokan warga, memimpin berbagai upacara, perpindahan warga

dan sejenisnya (Vergouwen, 1986). Keadaan seperti ini berlangsung dalam suatu kurun waktu yang lama

di masa lampau.

Mengenai hakekat otoritas kepala sebagai pemimpin, sikap orang Batak (Toba) mengikuti suatu

penalaran yang khas. Seorang pemimpin dipercayai sebagai orang yang mempunyai kualitas istimewa

(sahala) yang meliputi:


1) kualitas dalamkekuasaan yang istimewa (sahala harajaon), dan

(2) kualitas untuk dihormati (sahala hasangapon) karena wibawa atau kharismanya (Vergouwen, 1986).

Orang yang memiliki kedua sahala ini mampu menjadi pemimpin yang berkualitas dalam arti mampu

menjalankan otoritas dan dipatuhi oleh anggota kelompok. Pada pihak lain, mereka yang mengikuti

kepemimpinan dari orang-orang seperti ini akan menjadi makmur.

Selain pengelompokan berdasarkan wilayah tempat tinggal, juga ada pengelompokan berdasarkan

kekerabatan. Kelompok-kelompok seperti ini, sesuai dengan silsilah, dapat berwujud kelompok suku atau

marga. Identitas keluarga Batak Toba ditentukan oleh predikat marga dan ini diturunkan kepada anak

laki-laki sesuai dengan sistem kekerabatan patrilineal. Dalam kelompok seperti ini para anggota hanya

akan bertemu jika ada pesta atau pertemuan adat dan pesertanya bisa berasal dari berbagai daerah.

Dalam pertemuan seperti ini yang terutama berperan adalah pemimpin adat atau pimpinan marga (raja).

Di daerah Batak kepemimpinan informal dapat dibedakan atau terpisah menurut tiga bidang, yakni:

(1) kepemimpinan di bidang adat,

(2) kepemimpinan di bidang pemerintahan, dan

(3) kepemimpinan di bidang keagamaan. Kepemimpinan di bidang adat menjalankan tugas yang

berhubungan dengan perkawinan, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran dan

sejenisnya. Kebanyakan aturan-aturan adat tidak tertulis dan cukup banyak serta rumit. Karena itu hanya

orang yang telah lama mengikuti serta belajar tentang aturan dan pelaksanaan adat, yang mampu

menjalankan kepemimpinan adat.

Pemimpin agama di tanah batak telah ada sejak dahulu kala, yakni ketika sebagian besar masyarakat

masih mempercayai adanya roh, jiwa atau tondi yang mempunyai kekuatan. Dewasa ini ketika hampir

semua orang Batak memeluk agama Nasrani, Islam dan yang lain-lain, mereka menjalankan
kepercayaannya sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Dasar kepemimpinan di bidang agama

adalah kepercayaan dan penguasaan pemimpin tentang aturan-aturan ritual sesuai dengan ajaran agama

yang dianut. Pemimpin agama ini, selain mempunyai keyakinan agama yang mendalam, juga

mengaetahui dan menguasai aturan keagamaan secara lebih akurat.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

1.

4.2 Saran
Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. 1987. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Melalatoa, M. Junus.1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai