Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PERTANIAN BERKELANJUTAN

KONSEP PERTANIAN BERKELANJUTAN

OLEH :
GORBI PANORANGI BUTAR BUTAR
NIM. 1606113569

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Praktikum Pertanian

Berkelanjutan ini. Makalah ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menempuh

mata kuliah Pertanian Berkelanjutan Fakultas Pertanian Universitas Riau,

Pekanbaru.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada asisten,

Zakaria Hutama yang telah membimbing saya sehingga dapat menyelesaikan

makalah ini.

Saya menyadari bahwa pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna,

oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya

membangun. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.

Pekanbaru, Mei 2019

Gorbi Panorangi Butar Butar


I PENDAHULUAN

Sistem pertanian yang memacu produksi biji-bijian dan hasil pertanian

lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan serta kebutuhan lainnya bagi

manusia menuntut masukan bahan-bahan kimia yang sangat besar telah diketahui

mengakibatkan dampak merosotnya daya dukung lahan dengan sangat cepat

dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu terjadinya pencemaran tanah dan air

sebagai konsekuensi dari penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida

tidak dapat dielakkan lagi.

Atas dasar kenyataan di atas munculah suatu konsep baru dengan menekan

pemasokan bahan kimia sekecil mungkin untuk usaha pertanian dalam upaya

memproduksi bahan pangan yang cukup dan terus menjaga produktivitas lahan

serta mencegah pencemaran lingkungan untuk penggunaan dalam waktu yang tak

terbatas (O’Connell, 1990).

Richard (1990) mengutarakan konsep pertanian baru ini sebagai konsep

pertanian berkelanjutan atau yang dikenal dengan istilah sustainable agriculture

sesuai dengan istilah yang digunakan oleh Jackson (1980) dan konsep pertanian

regeneratif dari Rodale (1983) yang keduanya merupakan suatu pola pertanian

yang berkelanjutan yang memelihara daya dukung lingkungan terhadap produksi

sepanjang waktu.

Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui konsep pertanian

berkelanjutan sekaligus langkah-langkah atau sistem yang digunakan penulis jika

memiliki beberapa hektar lahan untuk diusahakan.


II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pertanian Berkelanjutan (SPT)

Paradigma pembangunan berkelanjutan menurut Bank Dunia

diterjemahkan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan

(Environmentally Sustainable Development Triangle) yang bertumpu pada

keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial. Berkelanjutan secara ekonomis

mengandung pengertian bahwa suatu kegiatan pembangunan harus mampu

menghasilkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, penggunaan

sumberdaya, serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis berarti

bahwa kegiatan tersebut mampu mempertahankan integritas ekosistem,

memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk

keanekaragaman hayati (biodiversity). Keberlanjutan secara sosial diartikan

bahwa pembangunan tersebut dapat menciptakan pemerataan hasil – hasil

pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat,

pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan

(Serageldin, 1996 dalam Dahuri 1998).

Pertanian berkelanjutan mempunyai beberapa prinsip yaitu : (a)

menggunakan sistem input luar yang efektif, produktif, murah, dan membuang

metode produksi yang menggunakan sistem input dari industri, (b) memahami dan

menghargai kearifan lokal serta lebih banyak melibatkan peran petani dalam

pengelolaan sumberdaya alam dan pertanian, (c) melaksanakan konservasi

sumberdaya alam yang digunakan dalam sistem produksi (Shepherd, 1998 dalam

Budiasa, 2011). Persoalan yang sering dihadapi dalam mewujudkan pertanian

berkelanjutan adalah adanya tarik - menarik antara berbagai kepentingan


pembangunan. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pertanian

berkelanjutan antara lain faktor sosial, ekonomi, dan kelembagaan (Purwanto dan

Cahyono, 2012); faktor pilihan teknis konservasi yang tepat, sesuai dengan latar

belakang sosial, ekonomi, budaya masyarakat (Sabiham dalam Arsyad, S. dan E.

Rustiadi, 2008); faktor individu, ekonomi, dan kelembagaan (Illkpitiya dan

Gopalakrishnan, 2003); faktor kelembagaan, kebijakan pemerintah, dan

perubahan teknologi (Ananda dan Herath, 2003). Bagaimanakah upaya untuk

menselaraskan berbagai aspek kepentingan dengan tetap menjaga kelestarian

lingkungan merupakan tantangan dalam mewujudkan pembangunan pertanian

berkelanjutan.

Menurut Salikin (2003), bahwa sistem pertanian berkelanjutan dapat

dilaksanakan menggunakan berbagai model antara lain sistem pertanian organik,

integrated farming, pengendalian hama terpadu, dan LEISA (Low External Input

Sustainable Agriculture). Sistem pertanian organik merupakan sistem produksi

pertanian yang menjadikan bahan organik sebagai faktor utama dalam proses

produksi usahatani. Jika saya memiliki beberapa hektar lahan, LEISA adalah

terapan konsep pertanian berkelanjutan yang cocok. Hal itu disebabkan karena

LEISA adalah pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam

dan manusia setempat, layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, sesuai

dengan budaya, adil secara sosial, dan input luar hanya sebagai pelengkap

(Reijntjes et al., 1999). Sistem pertanian LEISA cocok dikembangkan di lahan

yang ingin saya kembangkan ini karena input yang diberikan pada pola tanam

beberapa komoditas pangan harus diperhatikan dengan pemanfaatan bahan

organik yang potensinya sudah tersedia seperti limbah pertanian dan peternakan.
2.2 Konsep Agroekosistem

Lahan yang akan saya kelola akan menggunakan konsep agroekosistem

pula. Dari tinjauan historis menurut sudut pandang pendayagunaan sumber daya

lahan, pola penggunaan tanah di Indonesia telah berubah dari pola ekstensif

alamiah (hutan, semak, dan padang penggembalaan) ke pola yang relatif intensif.

Pola penggunaan tanah untuk usaha pertanian dapat dipilah menjadi dua: (a)

usaha pertanian skala besar yang umumnya berupa perkebunan yang dikelola oleh

badan usaha milik negara maupun perusahaan swasta, (b) usaha pertanian rakyat.

Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi

menurut komoditas dominan yang diusahakannya secara garis besar dapat dipilah

lebih lanjut menjadi dua kategori: (i) usaha pertanian tanaman pangan/hortikultura

dan (ii) perkebunan rakyat.

Terkait dengan orientasi kebijakan pengembangan pertanian rakyat yang

selama ini ditempuh, perkembangan pertanian paling maju adalah pada

agroekosistem pesawahan yakni dalam usaha tani padi. Pada usahatani berbasis

lahan kering usahatani yang paling berkembang adalah pada usahatani tanaman

perkebunan, usahatani komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi dan peternakan

khususnya unggas. Walaupun saya memilih usaha tani padi, saya juga akan

menambah komponen lainnya, yaitu khususnya untuk usahatani sayuran dan

peternakan, kemajuannya cenderung spesifik lokal dalam arti perkembangan yang

cukup nyata adalah di sentra-sentra produksi sedangkan di wilayah non sentra

produksi kurang berkembang.

Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur alami (iklim,

topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah, dan sebagainya) tetapi juga unsur-
unsur buatan. Bahkan dalam pendekatan pragmatis yang lazim digunakan

mengarah pada unsur-unsur buatan. Sumaryanto et al. (2008) membedakan

agroekosistem menjadi 3: (1) pesawahan, (2) lahan kering (terdiri dari: lahan

kering berbasis tanaman pangan atau hortikultura, dan lahan kering berbasis

tanaman perkebunan), dan (3) agroekosistem pesisir.

Penggunaan istilah ”lahan kering” di Indonesia belum tersepakati secara

aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland,

dryland, atau non irrigated land (Notohadiprawiro, 1989). Kadekoh (2010)

mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana pemenuhan kebutuhan air

tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang

sepanjang tahun. Istilah yang biasa dipergunakan untuk pertanian lahan kering

adalah pertanian tanah darat, tegalan, ladang, tadah hujan dan huma.

Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu

dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang

dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS)

sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering

(kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Definisi

lahan kering menurut Direktorat Perluasan areal (2009) adalah “hamparan lahan

yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian kecil waktu dalam

setahun, yang terdiri dari lahan kering datarang rendah dan lahan kering dataran

tinggi”.

Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan

cukup baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka.

Kemampuan pasar domestik untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha
peternakan sapi pedaging, sapi perah, kambing. domba, babi, unggas (ayam,

burung puyuh) masih akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah

penduduk dan pendapatan per kapita. Bahkan dalam rangka mengurangi

ketergantungan impor, perlu ada program dan aksi nyata yang revolusioner.

Berkembangnya kebutuhan pangan utama membutuhkan perluasan areal

untuk pengembangan tanaman pangan dan perkebunan. Salah satu akibatnya

terjadi kompetisi penggunaan lahan diantaranya antar subsektor dalam sektor

petanian. Beberapa pihak beranggapan lahan penggembalaan merupakan lahan

tidur sehingga perlu diefektifkan pemanfaatannya. Pola pikir yang demikian

memperkecil sumberdaya alam yang sebenarnya merupakan basis pengembangan

usaha peternakan.

Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian,

baik tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman tahunan/perkebunan.

Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah

satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan

pangan nasional (Mulyani dkk, 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya

produktivitasnya rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman

tahunan/perkebunan. Pada usahatani lahan kering dengan tanaman semusim,

produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti

tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam

Syam, 2003).

Pada umumnya sistem pertanian lahan kering belum dipahami secara

mendalam, sementara keragaman ekosistemnya cukup kompleks. Kendala

lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta keterbatasan sentuhan


teknologi yang adaptif mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem

usahatani yang ada masih terbatas (Guritno et al, 1997). Kerusakan fungsi lahan

sebagai media tumbuh, seperti pekanya tanah terhadap erosi, unsur hara yang

minim, terbatasnya kandungan bahan organik merupakan permasalahan biofisik.

Di lain pihak petani lahan kering merupakan petani yang tergolong

marginal yang ditandai dengan pendapatan dan pendidikan rendah, ketrampilan

terbatas, dan terbatasnya pelaksanaan kondervasi pada lahan usahataninya

(Sholahuddin dan Ladamay, dalam Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah-

masalah klasik di kalangan petani lahan kering yang memerlukan penanganan

yang optimal, terencana dan berkelanjutan.

Untuk menciptakan prospek cerah, khususnya bagi lahan kering, menurut

Notohadiprawiro (1989), diperlukan teknologi sepadan (apprioritas), baik bagi

lingkungan biofisik maupun bagi lingkungan sosial ekonomi. Teknologi yang

dipandang tepat adalah berasaskan LEISA (Low External Input Sustainable

Agriculture).

2.3 Konsep LEISA dan Pemanfaatan Sumber Daya Lokal

Pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian yang berazaskan daur

ulang hara secara hayati. Pertanian organik juga sering dikatakan sebagai

pertanian yang menerapkan masukan teknologi berenergi rendah LEISA (Low

External Input Sustainable Agriculture). Di kalangan petani relatif masih sedikit

yang bersedia menerapkan pertanian organik karena dari segi produksi memang

lebih rendah tetapi dari segi harga jual jauh lebih mahal. Prospek pengelolaan

lingkungan dalam pertanian ramah lingkungan seharusnya mengacu pada konsep


LEISA. Maka dari itu, saya menggunakan aspek-aspek LEISA yang mengacu

pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut (Reijntjes, 1999):

a) Berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan

mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani, yaitu

tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia sehingga saling melengkapi

dan memberikan efek sinergi yang paling besar.

b) Berusaha mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk

melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan

sumberdaya biologi, fisik, dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar,

perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi

kerusakan lingkungan.

LEISA tidak bertujuan untuk memaksimalkan produksi dalam jangka

pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam

jangka panjang. LEISA berupaya untuk mempertahankan dan dimana mungkin,

meningkatkan sumberdaya alam serta memanfaatkan secara maksimal proses-

proses alami. Di mana bagian dari produksi itu dipasarkan, maka dicari peluang

untuk memperoleh kembali unsur hara yang dihilangkan dari sistem usaha tani ke

pasar. Dengan kata lain LEISA dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang

terpadu dan lintas sektoral, menekan penggunaan input dari luar sehingga

mengoptimalkan penggunaan input internal dan akan diperoleh suatu sistem usaha

pertanian yang efisien dan berdaya saing global.

Keuntungan yang akan diperoleh dari konsep LEISA adalah:

a) Usaha pertanian yang terpadu

b) Usaha pertanian yang berbasis lokal sehingga tahan terhadap krisis 5


c) Usaha pertanian yang dapat menghasilkan produk organik yang mempunyai

harga lebih baik

d) Usaha pertanian yang mempunyai diversivikasi berbagai produk sehingga

dapat mengurangi resiko kegagalan usaha

Sistem LEISA perlu disosialisasikan kepada para petani di desa. Pada

dasarnya, petani telah memiliki pengetahuan lokal mengenai ekologi, pertanian

dan kehutanan yang terbentuk secara turun temurun dari nenek moyang mereka

dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Pengetahuan lokal ini berupa

pengalaman bertani dan berkebun serta berinteraksi dengan lingkungannya.

Pengetahuan lokal yang dimiliki petani bersifat dinamis, karena dapat dipengaruhi

oleh teknologi dan informasi eksternal antara lain kegiatan penelitian para

ilmuwan, penyuluhan dari berbagai instansi, pengalaman petani dari wilayah lain,

dan berbagai informasi melalui media masa.

Meskipun berbagai teknologi dan informasi masuk ke lingkungannya,

tetapi tidak semua diterima, diadopsi dan dipraktekkan oleh petani lokal. Sebagai

aktor yang paling mengenal kondisi lingkungan dimana ia tinggal dan bercocok

tanam, petani memiliki kearifan (farmer wisdom) tertentu dalam mengelola

sumber daya alam. Kearifan inilah yang kemudian menjadi dasar dalam

mengadopsi informasi dan teknologi sehingga menghasilkan pengetahuan lokal

yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat (Sinclair dan Walker, 1998).

Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan

wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang

diwariskan secara turun-temurun. Adakalanya suatu teknologi yang

dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya


sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka. Karenanya teknologi

eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana

layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan praktis petani

tentang ekosistem lokal, tentang sumber daya alam dan bagaimana mereka saling

berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani maupun keterampilan

mereka dalam mengelola sumber daya alam. Pengetahuan lokal yang sudah

demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan

diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup

lama ada kemungkinan akan menjadi suatu ‘kearifan lokal’.

2.4 Pola Tanam dalam Pertanian Berkelanjutan

Peningkatan produktivitas lahan diantaranya dapat dilakukan melalui

penerapan teknologi spesifik lokasi berdasarkan potensi sumberdaya domestik

dengan memperhatikan aspek lingkungan. Peningkatan produktivitas di lahan

kering dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas per satuan luas dan

peningkatan intensitas pertanaman.

Pengelolaan lahan kering sesungguhnya tidaklah mudah, karena sangat

berkaitan dengan permasalahan lahan kering yang cukup kompleks baik dari

sumber daya lahannya dan atau sumber daya manusianya. Dari segi lahannya

umumnya sebagai lahan kritis, luas kepemilikan lahan yang sempit, ketersediaan

air tahunan masih menjadi kendala terhadap pola pertanaman, tingkat kesuburan

yang rendah, lapisan olah yang rendah dan relatif rentan terhadap erosi di waktu

musim hujan dan kesuburan lahan yang rendah.

Lahan kering pada umumnya mempunyai produktivitas tanah dan tanaman

rendah akibat rendahnya tingkat kesuburan tanah dan curah hujan tidak menentu.
Perbaikan sifat fisik, kimia, dan hayati tanah sawah tadah hujan dapat dilakukan

dengan pemberian pembenah oganik. Salah satu contoh tanaman lokal yang

memliki potensi tumbuh dan berkembang pada lahan kering adalah kacang tanah

(Arachis hypogeae) dan jagung (Zea mays). Panen jagung Indonesia tahun2008

mencapai 4 juta ha dengan rata-rata pro-duktivitas 4,08 t/ha (Syafruddin et al

.,2010). Aspek komponen produksi pada kacang tanah pada penanaman

jagungdipengaruhi oleh jarak tanam dan perompesan daun jagung (Zuchri, 2007).

Penanaman campuran merupakan sistem pertanaman dua atau lebih

jenistanaman yang di tanam pada sebidang tanah dengan musim tanam yang

sama.Penanaman campuran memungkinkan terjadi persaingan selama periode

pertumbuhan maupun hasil produksi tanaman.

Pertumbuhan penduduk yang padat dan lahan pertanian yang subur

semakin berkurang karena banyak dimanfaatkan sebagai industri dan tempat

pemukiman baru bagi penduduk, merupakan masalah dalam memenuhi kebutuhan

pangan. Menghadapi permasalahan tersebut, maka sistem pertanian berkelanjutan

yang saya pilih untuk masa depan yang berwawasan lingkungan menuju

perkembangan berkelanjutan dengan pola tumpang sari perlu dikembangkan.

Sistem pertanaman tumpang sari bertujuan memperoleh kombinasi tanaman yang

sesuai, kepadatan populasi tanaman, dan mengetahui cara pemupukan yang

optimal. Pola tanam tumpangsari umumnya untuk mengetahui pemanfaatan

cahaya, air, dan hara. Keuntungan pola tanam tumpang sari diantaranya populasi

tanaman dapat diatur, efisiensi pemanfaatan lahan, dan dapat menekan serangan

hama serta penyakit.


III PENUTUP

Sistem pertanian berkelanjutan yang cocok diterapkan adalah LEISA (Low

External Input Suistainable Agriculture). Sistem ini akan menggabungkan sistem

persawahan, hortikultura, dan peternakan. Dengan menekan penggunaan pupuk

serta pestisida kimia, hasil panen pertanian dapat memenuhi syarat pertanian

organik. Maka, tanaman hasil pertanian organik ini tidak akan membahayakan

kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya sekaligus menjaga ekosistem dan

ekologi sumber daya alam di sekitar lahan.

Sebaiknya para petani juga menggunakan sistem pertanian berkelanjutan

yang mengarah pada pertanian organik untuk mengembangkan pertanian

Indonesia menjadi lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. dan E. Rustiadi. 2008. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan.


Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Budiasa, I.W. 2011. Pertanian Berkelanjutan : Teori dan Permodelan. Denpasar :


Udayana University Press.

Dahuri, R. 1998. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan : Dalam Persperktif


Ekonomi, Sosial, Dan Ekologi. Agrimedia. Vol. 4 No. 1(5-11).

Hadi, S.P. 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta

Illukpitiya, P. and C. Gopalakrishnan, 2003. “Decision-Making in Soil


Conservation : Application of A Behavioral Model to Potato Farmers in Sri
Langka”, Land Use Policy, Vol. 21. 321-331.

Jackson, W . 1980. New Root for Agriculture, Friends of The Earth. Sanfrancisco.
California.

O’connell, P. 1990. Policy Development for Low-Input Sustainable Agriculture


Program. SCS. AnKeny. Iowa. USA.

Peranan Konservasi Lahan dalam Pengelolaan Perkebunan. Jurnal Sumberdaya


Lahan, Vol.5 No.2, Desember 2011, hal. 103-116.

Purwanto Dan S. Andy Cahyono, 2012. Identifikasi Kerentanan Sosial Ekonomi


kelembagaan Untuk PengelolaanDas Tulis (Dataran Tinggi Dieng).
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan
Lingkungan, Semarang.

Reijntjes, C. B. Havercort, dan A. Water-Bayers. 1999. Pertanian Masa Depan :


Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.
Kanisius. Yogyakarta.

Rodale, R. 1983.Breking New Groud; The Seach for Sustainable Agriculture. The
Futurist 1 (1) : 15-20.

Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.
Jakarta : PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Salikin, K.A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.

Saptana dan Ashari. 2007. “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Jurnal Litbang


Pertanian, 26(4), hal. 123-130.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung :


ALFABETA.

Susanto, M.A. 2009. “Besarnya Erosi di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali”.


Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Yunida, F. 2006. “Analisis Strategi Promosi PT. Televisi Transformasu Indonesia


(Trans TV)”. Departemen Manajemen. Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai