PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap perkembangan
hukum terutama hukum ekonomi. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa globalisasi
hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan Negara-negara berkembang mengenai
investasi,perdagangan, jasa-jasa dan bidang perekonomian lainnya mendekati Negara-
negara maju. (Convergency).
Dalam rangka menyesuaikan dengan perekonomian global, Indonesia melakukan revisi
terhadap seluruh hukum ekonominya.Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa
perubahan terhadap hukum ekonomi Indonesia dilakukan juga karena tekanan dari
badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan Worl Bank. Bidang hukum yang mengalami
revisi antara lain adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan sendiri merupakan warisan
dari pemerintahan Kolonial Belanda yang notabenenya bercorak sistem hukum Eropa
Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam hukum ekonomi mendapat pengaruh yang
cukup kuat dari sistem hukum Anglo Saxon.
Kepailitan dapat terjadi karena makin pesatnya perkembangan perekonomian dan
perdagangan dimana muncul berbagai macam permasalahan utang piutang yang
timbul dalam masyarakat. Begitu juga dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia
telah memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian
nasional sehingga menimbulkan kesulitas besar terhadap dunia usaha dalam
menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatan usahanya.
PKPU dilakukan bukan berdasarkan pada keadaan dimana debitur tidak mampu
membayar utangnya dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta
kekayaan debitur (likuidasi harta pailit).
PKPU adalah wahana Juridis Ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk
menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya.
Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara untuk menghindari kepailitan yang lazimnya
bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur. Bagi perusahaan, PKPU bertujuan
memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur membuat laba. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitur,
yang karena suatu keadaan semisal keadaan tidak likuid dan sulit mendapat kredit
dinyatakan pailit, sedangkan kalau debitur tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar
harapan ia ia akan dapat membayar utangnya. Putusan pailit dalam keadaan tersebut
di atas akan berakibat pengurangan nilai perusahaan dan ini akan merugikan para
kreditur. Fred B.G. Tumbuan, Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan Tentang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Undang-undang Kepailitan, Jakarta, 3 –14 Agustus 1998.
B. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian latar
belakang, maka permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
C. TUJUAN PENULISAN
D. METODOLOGI PENULISAN
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode/cara pengumpulan data atau
informasi melalui :
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang penulisan ini, maka terlebih dahulu
penulis akan menguraikan penulisannya agar lebih mudah dipahami dalam
memecahkan masalah yang ada. Di dalam penulisan ini dibagi dalam 3 ( tiga ) bab
yang terdiri dari :
BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab ini merupakan bab yang berisi pembahasan yang tercakup dalam
rumusan masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
KEPAILITAN
Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu Debitur tidak dapat membayar utangnya, maka jika
Debitur tersebut hanya memiliki satu orang Kreditur dan Debitur tidak mau membayar
utangnya secara sukarela, maka Kreditur dapat menggugat Debitur ke Pengadilan
Negeri dan seluruh harta Debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditur.
Namun, dalam hal Debitur memiliki lebih dari satu Kreditur dan harta kekayaan Debitur
tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para Kreditur, maka akan timbul
persoalan dimana para Kreditur akan berlomba-lomba dengan segala macam cara
untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan
datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta Debitur
sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan Kreditur yang tidak
menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum.
Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil mengenai
pembayaran tagihan-tagihan para Kreditur dengan berpedoman pada KUHPer,
terutama pasal 1131 dan 1132, maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU.
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang
sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan
perorangan debitur itu.”
Syarat Kepailitan
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) UUK :
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak mambayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.”
Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal
1131 dan 1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur, maka
pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan Pengadilan yang terlebih
dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari
permohonan dan putusan pailit tersebut kepada Pengadilan adalah untuk memenuhi
asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar Debitur. Asas tersebut
dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa Debitur dalam
keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan kepada
Kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan tindakan. Dengan demikian, dari
pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa dikabulkannya suatu pernyataan pailit
jika dapat terpenuhinya persyaratan kepailitan sebagai berikut:
(2).Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih.
Gugatan pailit dapat diajukan apabila Debitur tidak melunasi utangnya kepada minimal
satu orang Kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu yang telah ditentukan
sesuai dalam perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya disebutkan perihal kapan
suatu kewajiban itu harus dilaksanakan. Namun dalam hal tidak disebutkannya suatu
waktu pelaksanaan kewajiban, maka hal tersebut bukan berarti tidak dapat
ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238 KUHPer mengatur sebagai berikut:
“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis
itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini
mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan.”
Adapun criteria yang harus dipenuhi, yakni debitur mempunyai atau lebih kteditur dan
tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Rumusan utang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6 UUK menyebutkan utang adalah
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata
uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau UU dan yang wajib dipenuhi oleh
debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.
Adapun syarat yang lain dalam kepailitan yaitu :
2) Adil
Melindungi kreditur dan debitur yang beritikad baik serta pihak ketiga yang tergantung
dengan usaha debitur.
3) Terbuka
Keadaan insolven suatu badan hukum harus diketahui oleh masyarakat sehingga tidak
akan menimbulkan efek yang negative dikemudian hari, dan mencegah debitur yang
beritikad buruk untuk mendapatkan dana dari masyarakt dengan cara menipu.
4) Efektif
Keputusan pengadilan harus dapat dieksekusi dengan cepat, baik keputusan penolakan
permohonan pailit, keputusan pailit, keputusan perdamaian ataupun keputusan PKPU.
3. Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian
Permohonan pailit juga dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM)
karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana
masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas
Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh
dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada
di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia terhadap bank.
(3) Penitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3),(4) dan ayat (5) jika dilakukan tidak
sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.
(5) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan,pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan
hari sidang.
(7) Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat
menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai
dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
(1) Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan
pailit adalah kasasi ke MA.
(2) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8
(delapan) hari setelah tanggal putusan yang domohonkan kasasi diucapkan, dengan
mendaftarkan kepada panitera pengadilan yang telah memutus permohonan
pernyataan pailit.
(3) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain dapat diajukan
oleh debitor dan kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama,
juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan
tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.
b. Pengadilan
Curator adalah pihak yang diberi tugas untuk melakukan pengurusan dan atau
pemberesan atas harta pailit. Dalam melakukan tugasnya, kurator :
Hukum acara yang dipakai pada pengadilan niaga ini adalah hukum acara perdata yang
umum berlaku pada Pengadilan Umum. Atas putusan Pengadilan Niaga hanya dapat
diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya atas putusan
Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut tetap dapat
diajukan upaya hukum lain yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dengan
syarat :
Debitur yang tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengana maksud untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utang kepada Kreditur.
PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah dimulai oleh Pengadilan atau
menghalangi diajukannya perkara baru.
Dalam PKPU dikenal yang namanya Pengurus, tugasnya hampir sama dengan
kurator dalam kepailitan. Begitu putusan PKPU sementara dikabulkan,
pengadilan wajib mengangkat pengurus yang akan membantu debitor
menjalankan kegiatannya. Sama halnya dengan kurator, pengurus pun harus
independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan kreditor atau
debitor. Bila terbukti pengurus tidak independen dikenakan sanksi pidana
dan/atau perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengurus
bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan
tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta Debitor. Syarat
untuk menjadi pengurus ialah sebagai berikut: :
3. Hakim Pengawas
4. Panitia Kreditor
5. Ahli
Setelah PKPU dikabulkan Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau lebih ahli
untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporantentang keadaan harta Debitor
dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang ditetapkan oleh Hakim
Pengawas. Laporan ahli harus memuat pendapat yang disertai dengan alasan lengkap
tentang keadaan harta Debitor dan dokumen yang telah diserahkan oleh Debitor serta
tingkat kesanggupan atau kemampuan Debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada
Kreditor, dan laporan tersebut harus sedapat mungkin menunjukkan tindakan yang
harus diambil untuk dapat memenuhi tuntutan Kreditor. Laporan ahli harus disediakan
oleh ahli tersebut di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang
dengan cuma-cuma dan penyediaan laporan tersebut tanpa dipungut biaya.
Pengajuan PKPU
1. Penundaan pembayaran utang diajukan oleh debitur yang mempunyai
lebih dari satu kreditur, yaitu apabila debitur tidak dapat atau
memperkirakan tidak dapat membayar utang-utangnya yang sudah
jatuh tempo.
2. Penundaan pembayaran utang diajukan oleh kreditur agar
memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran kepada krediturnya.
3. Selama PKPU berlangsung tidak diajukan permohonan pailit.
4. Kalau permohonan dikabulkan ditunjuk hakim pengawas dan pengurus.
Dua tahap PKPU :
PKPU Sementara
ANALISIS KASUS
KASUS
Pertama, dalam kasus kepailitan yang diajukan oleh PT Bank PDFCI sebagai
Pemohon pailit terhadap PT. Sarana Kemas Utama selaku Termohon Pailit.
Permohonan pailit dikabulkan hakim pengadilan niaga. Persoalan muncul dalam
kasasi karena Pemohon Kasasi keberatan atas status Termohon
Kasasi/Pemohon Pailit sebagai Bank BTO pada saat permohonan pailit diajukan.
Menurut Pemohon Kasasi atau termohon pailit, sejak tanggal 3 April 1998 status
Termohon Kasasi adalah bank BTO dan manajemen telah diambil alih atau
dikuasai oleh dan berada di bawah BPPN. Oleh karena itu surat kuasa Termohon
Kasasi atau Pemohon Pailit harus dengan sepengetahuan atau setidak-tidaknya
diketahui oleh BPPN. Keberataan ini sebenarnya pernah diajukan pada sidang
pengadilan niaga, namun judex factie sama sekali tidak mempertimbangkan
keberatan tersebut dalam putusannya. Karena itu judex factie telah melakukan
kesalahan dalam penerapan hukum.
Majelis Hakim Kasasi memandang bahwa Termohon Kasasi atau Pemohon Pailit
dalam status Bank BTO tetap sah sebagai Pemohon Pailit, karena pernyataan
BTO sama sekali tidak menghapuskan status Termohon Kasasi atau Pemohon
Pailit sebagai badan hukum yang dapat bertindak sebagai pihak dalam proses
perkara dan dengan demikian pembuatan surat kuasapun tetap sah dan tidak
perlu sepengetahuan dan atau ijin pemerintah c.q. BPPN. Karena itu Majelis
Hakim Kasasi membenarkan putusan Judex facxtie. Atas putusan ini Pemohon
Kasasi atau Termohon Pailit mengajukan PK.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Krisis moneter membuat hutang menjadi membengkak luar biasa sehingga
mengakibatkan banyak sekali Debitor tidak mampu membayar utang-utangnya. Di
samping itu, kredit macet di perbankan dalam negeri juga makin membubung tinggi
secara luar biasa (sebelum krisis moneter perbankan Indonesia memang juga telah
menghadapi masalah kredit bermasalah yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil
karena krisis moneter.
Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat diandalkan. Banyak
Debitor yang dihubungi oleh para Kreditornya karena berusaha mengelak untuk
tanggung jawab atas penyelesaian utang-utangnya. Sedangkan restrukturisasi utang
hanyalah mungkin ditempuh apabila Debitor bertemu dan duduk berunding dengan
para Kreditornya atau sebaliknya.
Di samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor harus masih memiliki
prospek yang baik untuk mendatangkan revenue, sebagai sumber pelunasan utang
yang direstrukturisasi itu. Dengan demikian diharapkan adanya feedback antara kreditor
dan debitor dengan baik. Sehingga dirasakan dapat menguntungkan kedua belah
pihak.
1. Saran
Seyogyanya Majelis Hakim pengadilan niaga dalam memeriksa perkara kepailitan
harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku seperti memperhatikan
subyek yang menjadi persengketaan.
TUGAS HUKUM
PERUSAHAAN
Tentang kepailitan dan
penundaan pembayaran
DOSEN :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG
KARNO