Anda di halaman 1dari 13

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1.IDENTITAS PASIEN :

Nama : Ny. EE

Umur : 42 tahun

Alamat : Jl. Sampit, GKB, Gresik Jawa timur

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Periksa : 15-02-2019

No RM : 376292

1.2. ANAMNESA :

Tanggal pemeriksaan : 15 Februari 2019

Keluhan utama : Rambut rontok

Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluh rambut rontok dan gatal sejak
kurang lebih 2 bulan yang lalu, gatal semakin
dirasakan apabila pasien berkeringat atau rambut
dalam keadaan lembab. Pasien juga mengatakan
bahwa rambutnya berketombe namun ketombenya
tidak banyak. Setiap kali menyisir pasien
mengatakan bahwa rambutnya rontok. Pasien juga
mengatakan akibat dari keluhan rambut yang rontok
ini menyebabkan kebotakan pada pasien. Pasien
sering berganti-ganti shampo, setiap kali merasa
gatal pasien selalu berganti shampo. Pasien juga
mengeluh gatal pada bokong sejak 2 bulan yang

1
lalu. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami
keluhan seperti ini. Pasien tidak memiliki riwayat
alergi obat maupun makanan. Di keluarga pasien
ada yang mengalami keluhan serupa, yaitu anak
pasien. Namun anak pasien hanya mengeluh rambut
rontok dan berketombe saja dan tidak sampai terjadi
kebotakan . Di rumah, pasien tidak memiliki hewan
peliharaan. Saat stres, pasien tidak memiliki
kebiasaan mencabuti rambutnya. Sekitar 3 bulan
yang lalu pasien berkonsultasi ke klinik penyakit
dalam karena keluhan rambut rontoknya, kemudian
pasien melakukan ANA tes karena dokter curiga
pasien menderita SLE (sindroma lupus eriteatosus),
namun hasil ANA tes negatif. Pasien tidak pernah
mengalami sakit kelamin sebelumnya. Pasien tidak
mengalami penurunan berat badan yang signifikan,
tidak mengalami pembesaran getah bening yang
signifikan, tidak didapatkan benjolan seperti kutil di
kelamin Pasien juga tidak sedang dalam pengobatan
penyakit apapun.

Riwayat penyakit dahulu : Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya,


riwayat kencing manis(-), darah tinggi (-)

Riwayat penyakit keluarga : Anak pasien mengalami keluhan serupa namun


tidak sampai mengalami kebotakan.

Riwayat pengobatan :Riwayat pemakaian obat jangka panjang


disangkal, belum pernah diobati sebelumnya

Riwayat sosial : di lingkungan sekitar tempat tinggal pasien tidak


ada yang mengalami keluhan seperti ini.

2
1.3.PEMERIKSAAN FISIK :

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

GCS : 456

Tanda Vital :

Tekanan Darah :120/75 mmHg

Nadi : 88x/menit

Suhu : 36,5 C

Respiration Rate : 20x/menit

Kepala / leher :

Mata : Isokor, Anemis (-), Ikterus (-)


Telinga : tidak tampak kelainan

Hidung : tidak tampak kelainan

Mulut : normal, sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor(-)

Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-)

Thorax : Simetris, retraksi dada (-)

- Jantung : S1 S2 tunggal, reguler, Gallop (-), murmur(-)

- Paru : Vesikuler pada kedua lapang paru

Abdomen : Flat, Soefl, bising usus (+) 15x/menit, organomegali (-)

Ekstremitas :Akral hangat kering merah + | +, roseola (-), papul (-),


pustul (-), kuku distrofik (-)

3
Status dermatologis :

Regio oksipital:

Terdapat lesi kebotakan berbentuk bulat berbatas tegas, dengan diameter 3cm ,
dengan permukaan kulit tampak licin, tidak didapatkan jaringan parut, tidak terdapat
papul pucat yang melebar dan bersisik, tidak terdapat pembengakakan yang
menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang, tidak terdapat skuama kuning
berminyak.

Gambar 1. Lesi kebotakan pada regio oksipital

Sumber: dokumentasi pribadi (15 Februari 2019)

1.4.DIAGNOSA
Alopesia areata et causa tinea capitis tipe black dots

1.5.DIAGNOSA BANDING
1. Trikotilomania
2. Lues II
3. Dermatitis seboroik

4
1.6.RENCANA (DIAGNOSTIK, TERAPI, EDUKASI)
A. Pemeriksaan penunjang :
ANA test: negatif
B. Planning diagnosis
Darah lengkap: eosinofil count
Pemeriksaan KOH
Pemeriksaan serologi sifilis
Pemeriksaan histopatologis/ biopsi kulit kepala
C. Planning terapi
a. Medikamentosa
Griseofulvin 2x250 mg selama 6-12 minggu
Shampo ketoconazole 2% seminggu 2-3 kali
b. Non medikamentosa
PUVA (Psoralen-Ultra Violet A)
D. Edukasi
1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa penyakit ini
disebabkan karena jamur.
2. Hindari keadaan lembab pada rambut atau kulit kepala
3. Apabila ada anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
mengalami penyakit serupa maka harus diobati juga.
4. Apabila pasien memiliki hewan peliharaan yang terinfeksi jamur,
maka juga harus diobati.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Alopesia areata merupakan kelainan yang ditandai dengan hilangnya


rambut atau kebotakan pada satu atau beberapa area paling sering terjadi pada
kepala dan bersifat asimtomatis. 1
Alopesia areata adalah suatu penyakit autoimun yang bersifat kronis yang
menyebabkan kebotakan tanpa disertai pembentukan jaringan parut. Penyakit
ini menyerang folikel rambut dan kadang-kadang kuku.2
Penyebab umum alopesia areata salah satunya adalah dikarenakan
terjadinya infeksi jamur. Salah satunya adalah tinea capitis.3
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dpat ditandai dengan lesi
bersisik, kemerahan, alopesia dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis
yang lebih berat yang disebut kerion.3
2.2.Epidemiologi
Usia, jenis kelamin dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,
dimana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak
dibandingkan wanita. Namun demikian tinea kapitis karena T. tonsurans lebih
sering pada wanita dewasa dibandingkan laki-laki dewasa dan lebih sering
terjadi pada anak-anak. Perpindahan manusia dapat dengan cepat mempengaruhi
penyebaran endemik dari jamur. 4
2.3.Etiologi
Etiologi alopesia bersifat multifaktorial. Penyebab paling umum dari
alopesia adalah androgenetik alopesia (pola-pola rambut rontok laki-laki atau
perempuan). Penyebab umum lainnya dari rambut rontok adalah obat-obatan
(termasuk obat kemoterapi), infeksi jamur (misalnya tinea capitis, kerion,

6
selulitis kepala), gangguan sistemik (SLE, gangguan endokrin, dan
kekurangan gizi). 5
Pada tinea kapitis tipe black dot ringworm yang terutama disebabkan oleh
Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum. Pada permulaan
penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang disebabkan oleh
Microsporum. Rambut yang terkena infeksi mudah patah, tepat pada muara
folikel, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung
rambut ini memberi gambaran khas yaitu black dot. Ujung rambut yang
patah, kalau tumbuh kadang-kadang masuk ke bawah permukaan kulit.3
2.4.Patogenensis
Tinea kapitis merupakan suatu infeksi di kulit kepala serta folikel rambut
yang disebabkan oleh fungi patogenik dermatofit. Infeki fungi ini
menimbulkan respon hipersensitif pada rambut. Ectotrhix dermatosis tipikal
infeksi berada pada perifolikuler stratum korneum, tersebar di sekitar dan di
dalam rambut pada celah kecil sebelum turun ke dalam folikel rambut untuk
melakukan penetrasi pada korteks rambut. Setelah mencapai korteks rambut
antroconia pindah ke permukan. Tampilan mikroskopis, hanya ectotriks
antroconidia yang bisa dijumpai menempel di samping rambut. Meskipun
interpilar hyfa dijumpai sangat jelas. Patogenesis dari endotrik infeksi sama
dijumpai antoconidia di dalam rambut menggantikan intrapilar keratin dan
meninggalkan korteks secara utuh. Hasilnya, rambut sangat mudah rontok
dan putus pada bagian skalp dimana kekuatan dinding folikelnya telah hilag.
Meninggalkan sisa rambut yang sangat kecil sehingga terdapat gambaran
berupa black dot pada tinea kapitis.
2.5 Gambaran klinis
Di klinik, tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas, yaitu:
a. Gray patch ringworm
Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus
Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit dimulai
dengan papul merah kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan
membentuk bercak, yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita

7
adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi.
Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang
jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat.3
b. Kerion
Adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang
yang padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporumcanis dan
Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering terlihat,
namun apabila penyebabnya adalah Trichopyton tonsurans, dan sedikit
sekali penyebabnya adalah Trichophyton violaceum . kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap.3
c. Black dot ringworm
Terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton
violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai
kelainan yang disebabkan oleh Microsporum. Rambut yang terkena infeksi
mudah patah, tepat pada muara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung
rambut yang penuh spora. Ujung rambut ini memberi gambaran khas yaitu
black dot. Ujung rambut yang patah, kalau tumbuh kadang-kadang masuk
ke bawah permukaan kulit. 3
2.5. Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis tine kapitis antara lain pemeriksaan
KOH. Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora)
pada kelainan kulit lama dan atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang
dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Sopra
tersususn di luar rambut (eksootriks) atau di dalam rambut (endotriks).
Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut. 5

8
2.6. Diagnosis Banding
Tinea capitis harus dibedakan dengan dermatitis seboroik, trikotilomania
dan Lues II. Tabel berikut menunjukkan gejala klinis dari masing-masing
diagnosis banding.
Tabel 1. Perbedaan gejala klinis antara dermatitis seboroik, sifil II dan
trikotilomania
Diagnosis banding Gejala klinis
Dermatitis seboroik - Skuama kuning berminyak
- Eksemantosa ringan
- Gatal yang menyengat
- Kerontokan pada fase kronis
- Predileksi di daerah kulit yang
berambut
Sifilis II - Tampak papul atau roseola
pada telapak kaki dan tangan
- Kerontokan bersifat difus
- Dapat terjadi di alis mata
lateral dan janggut
Trikotilomania - Merupakan gangguan psikis,
yaitu kegagalan menahan diri
terhadap impuls untuk
mencabut rambut
- Dapat terjadi kebotakan di
daerah kepala atau daerah
tubuh lain yang berambut
- Pencabutan rambut didahului
oleh ketegangan yang
meningkat dan setelahnya
diikuti dengan rasa lega.
(Sumber: pustaka 6,7)

9
2.7.Penatalaksanaan
Tersedia bermacam pengobatan topikal maupun sistemik untuk berbagai
tipe dermatofitosis. Sejalan dengan penetrasi dermatofita ke dalam folikel
rambut, maka infeksi yang mengenai daerah berambut memmerlukan
pengobatan oral. Selama ini pengobatan standar untuk tinea kapitis di
Amerika Serikat adalah griseofulvin. Sedangkan golongan triazol dan
alinamin menunjukkan keamanan, efikasi dan manfaat lebih karena
penggunaannya yang memerlukan waktu singkat, namun sejak tahun 2007,
terbinafin juga direkomendasikan untuk pengobatan tinea kapitis pada anak
usia diatas 4 tahun, khususnya yang disebabkan oleh T.tonsurans. 3
Dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum griseofulvin
dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang
dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25mg/kgBB.
Diberikan 1-2 kali sehari, lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis
pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu. Untuk mempercepat waktu
penyembuhan, kadang-kadang diperlukan tindakan khusus atau pemberian
obat topikal tambahan.3

10
BAB III
PEMBAHASAN

Kasus tinea capitis pada wanita usia 42 tahun dengan kerontokan rambut
yang menyebabkan kebotakan. Dari autoanamnesis didapatkan bahwa pasien
mengalami kerontokan rambut sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Setiap kali
menyisir, pasien mengatakan bahwa rambutnya rontok. Pasien mengatakan akibat
keluhan rambut rontok ini menyebabkan rambutnya sampai menjadi botak. Pasien
juga mengeluh gatal pada kulit kepala. Keluhan gatal dirasakan apabila pasien
berkerigat atau rambut dalam keadaan lembab.

Riwayat penyakit dahulu pasien belum pernah mengalami keluhan seperti


ini. Riwayat atopi disangkal. Riwayat penyakit sistemik diabetes melitus, asma
dan SLE (Syndroma lupus Eritematosus) juga disangkal melalui hasil ANA test
yang negatif.

Riwayat pengobatan didapatkan pasien belum pernah berobat untuk


keluhan rambut rontok dan gatal ini. Riwyat penyakit keluarga didapatkan anak
pasien juga mengalami keluhan rambut rontok dan gatal seperti pasien namun
keluhan rambut rontok dan gatal pada anak pasien ini tidak sampai menyebabkan
kebotakan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran


compos mentis dan tanda-tanda vital pasien dalam batas normal. Status
dermatologi pada regio oksipital didaptkan efloresensi patch alopesia soliter
berbentuk bulat dengan ukuran 3-4cm dengan permukaan licin, tidak didapatkan
jaringan parut, tidak terdapat papul pucat yang melebar dan bersisik, tidak
terdapat skuama berwarna kuning berminyak, tidak terdapat pembengkakan yag
bentuknya menyerupai sarang lebah dan sebukan sel radang.

Pasien didiagnosis banding dengan trikotilomania, Lues II dan dermatitis


seboroik. Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan yang telah dilakukan oleh
pasien adalah ANA test, namun hasil pemeriksaan tersebut negatif. Pemeriksaan
penunjang yang dapat diusulkan untuk menegakkan diagnosa pada pasien

11
tersebut antara lain pemeriksaan KOH, pemeriksaan serologi sifilis dan
pemeriksaan biopsi kulit kepala.
Diagnosis kerja berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien
ini adalah alopesia areata et causa tine capitis tipe black dots. Penatalaksanaan
pada pasien yaitu griseofulvin 2x500 mg dan shampo ketoconazole 2% 2-3 kali
seminggu dan KIE mengenai penyakit, penyebab, penularan, cara pencegahan
penularan, skrining infeksi pada anggota keluarga yang tinggal dalam satu
rumah, terapi, cara minum obat dan waktu kontrol.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosita C. Alopesia Areata. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketiga. Surabaya: Badan penerbit
Fakltas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya; 2005; hlm. 128-129.
2. Eva Hariani, Nelva K. Jusuf. Pengobatan Alopesia Areata Berbasis Bukti.
2017; Vol.9. No.2.
3. Soepardiman L. Kelainan Rambut. Dalam:Kusmarinah Bramono, Wresti
Indriatmi, Sri Linuwih.(eds.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Ketujuh Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2018: hlm. 372.
4. Kurniati, Rosita C. Etiopatogenesis Dermatofitosis. 2008; Vol:20. No.3.
hlm.244.
5. Gilbiyanto G, Tanady E, Hasintongan P. Alopesia Areata.2016; Vol; 66.
No.11.
6. Nurul T. Dermatitis Seboroik. Dalam: Kusmarinah Bramono, Wresti
Indriatmi, Sri Linuwih.(eds.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Ketujuh Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2018: hlm. 232.
7. Widaty S. Dermatofitosis. Dalam:Kusmarinah Bramono, Wresti Indriatmi,
Sri Linuwih.(eds.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2018:
hlm.109-116.

13

Anda mungkin juga menyukai