PENDAHULUAN
A. Judul
Fitoremediasi
B. Tujuan
Mengukur kemampuan tumbuhan air untuk menjernihkan atau mengurangi
partikel dalam air limbah.
II. DASAR TEORI
Lingkungan, jika dipandang sebagai medium fisik tempat tersebarnya bahan
kimia, dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu air, tanah, dan udara. Di dalam tanah
yang merupakan bahan padat juga terdiri dari air, bahan organik, bahan mineral, dan
udara sehingga perubahan sifat dari air serta udara di dalam tanah akan berpengaruh
terhadap tanah tersebut. Apabila tanah dialiri oleh air, maka sifat kimia air akan
berpengaruh terhadap tanah (Pranoto, 2000). Ketiga komponen abiotik yang saling
berkaitan tersebut merupakan komponen penting di alam, baik dalam kehidupan
manusia maupun keseluruhan ekosistem. Air merupakan sumber daya alam yang
diperlukan oleh semua makhluk hidup (Effendi, 2003). Bagi manusia, fungsi air
sangat vital. Manusia membutuhkan air untuk konsumsi rumah tangga di antaranya
untuk minum, masak cuci, dan mandi (Nusanthary dkk., 2012).
Di samping peranannya yang penting, air sering tercemar oleh komponen-
komponen anorganik, di antaranya berbagai logam berat yang berbahaya (Fardiaz,
1992). Ditinjau dari segi potensi pencemaran lingkungan, logam berat dapat
dibedakan atas tiga golongan: (1) logam berat yang bersifat racun kritis, yaitu Na, K,
Mg, Ca, Fe, S, C, P, Cl, Br, Li, Rb, Sr, Al dan Si. (2) logam berat beracun tetapi
jarang ditemukan seperti, Ti, Zr, W, N, Ta, Ga, La, Os, Rh, Ir, Ru, dan Ba. (3) logam
berat sangat beracun dan relatif sering ditemukan seperti, Be, Co, Ni, Cu, Zn, As, Sc,
Pd, Ag, Cd, Pt, Au, Hg, Pb, Sb dan Bi (Surtiningsih, 1999).
Tembaga (Cu) merupakan logam berat esensial bagi tanaman dan dapat
dijumpai pada perairan alami (Darmono, 1995). Tembaga dan berbagai logam berat
lainnya juga dapat ditemui di kerak bumi dan muncul ke permukaan karena adanya
aktifitas gunung api (Surbakti, 2011). Tembaga berguna untuk pertumbuhan jaringan
tanaman terutama daun sebagai tempat terjadinya fotosintesis (Kamaruzzaman dkk.,
2009). Pada umumnya kadar tembaga dalam jaringan tanaman berkisar 5-25 ppm.
Namun, pada konsentrasi yang tinggi, tembaga dapat bersifat toksik bagi tumbuhan
(Liestianty dkk., 2014). Ion Cu dapat terikat pada sel-sel membran yang
menyebabkan terhambatnya proses-proses transport melalui dinding sel tumbuhan
(Lutfi, 2009). Selain itu, tembaga dalam jumlah yang berlebihan juga berbahaya bagi
manusia karena dapat mengakibatkan kerusakan hati (Darmono, 1995) dan bersifat
karsinogenik (Liestianty dkk., 2014). Ambang batas normal kadar tembaga dalam air
adalah 3 mg/L atau 3 ppm. Sumber pencemaran tembaga yang berasal dari industri
antara lain limbah industri soda kostik/khlor, pelapisan logam, cat, dan pestisida
(KepMenLH No. 51 Tahun 1995 Tentang baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
Industri). Sementara itu, Lutfi (2009) menambahkan, sumber pencemaran tembaga
juga berasal dari limbah penambangan dan pencucian mineral.
Gambar 1. Baku Mutu Limbah Cair (Sumber: KepMenLH No. 51 Tahun 1995
Tentang baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri)
Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran logam berat
adalah menggunakan tanaman (Setyaningsih, 2007). Menurut Subroto (1996),
pemanfaatan tanaman untuk menyerap logam berat disebut fitoremediasi.
Lengkapnya, fitoremediasi adalah upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya
untuk dekontaminasi limbah dan masalah-masalah pencemaran lingkungan, baik
secara ex-situ (menggunakan kolam buatan atau reaktor) maupun in-situ (langsung di
lokasi tercemar).
Menurut Priyanto dan Prayitno (2007), penyerapan dan akumulasi logam
berat oleh tanaman dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, sebagai
berikut.
1. Penyerapan oleh akar.
Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam harus dibawa ke dalam larutan
di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung pada spesies tanaman.
Senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diambil oleh akar bersama air,
sedangkan senyawa-senyawa hidrofobik diserap oleh permukaan akar.
2. Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain.
Setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain
mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut
(xilem dan floem) ke bagian tanaman lainnya.
3. Lokalisasi logam pada sel dan jaringan.
Hal ini bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme
tanaman. Sebagai upaya untuk mencegah peracunan logam terhadap sel, tanaman
mempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di
dalam organ tertentu seperti akar.
Proses fitoremediasi secara umum dibedakan berdasarkan mekanisme fungsi
dan struktur tumbuhan. US EPA (1999, 2005) dan ITRC (2001) secara umum
membuat klasifikasi proses sebagai berikut.
1. Fitostabilisasi (Phytostabilization)
Akar tumbuhan melakukan imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi,
mengadsorpsi pada permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan dalam
zona akar. Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat
anorganik. Spesies tumbuhan yang biasa digunakan adalah berbagai jenis rumput,
bunga matahari, dan kedelai.
Gambar 2. Proses Fitostabilisasi Kontaminan (Sumber: ITRC, 2001)
2. Fitoekstraksi/Fitoakumulasi (Phytoextraction/Phytoaccumulation)
Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ
tumbuhan. Proses ini adalah cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat
anorganik. Spesies tumbuhan yang dipakai adalah sejenis hiperakumulator
misalnya pakis, bunga matahari, dan jagung.
Keterangan:
Kontrol dianggap sama sehingga data kontrol yang digunakan hanya dari salah satu
kelompok, yaitu kelompok dengan konsentrasi Cu = 5 ppm dari masing-masing tanaman.
B. Pembahasan
Dalam prercobaan kali ini, kegiatan yang dilakukan adalah fitoremediasi.
Fitoremediasi merupakan upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk
dekontaminasi limbah dan masalah-masalah pencemaran lingkungan, baik secara ex-
situ (menggunakan kolam buatan atau reaktor) maupun in-situ (langsung di lokasi
tercemar) (Subroto, 1996). Adapun langkah-langkah persiapan fitoremediasi dalam
percobaan ini antara lain sebagai berikut.
Sebelum diberi perlakuan, Eichhornia crassipes, Ipomoea aquatica, dan
Pistia stratiotes dibersihkan terlebih dahulu. Pembersihan ini bertujuan untuk
menghilangkan kotoran, baik berupa tanah maupun unsur-unsur lainnya, yang
menempel pada tanaman. Dengan begitu, tanah maupun unsur lain yang sebelumnya
ada pada tanaman tersebut diharapkan tidak menyebabkan hasil pengukuran TDS dan
konsentrasi logam Cu menjadi bias. Setelah itu, tanaman diaklimasi di dalam air
selama lima hari. Proses aklimasi bertujuan untuk mengadaptasikan tanaman yang
akan digunakan dengan lingkungan yang didesain selama percobaan sehingga
kematian/kerusakan tanaman akibat lingkungan yang tidak sesuai/berbeda dari habitat
aslinya dapat diminimalisir.
Langkah selanjutnya adalah memberikan larutan pencemar ke tanaman yang
sudah siap digunakan. Dengan penambahan larutan pencemar, maka kemampuan
tumbuhan sebagai hiperakumulator dapat diketahui. Setelah itu, tanaman diamati
selama 3 hari sekali untuk memantau perubahan yang ada pada kondisi fisik tanaman.
Hal ini dilakukan hingga 14 hari.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan fitoremediasi yaitu
kemampuan daya akumulasi berbagai jenis tanaman untuk berbagai jenis polutan dan
konsentrasi; sifat kimia dan fisika, serta sifat fisiologi tanaman; jumlah zat kimia
berbahaya; mekanisme akumulasi dan hiperakumulasi ditinjau secara fisiologi,
biokimia, dan molekular; serta konsentrasi limbah yang digunakan (Kurniawan,
2008). Berdasarkan percobaan, dapat diketahui bahwa masing-masing tumbuhan
yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap proses fitoremediasi.
Berikut penjelasannya.
Berhasil atau tidaknya fitoremediasi dapat dilihat dari beberapa parameter,
salah satunya adalah morfologi tanaman (warna daun) dan kondisinya. Dari tanaman
Pistia stratiotes yang dijadikan kontrol, tampak bahwa daun berwarna hijau sampai
pengamatan ketiga, selanjutnya daun berwarna kekuningan. Hal ini dimungkinkan
karena proses pencucian yang kurang bersih sehingga masih ada logam atau zat
pencemar lainnya yang masih menempel dari perairan asal tanaman yang digunakan
atau minimnya nutrisi sehingga mempengaruhi warna daun. Sedangkan Pistia
stratiotes yang diberikan larutan pencemar 5 ppm, dapat diketahui bahwa terjadi
perubahan warna daun dari hijau segar menjadi menguning, berturut-turut sejak
pengamatan kelima. Sementara itu, Pistia stratiotes yang diberikan larutan pencemar
dengan konsentrasi 10 ppm mengalami perubahan warna daun dari hijau muda
menjadi kekuningan sejak pengamatan kedua. Perubahan warna daun Pistia stratiotes
yang berada dalam air tercemar logam Cu dengan konsentrasi 10 ppm lebih cepat
terjadi karena konsentrasi logam Cu yang terlarut lebih tinggi. Perubahan warna
tanaman menjadi kekuningan juga bisa disebabkan pencemaran bahan organik yang
menghambat pembentukan klorofil pada tumbuhan sehingga terjadi klorosis (Haslam,
1997).
Sementara itu, jika dilihat dari kondisi tanaman, Pistia stratiotes yang berada
dalam baskom kontrol dan baskom berisis air dengan larutan pencemar 5 ppm terlihat
segar dari awal hingga akhir pengamatan. Berbeda halnya dengan Pistia stratiotes
dengan konsentrasi larutan pencemar 10 ppm, terlihat adanya bagian tanaman yang
membusuk mulai dari pengamatan ketiga pada baskom 1 (n1) dan pengamatan
keempat pada baskom 2 (n2). Hal ini terjadi karena konsentrasi logam Cu yang
terlarut lebih tinggi pada air yang diberikan larutan pencemar 10 ppm.
Tanaman selanjutnya, yaitu Eichhornia crassipes, yang berada dalam baskom
kontrol sebagian besar mengalami perubahan warna. Hal ini dimungkinkan karena
proses pencucian yang kurang bersih sehingga masih ada logam atau zat pencemar
lainnya yang masih menempel dari perairan asal tanaman yang digunakan atau
minimnya nutrisi sehingga mempengaruhi warna daun. Sedangkan Eichhornia
crassipes yang berada dalam air dengan larutan pencemar 5 ppm mengalami
perubahan warna dari pengamatan kedua. Sementara itu, Eichhornia crassipes yang
berada dalam air dengan larutan pencemar 10 ppm mengalami perubahan warna dari
pengamatan ketiga. Seharusnya, semakin tinggi konsentrasi logam berat, maka
kerusakan yang ditimbulkan juga akan semakin lebih cepat. Penyimpangan ini terjadi
dimungkinkan karena Eichhornia crassipes yang diberi larutan pencemar 5 ppm
sebelumnya sudah pernah menyerap logam berat atau zat pencemar lainnya di
perairan asalnya atau kondisi tanaman yang memang sudah tua/kurang prima
sehingga perubahan warna daun lebih cepat terjadi. Perubahan warna tanaman
menjadi kekuningan juga bisa disebabkan pencemaran bahan organik yang
menghambat pembentukan klorofil pada tumbuhan sehingga terjadi klorosis (Haslam,
1997).
Sementara itu, jika dilihat dari kondisi tanaman, Eichhornia crassipes dalam
baskom kontrol sebagian besar masih segar, meski beberapa ada yang mulai layu
yang dimungkinkan karena minimnya nutrisi. Sedangkan Eichhornia crassipes dalam
larutan pencemar konsentrasi 5 ppm, sebagian besar kondisi tanaman tergolong segar
sampai hari terakhir pengamatan. Sementara itu, pada Eichhornia crassipes dalam
larutan pencemar dengan konsentrasi 10 ppm memiliki kondisi tanaman yang sudah
mulai layu sejak pengamatan kedua. Hal ini disebabkan karena konsentrasi zat
pencemar yang terlarut lebih banyak sehingga kerusakan yang ditimbulkan lebih
besar.
Tanaman terakhir, yaitu Ipomoea aquatica, yang berada dalam baskom
kontrol tidak mengalami perubahan warna daun hari pertama hingga terakhir
pengamatan. Sementara itu, Ipomea aquatica dalam air dengan larutan pencemar 5
ppm mengalami perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning sejak pengamatan
kedua. Berbeda halnya dengan tanaman yang berada dalam air dengan larutan
pencemar konsentrasi 10 ppm yang tidak mengalami perubahan warna daun.
Seharusnya, semakin tinggi konsentrasi logam berat, maka kerusakan yang
ditimbulkan juga akan semakin besar. Penyimpangan ini terjadi dimungkinkan karena
Ipomoea aquatica yang diberi larutan pencemar 5 ppm sebelumnya sudah pernah
menyerap logam berat atau zat pencemar lainnya di perairan asalnya atau kondisi
tanaman yang memang sudah tua/kurang prima sehingga tidak tahan terhadap
perubahan lingkungan. Perubahan warna tanaman menjadi kekuningan juga bisa
disebabkan pencemaran bahan organik yang menghambat pembentukan klorofil pada
tumbuhan sehingga terjadi klorosis (Haslam, 1997).
Sementara itu, jika dilihat dari kondisi tanamannya, Ipomoea aquatica yang
berada dalam baskom kontrol sebagian besar tergolong segar, meski ada beberapa
bagian yang mulai membusuk karena proses pencucian yang kurang bersih sehingga
masih ada logam atau zat pencemar lainnya yang masih menempel dari perairan asal
tanaman yang digunakan. Sementara itu, tanaman yang ditambahkan larutan
pencemar 5 ppm terlihat segar dari hari pertama sampai hari terakhir pengamatan.
Berbeda halnya pada tanaman dalam larutan pencemar dengan konsentrasi 10 ppm,
yaitu terdapat batang yang membusuk pada pengamatan ketiga. Hal ini menunjukkan
bahwa tanaman Ipomoea aquatica yang digunakan kurang mampu bertahan dengan
baik pada kondisi lingkungan tercemar dengan kandungan logam berat yang tinggi.
Berdasarkan hasil pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa tanaman Pistia
stratiotes yang hidup dalam air yang tercemar Cu berhasil mengurangi konsentrasi
Cu dari 5 ppm menjadi 0,60 ppm pada baskom 1 (n1) dan 1,07 ppm pada baskom 2
(n2). Hal serupa juga terjadi pada tanaman Pistia stratiotes yang hidup dalam air
yang tercemar Cu sebesar 10 ppm dengan penurunan mencapai 0,13 ppm pada
baskom 1 (n1) dan 0,15 ppm pada baskom 2 (n2). Sementara itu, pada baskom
kontrol yang tidak diberi larutan pencemar, justru terdeteksi adanya logam berat Cu
sebesar 0,45 ppm.
Jika dibandingkan, pada baskom kontrol seharusnya memiliki konsentrasi Cu
paling rendah (0 ppm) karena tidak diberi larutan pencemar. Hal ini tidak terjadi
karena pencucian tanaman yang tidak bersih sehingga logam Cu yang kemungkinan
ada di perairan tempat hidup tanaman ini sebelumnya ikut tercampur bersama air
dalam baskom kontrol. Sementara itu, hasil yang ditunjukkan pada baskom 1 (n1) dan
baskom 2 (n2) membuktikan bahwa Pistia stratiotes merupakan salah satu tanaman
hiperakumulator yang mampu menyerap logam berat Cu. Selain itu, tingkat
mereduksinya logam Cu pada larutan pencemar 10 ppm lebih tinggi dibanding 5
ppm, dengan kata lain, Pistia stratiotes bisa bekerja dengan lebih baik pada air yang
tercemar logam Cu dengan konsentrasi yang tinggi.
Tanaman selanjutnya yang digunakan adalah Eichhornia crassipes. Pada air
yang tercemar Cu dengan konsentrasi 5 ppm, Eichhornia crassipes berhasil
menurunkan konsentrasi Cu hingga 0,38 ppm (n1) dan 0,79 ppm (n2). Tanaman ini
juga dapat menurunkan konsentrasi Cu yang awalnya 10 ppm menjadi 0,40 ppm (n1)
dan 0,53 ppm (n2). Sementara itu, pada baskom kontrol yang tidak diberi larutan
pencemar, justru terdeteksi adanya logam berat Cu sebesar 0,54 ppm.
Jika dibandingkan, baskom kontrol seharusnya memiliki konsentrasi Cu
paling rendah (0 ppm) karena tidak diberi larutan pencemar. Hal ini tidak terjadi
karena pencucian tanaman yang tidak bersih sehingga logam Cu yang kemungkinan
ada di perairan tempat hidup tanaman ini sebelumnya ikut tercampur bersama air
dalam baskom kontrol. Sementara itu, hasil yang ditunjukkan pada baskom 1 (n1) dan
baskom 2 (n2) membuktikan bahwa Eichhornia crassipes merupakan salah satu
tanaman hiperakumulator yang mampu menyerap logam berat Cu. Selain itu, tingkat
mereduksinya logam Cu pada larutan pencemar 10 ppm lebih tinggi dibanding 5
ppm, dengan kata lain, Eichhornia crassipes bisa bekerja dengan lebih baik pada air
yang tercemar logam Cu dengan konsentrasi yang tinggi.
Tanaman terakhir yang digunakan untuk membuktikan berlangsungnya proses
fitoremediasi adalah Ipomoea aquatica. Pada air yang tercemar Cu dengan
konsentrasi 5 ppm, Ipomoea aquatica terbukti dapat menurunkan konsentrasi Cu
hingga 0,32 ppm (n1) dan 0,33 ppm (n2). Tanaman ini juga dapat menurunkan
konsentrasi Cu yang awalnya 10 ppm menjadi 0,52 ppm (n1) dan 0,71 ppm (n2).
Sementara itu, pada baskom kontrol yang tidak diberi larutan pencemar, justru
terdeteksi adanya logam berat Cu sebesar 0,39 ppm.
Baskom kontrol seharusnya memiliki konsentrasi Cu paling rendah (0 ppm)
karena tidak diberi larutan pencemar. Terdeteksinya Cu pada baskom kontrol terjadi
karena pencucian tanaman yang tidak bersih sehingga logam Cu yang kemungkinan
ada di perairan tempat hidup tanaman ini sebelumnya ikut tercampur bersama air
dalam baskom kontrol. Sementara itu, hasil yang ditunjukkan pada baskom 1 (n1) dan
baskom 2 (n2) membuktikan bahwa Ipomoea aquatica merupakan salah satu tanaman
hiperakumulator yang mampu menyerap logam berat Cu. Selain itu, tingkat
mereduksinya logam Cu pada larutan pencemar 5 ppm lebih tinggi dibanding 10
ppm, dengan kata lain, Ipomoea aquatica bisa bekerja dengan lebih baik jika air yang
tercemar tidak mengandung logam Cu dengan konsentrasi yang tinggi.
Berdasarkan penurunan konsentrasi Cu pada air yang tercemar, maka dapat
diketahui spesies yang paling efektif sebagai hiperakumulator logam berat tersebut.
Untuk konsentrasi larutan pencemar 5 ppm, tanaman yang paling efektif mereduksi
logam Cu dalam air adalah Ipomea auqatica. Sementara itu, untuk larutan pencemar
10 ppm, tanaman yang paling efektif mereduksi logam Cu adalah Pistia stratiotes.
Selain konsentrasi Cu, hal lain yang menjadi parameter terjadinya proses
fitoremediasi adalah kandungan total dissolved solids (TDS) pada masing-masing
baskom dari setiap tanaman. Berdasarkan hasil Tabel 2, dapat diketahui bahwa TDS
dari setiap tanaman tidak menunjukkan hasil yang pasti. Tanaman Pistia stratiotes
dengan perlakuan larutan pencemar 5 ppm memiliki kandungan TDS awal sebesar
176 ppm pada baskom 1 (n1) dan 165 ppm pada baskom 2 (n2), sementara TDS akhir
sebesar 181 ppm (n1) dan 78 ppm (n2). Untuk perlakuan larutan pencemar dengan
konsentrasi 10 ppm, TDS awal sebesar 156 ppm pada baskom 1 (n1) dan 158 ppm
pada baskom 2 (n2), sementara TDS akhir sebesar 219 ppm (n1) dan 160 ppm (n2).
Pada baskom kontrol, TDS awal sebesar 162 ppm dan menurun menjadi 155 ppm.
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan baskom 1 (n1) dengan larutan pencemar 5
ppm serta baskom 1 (n1) dan baskom 2 (n2) dengan larutan pencemar 10 ppm, dapat
diketahui bahwa terjadi peningkatan TDS. Hal ini berarti tanaman Pistia stratiotes
pada ketiga baskom tersebut sudah mencapai atau bahkan melebihi batas akumulasi
maksimum sehingga terdapat bagian/jaringan tanaman yang rusak (Liestianty dkk.,
2014). Jaringan yang rusak tersebut larut dalam air pada baskom, kemudian
menyebabkan nilai TDS meningkat. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa
logam Cu dalam jumlah berlebih bisa bersifat toksik bagi tumbuhan dan merusak
bagian yang menjadi tempat akumulasi logam berat tersebut (Liestianty dkk., 2014).
Sementara itu, pada baskom 2 (n2) dengan perlakuan 5 ppm dan baskom kontrol
terjadi penurunan TDS yang berarti tanaman Pistia stratiotes mampu mengurangi
logam berat Cu dalam air tercemar dan belum mencapai batas akumulasi maksimum
sehingga tidak ada bagian/jaringan tanaman yang rusak yang dapat menyebabkan
peningkatan TDS. Faktor lain yang menyebabkan kenaikan TDS adalah karena
adanya proses pemecahan bahan organik yang awalnya merupakan padatan yang
tersuspensi menjadi berukuran lebih kecil (Rahmah, 2014).
Tanaman selanjutnya, yaitu Eichhornia crassipes dengan perlakuan larutan
pencemar 5 ppm memiliki kandungan TDS awal sebesar 176 ppm pada baskom 1
(n1) dan 165 ppm pada baskom 2 (n2), sementara TDS akhir sebesar 536 ppm (n1)
dan 409 ppm (n2). Untuk perlakuan larutan pencemar dengan konsentrasi 10 ppm,
TDS awal sebesar 160 ppm pada baskom 1 (n1) dan baskom 2 (n2), sementara TDS
akhir sebesar 206 ppm (n1) dan 195 ppm (n2). Pada baskom kontrol, TDS awal
sebesar 161 ppm dan meningkat menjadi 298 ppm.
Hasil yang ditunjukkan oleh tanaman Eichhornia crassipes mengindikasikan
terjadinya peningkatan TDS pada semua baskom dari setiap perlakuan (5 ppm, 10
ppm, dan kontrol). Hal ini berarti tanaman Eichhornia crassipes sudah mencapai atau
bahkan melebihi batas akumulasi maksimum sehingga terdapat bagian/jaringan
tanaman yang rusak (Liestianty dkk., 2014). Jaringan yang rusak tersebut larut dalam
air pada baskom, kemudian menyebabkan nilai TDS meningkat. Faktor lain yang
menyebabkan kenaikan TDS adalah karena adanya proses pemecahan bahan organik
yang awalnya merupakan padatan yang tersuspensi menjadi berukuran lebih kecil
(Rahmah, 2014).
Sementara itu, tanaman Ipomoea aquatica dengan perlakuan larutan pencemar
5 ppm memiliki kandungan TDS awal sebesar 157 ppm pada baskom 1 (n1) dan 160
ppm pada baskom 2 (n2), sementara TDS akhir sebesar 170 ppm (n1) dan 184 ppm
(n2). Untuk perlakuan larutan pencemar dengan konsentrasi 10 ppm, TDS awal
sebesar 166 ppm pada baskom 1 (n1) dan 164 ppm pada baskom 2 (n2), sementara
TDS akhir sebesar 337 ppm (n1) dan 585 ppm (n2). Pada baskom kontrol, TDS awal
sebesar 160 ppm dan meningkat menjadi 317 ppm.
Hasil yang ditunjukkan oleh tanaman Ipomoea aquatica mengindikasikan
terjadinya peningkatan TDS pada semua baskom dari setiap perlakuan (5 ppm, 10
ppm, dan kontrol). Hal ini berarti tanaman Ipomoea aquatica sudah mencapai atau
bahkan melebihi batas akumulasi maksimum sehingga terdapat bagian/jaringan
tanaman yang rusak (Liestianty dkk., 2014). Jaringan yang rusak tersebut larut dalam
air pada baskom, kemudian menyebabkan nilai TDS meningkat. Faktor lain yang
menyebabkan kenaikan TDS adalah karena adanya proses pemecahan bahan organik
yang awalnya merupakan padatan yang tersuspensi menjadi berukuran lebih kecil
(Rahmah, 2014).
Berdasarkan penurunan kandungan TDS pada air yang tercemar, maka dapat
diketahui spesies yang paling efektif sebagai hiperakumulator logam berat tersebut.
Namun, dalam percobaan kali ini, TDS kurang tepat untuk dijadikan sebagai
parameter keefektifan suatu tumbuhan sebagai hiperakumulator. Hal ini disebabkan
peningkatan TDS belum tentu mengindikasikan suatu tumbuhan tidak mampu
menyerap Cu, tetapi juga bisa mengindikasikan bahwa suatu tumbuhan sudah
menyerap Cu terlalu banyak sehingga ada jaringan yang rusak dan larut dalam air
sehingga menyebabkan TDS meter mendeteksi adanya peningkatan total dissolved
solids.
V. KESIMPULAN
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press. Jakarta.
Dewi, Y.S. dan Gultom, Y.H. 2009. Pemanfaatan Algae Chlorella sp. dan Eceng
Gondok untuk Menurunkan Tembaga (Cu) pada Industri Pelapisan Logam.
Skripsi. Teknik Kimia UNDIP. Semarang.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Kanisius. Yogyakarta.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Gunawan, P. 2007. Pengolahan Eceng Gondok sebagai Bahan Baku Kertas Seni.
Balai Litbang Kehutanan Sumatera. Padang.
Haslam, S.M. 1997. River Pollution an Ecologycal Perspective. Belhaven Press.
London.
ITRC. 2001. Technical and Regulatory Guidance Document: Phytotechnology.
Interstate Technology Regulatory Council. USA.
Juhaeti, T., Syarif, F., dan Hidayati, N. 2005. Inventarisasi Tumbuhan Potensial untuk
Fitoremediasi Lahan dan Air Terdegradasi Penambangan Emas. J
Biodiversitas Vol.6 (1): 31-33.
Kamaruzzaman, B.Y., Ong, M.C., Jalal, K.C.A., Shahbudin, S., dan Nor, O.M. 2009.
Accumulation of Lead and Copper in Rhizophora apiculata from Setiu
Mangrove Forest, Terengganu, Malaysia. Journal of Environmental Biology
30 (5) : 821-824.
Kao, C.M., Wang, J.Y., Lee, H.Y., dan Wen, C.K. 2001. Application of A
Constructed Wetland for Non-Point Source Pollution Control. J Water
Science and Technology Vol. 44 (11-12) : 585-590.
Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995 Tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.