Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Konsep Anak Usia Prasekolah

2.1.1. Pengertian anak usia prasekolah

Usia prasekolah adalah usia anak pada masa prasekolah dengan rentang tiga

hingga enam tahun (Potter dan Perry, 2009). Pengertian yang sama juga

dikemukakan oleh Hockenberry dan Wilson (2009) bahwa usia prasekolah

merupakan usia perkembangan anak antara usia tiga hingga lima tahun. Pada usia

ini terjadi perubahan yang signifikan untuk mempersiapkan gaya hidup yaitu

masuk sekolah dengan mengkombinasikan antara perkembangan biologi,

psikososial, kognitif, spiritual dan prestasi sosial. Anak pada masa prasekolah

memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai laki-laki atau perempuan, dapat

mengatur diri dalam toilet training dan mengenal beberapa hal yang berbahaya

dan mencelakai dirinya (Mansur, 2011).

2.1.2. Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Usia Pra Sekolah

Anak usia prasekolah masih dalam peningkatan pertumbuhan dan perkembangan

yang berlanjut dan stabil terutama kemampuan kognitif serta aktivitas fisik

(Hidayat, 2008). Selain itu anak berada pada fase inisiatif dan rasa bersalah

(inisiative vs guilty). Rasa ingin tahu (courius) dan daya imajinasi anak

berkembang, sehingga anak banyak bertanya mengenai segala sesuatu di

sekelilingnya yang tidak diketahui. Selain itu anak dalam usia prasekolah belum

mampu membedakan hal yang abstrak dan tidak abstrak. Menurut Wong (2009)

8
9

proses pertumbuhan dan perkembangan bersifat dinamis dinamis dimana terjadi

sepanjang siklus hidup anak. Anak pada masa prasekolah akan mengalami proses

perubahan baik dalam pola makan, proses eliminasi dan perkembangan kognitif

menunjukan proses kemandirian (Hidayat, 2008).

Proses perkembangan pada anak:

(1) Perkembangan biologis

Pada anak usia prasekolah akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik

yang melambat dan stabil. Dimana pertambahan berat badan 2-3kg pertahun

dengan rata-rata berat badan 14,5 kg pada usia 3 tahun, 16,5 kg pada usia 4 tahun

dan 18,5 kg pada usia 5 tahun. Tinggi badan tetap bertambah dengan

perpanjangan tungkai dibandingkan dengan batang tubuh. Rata-rata pertambahan

tingginya 6,5-9 cm pertahun. Pada anak usia 3 tahun, tinggi badan rata-rata adalah

95 cm dan 103 cm pada usia 4 tahun serta 110 cm pada usia 5 tahun (Wong et al,

2009). Pada perkembangan motorik, anak mengalami peningkatan kekuatan dan

penghalusan keterampilan yang sudah dipelajari sebelumnya seperti berjalan,

berlari dan melompat. Namun pertumbuhan otot dan tulang masih jauh dari matur

sehingga anak mudah cedera (Hockenberry dan Wilson, 2007).

(2) Perkembangan kognitif

Anak usia pra sekolah pada perkembangan kognitif mempunyai tugas yang lebih

banyak dalam mempersiapkan anak mencapai kesiapan tersebut. Serta proses

berpikir yang sangat penting dalam mencapai kesiapan tersebut (Wong, et al,

2009). Pemikiran anak akan lebih kompleks pada usia ini, dimana

mengkategorikan obyek berdasarkan warna, ukuran maupun pertanyaan yang


10

diajukan (Potter dan Perry, 2009). Menurut Marry (2005) tinjauan teori mengenai

perkembangan kognitif menggunakan tahap berpikir pra operasional oleh Piaget.

Dimana dibagi menjadi dua fase yaitu:

a. Fase pra konseptual (usia 2-4tahun) dimana pada fase ini konsep anak belum

matang dan tidak logis dibandingkan dengan orang dewasa. Mempunyai

pemikiran yang berorientasi pada diri sendiri, dan membuat klasifikasi yang

masih relatih sederhana.

b. Fase intuitif (4-7 tahun): anak mampu bermasyarakat namun belum dapat

berpikir timbal balik. Anak biasanya banyak meniru perilaku orang dewasa

tetapi sudah mampu memberi alasan pada tindakan yang dilakukan.

(3) Perkembangan moral

Anak pada usia prasekolah mampu mengadopsi serta menginternalisasi nilai-nilai

moral dari orang tuanya. Perkembangan moral anak berada pada tingkatan paling

dasar. Anak mempelajari standar perilaku yang dapat diterima untuk bertindak

sesuai dengan standar norma yang berlaku serta merasa bersalah bila telah

melanggarnya (Kohlberg, 1994 dalam Wong, 2009).

(4) Perkembangan psikososial

Anak usia prasekolah menurut Hockenberry & Wilson (2009) sudah siap dalam

menghadapi dan berusaha keras mencapai tugas perkembangan. Tugas

perkembangan yang dimaksud adalah menguasai rasa inisiatif yaitu bermain,

bekerja serta mendapatkan kepuasan dalam kegiatannya, serta merasakan hidup

sepenuhnya. Konflik akan timbul akibat rasa bersalah, cemas dan takut yang

timbul akibat pikiran berbeda dengan perilaku yang diharapkan.


11

2.2.Hospitalisasi pada Anak

2.2.1. Definisi Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di

rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak mengalami perubahan dari keadaan

sehat dan rutinitas lingkungan serta mekanisme koping yang terbatas dalam

menghadapi stresor. Stresor utama dalam hospitalisasi adalah perpisahan,

kehilangan kendali dan nyeri (Wong, 2009). Hospitalisasi menurut Supartini

(2004) merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang

mengharuskan anak untuk dirawat di rumah sakit dalam menjalani terapi dan

perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan masalah

berat dan menimbulkan kecemasan bagi anak.

Berdasarkan pengertian hospitalisasi yang dijabarkan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa hospitalisasi merupakan suatu proses baik karena alasan

berencana maupun darurat yang mengharuskan anak untuk dirawat atau tinggal di

rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat berdampak pada perubahan

psikis pada anak yang terjadi akibat suatu tekanan atau krisis pada anak.

2.2.2. Reaksi Anak terhadap Hospitalisasi

Reaksi anak terhadap penyakit dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pengalaman

dirawat dan lama dirawat. Reaksi anak terhadap penyakit dapat berupa rasa

cemas, takut akan sakit, kurang kontrol dalam emosi, marah, tidak adaptif dan

regresi (Potter & Perry, 2009). Reaksi hospitalisasi pada anak usia prasekolah

menunjukan reaksi tidak adaptif dimana dapat berupa menolak untuk makan,
12

sering bertanya, menangis, dan tidak kooperatif terhadap petugas. Dirawat di

rumah sakit memaksa anak untuk meninggalkan lingkungan yang dicintai,

keluarga, dan teman sehingga menimbulkan kecemasan. Selain itu anak berada

pada lingkungan rumah sakit yang menyebabkan anak sulit beradaptasi. Reaksi

yang sering ditunjukan adalah menolak perawatan atau tindakan dan tidak

kooperatif dengan petugas.

2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Hospitalisasi pada Anak

Prasekolah

Anak usia prasekolah akan mempresepsikan hospitalisasi sebagai hukuman dan

pengalaman yang menakutkan (Supartini, 2004). Sehingga respon anak terhadap

hospitalisasi pada usia prasekolah akan lebih berat dibandingkan dengan anak

usia sekolah. Reaksi anak terhadap hospitalisasi menurut Hockenberry & Wilson

(2009) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor usia, pengalaman sakit,

perpisahan, pengalaman dirawat di rumah sakit, dan jenis kelamin anak.

a. Faktor usia: anak usia prasekolah mempresepsikan hospitalisasi sebagai

suatu pengalaman yang menakutkan (Hockenberry & Wilson, 2007).

b. Jenis kelamin: jenis kelamin perempuan lebih bersikap adaptif dibandingkan

dengan jenis kelamin laki-laki (Handayani & Puspitasari, 2009)

c. Pengalaman dirawat di rumah sakit: anak yang pernah memiliki pengalaman

dirawat dirumah sakit sebelumnya dengan pengalaman yang tidak

menyenangkan menyebabkan anak menjadi takut dan trauma sehingga anak

akan sulit beradaptasi dan koopertif dengan tindakan. Anak yang

sebelumnya mendapatkan pengalaman hospitalisasi yang menyenangkan


13

akan lebih mudah beradaptasi dan kooperatif terhadap tindakan perawatan

(Supartini, 2004).

d. Lama rawat: tingkat kecemasan anak terhadap respon hospitalisasi tetap

tinggi hingga anak menjalani hospitalisasi lebih dari 2 hari (Stubbe, 2008)

2.3.Konsep Terapi Bermain

2.3.1. Pengertian Terapi bermain

Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan anak, baik fisik, emosi

mental, intelektual, kreativitas maupun sosial (Soetjiningsih, 2014). Terapi

merupakan penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu

kondisi atau tingkah laku yang dianggap menyimpang dengan tujuan melakukan

perubahan. Terapi bermain adalah usaha mengubah tingkah laku yang bermasalah

dengan menempatkan anak dalam situasi bermain (Adriana, 2011).

2.3.2. Fungsi bermain

Fungsi bermain menurut Adriana (2011) berfungsi untuk merangsang

perkembangan sensorimotor, perkembangan intelektual, sosialisasi, kreativitas,

kesadaran diri, nilai moral dan manfaat terapeutik.

1) Perkembangan sensorimotor: aktivitas sensorimotor adalah komponen utama

bermain pada semua usia. Permainan aktif penting untuk perkembangan otot

dan bermanfaat untuk melepaskan kelebihan energi. Melalui stimulasi taktil,

auditorius, visual dan kinestetik, bayi memperoleh kesan. Todler dan

prasekolah sangat menyukai gerakan tubuh dan mengeksplorasi segala sesuatu

di ruangan.
14

2) Perkembangan intelektual: melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak

belajar mengenal warna, bentuk, ukuran, tesktur dan fungsi objek-objek.

Ketersediaan materi permainan dan kualitas keterlibatan orang tua adalah dua

variabel terpenting yang terkait dengan perkembangan kognitif selama masa

bayi dan prasekolah.

3) Sosialisasi: perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi

dengan lingkungannya. Melalui bermain, anak belajar membentuk hubungan

sosial dan menyelesaikan masalah, belajar pola perilaku dan sikap yang

diterima masyarakat.

4) Kreativitas: anak-anak bereksperimen dan mencoba ide mereka dalam

bermain. Kreativitas terutama merupakan hasil aktivitas tunggal, meskipun

berpikir kreatif sering kali ditingkatkan dalam kelompok. Anak merasa puas

ketika menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.

5) Kesadaran diri: melaui bermain, anak akan mengembangkan kemampuannya

dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuan

diri dan membandingkannya dengan orang lain. Kemudian menguji

kemampuannya dengan mencoba berbagai peran serta mempelajari dampak

dari perilaku mereka terhadap orang lain.

6) Nilai moral: anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya

terutama dari lingkungan. Melalui aktivitas bermain anak memperoleh

kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di

lingkungannya. Anak juga akan belajar nilai moral dan etika, belajar

membedakan sesuatu dan bertanggung jawab.


15

7) Manfaat terapeutik: bermain bersifat terapeutik pad aberbagai usia. Bermain

bersifat terapeutik pada berbagai usia. Bermain memberikan sarana untuk

melepaskan diri dari ketegangann dan stress yang dihadapi di lingkungan.

Dalam bermain, anak dapat mengekspresikan emosi dan melepaskan impuls

yang tidak dapat diterima dalam cara yang dapat diterima masyarakat. Melalui

bermain anak-anak mampu mengkomunikasikan kebutuhan, rasa takut,

kecemasan dan keinginan mereka kepada pengamat yang tidak dapat mereka

ekspresikan

2.3.3. Hal-hal yang Diperhatikan dalam Terapi Bermain

Hal-hal yang perlu diperhatikan menurut Soetjianingsih (2014) saat anak dalam

aktivitas bermain yaitu:

1. Energi ekstra/tambahan: bermain memerlukan energi tambahan, dimana anak

yang sakit, tidak memiliki energi yang banyak untuk bermain, sehingga

permainan yang di anjurkan yaitu permainan yang tidak memerlukan banyak

energi.

2. Waktu: anak yang hospitalisasi harus mempunyai cukup waktu untuk bermain

3. Alat permainan: untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan

umur dan taraf perkembangan anak.

4. Ruangan untuk bermain: ruangan tidak usah terlalu besar, anak juga bisa

bermain di halaman atau di tempat tidur disesuaikan dengan keadaan anak.

5. Pengetahuan cara bermain: anak belajar bermain melalui mencoba-coba

sendiri, meniru teman-temannya, atau dibimbing oleh orangtua atau pengasuh


16

6. Teman bermain: anak harus yakin bahwa ia mempunyai teman bermain. Anak

dapat bermain dengan orang tua, teman sebaya atau saudara sehingga anak

tidak kehilangan kesempatan dalam bersosialisasi

7. Reward: pemberian reward akan membuat anak termotivasi, reward dapat

diberikan berupa semangat dan pujian atau hadiah pada anak bila berhasil

melakukan sebuah permainan.

2.3.4. Jenis permainan pada anak Usia Prasekolah

Permainan anak usia prasekolah menurut Adriana (2011) biasanya bersifat

asosiatif (interaktif dan kooperatif) serta memerlukan hubungan dengan teman

sebaya. Alat permainan yang dianjurkan untuk anak usia prasekolah yaitu

berbagai benda dari sekitar rumah, buku bergambar, majalah anak-anak, alat

gambar dan tulis, dokter-dokteran atau masak-masakan (Soetjianingsih, 2014).

Pemilihan permainan untuk terapi bermain harus disesuaikan dengan usia anak.

Perkembangan anak usia prasekolah yang menonjol yaitu perkembangan motorik

kasar dan halus (Mary, 2005). Terapi bermain Clay therapy sesuai dengan

perkembangan Anak usia prasekolah. Dimana permainan clay therapy merupakan

jenis permainan meremas dan membentuk clay yang membantu anak melatih

kemampuan motorik halusnya (Kearns, 2004).

2.3.5. Terapi bermain di Rumah Sakit

Terapi bermain menurut Adriana (2011) membantu anak dalam beradaptasi

dengan lingkungan baru di rumah sakit, membantu mengurangi stress terhadap


17

perpisahan, dapat sebagai distraksi (pengalihan perhatian) dan relaksasi dan

mencapai tujuan terapeutik. Prinsip bermain di rumah sakit yaitu:

a. Permainan tidak bertentangan dengan terapi dan perawatan yang dijalani

b. Tidak membutuhkan energi yang banyak

c. Harus mempertimbangkan keamanan bagi anak

d. Dilakukan pada kelompok umur yang sama

e. Melibatkan orang tua atau keluarga

Standar Operasional Prosedur terapi bermain menurut Andriana (2011) yaitu:

Tahap Prainteraksi:

1. Melakukan kontrak waktu

2. Mengecek kesiapan anak

3. Menyiapkan alat

Tahap Orientasi:

4. Memberikan salam dan menyapa nama anak

5. Memperkenalkan diri

6. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan terapi bermain clay therapy

7. Menanyakan persetujuan dan kesiapan anak sebelum kegiatan dilakukan

Tahap Kerja:

8. Memberi petunjuk pada anak mengenai cara bermain clay therapy

9. Mempersilahkan anak untuk melakukan permainan sendiri/ bersama orang

tua/ keluarga/ dibantu

10. Memotivasi keterlibatan anak dan keluarga

11. Memberi pujian pada anak bila dapat melakukan permainan clay
18

12. Meminta anak menceritakan apa yang dilakukan atau dibuatnya dengan clay

13. Menanyakan perasaan anak setelah bermain clay

Tahap Evaluasi:

14. Berpamitan dengan anak

15. Mencuci tangan

2.3.6. Clay Therapy

Clay therapy merupakan terapi bermain dengan menggunakan media clay sebagai

bagian dalam terapi ( Rahmani dan Moheb, 2010). Clay therapy sebagai sebuah

terapi dengan menggunakan media clay yang membantu seseorang dalam

mengekspresikan suasana hati dan perasaannya (Buchalter, 2009 dalam

Wirastania, 2012). Terapi bermain clay therapy akan dilakukan dengan beberapa

tema seperti buah-buahan, sayuran, hewan, bunga dan desain lainnya. Penetapan

tema dilakukan untuk membantu mengarahkan klien membuat karya dengan clay.

Clay merupakan tanah liat, dengan materi alam yang diolah dan dibentuk menjadi

macam-macam bentuk yang akan dibuat sebagai keramik (Designs, 2011 dalam

Rochayah, 2012). Dalam perkembangannya istilah clay digunakan dalam

menyebut adonan yang menyerupai tanah liat atau clay buatan (Wahyuningsih,

2012).

Clay sebagai alat terapi yang terbukti efektif bagi anak-anak dalam meningkatkan

kemampuan memecahkan masalah, meningkatkan harga diri, mengurangi

kecemasan, pengendalian impuls dan kemarahan (Landerth, 2004). Bainbridge

(1996) dalam Suryani (2011) menjelaskan bahwa bermain clay membantu dalam
19

mengasah kemampuan otak kanan dalam berkreatifitas, meningkatkan daya

imanjinasi dan melatih kerja saraf motorik anak. Macam-macam clay buatan

menurut Suryani (2011) yaitu:

a. Paper clay: clay ini dibuat dari bubur kertas dan pengeringannya dapat

dilakukan dengan diangin-anginkan saja. Pembuatan clay ini hanya dengan

kertas koran, air, lem, tepung kanji dan dapat dipercantik dengan warna yang

ditambahkan.

b. Lilin malam: clay ini biasanya digunakan sebagai mainan anak-anak yang

banyak dijual di toko dengan bermacam-macam warna dan mudah dibentuk.

Bentuk akhirnya lunak dan tidak akan mengeras sehingga dapat diolah

kembali.

c. Polymer clay: clay ini dilakukan pengeringan dengan cara di panggang dalam

oven. Hasilnya dapat menyerupai batu alam, plastik atau metal.

d. Air dry clay: clay ini sering disebut dengan clay jepang atau clay korea karena

clay tersebut umumnya didatangkan dari kedua negara tersebut. Pengeringan

clay ini cukup dengan diangin-anginkan saja.

e. Jumping clay: clay ini menyerupai air dry clay, namun hasil akhirnya akan

lebih ringan dan pengeringannya cukup dengan diangin-anginkan saja.

f. Plastisin (clay tepung): clay ini hampir sama dengan lilin malam, namun

bentuknya tidak selunak lilin malam dan lebih keras dibandingkan dengan lilin

malam. Clay ini dapat dibuat sendiri dengan bahan dasar tepung jagung dan

pengeringannya hanya dengan diangin-anginkan saja.


20

Clay yang terbuat dari tepung memiliki karakter yang mudah dibentuk, tidak

lengket pada tangan dengan hasil akhir yang cukup diangin-anginkan dan clay

akan menjadi keras (Widjaja, 2009). Pembuatan maizena clay memerlukan

beberapa bahan yaitu: Tepung maizena (tepung jagung), Lem putih, baby oil dan

Pewarna makanan. Bahan dicampur hingga kalis, dan tidak lengket. Sehingga

akan menghasilkan clay dengan warna-warna yang menarik bagi anak. Pemilihan

clay maizena ini karena bahan mudah ditemukan dan aman bagi anak-anak.

2.4.Konsep Perilaku Adaptif

2.4.1. Pengertian perilaku adaptif

Perilaku adaptif adalah respon seseorang terhadap stimulus yang akan

merangsang dan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Adaptif merupakan

respon dari individu yang mudah menyesuaikan diri dengan keadaan yang

dialami (Skinner, 1938 dalam Sunaryo, 2004). Perilaku adaptif merupakan

proses perubahan perilaku individu dalam berespon terhadap beberapa perubahan

yang terjadi pada diri individu maupun lingkungannya yang akan mempengaruhi

keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis (Hidayat, 2008).

Perkembangan adaptasi anak prasekolah yaitu adanya kemampuan bermain

permainan sederhana, menangis jika dimarahi, membuat permintaan sederhana

dengan gaya tubuh dan menunjukan peningkatan kecemasan terhadap perpisahan

(Wong, 2000 dalam Alimul, 2008).

Perilaku adaptif merupakan perilaku yang dapat diterima oleh norma-norma

sosial dan kebudayaan yang berlaku dimasyarakat dan individu menyesuaikan


21

masalah yang dialami dalam batas internal. Perilaku adaptif meliputi: Solitude

(menyepi) sebagai respon yang diperlukan individu dalam menuangkan apa yang

telah dilakukan dalam lingkungan sosialnya dan mengevaluasi diri dalam

menentukan langkah selanjutnya. Autonomy (Otonomi) merupakan kemampuan

individu dalam menentukan atau menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam

hubungan sosial. Mutuality (kerjasama) adalah saling memberi dan menerima

kerjasama dan interdepedency adalah saling ketergantungan antara individu

dengan orang lain.

2.4.2. Perilaku Anak Usia Prasekolah yang Mengalami Hospitalisasi

Anak yang dirawat di rumah sakit akan mengalami beberapa perubahan yang

memerlukan penyesuaian dalam kehidupan sehari-harinya. Respon setiap anak

terhadap stres diperlihatkan dengan cara yang unik oleh karena usia dan

kepribadian individu, namun respon regresif, agresif serta menarik diri merupakan

respon yang paling umum muncul pada anak hospitalisasi. Perilaku ini seiring

dengan waktu akan berkurang pada saat anak sudah merasa nyaman dan aman

(Kail dan Nelson, 1993 dalam Harsono, 2006).

Reaksi anak serta keluarga terhadap sakit dan hospitalisasi menurut Suparto

(2003) dalam Kartikayani (2012) yang dialami yaitu kecemasan, stress, dan

perubahan perilaku. Anak beradaptasi terhadap sakit dan perawatan di rumah sakit

dengan cara:

a. Penolakan (Advoidance) merupakan perilaku anak untuk menghindar dalam

situasi yang membuat anak tertekan, dan usaha anak dalam menolak
22

perawatan yang diberikan seperti: menolak minum obat, disuntik, tidak mau

dipasang infus, serta tidak kooperatif dengan petugas kesehatan.

b. Pengalihan perhatian (distraction) usaha anak dalam mengalihkan

perhatiannya dari pikiran atau hal-hal yang membuat anak tertekan. Perilaku

anak lakukan selama dirawat di rumah sakit seperti anak minta diceritakan,

menonton televisi, serta bermain permainan yang disukai anak.

c. Berupaya aktif (active) merupakan usaha anak dalam mencari jalan keluar

dengan melakukan sesuatu yang aktif. Perilaku tersebut seperti anak

menanyakan kondisinya pada tenaga medis atau orang tuanya, kooperatif

pada tenaga medis, minum obat secara teratur, serta beristirahat sesuai dengan

aturan yang diberikan.

d. Mencari dukungan (Support) dalam melepaskan tekanan yang dialaminya

akibat penyakit yang diderita, anak berusaha mencari dukungan. Dukungan

tersebut dapat berupa pendampingan anak oleh orang tua selama hospitalisasi.

2.4.3. Stressor pada Anak yang Dirawat di Rumah Sakit

Saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit menurut Nursalam, Susilaningrum, R.

dan Utami, S. (2005) merupakan krisis utama yang dialami anak. Jika anak

dirawat di rumah sakit akan mudah mengalami krisis yang diakibatkan karena

stress yang dialami anak terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan yang

dialami anak dapat berupa perubahan kebiasaan sehari-hari. Selain itu anak juga

mempunyai keterbatasan dalam mekanisme koping masalah atau kejadian-

kejadian yang membuat anak tertekan.


23

Pemicu stress pada anak yang mengalami hospitalisasi dapat berupa perubahan

yang bersifat psiko-sosial, fisik, maupun spiritual. Perubahan lingkungan fisik

ruangan seperti fasilitas tempat tidur yang tidak sesuai atau tidak membuat anak

nyaman, kurangnya kebersihan, dan kurangnya pencahayaan. Selain itu sesuatu

yang membuat anak merasa terganggu yaitu suara yang gaduh hingga anak

menjadi ketakutan. Keadaan dan warna dinding atau tirai dapat membuat anak

merasa kurang nyaman. Lingkungan fisik tersebut membuat anak merasa tidak

nyaman dan tidak aman. Perubahan fisiologis akan tampak dengan tanda dan

gejala yang dialami anak. Adanya prosedur yang menimbulkan rasa nyeri

sehingga membuat anak terganggu (Lubis, 2007).

Selain lingkungan fisik yang mengalami perubahan, anak yang mengalami

hospitalisasi dapat mengalami perubahan lingkungan psikososial. Perubahan

tersebut akan membuat anak tertekan dan menimbulkan kecemasan. Masa

perawatan yang dijalani anak, dimana anak akan merasa terpisah dari lingkungan,

kegiatannya sehari-hari dan orang yang dekat dengannya. Hubungan dekat yang

dimiliki anak dengan orang tua, anak akan merasa kehilangan orang tuanya akibat

perpisahan yang dialaminya dan mengharuskan anak untuk tinggal dalam

lingkungan baru di rumah sakit. Hal tersebut dapat menibulkan perasaan cemas

dan tidak aman pada anak (Nursalam, Susilaningrum, R., dan Utami, S., 2005).

2.4.4. Pola Koping pada Anak Usia Prasekolah

Anak usia prasekolah dalam mengatasi stress yang dialaminnya dengan sistem

pertahanan berupa perilaku yang tidak adaptif seperti regresi, supresi, penolakan
24

dan agresi (Potter & Perry, 2009). Selain itu beberapa anak memiliki koping yang

berbedan dimana berupa ketidakaktifan anak (apatis, diam total dan kurang

beraktivitas). Dalam orientasi pra-koping (anak mendengar dan melihat,

mengamati dan berjalan keliling, serta banyak bertanya), kooperatif (anak

kooperatif dengan perawatan), resistensi (anak berusaha menghindari situasi yang

dialami dengan serangan fisik atau verbal atau menolak serta mengendalikan

Anak juga dapat merasa hilangnya kendali karena mereka mengalami kehilangan

kekuatan terhadap diri sendiri. Rasa takut yang timbul akibat cedera tubuh akan

membuat anak takut terhadap prosedur yang menimbulkan nyeri dan pengetahuan

yang terbatas dapat menimbulkan rasa takut terhadap tindakan-tindakan

perawatan (Muscari, 2005)

2.4.5. Pengaruh Clay Therapy terhadap Perilaku Adaptif pada Anak Usia

Prasekolah

Anak usia prasekolah menginterpretasikan hospitalisasi sebagai hukuman

(Muscari, 2005). Hospitalisasi yang dialami anak mempengaruhi psikologisnya,

dimana stress yang timbul akibat hospitalisasi menyebabkan anak cemas, takut

dan akhirnya berperilaku tidak adaptif (Wong, 2009). Bermain sebagai salah satu

aktifitas yang menyenangkan bagi anak (Desmita, 2005). Terapi bermain akan

membantu anak beradaptasi lebih adaptif terhadap stress dan ketegangan yang

dialaminya (Pedro-Carroll & Reddy, 2005 dalam Association for Play Therapy,

2014).
25

Clay therapy merupakan jenis permainan yang sesuai dengan perkembangan anak

usia prasekolah yaitu motorik halusnya (Kearns, 2004). Clay therapy sebagai

salah satu jenis therapy bermain yang telah banyak diteliti. Hasil penelitian

Rahmani & Moheb (2010) menunjukan bahwa intervensi clay therapy mampu

menurunkan kecemasan pada anak. Selain itu Salvagoni, Denise, Eler, dan

Gabrielle (2014) hasil penelitiannya menunjukan penggunaan clay therapy

membantu dalam mempromosikan kreativitas, kesadaran diri dan menguntungkan

bagi seseorng yang mengalami kecemasan. Selain itu clay therapy membantu

anak dalam meningkatkan motorik halusnya, kemampuan memecahkan masalah,

menurunkan kecemasan, pengambilan keputusan serta pengendalian impuls dan

kemarahannya (Landerth, 2004). Terapi bermain clay akan membantu anak

dalam mengurangi ketakutan yang dialaminya, kecemasan anak akan menurun

dan membantu anak beradaptasi terhadap lingkungan yang baru. Anak dapat

mengeluarkan emosi yang tertahan serta mengekspresikan emosionalnnya dengan

bermain clay (Schaefer & Kaaduson, 2006). Berdasarkan penelitian dan sumber-

sumber diatas diharapkan clay therapy akan membantu anak yang mengalami

hospitalisasi mampu bersikap lebih adaptif.

Anda mungkin juga menyukai