Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sitemik bersifat akut
yang di sebabkan oleh salmonella tiphy. Penyakit ini di tandai oleh panas
yang berkepanjangan di topang dengan bakterimia tanpa keterlibatan
stuktur endotelial dan endokardial infeksi akteri sekaligus multiplikasi ke
dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe dan
peyer’patch.
Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi dan hanya
didapatkan pada manusia. Salmonela adalah bakteri gram-negatif, tidak
berkapsul, mempunyai flagela, dan tidak membentuk spora. Penularan
penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Sejak awal abad ke-20, insiden
demam tifoid menurun di USA dan Eropa. Hal ini dikarenakan
ketersediaan air bersih dan system pembuaagan yang baik, dan ini belum
dimiliki oleh sebagian besar Negara berkembang.
Angka kejadian penyakit ini tidak berbeda antara anak laki-laki dan
perempuan. Pengaruh cuaca terutama meningkat pada musim hujan.
Diperkirakan insidensi demam tifoid pada tahun 1985 di Indonesia, usia 0-
4 tahun berkisar 25,32%, pada usia 5-9 tahun berkisar 35,59% dan pada
usia 10-14 tahun berkisar 39,09%.
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam
tifoid, yaitu : istirahat dan perawatan, diet dan pemberian medikamentosa.
Tatalaksana medikamentosa demam tifoid dapat berupa pemberian
antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Page 8
2.1 Demam Tifoid
2.1.1 Pengertian Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada
saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid disebut
juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tifoid biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala
demam lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.
Menurut WHO (2010) ada tiga defenisi kasus dari demam tifoid, yaitu
pasien yang benar-benar menderita demam tifoid ( pasien dengan demam 380 atau
lebih minimal 3 hari, hasil laboratorium menunjukkan kultur positif Salmonella
Typhi ) , kemungkinan menderita demam tifoid ( pasien dengan demam 380 atau
lebih, dengan tes serodiagnosis atau deteksi antigen positif tetapi tanpa isolasi
Salmonella Typhi ), dan karier kronis (pasien dengan ekskresi Salmonella typhi di
feses atau urin selama lebih dari 1 tahun selama onset demam tifoid akut,
beberapa pasien yang mengekskresi Salmonella typhi).

2.1.2 Morfologi
Salmonella adalah bakteri bentuk batang, dengan panjang antara 1-3,5
mikron, pada pewarnaan bersifat Gram-Negatif, mempunyai flagel peritrikh.
Bakteri ini tidak membentuk spora. Merupakan salah satu spesies genus
Salmonella, keluarga Enterobacteriacea, tumbuh dengan baik pada suhu optimal
37 ºC, sifat fakultatif anaerob. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4 ºC
selama satu jam15 menit. Salmonella memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi
tidak pada sukrosa.

2.1.3 Epidemiologi

Page 8
Demam tifoid saat ini paling banyak ditemukan di Negara sedang
berkembang dan kepadatan penduduk tinggi. Serta kesehatan lingkungan yang
tidak memenuhi syarat. Sebanyak 91 % kasus demam tifoid menyerang penduduk
Indonesia yang berusia 3 – 19 tahun.

Page 8
Angka kejadian penyakit ini tidak berbeda antara anak laki-laki dan
perempuan. Pengaruh cuaca terutama meningkat pada musim hujan, sedangkan
dari kepustakaan barat dilaporkan terutama pada musim panas.
Di daerah endemik demam tifoid, insidensi tertinggi didapatkan pada
anak - anak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri
dan menjadi kebal.

Gambar 1. Geographic Distribution.


(Sumber: World Health Organisation, 2010)

2.1.4 Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella Typhi. Salmonella typhi
dapat hidup dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir). Manusia
yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikan nya melalui secret
saluran nafas, urin dan tinja dalam waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi
yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila
berada didalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Kuman ini mempunyai tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan
laboratorium, yaitu:

Page 4
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol teteapi
tidak tahan terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (Envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas, didalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan antibodi yang lazim disebut agglutinin.

Gambar 2. Gambar kuman Salmonella typhi


(Sumber: World Health Organisation, 2010)

2.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi


Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan

Page 8
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Dilamina propria kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan baktermia pertama yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh
organ retikoloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkanbakteremia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu di ekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama berulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel - sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulanya komplikasi seperti ganguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernafasan, dan ganguan organ lain.

Page 8
Gambar 3. Gambar Patofisiologi Demam Tifoid
(Sumber: World Health Organisation, 2010)

2.1.6 Gambaran Klinis


Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 - 14 hari.
Kumpulan gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid. Beberapa
gejala klinis yang sering pada tifoid di antarnya adalah :
a. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit demamnya
kebanyakan tidak lebih dari 38 derajat celsius, selanjutnya suhu tubuh sering
turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi
(Demam intermiten). Dari hari kehari intensitas demam makin tinggi yang
disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala yang sering diarea frontal,
myalgia, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu kedua
intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam
kontinyu). Bila pasien membaik pada minggu ketiga suhu badan berangsur
turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ketiga. Perlu
diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang khas tifoid tersebut tidak
selalu ada. Tipe demam manjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena
intervensi pengobatan atas komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada
anak khusus nya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.

Page 8
b. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama,
bibir kering dan pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput
putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor ( coated tounge atau
selaput putih), dan pada penderita anak jarang di temukan. Pada umumnya
penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu
hati), disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering
meteorismus dan konstipasi. Pada minnggu selajutnya sering timbul diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa
penurunan kesadaran tingkat ringan sering didapatkan kesadaran apatis
dengan kesadaran yang berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penderita
sampai Somnolen dan koma atau dengan gejala-gejalapsychosis (organic
Brain Syndrom). Pada penderita dengan toksik, gejala Delirium labih
menonjol.
d. Hepatosplenomegali
Hati dan limpa, ditemukan sering membesar hati terasa kenyal dan nyeri
tekan.
e. Bradikardi relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif jarang ditemukan, bradikardi relatif adalah peningkatan
suhu yang tidak di ikuti dengan peningkatan frekuensi nadi. Gejala-gejala
lain yang dapat ditentukan adalah rose spot yang biasanya ditemukan di
region abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan
komplikasi yang terjadi rose spot pada anak sangat jarang ditemukan
malahan lebih sering epitaksis.

2.1.7 Diagnosis
Ada dua cara untuk mendiagnosa demam tifoid yaitu secara klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala
klinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat
juga ditemukan pada penyakit lain. Oleh karena itu, untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut :

Page 8
a. Pemeriksaan serologi
Uji serologi digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen
Salmonella thypi maupun mendeteksi antigen itu sendiri :
1. Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi terhadap antibodi kuman S. typhi.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antaran antigen kuman S. typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada
uji Widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan di
olah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman)
dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakain tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1).
Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan
antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah,
4). Daerah endemik atau non-endemik, 5). Riwayat vaksinasi, yaitu
peningkataan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat
infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 6). Faktor teknik
pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan Strain
Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

2. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat ( kurang lebih dua menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifitas di
tingkatan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya di temukan pada salmonella segroup D. tes ini sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya

Page 8
antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibody IgG dalam waktu.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tubex ini,
beberapa penelitian pendahulu menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang lebih baik dari uji widal.
b. Pemeriksaan bakteriologis
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urin, feses dan sumsum tulang
berkaitan dengan patogenesis, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah penderita pada minggu pertama sakit, dengan hasil positif pada
80-95% pederita, selama perjalanan penyakit dan hilang pada fase
penyembuhan. Ba kteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu
pertama (10-15%) sampai minggu ketiga (75%) dan turun secara berlahan
sedangkan biaka urin memberikan hasil positif setelah minggu pertama
sakit.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis demam tifoid melalui pemeriksaan darah tepi akan mendapatkan
gambaran leukopenia, limpositosis relatif dan eosinophilia pada pada
permulaan sakit. Disamping itu, pada pemeriksaan ini kemungkinan
terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini
sederhana, mudah dikerjakan dilaboratorium yang sederhana, akan tetapi
berguna untuk membantu diagnosis.
Walaupun pada pemeriksaan perifer lengkap sering ditemukan leukopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis
dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat
ditemukan anemia ringan dan trombositpenia. Pada pemeriksaan hitung
jenis leukosit dapat terjadi SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase) sering
kali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

2.1.8 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dibagi atas dua bagian:

Page 8
2.1.8.1 Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi dapat berbentuk tukak/luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus bila luka menembus lumen
usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila
tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Sekitar 25%
penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok.
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ke-3 namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala
umum yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah
yang kemudian menyebar keseluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang
tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda
perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat
syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan
udara pada rongga peritoneum atau sub diafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada
demam tifoid.

2.1.8.2 Komplikasi ekstra-intestinal


a. Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, peningkatan partial
thrombopasltin, dapat ditentukan pada kebanyakan pasien demam tifoid.
Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena
menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau
meningkatnya dekstruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Bila terjadi
koagulasi intravaskular di seminata dekompensata dapat diberikan transfusi
darah, substitusi trombosit dan/atau faktor –faktor koagulasi bahkan heparin,

Page 8
meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin
pada demam tifoid.
b. Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang biasa dijumpai pada demam tifoid. Pankreatitis
sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing,
maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim emilase dan lipase serta
ultrasonografi/CT-Scan dapat membantu diagnosa penyakit ini dengan akurat.

2.1.9 Penatalaksanaan
Penderita yang dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus
dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada
tiga bagian yaitu:
a. Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi
serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak
harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lalu.
Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita.
Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak
terjadi aspirasi.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit, sampai saat ini sangat bervariasi
dan tidak ada keseragaman. Hal ini sangat bergantung pada kondisi penderita
serta adanya komplikasi selama penyakitnya berjalan.

b. Diet
Di masa lalu, penderita diberi diet bubur saring, kemudian di tingkatkan
menjadi menjadi bubur bubur kasar dan akhirnya diberi nasi, yang perubahan
diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring tersebut ditunjukkan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran
cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus halus
harus diistirahatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari
sementara sayuran yang berserat) dapat di berikan dengan aman pada pasien
demam tifoid.

c. Pengobatan dengan antibiotik

Page 8
Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan
bakteriemia.

Antibiotik yang sering digunakan pada pengobatan demam tifoid adalah:


1. Kloramfenikol
Kloramfenikol pertama kali ditemukan pada tahun 1947 dari Streptomyce
venezuelae. Kloramfenikol merupakan antibiotik bakteriostatik berspektrum
luas yang aktif terhadap organisme-organisme aerob dan anaerob gram positif
maupun gram negative.
 Mekanisme kerja : kloramfenikol adalah suatu penghambat kuat sintetis
protein mikroba dan mempunyai efek yang kecil pada fungsi metabolisme
mikroba lain. Kloramfenikol terikat secara reversible pada tempat reseptor
subunit 50 S ribosom bakteri. Obat ini sangat mengganggu penggabungan
asam amino ke peptida baru yang di bentuk dengan kerja peptidil
transferase.
 Dosis
Anak : Dosis 25 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama
10 hari.

 Efek samping :
a. Gangguan gastrointestinal : bermanifestasi dalam bentuk mual,
muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
b. Sindrom gray : pada neonates, terutama bayi prematur yang
mendapat dosis tinggi (200 mg/kg BB) dapat timbul simdrom gray.
Biasanya antara hari ke-2 sampai dengan ke-9 masa terapi, rata-rata
hari ke-4. Mula-mula bayi muntah, tidak langsung menyusui,
pernapasan cepat dan tidak teratur, perut kembung, sianosis dan diare
dengan tinja bewarna hijau dan bayi tampak sakit berat. Pada hari
berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan bewarna keabu-abuan,
terjadi pada hipotermia.

2. Golongan Sefalosporin
Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium yang diisolasi
pada tahun 1948 oleh Brotzu. Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi

Page 8
berdasarkan aktivitas antimikrobanya, kerja anti mikroba sefalosporin ialah
menghambat sintesis dinding di sel mikroba.

Tabel 2.1 panduan dosis dan sediaan sefalosporin


Jenis Sefalosporin Cara Dosis
(Nama Dagang) Pemberian Anak

Generasi Pertama
Sefalotin IV dan IM 80-160 mg/kg
(Keflin)
Sefazolin IM 25-100 mg/kg/h dalam 3-4 dosis
(Ancef, Kefzol)
Sefaleksin Oral 25-50 mg/kg/h dalam 4 dosis
(Keflex)
Sefadroksil Oral 30 mg/kg/h dalam 2 dosis
(Duricef, Ultracef)
Generasi Kedua
Sefamandol IM -
(Mandol)
Sefoksitin IM -
(Mefoxin)
Sefuroksin IV 50-100 mg/kg/h dalam 3-4 dosis
(Kefurox,Zinacef)
Generasi Ketiga
Sefotaksim IV 50-200 mg/kg/h dalam 4-6 dosis
(Claforan)
Seftizoksim IV dan IM -
(Cefizox)
Seftriakson IV 50-100 mg/kg/h dalam 2 dosis
(Rocephin)
Seftazidim IV 75-150 mg/kg/h dalam 3 dosis
(Fortaz)
Generasi Keempat
Sefepim IV 75-120 mg/kg/h dalam 2-3 dosis
(Maxipine)

Page 8
Meropenem IV60-120 mg/kg/hari dalam 3 dosis
(max 2 g/8 jam)
Vankomisin IV 15 mg/kg load, lalu 20 mg/kg/h
dalam 2 dosis
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah :
I. Seftriakson
Seftriakson adalah derivat thiazolyl ditemukan pada tahun 1983 dari
generasi ke-3 sefalosporin dengan sifat anti-laktamase dan anti kuman
gram negatif kuat.
a) Mekanisme kerja : dinding sel bakteri merupakan lapisan luar yang
kaku, yang menutupi keseluruhan membran sitoplasma. Lapisan ini
mempertahankan bentuk sel serta mencegah lisis sel yang mungkin
terjadi sebagai akibat dari tekanan osmotik yang tinggi di dalam sel
di banding dengan lingkungan luarnya. Dinding sel terdiri dari
polipeptidoglikan. Seftriakson menghambat sintetis peptidoglikan
yang diperlukan kuman sehingga sel mengalami lisis dan sel bakteri
akan mati.
b) Dosis :
Anak : 50-75 mg/kgBB/hari IV tunggal, dibagi setiap 12
jam, tidak melebihi 2 g/hari.
Neonates : 50 mg/kg BB/hari tunggal,atau dalam 2 dosis .
c) Efek samping : pruritus, dermatitis, urtikaria, mual, muntah, diare,
stomatitis, pusing, anemia hemolitik, leukopenia dan
trombositopenia.

3. Golongan Kuinolon dan Fluorokuinolon


Asam nilidiksat adalah prototip golongan kuinolon lama yang dipasarkan
sekitar tahun 1960.walaupun obat ini mempunyai daya antibakteri yang baik
terhadap kuman gram-negatif, eliminasinya melalui urin berlangsung terlalu
cepat sehingga sulit dicapai kadar terapeutik dalam darah.
a) Efek samping : secara umum dapat dikatakan bahwa efek samping
golongan kuinolon sepadan dengan antibiotika golongan lain.
Beberapa efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini
adalah :

Page 8
1. Saluran Cerna : bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa
tidak enak di perut.
2. Susunan Saraf Pusat : yang paling sering sakit kepala dan pusing,
yang jarang timbul adalah halusinasi, kejang dan delirium.

Tabel 2.2 Dosis dan sediaan Kuinolon dan Fluorokuinolon

Obat Sediaan Dosis per hari


Oral Parenteral
Asam Tablet 500 mg 4 kali 500 – 1000 mg
nilidiksat
Asam Tablet 400 mg 2-4 kali 400 mg
pipemidat
Cifrofloksasim Tablet 250,500 dan 2 kali 250 -250 mg 2 kali 200-
Untuk gonore : 1 x
750 mg 400 mg IV
Infus 200 dan 400 mg 250 mg
Peflosaksim Tablet 400 mg 2 kali 400 mg 2 kali 400 mg
Infus 400 mg/5 ml,
IV
400 mg/125 ml
Ofloksasim Tabet 200 dan 400 mg 1 – 3 kali 100 – 200 1 - 3 kali 100
Suntikan 200mg/200
mg - 200 mg IV
mL
Norfloksasin Tablet 400 mg 2 – 3 kali 200 – 400 -
mg
Levofloksasin Tablet 250 dan 500 1 kali 250 -500 mg 1 x 500 mg
mg IV tiap 24
Infus 500 mg/100 mL
jam
Moksifloksasin Tablet 400 mg 1 kali 400 mg 1 x 400 mg
Infuse 400 mg/mL
IV tiap 24/J

4. Trimetopim dan Sulfametoksazol (Kotrimoksazol)


Trimetropim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada
dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat
memberikan efek sinergik
 Mekanisme kerja : aktivitas antibakteri kombinasi antara
sulfametoksazol dan trimetoprim (kotrimoksazol) berdasarkan

Page 8
kerjanya pada dua tahap yang berurutan pada reaksi enzimatik untuk
pembentukan asam tetrahidrofolat. Sulfonamide menghambat
masuknya para-aminobenzoik acid (PABA) kedalam molekul asam
folat dan trimethoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dan
dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Trimetropim menghambat enzim
dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif
 Dosis
Pediatrik : < 2 tahun, tidak direkomendasikan >2 tahun, dosis
trimetropim 8 mg/kg BB/hari dan sufametoksazol 40
mg/kgBB/hari dalam 2dosis.
 Efek samping : Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa
kotrimoksazol menimbulkan defisiensi folat pada orang dewasa kira-kira
75% efek samping terjafi pada kulit, berupa reaksi yang khas ditimbulkan
oleh sulfonamide. Namun demikian kombinasi trimetropim-
sulfametoksazol dilaporkan dapat menimbulkan reaksi kulit sampai tiga
kali lebih sering dibandingkan sulfametoksazol pada pemberian tunggal.
Dermatitis ekspoliatif, sindrom steven-johnson dan toksik epidermal
nekrolisis jarang terjadi. Gejala saluran cerna terutama berupa mual dan
muntah, diare jarang terjadi. Glotisis dan stomatitis relatife sering. Ikterus
terutama terjadi pada pasien yang sebelumnya telah mengalami hepatitis
kolestatik alergik. Reaksi susunan saraf pusat berupa sakit kepala, depresi
dan halusinasi. Reaksi hematologik lainnya ialah berbagai macam anemia,
gangguan koagulasi, granulositopenia, purpura dan sulfemoglobinemia.

5. Amoksisilin
Amoksisilin merupakan anti mikroba golongan penisilin bersifat bakterisid
 Mekanisme kerja : mekanisme kerja amoksisilin dengan menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Dinding sel bakteri, terdiri polipeptidoglikan
yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Amoksisilin
menghambat reaksi transpeptidasi yang merupakan rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel bakteri. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel
kuman lebih tinggi dari pada diluar sel maka kerusakan dinding sel kuman

Page 8
akan menyebabkan terjadinya lisis yang merupakan dasar efek bakteresid
pada kuman yang peka
 Dosis
Pediatrik : dosis 20-40mg/kgBB/hari, pembagian oral diberi
setiap 8 jam selama 14 hari
 Efak samping : amoksisilin dapat menyebabkan efek samping. Tanda awal
terlihat pada kulit berupa gatal-gatal, ruam kulit, serta kulit memerah.
Pembengkakan bibir, lidah atau tenggorokan juga terlihat sebagai cara
tubuh merespon dan melawan peradangan. Beberapa mungkin juga
mengeluhkan masalah pencernaan seperti kram perut yang parah, nyeri
perut dan diare. Mual, muntah, colitis, gangguan lambung usus dan radang
kulit lebih jarang terjadi.

6. Ampisilin
Ampisilin memiliki aktivitas spektrum luar terhadap bakteri gram negatif
seperti E. coli dan Salmonella. Aktivitas amoksisilin hampir sama dengan
ampisislin terapi resorpsinya lebih lengkap dan pesat dengan kadar di dalam
darah yang mencapai dua kali lipat.
 Mekanisme kerja : ampisilin bekerja dengan cara menghambat sintetis
dinding sel bakteri melalui penghambatan reaksi transpeptidasi
 Dosis
Pediatrik : Dosis 50-100 mg/kgBB sehari dalam 4 dosis

7. Tiamfenikol
Tiamfenikol mempuyai efek yang sama dengan kloramfenikol karena susunan
kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan R-nya saja
 Mekanisme kerja : obat ini memiliki mekanisme kerja yang sama dengan
kloramfenikol yaitu dengan cara menghambat sintetis protein kuman.
 Dosis
Pediatrik : Dosis 25-50 mg/ kg BB dibagi dalam 4 dosis, selama 10-
14 hari.
2.1.10 Pencegahan
Berpedoman pada kajian diatas, maka dapat direkomendasikan beberapa
langkah-langkah strategis yang bermanfaat untuk mengatasi permasalahan demam

Page 8
tifoid diatas. Kegiatan yang strategis ini merupakan pilar pertama dalam program
pencegahan.
a. Perbaikan sanitasi linkungan
Salah satu usaha pemutus rantai penularan tifoid adalah usaha perbaikan
lingkungan usaha ini sangat mendasar dan komplit. Melibatkan banyak
pihak dan sektor, serta merupakan bagian terpenting dalam upaya
pembangunan kesehatan masyarakat. Beberapa hal yang menjadi masalah
dalam kesehatan lingkungan adalah penyediaan air minum, pengawasan
terhadap makanan dan air serta sistem pembuangan kotoran dan limbah.
Beberapa usaha perbaikan sanitasi linkungan adalah:
 Penyediaan air bersih untuk seluruh warga. Penyediaan air yang aman,
terlindung dan terawasi tidak tercemar oleh air limbah dan kotoran
lain. Untuk air minum masyarakat membiasakan memasak sampai
mendidih, kurang lebih selama 10 menit.
 Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Tidak
terkontaminasi oleh lalat dan serangga lain.
 Pengelolah air limbah, kotoran dan sampah, harus benar sehingga tidak
mencemari lingkungan.
 Kontrol dan pengawasan terhadap kebersihan lingkungan, terlaksana
dengan baik dan berkesinambungan.
 Membudayakan prilaku hidup bersih dan lingkungan bersih yang berlaku untuk
seluruh lapisan masyarakat.
b. Peningkatan hygiene makanan dan minuman
Transmisi utama basil salmonella melalui air minum dan makanan. Hygiene
makanan dan minuman yang terjamin merupakan faktor yang sangat penting
dalam pencegahan. Beberapa hal di bawah ini merupakan kegiatan yang
sangat perlu dilaksanakan:
a) Perlu di ingat “Golden rules Of WHO” dalam promosi makanan
1. Pilih hati-hati makanan yang sudah di proses, demi keamanan
2. Hindarkan antara makanan mentah dengan makanan yang sudah
dimasak
3. Mencuci tangan dengan sabun
4. Permukaan dapur di bersihkan dengan cermat

Page 8
5. Lindungi makanan dari serangga, binatang mengerat dan
binatang lain nya
6. Gunakan air bersih atau air yang dibersihkan
b) Meggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengelolahan
dan penyajian makanan, sejak awal pengelolahan, pendinginan sampai
penyajian untuk dimakan.
c) Mendorong penggunaan ASI untuk bayi, serta mendidihkan seluruh
susu dan air yang akan digunakan sebagai makanan bayi.
d) Pengawasan terhadap restoran dan industry makanan.
e) Pendidikan kesehatan masyarakat tentang tatacara hidup bersih dan
sehat terutama kegia6tan cuci tangan yang benar.
c. Pencegahan dengan imunitas
Vaksinasi demam tifoid belum dianjurkan di USA, demikian juga di daerah
lain. Indikasi vaksinasi adalah:
 Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam tifoid
semakin tinggi untuk derah berkembang (Amerika Latin, Asia,
Afrika),
 Orang yang terpapar dengan penderita demam tifoid
 Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan
Jenis vaksinasi
 Vaksin oral:-Ty21a
 Vaksin parenteral: -ViCPS vaksin kapsul polisakarida.

2.1.11 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya
pengobatan. Angka kematian pada anak-anak. 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%,
rata-rata 5,7%.
Tifoid yang tidak di obati memiliki angka mortalitas yang mendekati
20%, mortalitas hampir tidak ada pada pengobatan segera. Angka kematian yang
tinggi tetapada di banyak Negara endemik akibat pengobatan yang tertunda atau
tidak tepat.

Page 8
3.1 KESIMPULAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan demam satu
minggu atau lebih, demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi
pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi.
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti,
organisme, yaitu: penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch; bakteri
bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus
mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial; bakteri
bertahan hidup di dalam aliran darah; produksi enterotoksin yang meningkatkan
kadar cAMP di dalam kript usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke
dalam lumen intestinal.
Masa inkubasi dari demam tifoid rata-rata bervariasi antara 7-20 hari, dengan
masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Pada minggu pertama,

Page 8
keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umunya, seperti
demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik hanya ditemukan peningkatan suhu. Pada minggu kedua,
gejala/tanda klinis berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan
limpa, perut kembung mungkin disertai gangguan kesadaran dari ringan hingga
berat.

Page 8

Anda mungkin juga menyukai