Anda di halaman 1dari 80

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Air Susu Ibu (ASI) eksklusif merupakan sumber nutrisi, vitamin dan

mineral terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan yang dibutuhkan bayi

pada enam bulan pertama kehidupan tanpa tambahan cairan atau makanan

apapun. ASI dapat mencegah malnutrisi karena mengandung zat-zat gizi yang

dibutuhkan oleh tubuh bayi dan melindungi bayi terhadap infeksi. Selain itu,

banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI

terhindar dari obesitas. Berdasarkan penelitian, ASI yang diberikan pada bayi

yang berusia dibawah 2 tahun memiliki dampak positif yang sangat besar,

dimana ASI berpotensial untuk mencegah lebih dari 800.000 kematian (13%

dari seluruh kematian) pada anak berusia di bawah 2 tahun di negara

berkembang. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif empat belas kali lebih

sulit terkena penyakit dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI

eksklusif, dan pemberian ASI eksklusif secara drastis mampu mengurangi

kematian akibat diare dan infeksi saluran pernafasan, yang merupakan dua

masalah utama penyebab kematian pada bayi(1,2).


Dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian anak, United

Nation Children Funds (UNICEF) dan World Health Organization (WHO)

merekomendasikan sebaiknya anak hanya disusui ASI selama paling sedikit

enam bulan. Makanan padat seharusnya diberikan sesudah anak berumur 6

bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun. ASI
2

eksklusif dianjurkan pada beberapa bulan pertama kehidupan karena ASI tidak

terkontaminasi dan mengandung banyak gizi yang diperlukan anak pada umur

tersebut. ASI mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi karena

mengandung protein untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman dalam

jumlah tinggi sehingga pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi risiko

kematian pada bayi(3,4). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan

450/MENKES/SK/VI/2004 tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif di

Indonesia menetapkan ASI eksklusif di Indonesia selama 6 bulan dan

dianjurkan dilanjutkan sampai dengan anak berusia 2 tahun atau lebih dengan

pemberian makanan tambahan yang sesuai(4,5).


Berdasarkan laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010,

persentase pemberian ASI eksklusif untuk bayi dengan usia <6 bulan di

Indonesia dibedakan menurut umur. Hasilnya pada anak usia 0-1 bulan

presentasinya sebesar 45,4%, 2-3 bulan sebesar 38,3%, 4-5 bulan sebesar

31,0% dan secara keseluruhan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6

bulan sebesar 54,3% dimana Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu

provinsi yang mempunyai persentase ASI eksklusif di atas angka nasional

yaitu sebesar 74,4%(6). Tapi pada 2014, pola menyusui pada bayi umur 0 bulan

dengan persentase 39,8% semakin menurun dengan meningkatnya kelompok

umur bayi dimana pada bayi yang berumur 5 bulan presentasi menyusui

eksklusif hanya 15,3%(4). Pada 2015, berdasarkan data yang diperoleh dari

Profil Kesehatan Indonesia, cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia

untuk bayi usia 0-6 bulan mengalami peningkatan menjadi 55,7% dan NTT
3

menempati posisi kedua sebagai provinsi dengan cakupan pemberian ASI

eksklusif tertinggi setelah Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 77,0%(7).


Hasil penelitian terbaru didapatkan bahwa pada 2016, pemberian ASI

eksklusif untuk bayi sampai usia 6 bulan di Indonesia mengalami penurunan

yang signifikan yaitu sebesar 29,5%. Persentasenya pemberian ASI eksklusif

untuk bayi sampai usia 6 bulan di NTT sebesar 38,3% dan untuk bayi 0-5

bulan sebesar 79,9%. Di Kota Kupang, pada 2016 jumlah bayi yang diberi

ASI eksklusif pada usia 0-6 bulan sebesar 67,13%, yang menunjukkan bahwa

Kota Kupang memberikan peran cukup besar dalam tingginya persentase

pemberian ASI eksklusif di NTT dengan persentase tertinggi di Puskesmas

Bakunase yaitu sebesar 112,13% dan terendah di Puskesmas Oesapa yaitu

sebesar 12,43%(8).
Faktor yang menghambat pemberian ASI eksklusif diantaranya adalah

pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) terlalu dini yang membawa

risiko penyakit, terutama ketika penyakit menular tinggi dengan akses air

bersih dan sanitasi yang buruk. Pemberian susu formula sebaiknya tidak

diberikan karena susu formula sulit diterima oleh usus bayi, bahkan pemberian

susu formula atau makanan lain dapat menyebabkan luka pada usus, dan butuh

waktu berminggu-minggu bagi bayi untuk pulih. Pemberian susu formula

sering diakibatkan oleh petugas kesehatan yang tidak memiliki keterampilan

dan pelatihan yang tepat dalam mendukung praktik menyusui. Selain itu,

banyak perempuan harus kembali bekerja segera setelah melahirkan, dan

menghadapi sejumlah tekanan yang seringkali membuat mereka berhenti

menyusui secara eksklusif sejak dini(1).


4

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan di Rumah Sakit

Muhammadiyah Lamongan, didapatkan hasil bahwa keinginan, keyakinan,

dan persepsi ibu yang benar tentang kepuasan bayi saat menyusu, dan

dukungan suami serta orang tua mendorong keberhasilan pemberian ASI

eksklusif. Usia tua, ibu yang bekerja, pemberian susu formula di instansi

pelayanan kesehatan, pemberian MP-ASI menjadi faktor yang menghalangi

keberhasilan pemberian ASI eksklusif dengan pemberian MPASI sebagai

faktor risiko yang paling kuat dengan r = 0,710(9).


Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nasution, dkk di wilayah kerja

Puskesmas Bungus Padang, faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI

eksklusif adalah pendidikan ibu, pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif,

pekerjaan ibu dan kurangnya dukungan dari suami(10). Selain itu, faktor yang

turut mendukung keberhasilan pemberian ASI eksklusif berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Sriningsih di Semarang adalah tingkat

penghasilan ibu yang cukup(11).

Banyak sekali faktor risiko yang berperan dalam keberhasilan maupun

kegagalan pemberian ASI eksklusif. Salah satu hambatan dalam pemberian

ASI eksklusif juga berasal dari ibu sendiri sebagai sumber utama pemberian

ASI eksklusif. Berdasarkan hal di atas, mengingat pentingnya ASI eksklusif

serta manfaat yang diberikan, justru pemberian ASI eksklusif pada

kenyataannya masih rendah. Hal inilah yang menyebabkan peneliti akhirnya

tertarik untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang menyebabkan persentase

jumlah bayi usia 0-6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif sangat rendah
5

khususnya di Puskesmas Oesapa dibandingkan puskesmas-puskesmas lainya

di Kota Kupang dengan judul penelitian “Analisis Faktor Risiko Rendahnya

Cakupan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif di Wilayah Kerja

Puskesmas Oesapa”.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan judul penelitian tersebut, didapatkan pertanyaan


a. Apa saja faktor risiko yang mempengaruhi rendahnya cakupan pemberian

ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa?

b. Faktor apa yang paling kuat mempengaruhi rendahnya cakupan pemberian

ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa?

1.3. Batasan Masalah


Penelitian ini dilakukan oleh peneliti untuk melihat faktor risiko

rendahnya pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa pada tahun 2018.

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum
Menganalisis faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan

rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
1.4.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa
6

b. Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
c. Menganalisis hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
d. Menganalisis hubungan usia ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa


e. Menganalisis hubungan pekerjaan ibu dengan dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
f. Menganalisis hubungan penghasilan ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa


g. Menganalisis hubungan status pernikahan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
h. Menganalisis hubungan dukungan suami dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa


i. Menganalisis hubungan urutan kelahiran anak dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
j. Menganalisis hubungan ketertarikan terhadap susu formula dengan

kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa
k. Menganalisis hubungan dukungan petugas kesehatan dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa

1.5. Manfaat Penelitian


7

1.5.1. Bagi Peneliti


Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam

merencanakan, melakukan dan menyusun hasil penelitian. Serta sebagai

bahan informasi dan pengetahuan berkaitan dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif.


1.5.2. Bagi Masyarakat
Sebagai sumber informasi akan pentingnya ASI dan faktor-faktor

apa saja yang mempengaruhi rendahnya pemberian ASI eksklusif sehingga

dapat menambah wawasan mayarakat guna meningkatkan kualitas hidup

terkhususnya kualitas generasi penerus bangsa

1.5.3. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana


Sebagai sumber pustaka dan bahan referensi yang dapat

memberikan tambahan informasi mengenai faktor-faktor yang

berhubungan dengan rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif


1.5.4. Bagi Pemerintah dan Institusi
Sebagai bahan referensi dan acuan dalam evaluasi dan penanganan

serta pertimbangan untuk pembuatan kebijakan masalah kesehatan di

NTT, terutama masalah rendahnya pemberian ASI eksklusif.


8

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Air Susu Ibu

2.1.1. Pembentukan Air Susu Ibu

Pembentukan Air Susu Ibu (ASI) dipengaruhi oleh lingkungan hormonal

selama kehamilan. Payudara yang mampu menghasilkan susu memiliki anyaman

duktus yang semakin kecil yang bercabang dari puting payudara dan berakhir di

lobulus. Setiap lobulus terdiri dari sekelompok kelenjar mirip kantong yang

dilapisi oleh sel epitel dan menghasilkan susu yang dinamai alveolus. Susu

dibentuk oleh sel epitel dan kemudian disekresikan ke dalam lumen alveolus, lalu

dialirkan oleh duktus pengumpul susu yang membawa susu ke permukaan puting

payudara(12).

Selama kehamilan. estrogen dengan kadar tinggi mempengaruhi

perkembangan duktus, sementara progesteron merangsang pembentukan alveolus

lobulus. Perkembangan kelenjar mamaria juga dipengaruhi oleh hormon prolaktin

dan hormon chorionic somatomammotropin (hCS)(12).


9

Gambar 2.1. Anatomi Kelenjar Mammae


Sumber : Sherwood L. Introduction to Human Physiology. Ed. VIII.
Canada: Nelson Education, Ltd; 2016. 789 p

2.1.2. Komposisi ASI

ASI mengandung air sebanyak 87,5%, oleh karena itu bayi yang mendapat

cukup ASI tidak perlu lagi mendapat tambahan air walaupun berada di tempat

yang mempunyai suhu udara panas.

1. Karbohidrat
Karbohidrat utama dalam ASI adalah laktosa dan berfungsi sebagai

salah satu sumber energi untuk otak. Di dalam usus halus laktosa akan

dipecah menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim laktase. Sebagian

laktosa akan masuk ke usus besar, dimana laktosa ini akan difermentasi

oleh flora usus (bakteri baik pada usus) yaitu laktobasili. Bakteri ini akan

menciptakan keadaan asam dalam usus yang akan menekan pertumbuhan

kuman patogen (kuman yang menyebabkan penyakit) pada usus dan


10

meningkatkan absorpsi (penyerapan) kalsium dan fosfat. Kadar laktosa

yang terdapat dalam ASI hampir 2 kali lipat dibanding laktosa yang

ditemukan pada susu sapi atau susu formula. Namun angka kejadian diare

akibat tidak dapat mencerna laktosa (intoleransi laktosa) jarang ditemukan

pada bayi yang mendapat ASI. Hal ini disebabkan karena penyerapan

laktosa ASI lebih baik dibandingkan laktosa susu sapi atau susu

formula(13).
2. Protein
Kandungan protein dalam ASI dalam bentuk whey 70% dan kasein

30% dengan variasi komposisi whey : kasein adalah 90:10 pada hari ke-4

sampai 10 setelah melahirkan, 60:40 pada ASI matur (hari ke-11 sampai

240) dan 50:50 setelah hari ke-240. Pada susu sapi perbandingan whey :

kasein adalah 18:82. Protein whey tahan terhadap suasana asam dan lebih

mudah diserap sehingga akan mempercepat pengosongan lambung. Selain

itu protein whey mempunyai fraksi asam amino fenilalanin, tirosin dan

metionin dalam jumlah rendah dibanding kasein, tetapi dengan kadar

taurin lebih tinggi. Komponen utama protein whey ASI adalah alfa-

laktalbumin, sedangkan protein whey pada susu sapi adalah beta

laktoglobulin. Laktoferin, lisozim, dan sIgA merupakan bagian dari

protein whey yang berperan dalam pertahanan tubuh(14).


3. Lemak
Lemak pada ASI didapatkan pada hindmilk (susu akhir). Bayi

mendapatkan kebutuhan energinya sebagian besar dari lemak. Karena itu

penting sekali untuk membiarkan bayi menyusu pada satu payudara

sampai habis dan baru dipindahkan ke payudara satunya apabila bayi


11

masih menginginkannya. Menghentikan bayi yang sedang menyusu akan

mengurangi lemak yang didapatkan, dengan demikian bayi tidak

mendapatkan cukup energi. Kadar lemak juga dibutuhkan untuk

mendukung pertumbuhan otak yang cepat selama masa bayi. Lemak

omega 3 dan omega 6 yang berperan pada perkembangan otak bayi banyak

ditemukan dalam ASI. Selain itu, ASI juga mengandung banyak asam

lemak rantai panjang diantaranya asam arakidonat (ARA) yang berperan

terhadap perkembangan jaringan saraf dan retina mata(14).


4. Vitamin dan Mineral(14)
a) Vitamin K
Vitamin K dibutuhkan sebagai salah satu zat gizi yang

berperan dalam proses pembekuan darah. Kadar vitamin K dalam

ASI lebih sedikit dibandingkan dalam susu formula sehingga bayi

yang mendapat ASI berisiko untuk terjadinya perdarahan. Oleh

karena itu bayi baru lahir perlu mendapatkan suntikan vitamin K.


b) Vitamin D
ASI mengandung hanya sedikit vitamin D sehingga

dianjurkan pemberian ASI eksklusif ditambah dengan membiarkan

bayi terpapar sinar matahari pagi sehingga akan mencegah bayi

menderita penyakit tulang karena kekurangan vitamin D.

c) Vitamin E
Fungsi penting vitamin E adalah untuk ketahanan dinding

sel darah merah. Kekurangan vitamin E dapat menyebabkan

terjadinya kekurangan darah (anemia hemolitik). Keuntungan ASI

adalah kandungan vitamin E nya tinggi terutama pada kolostrum

dan transisi awal.


d) Vitamin A
12

Selain berfungsi untuk kesehatan mata, vitamin A juga

berfungsi untuk mendukung pembelahan sel, kekebalan tubuh, dan

pertumbuhan.
e) Vitamin yang larut dalam air
Hampir semua vitamin yang larut dalam air seperti vitamin

B, asam folat, vitamin C terdapat dalam ASI.


f) Mineral
Mineral utama yang terdapat dalam ASI adalah kalsium

yang mempunyai fungsi untuk pertumbuhan jaringan otot dan

rangka, transmisi jaringan saraf dan pembekuan darah. Zat besi

yang berasal dari ASI lebih mudah diserap yaitu 20-50%.

2.1.3. Perbedaan Komposisi ASI dan Susu Sapi


Tabel 2.1. Perbedaan komposisi ASI dan susu sapi(14,15)

Komponen ASI Susu sapi

Air, g 88 88
Laktosa, g 6,8 5,0
Protein,
- Total 1% 4% (terlalu banyak)
- Kasein 0,5% 3% (terlalu banyak)
- Laktalbumin 0,5% 0,5%
Rasio kasein : 1:2 3:1
laktalbumin
Lemak, g 3,8 3,7
Natrium, mg 15 58
Kalium, mg 55 138
Klorida, mg 43 103
Magnesium, mg 4 12
13

Fosfor, mg 15 100
Vit. A, µg 53 34
Vit. D,
0,01 0,03
- Larut dalam
lemak, µg 0,80 0,15
- Larut dalam
air, µg
Vit. C, mg 3,8 1,5
Tiamin, µg 16 42
Riboflavin, µg 43 157
Asam nikotinat, µg 172 85
Pencemaran bakteri Tidak ada antibodi Mungkin ada
Zat anti infeksi leukosit Tidak aktif
laktoferin
faktor bifidus
Asam amino sistin Cukup untuk pertumbuhan otak Tidak cukup
Lipase untuk Ada Tidak ada
mencerna
Laktosa (gula) 7% (cukup) 3-4% (tidak cukup)
Sumber : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong ed. XXII

2.1.4. Stimulasi Laktasi

1. Pelepasan oksitosin dan ejeksi susu


Susu secara aktif diperas keluar alveolus dan masuk ke duktus lalu

menuju ke arah puting payudara oleh kontraksi sel mioepitel (sel epitel

yang mirip otot polos) yang mengelilingi setiap alveolus. Pengisapan

payudara oleh bayi merangsang ujung saraf sensorik di puting,

menimbulkan potensial aksi yang naik melalui korda spinalis ke

hipotalamus. Setelah diaktifkan, hipotalamus memicu pengeluaran


14

oksitosin dari hipofisis posterior. Oksitosin kemudian merangsang

kontraksi sel mioepitel di payudara untuk menyebabkan ejeksi susu yang

hanya berlanjut selama bayi menyusu. Meskipun alveolus penuh susu,

susu tersebut tidak dapat dikeluarkan tanpa oksitosin. Namun, refleks ini

dapat terkondisi oleh rangsangan di luar isapan, misalnya tangisan bayi

dapat memicu ejeksi susu. Sebaliknya, stress psikologis dapat

menghambat ejeksi susu. Karena itu, sikap positif terhadap menyusui dan

lingkungan yang santai dapat mendukung keberhasilan proses

menyusui(12).
2. Pelepasan prolaktin dan sekresi susu
Pengisapan puting payudara ibu juga merangsang produksi

prolaktin. Pengeluaran prolaktin oleh hipofisis anterior dikontrol oleh dua

sekresi hipotalamus: prolactine inhibiting hormone (PIH) dan prolactine-

releasing hormone (PRH). Selama laktasi, setiap kali bayi mengisap

terjadi peningkatan sekresi prolaktin. Impuls-impuls aferen yang dipicu di

puting payudara oleh pengisapan dibawa oleh korda spinalis ke

hipotalamus. Refleks ini menyebabkan pelepasan prolaktin oleh hipofisis

anterior, meskipun belum jelas apakah ini disebabkan oleh inhibisi sekresi

PIH atau stimulasi PRH, atau keduanya. Prolaktin kemudian bekerja pada

epitel alveolus untuk mendorong sekresi susu untuk menggantikan susu

yang keluar(12).
Stimulasi secara bersamaan ejeksi dan produksi susu oleh isapan

memastikan bahwa kecepatan produksi susu seimbang dengan kebutuhan

bayi terhadap susu. Semakin sering bayi menyusu, semakin banyak susu
15

yang keluar melalui ejeksi dan semakin banyak susu yang diproduksi

untuk pemberian berikutnya.

Gambar 2.2. Refleks Menyusu


Sumber : Sherwood L. Introduction to Human Physiology. Ed.
VIII. Canada: Nelson Education, Ltd; 2016. 789 p

2.1.5. Teknik Menyusui yang Baik dan Benar


Keberhasilan menyusui tidak bisa lepas dari perlekatan dan posisi

menyusui yang benar. Ada beberapa tanda yang dapat dilihat bahwa

bayi melekat secara benar pada payudara(13) :


- Dagu bayi menyentuh payudara
- Mulut terbuka lebar
- Bibir bawah bayi melengkung keluar
- Pipi bulat atau datar
- Sebagian besar aerola masuk ke dalam mulut bayi, lebih banyak

aerola terlihat di bagian atas mulut bayi daripada di bawahnya.


Tanda bahwa posisi benar :
- Badan bayi rapat dan menghadap ke payudara
- Kepala dan badan bayi lurus
16

- Dagu bayi menyentuh payudara


- Badan belakang bayi ditopang
- Ibu merasa santai dan nyaman

Gambar 2.3. Posisi Menyusui yang Baik dan Benar


Sumber : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Anak di Rumah Sakit. 2009;II

2.1.6. Tanda Kecukupan ASI


Tanda kecukupan ASI harus diketahui oleh seorang ibu untuk

mencegah malnutrisi pada bayi, terutama pada bulan pertama. Tanda bahwa

bayi mendapat cukup ASI adalah(13):


1. Produksi ASI akan meningkat pada hari ke-2 sampai hari ke-4setelah

melahirkan, nampak payudara bertambah besar, berat, lebih hangat dan

seringkali ASI menetes dengan spontan.


2. Bayi menyusu 8-12 kali sehari, dengan perlekatan yang benar pada setiap

payudara dan mengisap secara teratur selama minimal 10 menit pada setiap

payudara.
17

3. Bayi akan tampak puas setelah menyusu dan seringkali tertidur pada saat

menyusu, terutama pada payudara yang kedua.


4. Frekuensi buang air kecil bayi > 6 kali sehari. Kencing berwarna jernih,

tidak kekuningan. Butiran halus kemerahan (yang mungkin berupa kristal

urat pada urin) merupakan salah satu tanda ASI kurang.


5. Frekuensi buang air besar (BAB) > 4 kali sehari dengan volume paling

tidak 1 sendok makan, tidak hanya berupa noda membekas pada popok

bayi, pada bayi usia 4 hari sampai 4 minggu. Sering ditemukan bayi yang

BAB setiap kali menyusu, dan hal ini merupakan hal yang normal.
6. Feses berwarna kekuningan dengan butiran-butiran berwarna putih susu

diantaranya, setelah bayi berumur 4 sampai 5 hari. Apabila setelah bayi

berumur 5 hari, fesesnya masih berupa mekoneum (berwarna hitam seperti

ter), atau transisi antara hijau kecoklatan, mungkin ini merupakan salah satu

tanda bahwa bayi kurang mendapat ASI.


7. Puting payudara akan terasa sedikit sakit pada hari-hari pertama

menyusui. Apabila sakit ini bertambah dan menetap setelah 5-7 hari, lebih-

lebih apabila disertai dengan lecet, hal ini merupakan tanda bahwa bayi

tidak melekat dengan baik saat menyusu.


8. Berat badan bayi tidak turun lebih dari 10% dibanding berat lahir.
9. Berat badan bayi kembali seperti berat lahir pada usia 10-14 hari setelah

lahir.

2.2. Menyusui Ekslusif

2.2.1. Definisi Menyusui Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) eksklusif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

33 Tahun 2012 adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama
18

enam bulan,tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau

minuman lain(3). Menyusui eksklusif adalah tidak memberikan bayi makanan

atau minuman lain, termasuk air putih, selain menyusui (kecuali obat-obatan

dan vitamin atau mineral tetes. ASI perah juga diperbolehkan)(4).

2.2.2. Manfaat ASI Eksklusif

1. Untuk bayi

a) Perlindungan kesehatan bayi

Menyusu eksklusif selama 6 bulan terbukti memberikan risiko

yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi (diare, infeksi saluran

napas, infeksi telinga, pneumonia, infeksi saluran kemih) dan penyakit

lainnya (obesitas, diabetes, alergi, penyakit inflamasi saluran cerna,

kanker). Zat kekebalan yang berasal dari ibu dan terdapat dalam ASI akan

ditransfer ke bayi untuk membantu mengatur respons imun tubuh melawan

infeksi(14).
b) Kesehatan saluran cerna
Keuntungan lain menyusui adalah ASI lebih mudah dicerna

dibandingkan susu formula. Di dalam ASI terkandung oligosakarida yang

tidak ditemukan pada susu sapi atau sangat sedikit sekali. Oligosakarida

dapat menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri Bifidobacteria

(bakteri baik) di dalam saluran cerna. Saluran cerna bayi yang medapat

ASI mengandung banyak bakteri Bifidobacteria dan Lactobacillus, bakteri

menguntungkan yang dapat mencegah pertumbuhan organisme yang

merugikan dan juga mempunyai efek terhadap peningkatan sistem imun

(kekebalan) tubuh(12).
19

Suasana asam yang terbentuk akibat masukan ASI merupakan

sinyal bagi pembentukan SIgA dan mucus pada permukaan saluran cerna.

Peningkatan kadar SIgA berkolerasi dengan peningkatan sistem

pertahanan saluran cerna terhadap infeksi, sedangkan mukus yang melapisi

permukaan saluran cerna berfungsi sebagai barrier agar mikroorganisme

tidak masuk ke aliran darah. Kandungan ASI akan melengkapi sistem

imun bayi yang belum sepenuhnya matang. Selain itu, ASI keluar

langsung dari payudara sehingga selalu steril dan tidak pernah

terkontaminasi oleh air dan botol tercemar yang dapat menyebabkan

penyakit(16).
c) Intelegensi bayi
Menyusu dapat berpengaruh pada perkembangan intelektual anak,

karena menyusui memberikan perlekatan erat dan rasa nyaman yang

berpengaruh terhadap perkembangnan emosi anak. Beberapa publikasi

penelitian tentang efek menyusui terhadap IQ bayi memperlihatkan bahwa

bayi yang mendapat ASI mempunyai nilai IQ 3-5 kali lebih tinggi

dibandingkan bayi yang mendapat susu formula. Makin lama bayi

menyusu, makin besar efek positif pada IQ bayi.


d) Rasa nyaman dan hangat selama menyusui

Bayi yang menyusui dapat menikmati rasa aman, kehangatan dan

keberadaan ibunya, khususnya bila terjadi ‘kontak kulit ke kulit’ selama

menyusu. Perasaan tersebut mungkin kurang diperoleh oleh bayi yang

mendapat susu botol. Ibu sesering mungkin memberikan sentuhan kasih


20

sayang kepada bayinya, karena hal tersebut merupakan sumber kehangatan

dan kenyamanan.

2. Untuk Ibu(17)

a) Ibu tidak perlu membeli susu formula, tidak perlu mensterilkan botol,

menakar dan mencampurnya


b) Ibu yang ingin berat badannya kembali seperti semula dapat terbantu

karena menyusui bayi memerlukan ekstra kalori


c) Membantu mengurangi perdarahan setelah melahirkan karena menyusui

juga merangsang uterus untuk berkontraksi kembali ke ukurannya.

Perdarahan post partum dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi

oksitosin.
d) Menyusui eksklusif selama 6 bulan juga akan meningkatkan kadar

antibodi dalam sirkulasi darah ibu sehingga mengurangi risiko terjadinya

infeksi setelah melahirkan


e) Mengurangi risiko kanker payudara, kanker ovarium, dan osteoporosis

pasca menopause
f) Sebagai satu cara kontrasepsi, karena selama menyusui ovulasi akan

tertekan sehingga kemungkinan hamil selama menyusui lebih kecil.


g) Mempererat hubungan antara ibu dan anak
3. Untuk pihak lain(17)
a) Untuk keluarga, dapat menghemat dana ratusan ribu sampai jutaan rupiah.

Mengurangi waktu yang terbuang untuk menyiapkan, mencuci dan

menghangatkan botol sebelum diberikan kepada bayi


b) Mengurangi biaya perawatan dan pengobatan akibat bayi yang diberi ASI

eksklusif lebih jarang sakit, sehingga jarang berobat ke dokter apalagi

rawat inap
21

c) Menurunkan anggaran negara untuk biaya penyakit yang sebenarnya dapat

dicegah, sehingga dana dapat digunakan oleh program lain

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif

1. Pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif


Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang. Pengetahuan ibu mengenai keunggulan ASI yang

benar akan menunjang keberhasilan menyusui. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan Siti, didapatkan bahwa responden yang

memiliki pengetahuan baik cenderung memberikan ASI eksklusif,

sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang cenderung tidak

memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,011

sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara variabel pengetahuan ibu

dengan pemberian ASI eksklusif(17).


2. Pendidikan ibu
Tingkat pendidikan dan akses ibu terhadap media massa juga

mempengaruhi pengambilan keputusan, dimana semakin tinggi pendidikan

semakin besar peluang untuk memberikan ASI eksklusif. Sebaliknya akses

terhadap media berpengaruh negatif terhadap pemberian ASI, dimana

semakin tinggi akses ibu pada media semakin tinggi peluang untuk tidak

memberikan ASI eksklusif. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar

manusia yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri. Semakin


22

tinggi tingkat pendidikan semakin mudah menerima serta

mengembangkan pengetahuan dan tehnologi juga semakin meningkatnya

produktivitas serta semakin tinggi kesejahteraan keluarganya(18). Tingkat

pendidikan formal yang tinggi memang dapat membentuk nilai-nilai

progresif pada diri seseorang, terutama dalam menerima hal-hal baru,

termasuk pentingnya pemberian ASI secara eksklusif pada bayi.


Tingkat pendidikan ibu yang rendah mengakibatkan kurangnya

pengetahuan ibu dalam menghadapi masalah, terutama dalam pemberian

ASI eksklusif. Pengetahuan ini diperoleh baik secara formal maupun

informal. Ibu yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi,

umumnya terbuka menerima perubahan atau hal-hal guna pemeliharaan

kesehatanya. Pendidikan juga akan membuat seseorang terdorong untuk

ingin tahu mencari pengalaman sehingga informasi yang diterima akan

menjadi pengetahuan(19). Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya

ibu dapat menjadi faktor yang mempengaruhi status gizi anak dalam

keluarga. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka pengetahuannya akan

gizi akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah(10).


3. Usia ibu(21,22)
Usia seseorang diukur dan dipandang dari segi kronologis, derajat

perkembangan anatomis dan fisiologis sama, usia reproduksi sehat atau

aman untuk kehamilan, persalinan dan menyusui adalah 20-35 tahun (22).

Ibu muda pada waktu hamil dianggap kurang memperhatikan

kehamilannya termasuk kontrol kehamilan serta sulit dalam beradaptasi

secara psikologis. Pada umumnya, remaja secara fisik dan psikis mampu

untuk menyusui. Tantangan yang sering dihadapi adalah gizi kurang atau
23

perawatan pranatal yang tidak adekuat, mudah dipengaruhi ibu lain yang

tidak setuju menyusui, kesulitan dalam mengatasi kebutuhannya dan

kadang membenci bayi yang lahir akibat dari pengaruh gaya hidupnya. Ibu

remaja seringkali ingin meninggalkan bayinya untuk segera kembali

sekolah(14). Hal inilah yang menyebabkan peneliti memilih variabel usia

sebagai salah satu faktor karena sebagian besar wilayah kerja Puskesmas

Oesapa mencakup daerah kost-kostan dengan mayoritasnya adalah

mahasiswa dan mahasiswi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ika Putri didapatkan

usia responden dengan kategori <20 dan >35 tahun dengan proporsi

tertingi yaitu tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 41 responden

(59,4%) dan kategori usia 20-35 tahun proporsi yang tertinggi yaitu 59

responden (50,9%) yang memberikan ASI eksklusif dengan p value =

0,175(23).

4. Pekerjaan ibu(17,25,26)
Ibu yang tidak memiliki pekerjaan atau ibu rumah tangga memiliki

kemungkinan yang lebih besar dalam keberhasilan pemberian ASI

eksklusif. Waktu yang dimiliki untuk merawat bayinya lebih banyak

dibandingkan ibu yang memiliki pekerjaan tetap. Ibu yang memiliki

pekerjaan tetap menghabiskan banyak energi pada pekerjaannya sehingga

waktu dan energy untuk merawat bayinya tidak maksimal. Salah satu

kebijakan dan strategi Departemen Kesehatan RI tentang Peningkatan

Pemberian ASI (PP-ASI) pekerja wanita adalah mengupayakan fasilitas


24

yang mendukung PP-ASI bagi ibu yang menyusui di tempat kerja dengan

menyediakan sarana ruang memerah ASI, menyediakan perlengkapan

untuk memerah dan menyimpan ASI, menyediakan materi penyuluhan

ASI, dan memberikan penyuluhan.


5. Penghasilan ibu
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kiki Anggrita,

didapatkan hasil responden dengan pemberian ASI eksklusif paling banyak

dijumpai pada ibu dengan penghasilan rendah dan sedang dan tidak

dijumpai pada pendapatan tinggi(26). Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Prisniade Pasaribu, dkk didapatkan hasil p = 0,705 dengan

� = 0,05 (p>0,05) sehingga dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan

antara pendapatan keluarga dengan pemberian ASI Eksklusif(27).


6. Status Pernikahan
Status pernikahan seseorang sangat berpengaruh pada kualitas

hidup yang dimiliki seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Purbadi dan

Sofiana membuktikan bahwa individu yang telah menikah akan meningkat

dalam kinerja kehidupan karena mempunyai pemikiran yang lebih matang

dan bijaksana(28). Hal yang sama mungkin juga terjadi terkait dengan peran

sebagai orang tua, bahwa menjadi orang tua meningkatkan pentingnya

para individu terhadap peran keluarga mereka dan semakin besar prioritas

yang para individu berikan kepada peran keluarga mereka ketika mereka

menikah dan/atau memiliki anak(29). Alasan inilah yang menyebabkan

status pernikahan ibu menjadi faktor yang berperan dalam keberhasilan

maupun kegagalan pemberian ASI eksklusif.


7. Dukungan suami
25

Salah satu hal yang menyebabkan rendahnya pemberian ASI

eksklusif adalah minimnya kepercayaan si ibu akan jumlah ASI bagi

anaknya. Disini dukungan suami dan keluarga terdekat sangat dibutuhkan

dalam membantu ibu menumbuhkan rasa kepercayaan dirinya. Suami

harus membantu sang istri merawat bayi, memberi dukungan emosional

contohnya kasih sayang kepada istri akan sangat membantu kelancaran

keluarnya ASI. Seorang ibu yang membesarkan anak tanpa suami

memiliki kesulitan yang lebih besar, khususnya pada ibu yang masih

muda(17,31).

8. Urutan kelahiran anak


Urutan kelahiran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan hasil penelitian di

negara berkembang, anak pertama cenderung tidak mendapatkan ASI

eksklusif akibat kurangnya perhatian dan waktu yang diberikan oleh ibu

dibandingkan dengan anak kedua, ketiga dan seterusnya(31).


9. Ketertarikan promosi susu formula

Iklan susu formula yang semakin marak di masyarakat

menyebabkan para ibu beralih dari ASI eksklusif. Iklan-iklan tersebut

mampu meyakinkan masyarakat bahwa susu formula lebih baik untuk

dikonsumsi dan menjadi pilihan apabila mereka mengalami kesulitan

dalam menyusui. Beberapa perusahaan bahkan memberikan susu formula

pada beberapa instansi kesehatan, petugas kesehatan dan juga para ibu

secara gratis. Berdasarkan hasil penelitian Siti Zulaikhah, responden yang

tidak tertarik terhadap promosi susu formula cenderung memberikan ASI


26

eksklusif, sedangkan responden yang tidak tertarik terhadap susu formula

cenderung tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik diperoleh p

value = 0,020 sehingga disimpulkan terdapat hubungan antara variabel

ketertarikan promosi susu formula dengan pemberian ASI eksklusif(17).

10. Tenaga kesehatan


Peran tenaga kesehatan sangat dibutuhkan dalam keberhasilan

pemberian ASI eksklusif. Tenaga kesehatan harus mengetahui kondisi ibu

secara lengkap mencakup apakah ibu boleh untuk menyusui anaknya,

apakah ada kontraindikasi menyusui. Anamnesis dan pemeriksaan

payudara yang teliti harus dilakukan, meliputi perencanaan ibu untuk

menyusui anaknya, riwayat menyusui sebelumnya, operasi/ tindakan

bedah lain pada payudara(14).


Dukungan para profesional di bidang kesehatan sangat dibutuhkan

bagi ibu, terutama primipara. Pendidikan tentang pentingnya menyusui

sudah harus diberikan sejak masa antenatal, yang dilakukan oleh semua

tenaga kesehatan baik bidan maupun dokter. Bila petugas kesehatan

menerapkan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, maka dijamin

dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dan anak, sesuai

dengan MDGs (Millenium Development Goals). Peran tenaga kesehatan di

ruang perawatan ibu dan bayi sangat besar, agar setiap bayi yang

dipulangkan harus menyusu(13).


11. Keadaan khusus(14)
a. Bayi kembar
Bayi kembar dapat disusui secara simultan atau terpisah sesuai

kebutuhan masing-masing bayi, atau bergantian. Ibu dengan bayi

kembar dua secara konsisten akan memproduksi jumlah ASI dua kali
27

lebih banyak dari jumlah ASI yang diproduksi ibu dengan bayi

tunggal.
b. Bayi prematur
ASI dari ibu yang melahirkan bayi prematur berbeda dengan ASI

dari ibu yang melahirkan bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan karena

komposisi ASI secara dinamis berubah untuk memenuhi kebutuhan

nutrisi bayi baru lahir. Selain itu ASI bayi prematur mengandung lebih

banyak sistein, taurin, lipase yang meningkatkan absorbsi lemak, asam

lemak tak jenuh rantai panjang, nukleotida dan gangliosida. Komposisi

ASI bayi prematur berubah menjadi serupa ASI bayi matur dalam

waktu 3-4 minggu.


c. Hepatitis B
Ibu dengan HbsAg positif tetap boleh memberikan ASI. Tapi, bayi

sebaiknya diberikan HbIg (Hepatitis B Imunoglobulin) 0,5 ml dan

imunisasi Hepatitis B yang pertama dengan dosis 0,5 ml diberikan

sebelum 12 jam setelah lahir.


d. Tuberkulosis dan HIV
Ibu masih boleh menyusui bayinya walaupun mengidap penyakit

tuberkulosis dan HIV positif.

2.3. Kontraindikasi Menyusui


Beberapa kontraindikasi pemberian ASI bagi bayi adalah sebagai berikut :
1. Kondisi pada bayi
a. Galaktosemia. Penyakit ini disebabkan tidak adanya enzim

galactose-1-phosphate uridyltransferase yang diperlukan untuk

mencerna galaktosa, hasil penguraian laktosa. Bentuk klasik bias

berakibat fatal, sedangkan bentuk ringan menyebabkan gagal

tumbuh dan membesarnya organ hati dan limpa. ASI mengandung


28

laktosa tinggi sehingga bayi harus disapih, diberi susu tanpa

laktosa(14).
b. Maple syrup urine disease. Penyakit ini menyebabkan tubuh tidak

dapat mencerna jenis protein leusin, isoleusin dan valine yang

terdapat pada ASI(14).


c. Fenilketonuria. Pemberian susu khusus (tanpa fenilalanin)

dianjurkan untuk diberikan berselang-seling dengan ASI pada

penyakit ini. Adapun bayi yang menderita phenylketonuria (PKU)

boleh mendapatkan ASI dengan pengawasan yang sangat ketat

terhadap kadar fenilalanin dalam darah(32).

2. Kondisi pada ibu(14)


a. Ibu dengan human immunodeficiency virus (HIV) positif
- Tidak menyusui sama sekali bila pengadaan susu formula

dapat diterima, mungkin dilaksanakan, terbeli dan memenuhi

syarat AFASS (acceptable, feasible, affordable, sustainable

dan safe).
- Bila ibu dan bayi dapat diberikan obat-obatan Anti Retroviral

(ARV) dianjurkan menyusui ekslusif sampai bayi berumur 6

bulan dan dilanjutkan menyusui sampai umur bayi 1 tahun

bersama dengan MP-ASI yang aman.


- Bila ibu dan bayi tidak mendapat ARV, maka ASI ekslusif

diberikan dengan cara diperah dan dihangatkan kemudian

diberikan sampai usia bayi 6 bulan dilanjutkan dengan susu

formula dan MP-ASI


29

b. Ibu yang terinfeksi Human T-lymphotropic Virus (HTLV) tipe 1

dan 2. Virus ini menular melalui ASI dan dihubungkan dengan

beberapa keganasan dan gangguan neurologis setelah bayi dewasa.

Bila ibu terbukti positif, dan syarat AFASS dipenuhi, tidak

dianjurkan memberi ASI.


c. Ibu yang terinfeksi cytomegalovirus (CMV) dan melahirkan bayi

premature juga tidak dapat memberikan ASI.Kontraindikasi

sementara pada seorang ibu untuk memberikan ASI adalah ibu

yang menderita.
2.4. Kebijakan Pemerintah untuk Mendukung Keberhasilan Menyusui
Seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, baik pemerintah

maupun swasta diminta menerapkan 10 Langkah Menuju Keberhasilan

Menyusui, yaitu(24) :
1. Menetapkan Kebijakan Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu yang

secara rutin dikomunikasikan kepada semua petugas


2. Melakukan pelatihan bagi petugas untuk menerapkan kebijakan

tersebut
3. Memberikan penjelasan kepada ibu hamil tentang manfaat menyusui

dan tatalaksananya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir,

sampai umur 2 tahun


4. Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 60 menit setelah

melahirkan di ruang bersalin


5. Membantu ibu untuk memahami cara menyusui yang benar dan cara

mempertahankan menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas indikasi

medis
6. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI

kepada bayi baru lahir


30

7. Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama

bayi 24 jam sehari


8. Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan

terhadap lama dan frekuensi menyusui


9. Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI
10. Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI di

masyarakat dan merujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika

pulang dari Rumah Sakit/ Rumah Bersalin/ Sarana Pelayanan

Kesehatan

2.5. Kerangka Teori

Faktor bayi : berat badan Faktor lingkungan :


Anatomi dan Hormon dan
lahir, usia kehamilan saat Dukungan suami/
fisiologi kelenjar refleks prolaktin
lahir, kelainan anatomi, keluarga, dukungan
mammae dan oksitosin
rooting reflex, swallowing tenaga kesehatan,
reflex, sucklingFaktor
reflex ibu : usia, pekerjaan,
sumber informasi,
Kebijakan Pemerintah
rawat gabung
psikologi ibu, pendidikan,
penghasilan, pengetahuan,
Produksi paritas, status pernikahan
ASI
Pemberian ASI
Eksklusif

Manfaat untuk bayi, ibu


menyusui dan pihak lain

Sumber : Teori Lawrence Green

Skema 2.1. Kerangka Teori

2.6. Hipotesis Penelitian


31

1. H0 : Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan

kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa
H1 : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
2. H0 : Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan terakhir ibu dengan

kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa
H1 : Ada hubungan antara tingkat pendidikan terakhir ibu dengan

kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa
3. H0 : Tidak ada hubungan antara usia ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa


H1 : Ada hubungan antara usia ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa


4. H0 : Tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
H1 : Ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa


5. H0 : Tidak ada hubungan antara penghasilan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
H1 : Ada hubungan antara penghasilan ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa


32

6. H0 : Tidak ada hubungan antara status pernikahan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
H1 : Ada hubungan antara status pernikahan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
7. H0 : Tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
H1 : Ada hubungan antara dukungan suami dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa


8. H0 : Tidak ada hubungan antara urutan kelahiran anak dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
H1 : Ada hubungan antara urutan kelahiran anak dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa
9. H0 : Tidak ada hubungan antara ketertarikan terhadap susu formula

dengan kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah

kerja Puskesmas Oesapa


H1 : Ada hubungan antara ketertarikan terhadap susu formula

dengan kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah

kerja Puskesmas Oesapa


10. H0 : Tidak ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan

dengan kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah

kerja Puskesmas Oesapa


33

H1 : Ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan dengan

kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen


Tingkat pengetahuan Rendahnya Cakupan
ibu mengenai ASI Pemberian ASI Eksklusif
Eksklusif
Tingkat pendidikan
terakhir ibu
Usia ibu
Pekerjaan ibu Tempat bersalin
Penghasilan ibu Penolong persalinan
Status pernikahan ibu Faktor psikologi ibu
Dukungan suami Kelainan bawaan pada bayi
Urutan kelahiran anak yang berhubungan dengan
Ketertarikan susu organ pencernaan
formula Penyakit dengan kontraindikasi
Dukungan petugas pemberian ASI
kesehatan
34

Variabel perancu

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

Skema 3.1. Kerangka Konsep

3.2. Identifikasi Variabel

Dari kerangka konsep diatas, dapat diidentifikasikan variabel-variabel

yang berhubungan dengan penelitian yaitu :

3.2.1. Variabel Independen

Variabel independen pada penelitian ini ialah tingkat pengetahuan ibu

mengenai ASI Eksklusif, tingkat pendidikan terakhir ibu, usia ibu, pekerjaan ibu,

penghasilan ibu, status pernikahan ibu, dukungan suami, urutan kelahiran anak,

ketertarikan terhadap susu formula, dukungan petugas kesehatan.

3.2.2. Variabel Dependen

Pada penelitian ini, yang merupakan variabel dependen adalah rendahnya

cakupan pemberian ASI eksklusif.


35

3.2.3. Variabel Perancu

Variabel perancu pada penelitian ini adalah tempat bersalin, penolong

persalinan, faktor psikologi, kelainan bawaan pada bayi yang berhubungan dengan

organ pencernaan, penyakit dengan kontraindikasi pemberian ASI.


36

3.3. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala

Tingkat Kemampuan ibu menjawab pertanyaan Kuesioner Nominal


1. Kurang baik, jika jawaban
pengetahuan ibu yang berhubungan dengan ASI eksklusif
benar > 70%
tentang ASI (Definisi, zat yang terkandung dalam
eksklusif ASI, manfaat ASI, penyimpanan ASI,
2. Baik, jika jawaban benar ≤
cara memperlancar menyusui, teknik
70%
menyusui)

Tingkat Pendidikan formal tertinggi yang pernah Kuesioner Nominal


1. Pendidikan rendah (tidak
pendidikan diikuti ibu
sekolah,SD-SMP)
terakhir ibu

2. Pendidikan tinggi (SMA-


Perguruan tinggi)
Usia ibu Usia ibu pada saat persalinan yang Kuesioner Nominal
1. <20 tahun atau >35 tahun
dihitung dalam tahun

2. 20 - 35 tahun
37

Pekerjaan ibu Mata pencaharian atau sesuatu yang Kuesioner Nominal


1. Bekerja
dilakukan ibu untuk mendapatkan nafkah
sebelum ibu menyusui
2. Tidak bekerja
Penghasilan ibu Setiap tambahan kemampuan ekonomis Kuesioner Nominal
1. Kurang (Kurang dari Upah
yang diterima atau diperoleh ibu yang
Minimum Provinsi yaitu < Rp.
digunakan untuk konsumsi dan keperluan
1.660.000,-)
hidup

2. Cukup (Lebih dari sama dengan


Upah Minimum Provinsi yaitu ≥
Rp. 1.660.000,-)
Status pernikahan Hubungan yang sah secara hukum Kuesioner Nominal
1. Belum menikah
ibu sebagai sepasang suami istri yang tertera
dalam akta pernikahan
2. Menikah
Dukungan suami Dorongan yang diberikan suami Kuesioner Nominal
1. Tidak mendukung
responden mengenai ASI eksklusif
meliputi pemberian nasehat serta saran
2. Mendukung
untuk pemberian ASI selama berapa
bulan
Urutan kelahiran Urutan kelahiran anak dalam keluarga Kuesioner Nominal
1. Anak pertama
anak
38

2. Bukan anak pertama


Ketertarikan susu Sikap responden terhadap iklan susu Kuesioner Nominal
1. Tertarik (skor > 2)
formula formula yang ditawarkan

2. Tidak tertarik (skor ≤ 2)


Dukungan petugas Dorongan yang diberikan petugas Kuesioner Nominal
1. Tidak mendukung
kesehatan kesehatan mengenai ASI eksklusif
(penerapan 10 langkah menuju
2. Mendukung
keberhasilan menyusui)
Pemberian ASI Pemberian ASI saja selama 0-6 bulan Kuesioner Nominal
1. Tidak ASI eksklusif
eksklusif kepada bayi tanpa tambahan cairan lain,
seperti susu formula, jeruk, madu, air, teh
2. ASI eksklusif
serta tanpa tambahan makanan padat,
kecuali vitamin dan obat
39

3.4. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan

pendekatan case-control, yaitu mengidentifikasi pasien dengan efek atau penyakit

tertentu (kasus) dan kelompok pasien tanpa kasus (kontrol) kemudian ditelusuri

faktor risikonya secara retrospektif untuk mengetahui mengapa kasus terkena

efek, sedangkan kontrol tidak(33).

Faktor Risiko (+)


Kelompok Kasus (Tidak ASI Eksklusif)

Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (+)


Kelompok Kontrol (ASI Eksklusif)

Faktor Risiko (-)

Skema 3.2. Jenis Penelitian

3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlokasi di wilayah kerja Puskesmas Oesapa, Kota Kupang,

Nusa Tenggara Timur pada bulan Agustus sampai Oktober tahun 2018.

3.6. Populasi dan sampel


3.6.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu dengan bayi berusia 7-12

bulan di wilayah kerja Puskesmas Oesapa, Kupang.


40

3.6.2. Sampel
3.6.2.1. Sampel Kasus
Sampel kasus adalah ibu yang memiliki bayi berusia 7-12 bulan yang tidak

memberikan ASI eksklusif pada anaknya yang berdomisili di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa dan bersedia ikut serta dalam penelitian

3.6.2.2. Sampel Kontrol

Sampel kontrol adalah ibu yang memiliki bayi berusia 7-12 bulan yang

memberikan ASI eksklusif pada anaknya yang berdomisili di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa dan bersedia ikut serta dalam penelitian

Sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik non probability

sampling, yaitu purposive sampling. Besar sampel dalam penelitian, baik kasus

maupun kontrol, dihitung menggunakan rumus sampel minimal pada desain studi

kasus kontrol yang diperkenalkan oleh Lemeshow, dkk yaitu :

Z 1−∝ 2 √ 2 P 2 ( 1−P 2 ) +Z 1−β √ P 1 ( 1−P 1 )+ P 2(1−P 2)}2


¿
n= P1−P2 ¿2
¿
{¿
¿

¿ P1
P1 = (¿+1) P2 =
¿ ( 1−P1 ) + P 1

Keterangan :

n = jumlah sampel minimal

Z1 - 2 = nilai Z pada derajat kepercayaan 0,05 atau 95% (1,96)


41

Z1 – β = nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kuasa (power)

sebesar diinginkan (untuk β = 0,10 adalah 1,28)

P1 = proporsi terpapar pada kelompok kasus

P2 = proporsi terpapar pada kelompok kontrol

f = perkiraan proporsi drop out (10%)

Besar OR (Odds Ratio) yang dipilih adalah 0,189 untuk faktor risiko

pengetahuan ibu terhadap pemberian ASI eksklusif di Pontianak berdasarkan

penelitian yang pernah dilakukan oleh Hendrik, dkk(34).

0,189 0,15
P1 = = 0,15 P2 = = 0,48
(0,189+1) 0,189 ( 1−0,15 ) +0,15
1,96 √ 2 x 0,48 ( 1−0,48 ) +1,28 √ 0,15 (1−0,15 ) +0,48 ( 1−0,48 ) }2
¿
2
n= 0,48−0,15 ¿
¿
{¿
¿
1,96 √ 0,96 x 0,52+1,28 √ 0,15 x 0,85+0,48 x 0,52 }2
¿
n= 0,48−0,15¿ 2
¿
{¿
¿
2
1,96 √ 0,4992+1,28 √ 0,3771 }
¿
n= 0,33¿ 2
¿
{¿
¿
1,96 x 0,706+1,28 x 0,614 ¿2
n= ¿
¿
¿
(1,38+0,78)2
n=
0,108
42

4,6656
n= = 43,44= 43
0,108

Untuk mengantisipasi sampel yang drop out maka dilakukan perkiraan jumlah

sampel tambahan yaitu :

n
n’ =
(1−f )

43
n’ =
(1−0,1)

n’ = 47,777778 dibulatkan menjadi n’ = 48

Berdasarkan perhitungan didapatkan besar sampel kasus minimal yang

dibutuhkan adalah 48 kasus. Perbandingan kelompok kasus dan kelompok

kontrol yang digunakan dalam penelitian adalah 1 : 1. Sehingga jumlah sampel

kelompok kasus yang memungkinkan adalah 48, sedangkan jumlah sampel

kelompok kontrol sebanyak 48 dengan jumlah sampel secara keseluruhan adalah

96 sampel.

3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.7.1. Kriteria Inklusi Kasus dan Kontrol

a. Ibu yang memiliki bayi berusia 7-12 bulan.

b. Ibu yang melakukan persalinan normal.

c. Subjek penelitian berdomisili dan telah tercatat di wilayah kerja

puskesmas Oesapa.
43

d. Subjek penelitian bersedia untuk diteliti dengan menandatangani lembar

persetujuan penelitian.

3.7.2. Kriteria Eksklusi Kasus dan Kontrol

a. Ibu dengan kontra indikasi pemberian ASI eksklusif pada bayi yang telah

dikonfirmasi oleh hasil pemeriksaan.

b. Ibu yang dirawat pisah dengan bayi setelah persalinan atas indikasi medis.

c. Ibu yang memiliki bayi yang lahir dengan cacat bawaan yang berhubungan

dengan kelainan pada organ pencernaan.

3.7.3. Kriteria Drop Out Kasus dan Kontrol

a. Sampel yang terpilih namun tidak dapat mengikuti penelitian karena

berbagai alasan, misalnya sedang bepergian ke luar daerah.

b. Sampel yang telah memenuhi kriteria namun menolak untuk berpartisipasi

dalam penelitian.

3.8. Alur Penelitian dan Cara Kerja

Persiapan penelitian
3.8.1 Alur Penelitian

Identifikasi subjek yang berpotensi


masuk ke dalam penelitian

Informed consent

Tidak bersedia Bersedia

Penilaian lebih lanjut

Melakukan
Tidak memenuhi Memenuhi kriteria Analisis data
pengambilan
kriteria data
44

Skema 3.3. Alur Penelitian

3.8.2. Cara Kerja

A. Instrumen Penelitian

Data yang digunakan pada penelitian ini diambil dari kuesioner dan

wawancara langsung terhadap ibu. Informasi yang dibutuhkan untuk penelitian

berupa nama ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif, usia ibu,

pekerjaan ibu, penghasilan ibu, pendidikan terakhir ibu, status pernikahan ibu,

ketertarikan terhadap susu formula, dukungan suami dan urutan kelahiran anak.

B. Prosedur kerja

1. Penelitian ini pertama-tama memasukkan surat izin ke Puskesmas Oesapa

untuk melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Oesapa. Setelah

mendapat persetujuan dari puskesmas, melakukan informed consent

terhadap ibu yang memenuhi kriteria inklusi dan akan dijadikan

responden. Setelah informed consent disetujui, peneliti mulai melakukan

pengambilan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini (nama ibu, tingkat

pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif, usia ibu, penghasilan ibu,

pekerjaan ibu, pendidikan terakhir ibu, status pernikahan ibu, ketertarikan

terhadap susu formula, dukungan suami dan urutan kelahiran anak) ke


45

dalam kuesioner dan formulir pengumpulan data, setelah semua data

terkumpul dilakukan analisis.

3.9. Analisis Data

3.9.1. Identifikasi Data


Data penelitian bersumber dari data-data dinas kesehatan, puskesmas

setempat sebagai data sekunder dan data primer diperoleh dari lokasi penelitian

melalui observasi, kuesioner dan hasil wawancara dengan subjek penelitian.

3.9.2. Jenis Pengolahan Data

3.9.2.1. Analisis Univariat


Semua variabel dianalisis untuk menjabarkan secara deskriptif mengenai

distribusi frekuensi dan proporsi masing-masing variabel yang diteliti, yaitu

tingkat pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif, usia ibu, status pernikahan ibu,

pendidikan terakhir ibu, pekerjaan ibu, dukungan suami dan ketertarikan ibu

terhadap susu formula.

3.9.2.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dgunakan untuk melihat hubungan antar variabel

independen dengan variabel dependen, apakah variabel tersebut mempunyai

hubungan yang signifikan atau hanya hubungan secara kebetulan. Dalam analisis

uji statistic yang digunakan adalah uji Chy square (X2) dengan alternatifnya yaitu

uji Fisher.
46

Kedua uji ini menggunakan batas kemaknaan alpha = 0,05 dan 95%

tingkat kepercayaan dengan ketentuan :

1) p value ≤ 0,05 berarti Ho ditolak (p value ≤ α). Uji statistik

menunjukkan adanya hubungan signifikan


2) p value > 0,05 berarti Ho diterima (p value > α). Uji statistik

menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan

3.9.2.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat digunakan untuk mencari hubungan antara banyak

variabel bebas dengan satu variabel terikat. Pemilihan analisis multivariat pada

penelitian ini yaitu analisis Regresi Logistik, karena skala pengukuran variabel

terikatnya adalah nominal.

3.10. Validitas dan Reliabilitas

Pengujian validitas dan relibialitas kuesioner tidak dilakukan lagi sebab

peneliti menggunakan kuesioner dari penelitian terdahulu yang telah dilakukan

peneliti yang serupa yang telah dimodifikasi namun tetap memuat inti dari

pertanyaan atau pernyataan yang ingin peneliti ketahui serta telah diuji validitas

dan relibialitasnya.
1. Uji Validitas
Untuk mengetahui tentang tingkat validitas instrumen telah dilakukan

uji coba responden di Kecamatan Banyubiru oleh peneliti sebelumnya

dan dihtiung dengan rumus korelasi product moment pada taraf

kepercayaan 95% atau taraf signifikan 5%. Jika r hitung lebih besar

dari r tabel atau probabilitas < 0,01, maka dapat dikatakan valid.
47

2. Uji Relibialitas
Untuk mengetahui tentang relibialitas instrumen telah dilakukan uji

coba responden di Kecamatan Banyubiru oleh peneliti sebelumnya

dan dihitung dengan rumus Cronbach’s Alpha. Jika r hitung > r tabel

maka instrument dikatakan reliabel dan jika r hitung < r tabel maka

dikatakan tidak reliabel.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah kerja Pusksmas Oesapa yang

terletak di Jalan Adi Sucipto, Oesapa, Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa

Tenggara Timur. Puskesmas Oesapa memiliki wilayah kerja seluas ± 15,31

km2 atau 8,49% dari luas Wilayah Kota Kupang (180,27 km2 ) yang terdiri

atas 1 kecamatan, 5 kelurahan, dan 40 posyandu. Kelurahan Oesapa terdiri

dari 14 posyandu, Kelurahan Oesapa Barat terdiri dari 7 posyandu,

Kelurahan Oesapa Selatan terdiri dari 3 posyandu, Kelurahan Lasiana

terdiri dari 8 posyandu, Kelurahan Kelapa Lima terdiri dari 8 posyandu.

Setiap posyandu terdiri atas 5 kader sehingga secara keseluruhan

pada Kelurahan Oesapa terdapat 65 kader, Kelurahan Oesapa Barat

sebanyak 35 kader, Kelurahan Oesapa Selatan sebanyak 13 kader,

Kelurahan Lasiana sebanyak 40 kader, dan Kelurahan Kelapa Lima


48

sebanyak 40 kader. Jumlah bayi balita yang menjadi sasaran pelayanan

berdasarkan hasil rekapitulasi bayi balita di Puskesmas Oesapa pada bulan

Agustus tahun 2018 sebanyak 3279 bayi, dengan 1721 balita laki-laki dan

1558 balita perempuan.

4.2. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran

distribusi frekuensi subjek penelitian dan distribusi proporsi kasus dan

kontrol menurut masing-masing variabel bebas (faktor risiko) yang diteliti.

4.2.1. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu

di Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan ibu dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu


No Tingkat Pengetahuan Jumlah/ N (%)
Ibu Kasus Kontrol
1 Kurang baik 30 (62,5) 21 (43,8)
2 Baik 18 (37,5) 27 (56,3)
Sumber: Data Primer

4.2.2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu di

Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu


49

No Tingkat Pendidikan Jumlah/ N (%)


Ibu Kasus Kontrol
1 Rendah 21 (43,8) 19 (39,6)
2 Tinggi 27 (56,3) 29 (60,4)
Sumber: Data Primer

4.2.3. Distribusi Responden Berdasarkan Usia Ibu di Wilayah Kerja

Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan usia ibu dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Usia Ibu


No Usia Ibu Jumlah/ N (%)
Kasus Kontrol
1 <20 tahun atau 11 (22,9) 7 (14,6)
>35 tahun
2 20-35 tahun 37 (77,1) 41 (85,4)
Sumber: Data Primer

4.2.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu di Wilayah

Kerja Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan pekerjaan ibu dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu


No Pekerjaan Ibu Jumlah/ N (%)
Kasus Kontrol
1 Bekerja 7 (14,6) 7 (14,6)
2 Tidak bekerja 41 (85,4) 41 (85,4)
Sumber: Data Primer
50

4.2.5. Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan Ibu di

Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan penghasilan ibu dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan Ibu


No Penghasilan Ibu Jumlah/ N (%)
Kasus Kontrol
1 Kurang 46 (95,8) 45 (93,8)
2 Cukup 2 (4,2) 3 (6,3)
Sumber: Data Primer
4.2.6. Distribusi Responden Berdasarkan Status Pernikahan Ibu di

Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan status pernikahan ibu dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Status Pernikahan Ibu


No Status Pernikahan Ibu Jumlah/ N (%)
Kasus Kontrol
1 Belum menikah 12 (25,0) 13 (27,1)
2 Menikah 36 (75,0) 35 (72,9)
Sumber: Data Primer

4.2.7. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Suami di

Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan dukungan suami dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Suami


No Dukungan Suami Jumlah/ N (%)
Kasus Kontrol
1 Tidak mendukung 22 (45,8) 7 (14,6)
2 Mendukung 26 (54,2) 41 (85,4)
Sumber: Data Primer
51

4.2.8. Distribusi Responden Berdasarkan Urutan Kelahiran Anak di

Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan urutan kelahiran anak dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Urutan Kelahiran Anak


No Urutan Kelahiran Jumlah/ N (%)
Anak Kasus Kontrol
1 Anak pertama 16 (33,3) 18 (37,5)
2 Bukan anak pertama 32 (66,7) 30 (62,5)
Sumber: Data Primer

4.2.9. Distribusi Responden Berdasarkan Ketertarikan Susu

Formula di Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan ketertarikan susu formula dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Ketertarikan Susu Formula


No Ketertarikan Susu Jumlah/ N (%)
Formula Kasus Kontrol
1 Tertarik 29 (60,4) 11 (22,9)
2 Tidak tertarik 19 (39,6) 37 (77,1)
Sumber: Data Primer

4.2.10. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Petugas

Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Oesapa

Distribusi responden berdasarkan dukungan petugas kesehatan

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Petugas


Kesehatan
No Dukungan Petugas Jumlah/ N (%)
Kesehatan Kasus Kontrol
1 Tidak mendukung 9 (18,8) 9 (18,8)
52

2 Mendukung 39 (81,3) 39 (81,3)


Sumber: Data Primer

4.3. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen dan variabel dependen. Analisis bivariat juga

merupakan salah satu langkah untuk melakukan seleksi terhadap variabel

yang akan masuk ke dalam analisis multivariat. Adanya hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen ditunjukkan dengan nilai p

< 0,05.

4.3.1. Hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian rendanhnya

cakupan pemberian ASI eksklusif

Tabel 4.11. Hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian rendahnya


cakupan pemberian ASI eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
Tingkat Kurang 30 (62,6) 21 (43,8)
pengetahuan baik 2,143 0,947 – 4,848 0,066
ibu
Baik 18 (37,5) 27 (56,3)
Sumber: Data Primer

Secara statistik hasil analisa uji chi square menunjukkan p = 0,066

dan OR= 2,143 dengan CI 95% = 0,947-4,848. Karena p > 0,05 artinya

tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan rendahnya

pemberian ASI eksklusif. Dari hasil penelitan ini dapat disimpulkan bahwa

H0 diterima dan H1 ditolak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan dari faktor tingkat pengetahuan ibu tetapi dilihat

bahwa ibu yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik akan cenderung
53

menyusui anaknya secara eksklusif dibandingkan ibu dengan tingkat

pengetahuan yang kurang baik.

Menurut Notoatmodjo, pengetahuan adalah hasil penginderaan

manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang

dimiliknya(35). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Arifiati yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara

pengetahuan ibu dengan pemberian ASI eksklusif (p = 0,000) (36). Semakin

tinggi tingkat pengetahuan ibu, maka semakin banyak ibu yang

memberikan ASI eksklusif. Sesuai dengan penjelasan oleh Brown bahwa

kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI menjadi salah satu penghambat

keberlangsungan pemberian ASI(37).

Berdasarkan pengalaman peneliti sewaktu melakukan penelitian,

baik ibu yang memberikan ASI eksklusif maupun tidak, masih

beranggapan bahwa ASI ibu tidak cukup/ tidak keluar sehingga ibu

memberikan makanan lain kepada bayinya yang menunjukkan bahwa ibu

yang memiliki pengetahuan rendah dan memiliki pemahaman yang kurang

baik terhadap ASI bisa menjadi penyebab ibu tidak memberikan ASI

kepada bayinya. Hal ini terjadi pada kedua kelompok penelitian, baik

kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Sedangkan faktanya, semakin

sering ibu menyusui maka hal tersebut membuat produksi ASI semakin

banyak, sehingga tidak ada alasan ibu untuk tidak memberikan ASI (38).

Adanya alasan dari ibu bahwa anaknya terus menangis adalah pertanda

bahwa anak belum cukup kenyang hanya dengan diberikan ASI juga
54

merupakan salah satu pendapat terbanyak yang peneliti temukan.

Faktanya, kondisi bayi menangis bukan hanya karena lapar, namun ada hal

lain yang bisa membuatnya menangis seperti karena keadaan tidak

nyaman, tidak aman dan karena sakit.

4.3.2. Hubungan pendidikan terakhir ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif

Tabel 4.12. Hubungan pendidikan terakhir ibu dengan kejadian rendahnya


pemberian ASI eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
Pendidikan Rendah 21 (43,8) 19 (39,6)
terakhir ibu 1,187 0,527-2,675 0,836
Tinggi 27 (56,3) 29 (60,4)

Sumber: Data Primer

Secara statistik hasil analisa uji chi square menunjukkan p = 0,836

dan OR= 1,187 dengan CI 95% = 0,527-2,675. Karena p > 0,05 artinya

tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan rendahnya

pemberian ASI eksklusif. Dari hasil penelitan ini dapat disimpulkan bahwa

H0 diterima dan H1 ditolak.

Pendidikan adalah suatu usaha terencana untuk mewujudkan

proses belajar dan pembelajaran agar peserta didik aktif dalam

mengembangkan kemampuan dirinya yang berguna bagi dirinya maupun


55

orang lain(39). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Soraya, dkk bahwa tingkat pendidikan ibu tidak berhubungan dengan

rendahnya pemberian ASI eksklusif (p = 0,225) (42). Hasil yang dicapai

setiap individu yang menjalani pendidikan formal berbeda-beda, baik

kualitas, maupun kuantitas, sehingga akan mempengaruhi dan membentuk

cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan

kepribadiannya. Pendidikan formal berperan cukup penting dalam

meningkatkan derajat kehidupan masyarakat pada umumnya dan ibu

menyusui pada khususnya, tetapi kurangnya dukungan serta informasi

yang benar terkait manfaat ASI dan tata cara menyusui yang benar dapat

menjadi faktor penghambat pemberian ASI eksklusif meskipun ibu telah

memiliki pendidikan formal yang tinggi.(44,45)

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang

sebelumnya yang dilakukan oleh Jannah yaitu bahwa ibu yang memiliki

tingkat pendidikan tinggi mempunyai sikap yang tinggi dalam pemberian

ASI eksklusif (p = 0,004)(40). Tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat

membentuk nilai-nilai progresif pada diri seseorang, terutama dalam

menerima hal-hal baru, termasuk pentingnya pemberian ASI secara

eksklusif pada bayi. Namun, ibu dengan pendidikan yang tinggi sebagian

besar bekerja di luar rumah sehingga bayi akan ditinggalkan di rumah di

bawah asuhan orang kemungkinan terjadi kesalahan pemberian makanan

dapat memengaruhi pemberian ASI eksklusif(41).


56

4.3.3. Hubungan usia ibu dengan kejadian rendahnya pemberian ASI

eksklusif

Tabel 4.13. Hubungan usia ibu dengan kejadian rendahnya pemberian ASI
eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
Usia <20 tahun 11 (29,9) 7 (14,6)
Ibu atau >35
tahun 1,741 0,611- 0,433
0,666
20-35 37 (77,1) 41 (85,4)
tahun
Sumber: Data Primer

Secara statistik hasil analisa uji chi square menunjukkan p = 0,433

dan OR = 1,741 dengan CI = 0,611-0,666. Karena p > 0,05 artinya tidak

ada hubungan antara usia ibu dengan rendahnya pemberian ASI eksklusif.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa H 0 diterima dan H1

ditolak.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak hanya ibu yang

berumur <20 atau >35 tahun saja yang tidak memberikan ASI eksklusif,

akan tetapi ibu yang berusia 20-35 tahun juga berpeluang tidak

memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Hasil ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Arifiati Nurce (p = 0,487) (36). Hasil ini juga

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jannah pada 2015 yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia ibu dan

pemberian ASI eksklusif (p = 0,263)(40).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Soimah di Puskesmas Cilacap

pada 2015 justru menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan dengan
57

pemberian ASI eksklusif berdasarkan usia ibu (p = 0,056). Didapatkan

hasil bahwa ibu yang berada pada usia produktif (20-35 tahun) lebih

cenderung tidak memberikan ASI eksklusif, dan ibu dengan risiko tinggi

(>35 tahun) lebih cenderung berhasil yang sependapat dengan pernyataan

bahwa ibu yang berumur kurang dari 35 tahun belum memiliki

pengetahuan yang banyak tentang ASI eksklusif, sedangkan ibu yang

berusia lebih dari 35 tahun lebih unggul dalam pengalaman pemberian ASI

eksklusif(45).

Menurut Roesli, usia 20-35 tahun merupakan rentang usia yang

aman untuk bereproduksi dan pada umumnya ibu pada usia tersebut

memiliki kemampuan laktasi yang lebih baik dibandingkan ibu yang

berumur lebih dari 35 tahun(46). Ibu yang berumur kurang dari 20 tahun

masih belum matang dan belum siap secara jasmani dan sosial dalam

menghadapi kehamilan, persalinan serta dalam membina bayi yang

dilahirkan. Umur lebih dari 35 tahun dianggap berbahaya, sebab baik alat

reproduksi maupun fisik ibu sudah jauh berkurang dan menurun, dan bisa

menjadi risiko bawaan pada bayinya dan mengakibatkan kesulitan pada

kehamilan, persalinan dan nifas.

Hubungan faktor usia dengan pemberian ASI eksklusif yang tidak

bermakna juga dikarenakan faktor usia bukan menjadi satu-satunya

variabel yang berhubungan dengan perilaku pemberian ASI ekslusif.

Sehingga meskipun menurut usianya seorang ibu sudah siap untuk


58

menyusui, tetapi tidak didukung dengan faktor lainnya maka pemberian

ASI eksklusif tetap tidak diberikan.

4.3.4. Hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian rendahnya pemberian ASI

eksklusif

Tabel 4.14. Hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian rendahnya pemberian ASI
eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
Pekerjaa Bekerja 7 (14,6) 7 (14,6)
n ibu 1,000 0,322-3,107 1,000
Tidak 41 (85,4) 41 (85,4)
bekerja
Hasil uji Chi-Square tidak memenuhi syarat karena ada sel dengan
Sumber: Data Primer

frekuensi harapan < 5 dan > 20% keseluruhan sel, maka dilanjutkan dengan

uji Fisher’s exast test diperoleh nilai p-value sebesar 1,000 karena nilai p-

value (1,000) > Alpha (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara faktor penghasilan ibu dengan rendahnya pemberian ASI

eksklusif. Dari hasil penelitan ini dapat disimpulkan bahwa H0 diterima dan

H1 ditolak.

Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kyi didapatkan hasil

bahwa pekerjaan seorang ibu memiliki hubungan signifikan dengan

pemberian ASI eksklusif (p = 0,010) (47). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa ibu yang tidak memiliki pekerjaan lebih sering memberikan

makanan tambahan kepada bayi yang berumur di bawah 6 bulan. Hasil

yang sama juga diperoleh Arifiati yang bermakna secara statistik

(p=0,000). Berdasarkan penelitiannya, didapatkan hasil bahwa ibu yang

bekerja lebih cenderung tidak menyusui bayinya secara eksklusif


59

dikarenakan ibu yang memiliki pekerjaan akan cenderung sering

meninggalkan bayinya, sedangkan ibu yang tidak bekerja lebih

mempunyai kesempatan untuk menyusui bayinya(36).

Hal ini tidak sejalan dengan hasil dari penelitian yang telah

dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Oesapa yang menyimpulkan bahwa

tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan rendahnya pemberian ASI

eksklusif. Ibu yang bekerja memiliki kemungkinan tidak memberikan ASI

eksklusif dikarenakan waktu untuk merawat bayinya lebih sedikit akibat

kurangnya masa cuti, dibatasi jam kerja, dan kelelahan fisik. Sebenarnya

apabila ibu bekerja masih bisa memberikan ASI eksklusif dengan cara

memompa atau dengan memerah ASI, lalu kemudian disimpan dan

diberikan pada bayinya nanti.

Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa ibu yang tidak

bekerja walaupun memiliki lebih banyak waktu bersama anaknya tapi

tidak memberikan ASI secara eksklusif. Ibu yang tidak bekerja sering

beralasan bahwa banyaknya pekerjaan rumah yang menguras waktu dan

tenaga menyebabkan ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif. Hal ini

membuktikan bahwa pekerjaan ibu bukan satu-satunya faktor yang

mempengaruhi pemberian ASI eksklusif.

4.3.5. Hubungan penghasilan ibu dengan kejadian rendahnya pemberian ASI

eksklusif

Tabel 4.15. Hubungan penghasilan ibu dengan kejadian rendahnya


pemberian ASI eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
60

Penghasilan Kurang 46 (95,8) 45 (93,8)


ibu 1,533 0,245-9,614 1,000
Cukup 2 (4,2) 3 (6,3)
Sumber: Data Primer

Secara statistik hasil analisa uji chi square menunjukkan p = 1,000

dan OR= 1,533 dengan CI 95% = 0,245-9,614. Karena p > 0,05 artinya

tidak ada hubungan antara penghasilan ibu dengan rendahnya pemberian

ASI eksklusif. Dari hasil penelitan ini dapat disimpulkan bahwa H 0

diterima dan H1 ditolak.

Keduanya memiliki peluang yang sama untuk tidak memberikan

ASI eksklusif, berkaitan dengan faktor pekerjaan ibu dimana ibu dengan

penghasilan tinggi cenderung tidak memberikan ASI secara eksklusif dan

mampu membeli susu formula, sedangkan ibu dengan penghasilan rendah

seharusnya lebih berpeluang memberikan ASI eksklusif kepada bayi, akan

tetapi dalam penelitian ini masih banyak ibu dengan penghasilan yang

kurang justru tidak memberikan ASI eksklusif. Ibu dengan penghasilan

rendah harus bekerja di luar rumah untuk menambah penghasilan keluarga

sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menyusui dan memilih

makanan minuman tambahan sebagai pendamping ASI.

Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kyi

di Myanmar bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risiko

penghasilan ibu dengan rendahnya pemberian ASI eksklusif (p = 0,001).

Hasil yang didapat menunjukan bahwa ibu yang memiliki pendapatan

tinggi cenderung lebih sering menyusui bayinya dibandingkan ibu dengan

pendapatan rendah (OR = 4,2)(47).


61

4.3.6. Hubungan status pernikahan ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif

Tabel 4.16. Hubungan status pernikahan ibu dengan kejadian rendahnya


pemberian ASI eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
Status Belum 12 (25,0) 13 (27,1)
pernikahan ibu menikah 0,897 0,360-2,234 1,000

Menikah 36 (75,0) 35 (72,9)


Sumber: Data Primer

Secara statistik hasil analisa uji chi square menunjukkan p = 1,000

dan OR = 0,897 dengan CI = 0,360-2,234. Karena p > 0,05 artinya tidak

ada hubungan antara usia ibu dengan rendahnya pemberian ASI eksklusif.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa H 0 diterima dan H1

ditolak.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pailos,

dkk bahwa status pernikahan seorang ibu tidak memengaruhi pemberian

ASI eksklusif (p = 0,915)(48). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Kyi, yang menunjukkan bahwa status pernikahan seorang

ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan rendahnya pemberian ASI

eksklusif (p = 0,001)(47).

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan

bahwa baik ibu yang belum ataupun sudah menikah tidak berpengaruh

dalam pemberian ASI eksklusif. Ibu yang belum menikah kekurangan

dukungan sosial untuk melanjutkan pemberian ASI eksklusif, kurangnya

dukungan dari suami menyebabkan kegagalan ASI eksklusif dimana ibu


62

yang menyusui biasanya sering merasa tertekan stelah melahirkan

misalnya akbat permasalah dalam menyusui (ASI kurang, keluar hanya

sedikit).

Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa walaupun ibu sudah

menikah tidak menjamin apakah ibu akan memberikan ASI eksklusif atau

tidak, sehingga disimpulkan bahwa sudah menikah atau belum menikah

tidak menjadi persoalan utama dalam hal pemberian ASI eksklusif.

4.3.7. Hubungan dukungan suami dengan kejadian rendahnya pemberian

ASI eksklusif

Tabel 4.17. Hubungan dukungan suami dengan kejadian rendahnya


pemberian ASI eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
Dukunga Tidak 22 (45,8) 7 (14,6)
n suami mendukung 4,959 1,856-13,235 0,001

Mendukung 26 (54,2) 41 (85,4)


Sumber: Data Primer

Secara statistik hasil analisa uji chi square menunjukkan p = 0,001

dan OR= 4,959 dengan CI 95% = 1,856-13,235. Karena p < 0,05 artinya

ada hubungan antara faktor dukungan suami dengan rendahnya pemberian

ASI eksklusif. Dari hasil penelitan ini dapat disimpulkan bahwa H 0

diterima dan H1 ditolak. Nilai OR > 1 artinya variabel dukungan suami

merupakan faktor risiko rendahnya pemberian ASI eksklusif.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan

Rumiati pada 2017 bahwa dukungan suami berpengaruh pada sikap ibu

dalam memberikan ASI eksklusif (p=0,009)(49). Dukungan suami dalam


63

bentuk apapun akan memengaruhi keadaan emosional ibu yang kemudian

berdampak pada produksi ASI. Menurut Roesli, suami dapat berperan aktif

dalam pemberian ASI dengan cara memberikan dukungan emosional atau

praktis lainnya. Keberhasilan ibu tidak lepas dari peran serta keluarga.

Semakin besar dukungan yang didapatkan ibu untuk terus menyusui

bayinya secara eksklusif maka semakin besar pula kemampuan ibu untuk

terus bertahan menyusui bayinya(46). Hal ini akan mempengaruhi

kelancaran refleks pengeluaran ASI, karena dipengaruhi oleh perasaan dan

emosi ibu yang tenang, tenteram dan nyaman akibat dukungan dari orang

terdekat(50).

Hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa dukungan pasangan

sangat mempengaruhi keberhasilan ASI eksklusif. Dukungan yang

diberikan tidak hanya diberikan sewaktu bayi tersebut telah lahir, tetapi

dukungan pasangan atau suami bisa dilihat sejak bayi masih dalam

kandungan, misalnya dengan mengantar ibu saat pelayanan Antenatal care

(ANC), menyiapkan keperluan bayi bersama dengan sang ibu, mengikuti

kelas prenatal untuk belajar tentang menyusui dan bagaimana memberikan

dukungan setelah lahir kepada istri, dan memastikan bahwa istri mendapat

istirahat yang cukup(51).

Dukungan suami juga turut berperan penting dalam mengingatkan

dan memberitahukan ibu tentang informasi dalam pemberian ASI

eksklusif, menyediakan materi yang dapat memberikan pertolongan

langsung seperti pemberian uang, barang, makanan serta pelayanan, serta


64

yang paling penting adalah dukungan dari suami mampu membantu secara

psikologis menstabilkan emosi dan pengendalian diri ibu dengan cara

memberikan motivasi dan peranan dalam mendengarkan semua keluhan-

keluhan masalah yang sedang dihadapinya(51).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa masih banyaknya ibu

yang tidak memberikan ASI eksklusif meskipun mendapat dukungan

suami dalam pemberian ASI eksklusif yaitu sebanyak 26 orang (54,2%).

Hal ini bisa terjadi karena faktor lainnya, misalnya ibu yang beranggapan

bahwa bayi yang rewel dan menangis diakibatkan bayi tersebut masih

lapar sehingga pemberian MP-ASI sejak bayi kurang dari 6 bulan dapat

terjadi. Kegagalan proses pemberian ASI eksklusif juga bisa disebabkan

oleh suami disebabkan karena adanya dorongan dari suami untuk

memberikan makanan pengganti ASI ketika bayi menangis yang timbul

karena sang ayah merasa kasihan melihat bayinya terus menangis dan

menyimpulkan bahwa bayi masih lapar, sehingga akhirnya meminta sang

ibu untuk memberikan susu formula sebagai pendamping ASI.

4.3.8. Hubungan urutan kelahiran anak dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif

Tabel 4.18. Hubungan urutan kelahiran anak dengan kejadian rendahnya


pemberian ASI eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
Urutan Anak 16 (33,3) 18 (37,5)
kelahiran pertama 0,833 0,361-1,926 0,831
anak
Bukan anak 18 (37,5) 30 (62,5)
pertama
Sumber: Data Primer
65

Secara statistik hasil analisa uji chi square menunjukkan p = 0,831

dan OR= 0,833 dengan CI 95% = 0,361-1,926. Karena p > 0,05 artinya

tidak ada hubungan antara faktor urutan kelahiran anak dengan rendahnya

pemberian ASI eksklusif. Dari hasil penelitan ini dapat disimpulkan bahwa

H0 ditolak dan H1 diterima.

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa urutan kelahiran anak

baik yang pertama maupun bukan tidak memiliki perbedaan yang

signifikan dalam hal pemberian ASI eksklusif, ini berarti pengalaman

menyusui anak sebelumnya yang dimiliki responden tidak berpengaruh

terhadap pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dlakukan oleh Lestari Andhi yang menunjukkan tidak ada

pengaruh yang signifikan urutan kelahiran anak terhadap pemberian ASI

eksklusif (p = 1,000)(45) dan dengan penelitian terdahulu oleh Pailos yang

menunjukkan bahwa adanya hubungan antara faktor urutan kelahiran anak

dengan pemberian ASI eksklusif (p = 0,024)(48). Wanita yang baru pertama

kali menyusui biasanya selalu berfikir akan risiko dan masalah menyusui

atau penghentian menyusui di awal dibandingkan dengan wanita yang

sudah pernah menyusui sebelumnya(40).

Ibu yang memiliki anak lebih dari satu sudah memiliki pengalaman

dalam menyusui bayinya dan ibu yang memiliki pengalaman yang baik

dalam menyusui pada anak pertama maka akan menyusui secara benar

pada anak selanjutnya. Namun jika pada anak pertama ibu tidak

memberikan ASI ekslusif dan ternyata anaknya tetap sehat, maka untuk
66

anak selanjutnya ibu merasa bahwa anak tidak harus diberi ASI ekslusif.

Kemungkinan ibu yang baru memiliki anak pertama tidak mampu

memberikan ASI eksklusif disebabkan karena belum mempunyai

pengalaman dalam hal kehamilan ,persalinan, menyusui dan merawat

bayinya sehingga cenderung memberikan makanan dan minuman lain

selain ASI lebih dini, tetapi berdasarkan hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara anak

pertama dan bukan anak pertama dalam pemberian ASI eksklusif maka

disimpulkan bahwa urutan lahir serta pengalaman seorang ibu bukan satu-

satunya faktor yang menyebabkan rendahnya pemberian ASI eksklusif.

4.3.9. Hubungan ketertarikan terhadap susu formula dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif

Tabel 4.19. Hubungan ketertarikan terhadap susu formula dengan kejadian


rendahnya pemberian ASI eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
Ketertarikan Tertarik 29 (60,4) 19 (39,6)
terhadap susu 5,314 2,114-12,471 0,000
formula Tidak 11 (22,9) 37 (77,1)
tertarik
Sumber: Data Primer

Secara statistik hasil analisa uji chi square menunjukkan p = 0,000

dan OR= 5,314 dengan CI 95% = 2,114-12,471. Karena p < 0,05 artinya

ada hubungan antara ketertarikan terhadap susu formula dengan

rendahnya pemberian ASI eksklusif. Dari hasil penelitan ini dapat

disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Nilai OR > 1 artinya faktor

ketertarikan terhadap susu formula yang diteliti merupakan faktor risiko.


67

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu bahwa

ketertarikan susu formula berhubungan dengan rendahnya pemberian ASI

eksklusif (p = 0,001)(36). Pemberian susu formula kepada bayi pada usia di

bawah 6 bulan menjadi salah satu penyebab terbanyak tidak diberikannya

ASI ekslusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa. Rendahnya cakupan

pemberian ASI eksklusif disebabkan oleh promosi susu formula yang

sangat gencar dilakukan, sehinggga menjadi stimulus bagi ibu untuk lebih

memilih memberikan susu formula dibandingkan ASI(53).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 39

tahun 2013 pasal 6 sudah tertera bahwa pemberian susu formula pada bayi

usia 0-6 bulan hanya diberikan apabila ada indikasi medis, ibu tidak ada

atau ibu yang terpisah dari bayinya. Promosi susu formula juga tidak boleh

diiklankan secara sembarangan. Hal-hal yang berhubungan dengan

promosi dan iklan susu formula diatur dalam Permenkes No. 39 tahun

2013 Pasal 20, yang berbunyi(54) :

1. Susu formula bayi hanya dapat diiklankan oleh produsen dan/ atau

distributor pada media cetak khusus tentang Kesehatan.

2. Materi iklan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus

memuat keterangan bahwa susu formula bayi hanya dapat

diberikan atas keadaan tertentu sebagaimana dimaksud serta

keterangan bahwa ASI adalah makanan terbaik untuk bayi.


68

3. Materi iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib

memperoleh izin Menteri.

4. Tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dengan mengajukan surat permohonan izin kepada Menteri melalui

Direktorat Jenderal yang membidangi urusan gizi sekurang-

kurangnya 30 hari sebelum tanggal diedarkan, dengan

melampirkan:

a. Contoh media cetak khusus tentang kesehatan

b. Materi iklan; dan

c. Mencantumkan tanggal, bulan dan tahun terbitnya iklan.

Produsen atau distributor susu formula bayi juga dilarang

melakukan promosi susu formula bayi dan produk bayi lainnya, baik

melalui pemberian secara cuma-cuma, menjual atau menawarkan, maupun

dengan penggunaan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan, dan fasilitas

pelayanan kesehatan juga dilarang melakukan promosi susu formula bayi

dengan cara apapun(54). Semua hal tersebut sudah diatur dengan jelas pada

Permenkes, namun pada kenyataannya masih banyak ibu yang

memberikan susu formula pada anak dengan usia 0-6 bulan.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, banyak ibu yang

tertarik pada susu formula melalui iklan di televisi walaupun iklan yang

ditayangkan adalah pemberian susu formula pada bayi usia 6 bulan ke

atas. Hal ini bisa saja terjadi diakibatkan ibu yang kurang pengetahuan dan
69

kurang kritis dalam menanggapi iklan di televisi, ibu yang sibuk bekerja

sehingga lebih memilih susu formula dibandingkan ASI eksklusif agar

lebih praktis, dan ibu yang memang menghindari pemberian ASI eksklusif

dengan alasan kosmetik(54). Menurut pengakuan para ibu, bayi yang pernah

diberikan susu formula dengan berbagai alasan akan menjadi tidak

semangat dan terus menangis ketika kembali diberikan ASI.

4.3.10. Hubungan dukungan petugas kesehatan dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif

Tabel 4.20. Hubungan dukungan petugas kesehatan dengan kejadian


rendahnya pemberian ASI eksklusif
Kasus Kontrol
N (%) N (%) OR CI 95% p
Dukungan Tidak 9 (18,8) 9 (18,8)
petugas mendukung 1,000 0,359-2,787 1,000
kesehatan Mendukung 39 (81,3) 39 (81,3)
Sumber: Data Primer

Secara statistik hasil analisa uji chi square menunjukkan p = 1,000

dan OR= 1,000 dengan CI 95% = 0,359-2,787. Karena p > 0,05 artinya

tidak ada hubungan antara faktor dukungan petugas kesehatan dengan

rendahnya pemberian ASI eksklusif. Dari hasil penelitan ini dapat

disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima.

Berdasarkan hasil penelitian, baik pada kelompok kasus maupun

kelompok kontrol mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan dalam

hal pemberian ASI eksklusif yang sama. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari Andhi, dukungan tenaga


70

kesehatan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemberian

ASI eksklusif (p = 0,513)(45). Disimpulkan bahwa pemberian ASI eksklusif

tidak bisa berjalan apabila dukungan dari petugas kesehatan selalu

diberikan tetapi dalam diri ibu sendiri tidak ada motivasi yang turut

mendukung, maka hal ini bisa saja menjadi penyebab gagalnya pemberian

ASI eksklusif.

Peran petugas kesehatan sangat penting dalam melindungi,

meningkatkan, dan mendukung usaha menyusui, sesuai dengan hasil

analisis oleh penelitian terdahulu bahwa dukungan petugas kesehatan

memiliki hubungan yang signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif (p =

0,015) walaupun tidak dapat dipungkiri pengetahuan dan pengalaman

sendiri maupun yang diperoleh dari berbagai sumber dapat mempengaruhi

perilaku pemberian ASI eksklusif(36).

Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi di wilayah kerja

Puskesmas Oesapa, bahwa berdasarkan informasi dari para petugas

kesehatan telah dilakukan upaya-upaya promosi kesehatan untuk

meningkatkan pemberian ASI eksklusif di wilayah tersebut, misalnya

dengan melakukan penyuluhan terkait ASI eksklusif di Posyandu dan

penjelasan mengenai pemberian MP-ASI kepada para ibu. Ibu yang sudah

memberikan MP-ASI pada usia dua atau tiga bulan menyebabkan banyak

bayi yang mengalami diare akibat kemampuan pencernaan bayi belum siap

menerima makanan tambahan(55). Penyuluhan terkait ASI eksklusif juga

biasanya dilakukan oleh petugas gizi setiap bulan Agustus tiap tahunnya,
71

namun nyatanya walaupun telah didukung oleh petugas kesehatan tetap

tidak memberikan hasil yang signifikan antara ibu yang memberikan ASI

eksklusif dan tidak memberikan ASI secara eksklusif.

Tabel 4.21. Rangkuman hasil analisis bivariat hubungan antara variabel

bebas dengan rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif

No Faktor Risiko OR 95% CI Nilai p


1 Pengetahuan ibu 2,143 0,947-4,848 0,102
2 Pendidikan terakhir ibu 1,187 0,527-2,675 0,836
3 Usia ibu 1,741 0,611-4,960 0,433
4 Pekerjaan ibu 1,000 0,322-3,107 1,000
5 Penghasilan ibu 1,533 0,245-9,614 1,000
6 Status pernikahan 0,897 0,360-2,234 1,000
7 Dukungan suami 4,956 1,856-13,235 0,001
8 Urutan kelahiran anak 0,833 0,361-1,926 0.831
9 Ketertarikan terhadap susu formula 5,134 2,114-12,471 0,000
10 Dukungan petugas kesehatan 1,000 0,359-2,787 1,000

4.4.Analisis Multivariat

Variabel yang dijadikan kandidat dalam uji regresi logistik adalah variabel

yang dalam analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25. Pada hasil analisis bivariat

hanya didapatkan 2 faktor yang nilai p < 0,25 yaitu ketertarikan terhadap susu

formula dan dukungan suami sehingga tidak dilanjutkan lagi ke uji regresi

logistik.
72

4.5. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tidak dapat mengendalikan salah satu faktor perancu yaitu

faktor psikologi ibu sewaktu melahirkan, dimana hal ini juga berperan dalam

pemberian ASI eksklusif segera setelah bayi lahir. Keadaan psikologi ibu yang

harus diteliti secara retrospektif menyebabkan peneliti khawatir akan terjadi bias

sehingga faktor ini tidak diteliti.


73

BAB 5

PENUTUP

5.1. Simpulan

Hasil penelitian tentang Analisis faktor risiko rendahnya pemberian Air

Susu Ibu (ASI) Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa.

2. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan terakhir ibu dengan

kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa.
3. Tidak ada hubungan antara usia ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa.


4. Tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa.


5. Tidak ada hubungan antara penghasilan ibu dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa.


6. Tidak ada hubungan antara status pernikahan ibu dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa.


74

7. Ada hubungan antara dukungan suami dengan kejadian rendahnya

pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa.


8. Tidak ada hubungan antara urutan kelahiran anak dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa.


9. Ada hubungan antara ketertarikan terhadap susu formula dengan

kejadian rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Oesapa.
10. Tidak ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan dengan kejadian

rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa.

5.2. Saran

5.2.1. Bagi Puskesmas

1. Hasil penelitian ini kiranya dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi

dalam melakukan perbaikan sekaligus meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan, khususnya dalam bidang gizi dan pemberian ASI eksklusif,

seperti meningkatkan kegiatan-kegiatan promosi kesehatan terkait manfaat

dan keuntungan pemberian ASI eksklusif dibandingkan dengan susu

formula, misalnya dengan pembuatan poster, leaflet dan penyuluhan

langsung ke posyandu-posyandu.
2. Perlu adanya evaluasi dan monitoring terkait kegiatan pemberian susu

formula oleh para ibu agar pemberiannya dibatasi dan tepat sasaran dalam

di wilayah kerja Puskesmas Oesapa misalnya dengan meningkatkan

kinerja dan kerja sama yamg terintegritas dengan Kelompok Pendukung

ASI di lingkungan masyarakat, di organisasi-organisasi kecil yang

berkembang di masyarakat, misalnya kelompok-kelompok arisan.


5.2.2. Bagi ibu dan keluarga
75

1. Ibu perlu aktif melakukan konsultasi selama masa kehamilan dan

memahami betul informasi terkait menyusui dan pentingnya pemberian

ASI eksklusif.
2. Perlu adanya dukungan dari keluarga terutama dukungan dari suami

dengan terus mendampingi ibu selama konsultasi kehamilan, sehingga

dapat terus memberikan dukungan kepada ibu untuk memberikan ASI

eksklusif setelah kelahiran bayi.


5.2.3. Bagi Pemerintah
1. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini diperlukan

adanya pengawasan atas kepatuhan kebijakan dan peraturan yang telah

dibuat mengenai promosi susu formula dan tindak tegas apabila pemberian

susu formula lebih diutamakan dibandingkan ASI eksklusif tanpa adanya

indikasi medis.
2. Adanya upaya dari pemerintah, khususnya dari Dinas Kesehatan Provinsi

NTT dan Kota Kupang serta pemerintah daerah khususunya wilayah

Oesapa terkait promosi-promosi kesehatan terutama dalam

mempromosikan ASI eksklusif guna memberikan pengetahuan dan

wawasan bagi para ibu dengan salah satu upaya yaitu mendatangkan para

peneliti yang telah mendapatkan hasil penelitian dan memaparkan secara

rinci mengenai kondisi kesehatan terkait rendahnya pemberian ASI

eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Oesapa kepada para aparat dan

masyarakat sehingga bisa di tindaklanjuti.


5.2.4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini

diharapkan agar penelitian selanjutnya dapat menganalisis faktor-faktor

lainnya yang belum diteliti yang mungkin dapat berhubungan dengan


76

pemberian ASI eksklusif dengan desain studi yang berbeda, instrumen

yang lebih lengkap dan jumlah sampel yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA

1. UNICEF,2011.Breastfeeding.http: //www.unicef.org/nutrition/index 24824.


html. [diakses 11 Mei 2018].
2. Dedi Alamsyah, Marlenywati HR. Hubungan Antara Kondisi Kesehatan
Ibu, Pelaksanaan Imd, Dan Iklan Susu Formula Dengan Pemberian Asi
Eksklusif. Pontianak: Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Muhammadiyah Pontianak; 2017.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. profil Kesehatan Indonesia.
Vol. 70, Kementerian Kesehatan. 2016. 1780-1790 p.
4. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis ASI Eksklusif. Jakarta
Selatan: Kementerian Kesehatan RI; 2014. 1-8 p.
5. World Health Organization. Exclusive breastfeeding for six months best for
babies everywhere [Internet]. Exclusive breastfeeding for six months best
for babies everywhere. 2011 [cited 2018 Feb 4]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/news/statements/2011/breastfeeding_2011
77

0115/en/
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas ) Tahun 2010. 2010;
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data dan Informasi Profil
Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta; 2016.
8. Priyono R, Kes M. EDITORIAL PROFIL KESEHATAN Penanggung
Jawab : | Profil Kesehatan Kota Kupang Tahun 2016. 2016;
9. Kurniawan B. Determinan Keberhasilan Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif.
Lamongan: Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan; 2013;27(4):236–40.
10. Nasution SI, Liputo NI. Artikel Penelitian Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Pola Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Bungus
Tahun 2014. 2016;5(3):635–9.
11. Sriningsih I. Faktor Demografi, Pengetahuan Ibu Tentang Air Susu Ibu Dan
Pemberian Asi Eksklusif. Semarang: Keperawatan Semarang Poltekkes
Kemenkes; 2011;6(2):100–6.
12. Sherwood L. Introduction to Human Physiology. Ed. VIII. Canada: Nelson
Education, Ltd; 2016. 789 p.
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Nutrisi dan Penyakit Metabolik.
Ed. I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011.
14. Suradi, Raulina dkk. Indonesia Menyusui. Ed. I. Jakarta: IDAI; 2010.
15. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. XXII. Jakarta; 2008.
16. Dradjat Boediman dr. SA (K). Sehat Bersama Gizi. Ed. I. Jakarta: CV
Sagung Seto; 2009. 2-7 p.
17. Zulaikhah S. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI
Eksklusif di Kecamatan Suwono Kabupaten Semarang. Semarang: Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNS; 2010;
18. Astuti I. Determinan Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui.Jakarta:
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Jakarta; 2013;4:1–76.
19. Nur Afifah D. Faktor Yang Berperan Dalam Kegagalan Praktik Pemberian
Asi Eksklusif. Semarang; 2007;
20. Rachmawati IN. Kehamilan dan melahirkan pada remaja. 2008;1–10.
21. Amtaran N. Analisis Faktor Risiko Asfiksia Bayi Baru Lahir di RSUD Prof.
Dr. W.Z. Johannes Kupang. Kupang: Fakultas Kedokteran Universitas Nusa
Cendana; 2017;
78

22. Hidajati A. Mengapa Seorang Ibu Harus Menyusui? Jogjakarta: Flashbook;


2012.
23. Yanuarti IP. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian Asi Eksklusif
Di Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat Tahun 2016.
Jakarta Barat: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Esa Unggul;
2016;
24. Fikawati S. Study on Policy and Implementation of Exclusive and Early
Initiation of Breastfeeding in Indonesia. 2011;(February).
25. Departemen Kesehatan RI. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang
Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita. Jakarta;
26. Anggrita K. HubunganKarakteristik Ibu Menyusui Terhadap Pemberian
ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Amplas. Medan:
Fakultas Kedokteran USU; 2010;
27. Pasaribu P, Mayulu N, Malonda NSH. Hubungan Status Sosial Ekonomi
Orangtua Pemberian Asi Eksklusif Di Kota Manado. Manado: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi; 2017;1–9.
28. Mongondow KB, Warouw H. Hubungan Karakteristik Individu Dengan
Kinerja Perawat Di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Rsud Datoe
Binangkang Kabupaten Bolaang Mongondow. Manado: Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi; 2010.
29. Reni Rosari JS. Pernikahan , Dukungan Domestik Penentu Konflik Studi
Pada Industri Perbankan Indonesia. Jogjakarta; 2013.
30. University of Oxford. Nutrition for developing countries. Second Edi. Press
OUn, editor. United States; 2003.
31. de Haan, Monique & Plug, Erik & Rosero J. Birth Order and Human
Capital Development: Evidence from Ecuador. IZA Discussion Papers
6706, editor. Institute for the Study of Labor (IZA); 2012.
32. Centers for Disease Control and Prevention. Cintraindications to
Breastfeeding or Feeding Expressed Breast Milk to Infants. U.S.
Department of Health & Human Services, editor. Atlanta; 2018.
33. Prof. Dr. Sofyan Ismael SA (K). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Ed. IV. SAGUNG SE;
34. Yovan Hendrik EP. Hubungan Pengetahuan tentang Manajemen Laktasi
pada Ibu Menyusui 0-6 Bulan dengan Keberhasilan ASI Eksklusif di
Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Kakap. Vol. 6. Pontianak; 2016. 74-80 p.
35. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineke Cipta;
2010.
79

36. Arifiati N. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Asi Ekslusif


Pada Bayi di Kelurahan Warnasari Kecamatan Citangkil Kota Cilegon.
Serang, Banten; 2017. 978-979 p.
37. Onyechi et al. The Effect of Milk Formula Advertisement on Breast
Feeding and Other Infant Feeding Practice in Lagos, Nigeria. J Trop Agric
Food, Environ Ext. 2010;9:193–9.
38. J.H. G. Pengantar Fisiologi Tubuh Manusia. BINARUPA AKSARA;
39. Suardi M. Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Salemba Medika;
2012.
40. Jannah AM. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pemberian
ASI Eksklusif Pada Bayi Usia 6-12 Bulan di Kelurahan Gerem Wilayah
Kerja Puskesmas Grogol Kota Cilegon Tahun 2015. Cilegon; 2016.
41. Suyatno. Pengaruh Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Tradisional pada Usia Dini Terhadap Pertumbuhan dan Kesakitan Bayi di
Kabupaten Demak. UNDIP. Gizi Kesehatan. 2001.
42. Qatrunnada S. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI
Eksklusif Pada Ibu Tidak Bekerja dan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan.
Bogor; 2015.
43. Dermer A. If Breastfeeding so wonderful why arent’t more woman doing
it? 2001.
44. Abdullah S. Pengambilan Keputusan Pemberian ASI Eksklusif kepada Bayi
di Kota Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2002.
45. Sohimah, Lestari YA. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Air
Susu Ibu (ASI) Eksklusif di WIlayah Kerja Puskesmas Cilacap Tengah I
Kabupaten Cilacap tahun 2017. Kabupaten Cilacap; 2017. 125-137 p.
46. Roesli. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya; 2009.
47. Kyi WL, Mongkolchati A, Chompikul J, Wongsawass S. Prevalence and
associated factors of exclusive breastfeeding among mothers in Pan-Ta-
Naw township , Myanmar. 2016;13(3):81–94.
48. Jara-palacios MÁ, Cornejo AC, Peláez GA, Verdesoto J, Galvis AA.
Prevalence and determinants of exclusive breastfeeding among adolescent
mothers from Quito , Ecuador : a cross-sectional study. Int Breastfeed J.
2015;(December).
49. Rumiati F. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Dukungan Suami dengan
Pemberian ASI Eksklusif pada Pasangan Menikah Dini di WIlayah Kerja
Puskesmas Selo Boyolali Tahun 2017. Boyolali; 2017.
80

50. Kusumayanti N, Nindya TS. Hubungan dukungan suami dengan pemberian


asi eksklusif di daerah perdesaan. 2016;98–106.
51. Know DY. Help Dads to Support Moms and Breastfeeding. :2–5.
52. Arifah I, P Dr. Father ’ S Roles On The Exclusive. 2014;8(2):7–10.
53. Prasetyo DS. ASI Eksklusif. Yogyakarta: DIVA Press; 2009.
54. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2013
tentang Susu Formula dan Produk Bayi Lainnya. 2013.
55. Mufida L, Widyaningsih Td, Maligan Jm. Prinsip Dasar Makanan
Pendamping Air Susu Ibu ( Mp-Asi ) Untuk Bayi 6 – 24 Bulan.
2015;3(4):1646–51.

Anda mungkin juga menyukai