Anda di halaman 1dari 12

PENGELOLAAN PENGUNGSI DAN IMIGRAN

ILEGAL KE INDONESIA DENGAN


MENGGUNAKAN ASPEK GEOPOLITIK DAN
BIOPOLITIK
DIBUAT DALAM RANGKA MEMENUHI TUGAS AKHIR
PENGGANTI UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH POLITIK PERBATASAN – 2016

Dilla Novita Rizki


13/353522/SP/25989
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013

Deskripsi Rumusan Tugas Akhir Pengganti Ujian Akhir Semester


Peserta mata kuliah Politik Perbatasan diminta untuk membicarakan Indonesia dari salah satu
segi dengan mengambil suatu kasus mengenai perbatasan Indonesia. Kasus tersebut harus
mencakup 2 aspek yang selama ini sudah didapatkan dan dipelajari selama perkuliahan, aspek
tersebut yaitu geopolitik dan biopolitik. Peserta diminta untuk melihat dan menganalisis
hubungan maupun kekontrasan antara kedua aspek tersebut di dalam kasus ini. Perbandingan
dari keduanya ini berdasarkan refleksi peserta mengenai mata kuliah Politik Perbatasan.
A. Latar Belakang
Fenomena pengungsi secara besar-besaran yang terjadi saat ini memiliki jumlah
pengungsi terbesar sepanjang sejarah. Fenomena pengungsi yang secara besar-besaran juga
pernah terjadi sebelumnya ketika perang dunia ke 2 (dua) dimana kebanyakan para pengungsi
sendiri merupakan warga eropa. Namun kini para pengungsi yang berdatangan ke seluruh
pernjuru dunia termasuk Indonesia dan terutama negara-negara Uni Eropa berasal dari negara-
negara afrika dan timur tengah. Akibat perang dan permasalahan yang melanda negerinya
mereka akhirnya memilih untuk menyelundupkan diri untuk menjadi pengungsi ke negara lain
dengan bantuan para penyelundup. Kesempatan ini juga digunakan oleh para imigran ilegal
yang sengaja ikut dalam rombongan pengungsi sehingga jumlah mereka sangatlah banyak. Ada
banyak definisi tentang pengungsi, dari yang paling sempit sampai yang paling luas. Setelah
Perang Dunia II, negara-negara anggota PBB mendorong lahirnya apa yang sekarang dikenal
sebagai Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Pada mulanya, konvensi ini
diterapkan untuk mereka yang mengungsi di Eropa sebelum tahun 1951. Pada tahun 1967,
sebuah protokol untuk Konvensi ini telah menghapuskan pembatasan waktu dan tempat yang
dirumuskan sebelumnya. Menurut United Nation Refugee Agency (UNHCR) mendefinisikan
“Refugee are people fleeing conflict or persecution. They are defined and protected in
international law and must not be expelled or returned to situations where their life and
freedom are at risk”

Negara yang dituju oleh para pengungsi dan imigran ilegal ini biasanya adalah negara-
negara maju yang dianggap mampu menjadi tempat bagi mereka untuk memulai kembali
kehidupan yang lebih baik. Untuk bisa menuju negara lain, upaya yang mereka lakukan adalah
memanfaatkan jalur darat ataupun jalur laut. Banyak dari mereka yang tenggelam dan hilang
di laut karena jumlah penumpang yang tidak sesuai dengan kapasitas perahu dan banyak faktor
lainnya salah satunya adalah ditutupnya pintu border suatu negara terhadap para pendatang
ilegal seperti yang dilakukan oleh negara Australia. Australia merupakan salah satu negara
tujuan utama para pengungsi, sehingga untuk bisa mencapai Australia salah satu caranya adalah
melalui Indonesia. Namun mulai tahun 2014 Australia menerapkan kebijakannya yaitu
Operation Sovereign Border (OSB), Australia tidak akan menerima para pengungsi maupun
imigran ilegal tanpa visa dan berkas-berkas lain yang dibutuhkan untuk bisa memasuki
negaranya. Dimana dalam operasinya tersebut pihak Australia akan melakukan pemberhentian
dan pencegahan kapal-kapal yang mengangkut pengungsi. Upaya yang dilakukan adalah
dengan melakukan deteksi, pengawasan dan kontrol yang ketat untuk menjaga perbatasannya.
Sehingga ketika kapal pengangkut pengungsi tersebut masuk ke teritorial Australia, mereka
akan dipaksa untuk kembali berlayar menuju negara asalnya atau menempatkan mereka ke
Nauru, Papua Nugini dan Cambodia. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Australia adalah
mengembalikan kapal-kapal berisi pengungsi tersebut ke Indonesia sehingga para pengungsi
tersebut menjadi tanggung jawab Indonesia meskipun Indonesia tidak termasuk negara yang
menandatangani perjanjian mengenai pengungsi, sedangkan Australia merupakan salah satu
negara yang menandatangani perjanjian tersebut. Dalam proses masuk dan tinggalnya para
pengungsi ke Indonesia sendiri mencakup perspektif geopolitik dimana batas teritorial dan
kekuasaan negara teraplikasikan serta mencakup perspektif biopolitik dimana terjadi
pembatasan kepada para pengungsi dalam segi identitasnya.
B. Kedatangan Pengungsi ke Indonesia dan Penggunaan Aspek Geopolitik
Indonesia banyak disinggahi dan ditempati oleh para pengungsi terutama pengungsi dari
Afghanistan dan Myanmar (Rohingya). Mereka melakukan pelayaran menggunakan kapal
dengan bantuan para penyelundup dengan membayar sejumlah uang yang cukup besar yang
rata-ratanya sebesar 3000 USD. Indonesia bukanlah negara yang menandatangani konvensi
PBB mengenai pengungsi sehingga secara tertulis dan secara hukum, Indonesia tidak memiliki
tanggung jawab untuk menerima pengungsi yang masuk kedalam teritorialnya. Hal ini
membuat adanya ketidakstabilan kontrol akan perbatasan dimana para pengungsi dan imigran
ilegal ini masuk tanpa dokumen (undocumented). Orang-orang yang melintasi batas-batas
negara tanpa dokumen yang memadai (pasport, visa, dsb) disebut sebagai imigran ilegal tanpa
dokumen (atau secara keliru disebut imigran gelap, karena masuk ke suatu negara secara tidak
sah).
Meskipun pengungsi dan imigran ilegal tanpa dokumen ini mungkin membutuhkan
perlindungan internasional, seringkali mereka tidak mencari suaka karena negara yang ingin
mereka ajukan pengajuan suaka adalah negara lain, sedangkan negara yang saat ini mereka
tempati hanyalah sebagai negara transit sembari menunggu status pengajuan suaka mereka ke
negara lain tersebut. Meski sejumlah imigran ilegal tanpa dokumen tidak akan diakui sebagai
pengungsi sesuai dengan ketentuan Konvensi Jenewa tahun 1951, bukan berarti mereka tidak
membutuhkan perlindungan internasional. Namun secara hukum hal ini bertentangan dengan
ketentuan yang dimiliki oleh indonesia terkait pengelolaan perbatasannya dan persyaratan apa
saja yang harus dimiliki setiap orang agar bisa masuk ke wilayah Indonesia. Wilayah negara
Indonesia sering dijadikan sebagai negara transit oleh para pengungsi agar bisa mencapai
Australia. Tidak diratifikasinya konvensi 1951 mengenai pengungsi oleh Indonesia maka
Indonesia pun tidak mendapatkan bantuan donor dana dari UN terkait pemeliharaan pengungsi
yang berada di wilayah negaranya.
Memang kini perbatasan tidak hanya dilihat sebagai representasi negara dalam garis
batas saja. Pengelolaan border atau batas bukan lagi dengan menempatkan kekuataan militer
dalam rangka mempertahankan negara dan mempertahankan garis atau yang biasa disebut
sebagai geopolitik. Aktivitas lintas batas memang cenderung tidak dapat dihindari dan negara
tidak selamanya mampu mengontrol aktivitas masyarakat. Namun lain lagi halnya dengan
kasus masuknya imigran ilegal ke Indonesia yang sebenarnya masih bisa dikontrol. Dengan
semakin maraknya pembahasan mengenai border yang tidak hanya sebagai bentuk spasial saja
bukan berarti kita tidak harus memperhatikan konsep perbatasan geopolitik sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi isu pengungsi dan imigran ilegal asing. Hingga kini banyak pengungsi
yang tinggal sementara di Indonesia, pengungsu rohingya yang banyak bertempat di Aceh dan
mendapatkan bantuan dari masyarakat Aceh. Para pengungsi dar Afghanistan banyak
menemapati beberapa daerah di Indonesia seperti di Jawa Barat ataupun Yogyakarta. Namun
keberadaan mereka di Indonesia tidaklah permanen. Tanggapan negatif mengenai kehadiran
para pengungsi dan imigran ilegal ini salah satunya adalah kekhawatiran akan potensi
munculnya gejolak sosial di dalam masyarakat Indonesia.
Untuk menghindari adanya exodus pengungsi dari Rohingya ataupun Afghanistan serta
menghindari timbulnya permasalahan sosial di masyarakat, pemerintah selaku pemegang
otoritas kedaulatan negara meminta rezim perbatasan untuk mulai melakukan tindakan.
Sebagai bentuk representasi kehadiran dan kekuasaan negara, TNI angkatan laut diminta untuk
melakukan penutupan border teritorial laut indonesia bagi kapal-kapal pengungsi dan
mendorong kapal-kapal tersebut kembali ke tengah samudra1. UNHCR sendiri memiliki
kebijakan mengenai pelarangan pemulangan para pengungsi kembali ke negara atau wilayah
dimana hidup atau kebebasannya terancam dikarenakan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan
dalam sosial tertentu atau pendapat politiknya2. Namun secara legal formal Indonesia tidaklah
terkait dengan kebijakan tersebut, belum adanya regulasi di Indonesia yang pasti mengenai
pengungsi pun membuat adanya perintah melakukan suatu tindakan didasarkan pertimbangan
negara mengenai mekanisme yang dianggap paling rasional.

1
https://islamindonesia.id/berita/tutup-perbatasan-3-negara-cegat-dan-dorong-kapal-pengungsi-rohingya-
kembali-ke-laut-lepas.htm diakses pada 21 Januari 2016
2
UNHCR, 2005, Pengenalan TENTANG Perlindungan Internasional, melindungi orang-orangutan Yang Menjadi
Perhatian UNHCR. Op.cit. Hlm. 39
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan tulisan Joel S Migdal
mengenai penggunaan mekanisme virtual check point dalam rangka menunjukkan dan
mengaplikasikan kedaulatan negara terhadap garis batasnya. Virtual check point merujuk pada
praktik membedakan seseorang yang memiliki izin untuk bisa masuk ke wilayah suatu negara.
Hal ini mencakup berbagai teknik pengawasan, pemeriksaan dokumen yang dibutuhkan seperti
visa atau paspor. Sehingga bagi yang tidak memiliki kelengkapan dokumen tersebut, rezim
perbatasan memiliki kewenangan untuk melarang masuk mereka yang tidak memiliki dokumen
yang dibutuhkan. Indonesia akan semakin terbebani akibat sikap Australia yang telah menutup
pintu bordernya bagi pencari suaka resmi yang terdaftar di Badan pengungsi PBB di Indonesia.
Meski berusaha untuk memberlakukan kekuasaan dalam kedaulatan teritorialnya, negara juga
memberlakukan softening the border kepada para pengungsi yang sudah lebih dulu datang ke
Indonesia dan bermukim di tempat warga. Para pengungsi tersebut diizinkan untuk tinggal
sementara di Indonesia meski tidak memiliki dokumen legal yang dibutuhkan untuk bisa masuk
teritorial Indonesia. Namun sampai sejauh mana batas-batas yang dibuat negara dalam
membuat aturan yang menentukan yang mengatur kehidupan masyarakat dan sejauh mana
mereka memberikan cara untuk pembuat aturan lainnya bisa dilihat dalam aspek biopolitik.

C. Kedatangan Pengungsi ke Indonesia dan Penggunaan Aspek Biopolitik

Dalam melihat isu pengungsi yang ada di Indonesia, banyak hal yang dapat dilihat
dengan menggunakan konsep biopolitik. Konsep biopolitik dikembangkan oleh Foucault
karena ketertarikannya melihat kepedulian dan kemampuan pemerintah dalam mendisiplinkan
tubuh populasi. Upaya tersebut dilakukan mengunakan seperangkat metode pengawasan dan
juga kebijakan. Biopolitik sendiri hadir dari pemikiran Foucault mengenai biopower dimana
eksistensi biologis manusia menjadi target dari kekuatan kontrol dan intervensi kuasa. Tautan
antara biopolitik dan biopower adalah usaha keras untuk merasionalisasikan masalah yang
dihadapi pemerintah dengan karakteristik sebuah kelompok manusia yang dinamakan populasi.
Biopolitik, seperti dalam kumpulan kuliah umum Foucault sekitar 1979-an, History of
Governmentality dengan subjudul “The Birth of Biopolitics” merupakan cara yang telah
digunakan sejak abad kedelapan belas untuk merasionalisasi masalah-masalah yang ditemui
oleh praktik-praktik pemerintahan dalam totalitas kehidupan populasi makhluk hidup.
Singkatnya, biopolitik adalah keseluruhan teknik disiplin dan metode regulasi yang
mengoptimalkan penduduk, sementara pada saat yang sama, menciptakan realitas baru bagi
mereka. Foucault melihat bahwa kekuasaan itu bukan hanya dimiliki oleh negara tetapi tersebar
dimana-mana dan melampaui batas-batas negara sehingga konteks geografis dan batas
dianggap kabur oleh foucault.

Pada tulisan yang sebelumnya mengenai penggunaan geopolitik dalam upaya menjaga
garis teritorial sebagai bentuk kedaulatan negara dari para pengungsi, di satu sisi juga bisa
dilihat dengan menggunakan aspek biopolitik. Zona perbatasan adalah zona dimana hadirnya
hak kemanusiaan yang berbenturan dengan kedaulatan suatu negara. Para pengungsi diawasi
dengan ketat agar tidak bisa masuk ke wilayahnya meskipun beresiko besar terjadinya
kematian para pengungsi tersebut seperti tenggelam, kelaparan dan lain sebagainya. Pemilik
kedaulatan akan berupaya untuk menjaga teritorialnya dalam rangka menjaga stabilitas
kehidupan populasi manusia yang hidup di dalam wilayah negaranya (warga negara). Kematian
para pengungsi dan imigral ilegal berasal dari aktifitas kontrol/pengawasan border yang
dilakukan oleh negara Indonesia sebagai pemilik kekuasaan dan kedaulatan dan pihak yang
berwenang menjalankan hal tersebut. Dalam menjalankan aktifitas kontrol perbatasan
Indonesia, yang berwenang menjalankan tugas tersebut adalah pihak TNI. Dalam mengelola
kontrol perbatasannya, Indonesia menggunakan teknologi seperti drone, GIS, radar,
pengindraan jauh dan lain sebagainya. Pengetatan pengawasan atas zona ruang perbatasan
didorong oleh rasionalitas biopolitik. Tindakan ini merupakan tindakan biopolitik yang menuai
pro dan kontra dimana kekuasaan negara selalu berbenturan dengan tindakannya yang
dianggap tidak memperhatikan aspek kemanusiaan (HAM).
Pihak negara Indonesia melakukan upaya ini juga agar mengurangi jumlah para imigran
ilegal yang ingin masuk dan menjadikan Indonesia sebagai negara transit menuju Australia.
Karena dengan adanya kebijakan tegas yang dibuat oleh Australia mengenai penolakan
menerima pengungsi dan imigran ilegal, Indonesia akan terkena imbas berupa bertambahnya
jumlah pengungsi dan imigran ilegal yang tinggal di negaranya dan menjadi tanggung
jawabnya untuk merawat mereka sebelum akhirnya dipindahkan ke negara ketiga. Para
pengungsi dan imigran ilegal ini menghadapi kenyataan biopolitik untuk bisa melintasi zona
perbatasan ke Indonesia, mereka berada dibawah ancaman kematian dan cedera. Meskipun
negara Indonesia mengatakan mereka tetap memberi bantuan kepada para pengungsi dan
Imigran ilegal ini, hanya saja status mereka tetap tidak bisa memasuki teritorial Indonesia.
Agamben melihat, bahwa di dalam pandangan politik modern, konsep hak-hak asasi
manusia dikaitkan dengan keberadaan suatu entitas politik tertentu yang bernama negara.
Artinya, yang satu hanya dapat ada, jika yang lain tetap ada dan kuat. Di dalam pemerintahan
totaliter, negara ada, namun hak-hak asasi manusia diabaikan. Dalam arti ini, negara hanya
tinggal menunggu waktu saja untuk roboh, entah karena revolusi, ataupun karena perang
saudara. Sebaliknya, di dalam kasus-kasus terkait dengan keberadaan pengungsi, negara
menjadi tiada, sehingga tidak ada satu pun entitas politik yang menjamin hak-hak asasi manusia
mereka. Keterkaitan ini, yakni antara negara dan hak-hak asasi manusia, haruslah dibuat relatif,
sehingga tidak menjadi ikatan yang mutlak. Artinya, bagi Agamben, lepas dari ada atau
tidaknya negara yang legal, hak-hak asasi manusia seseorang haruslah memperoleh jaminan,
terutama dalam situasi-situasi yang ekstrem, seperti perang, rasisme, diskriminasi, ataupun
bencana alam.3
Kebijakan Indonesia terhadap pengungsi dan pencari suaka digambarkan sebagai salah
satu toleransi. Indonesia memiliki tiga belas detention center jangka panjang dan dua puluh
detention center jangka pendek, pengungsi umumnya diizinkan untuk tinggal di dalam
masyarakat, sementara kasus mereka diproses oleh UNHCR. Selama menjalani proses
pencarian dan penempatan suaka, para pengungsi dan imigran ilegal tidak berhak mendapatkan
kesempatan untuk bekerja atau memulai bisnis mereka serta mereka juga tidak mendapatkan
jaminan sosial. Hal ini dapat dipahami, mengingat bahwa setengah dari penduduk Indonesia
hidup di bawah garis kemiskinan global. Keterlibatan oleh pengungsi dalam kegiatan yang
menghasilkan pendapatan akan dilihat sebagai upaya menyaingi ekonomi dan mata
pencaharian masyarakat Indonesia. Pengungsi menghadapi banyak tantangan ketika mereka
tiba di Indonesia. Kesulitan utama yang diangkat oleh pengungsi adalah kesulitan mendapatkan
mata pencaharian dan kesulitan keuangan, kesehatan, keselamatan dan keamanan, kurangnya
hak-hak hukum, masalah kesehatan mental, kebosanan dan pendidikan bagi anak-anak mereka

Di Indonesia sendiri banyak pengungsi dan imigran ilegal yang sedang menetap
sementara. Dalam biopolitik akan selalu hadir suatu garis pemisah antara “kita” dan “mereka,
antara “kita” yang layak mendapatkan tempat dan “mereka” yang tidak layak mendapatkannya.
Banyak laporan dan berita mengenai perlakuan dan fasilitas buruk yang dialami oleh para
pengungsi dan imigran ilegal yang ada di Indonesia. Dalam kasus pengungsi dan imigran ilegal
ini diberlakukan pula garis pemisah antara mereka dan populasi masyarakat Indonesia yang
didasarkan pada status mereka. Status mereka sebagai pengungsi tidak bisa mendapatkan status
sebagai warga negara Indonesia. Seorang pengungsi dan imigran ilegal tidak dimungkinkan
untuk mendapatkan Izin Tinggal Terbatas (ITAS) atau Izin Tinggal Tetap (ITAP) karena untuk

3
Agamben, Giorgio, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, Stanford University Press, California, 1995,
hal. 134
memperoleh ITAS maupun ITAP, orang tersebut harus mempunyai dokumen perjalanan yang
sah seperti visa dan paspor. Selain itu pengungsi juga hanya diizinkan untuk tinggal sementara
sebelum dipindahkan ke negara ketiga. Seorang pengungsi juga tidak dimungkinkan untuk
mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, karena salah satu syarat untuk memperoleh
kewarganegaraan Indonesia adalah sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun
tidak berturut-turut, serta mempunyai pekerjaan/berpenghasilan tetap.

Status mereka sebagai pengungsi dan imigran ilegal hanya tinggal di Indonesia untuk
sementara dan tidak diperbolehkan untuk bekerja di Indonesia. Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Dirjen Imigrasi tentang Penanganan Imigran ilegal menyebutkan “Imigran ilegal saat
diketahui berada di Indonesia dikenakan tindakan keimigrasian” yaitu berupa tindakan
pendeportasian (Pasal 75 ayat (2) huruf f UU 6/2011) atau penempatan di tempat penampungan
sementara (Ruang Detensi Imigrasi) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1)
huruf b dan huruf d UU 6/2011, yang menyebutkan “Pejabat Imigrasi berwenang
menempatkan Orang Asing dalam Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi.
Status mereka sebagai pengungsi dan imigran ilegal membuat adanya penggelompokkan sosial
dan pengawasan yang dilakukan oleh negara. Para pengungsi dan imigrasi ilegal ini harus
menerima aturan-aturan yang sudah ditentukan sebagai pedoman mereka dalam menjalankan
perilaku dan aktifitasnya di Indonesia dengan status demikian.

Hal ini diterima sebagai konsruksi sosial bagi para pengungsi ataupun masyarakat
Indonesia. Meskipun pada realitanya batas yang dibuat oleh negara ini tidak sepenuhnya
mempengaruhi sosialisasi antar masyarakat dan juga para pengungsi, bahkan banyak dari
pengungsi yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan penduduk lokal. Begitupun
sebaliknya, banyak masyarakat yang membantu memenuhi kebutuhan para pengungsi dan
imigran ilegal ini seperti pemberian bantuan sosial dan pemberian pendidikan kepada mereka.
Dalam beberapa kasus, garis batas tersebut mampu memisahkan dan memecah masyarakat
kedalam bagian-bagian. Tidak hanya itu, garis-garis buatan manusia tersebut juga menentukan
kondisi kesehatan dan psikologis para pengungsi serta imigran ilegal tersebut. Pembatasan dan
pengawasan yang dilakukan oleh negara kepada para pengungsi dan imigran ilegal ini adalah
upaya pemberlakuan aspek biopolitik dalam rangka mengontrol kesejahteraan dan kestabilan
populasi warga negaranya maka negara mengintervensi kehidupan para pengungsi dan imigran
ilegal ini melalui kontrol terhadap tubuh mereka.
D. Refleksi dan Kesimpulan
Selama perkuliahan mata kuliah politik perbatasan kami diminta untuk tidak hanya
melihat batas sebagai garis batas saja sebagai bentuk kekuasaan negara atau yang lebih dikenal
sebagai geopolitik. Cukup sulit untuk bisa keluar dari konstruksi mengenai batas yang selama
ini sudah tertanam dalam pemikiran masyarakat Indonesia. Batas selama ini dikonstruksikan
sebagai garis yang membatasi wilayah antar suatu negara dengan negara lainnya dan wilayah
perbatasan selalu dihubungkan serta dikonstruksikan sebagai wilayah yang miskin dan
terbelakang. Konsentrasi pembangunan infrastruktur yang selama ini terpusat membuat kurang
adanya pembangunan infrastruktur di perbatasan, maka kemiskinan itu bukan karena suatu
daerah terletak di perbatasan tetapi karena pemusatan pembangunannya. Upaya untuk bisa
keluar dari kerangka pikir geopolitik dimana kedaulatan dan kekuasaan itu selalu melekat
dengan negara menuju kerangka pikir biopolitik sebagai cara lain untuk mengelola perbatasan.
Dalam perkuliahan ini peserta diberikan memberikan stimulus berupa materi yang mampu
mengantarkan peserta menuju kerangka pikir biopolitik. Rethinking the border melalui materi
seperti connectivity, softening the border, regionalisme, cross border governance, memahami
boundary dan belonging hingga akhirnya mampu mengantarkan peserta mata kuliah ini menuju
kerangka pikir biopolitik dalam mengelola border, ini merupakan perluasan analisis Foucault
mengenai biopolitik.
Kasus Pengungsi dan Imigran ilegal dapat dilihat dengan melihat pada aspek geopolitik
dan biopolitik, keduanya saling berkaitan namun juga keduanya memiliki kontras. Dari segi
geopolitik, pemerintah berupaya menjaga perbatasan mereka dari para pengungsi dan imigran
ilegal karena tidak sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Negara memiliki kekuasaan
dalam mengontrol dan mengizinkan siapa saja yang boleh memasuki wilayah teritorialnya. Hal
ini ditunjukkan dengan ketegasan pemerintah untuk menghentikan kapal-kapal asing yang
berisikan pengungsi dan imigran ilegal karena tidak memiliki dokumen yang dibutuhkan untuk
bisa masuk ke Indonesia. Tidak semuanya dilarang untuk memasuki wilayah Indonesia,
beberapa kapal yang berisikan pengungsi dan imigran ilegal yang datang ke wilayah Indonesia
juga diizikan untuk masuk. Kebijakan untuk melarang masuknya kapal tersebut dilakukan
untuk menghindari eksodus pengungsi dan imigran ilegal yang tidak mungkin semuanya bisa
ditampung di Indonesia karena keterbatasan biaya pula yang dimiliki oleh Indonesia serta
menghindari ketidakstabilan keamanan dan kehidupan sosial di masyarakat.
Upaya yang dilakukan dalam rangka tersebut juga efeknya berkesinambungan dengan
upaya melakukan upaya biopolitik dalam mengatur pengungsi dan imigran ilegal. Negara
melakukan upaya untuk mengontrol populasi warganya dengan membuat kebijakan dan
melakukan tindakan yang mampu mengontrol tubuh dan kehidupan para pengungsi tersebut.
Zona perbatasan sebagai zona pertemuan antara kekuasaan kedaulatan negara dan kemanusiaan
menjadi bukti pengaplikasian biopolitik yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini juga
ditindaklanjuti dengan membentuk garis batas antar pengungsi dengan warga negara indonesia.
Meskipun dalam pemikiran Foucault mengenai biopolitik dimana kekuasaan itu sifatnya
tersebar dan tidak hanya dimiliki oleh negara. Namun untuk bisa memahami konteks kasus
pengungsi dan imigran ilegal dengan menggunakan kerangka pikir biopolitik, negara rupanya
masih menjadi aktor yang paling memiliki kekuasaan. Meski begitu kekuasaan yang dimiliki
oleh negara dalam mengelola pengungsi dan imigran ilegal yang berusaha masuk ataupun
sudah berada dalam teritorial negaranya tidak luput dari kontra dan penolakan dari masyarakat
Indonesia itu sendiri, isu kemanusiaan tetap menjadi lawan terbesar kekuasaan negara untuk
mendapatkan legitimasi dari warga negaranya. Sehingga terlihat adanya kekontrasan antara
kerangka geopolitik dimana kekuasaan melekat pada negara dan masyarakat memberikan
legitimasi tersebut dengan kerangka biopolitik dimana upaya kontrol akan tubuh dan
pembatasan kehidupan yang dilakukan oleh pemerintah kepada pengungsi dan imigran ilegal
tidak seluruhnya mendapatkan dukungan dari masyarakat karena dianggap melanggar
kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Cheema, G. S. (2011). Cross-border Governance in Asia : An Introduction. In Cross-border
Governance in Asia Regional Issues and Mechanisms (pp. 1-23). Tokyo: United Nation
University Press.
Hargrav, K. (2016). Closing borders The ripple effects of Australian and European refugee
policy: case studies from Indonesia, Kenya and Jordan. London: Humanitarian Policy Group
- Overseas Development Institute.
Migdal, J. S. (2004). Boundaries and Belonging: States and Societies in the Struggle to Shape
Identities. Cambridge: Cambridge University press
Protection, A. G. (2014). Operation Sovereign Borders.
United Nation High Commisioner of Refugee (1951). Convention Relating to the Status of
Refugees. Convention 1951. Jenewa: UNHCR Communications and Public Information
Service.
United Nation High Commisioner of Refugee (1967). Protocol Relating to the Status of
Refugees. Convention 1951. Jenewa: UNHCR Communications and Public Information
Service.
Vaughan-Williams, N. (2009). Border Politics The Limits of Sovereign Power. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Undang-Undang Repubik Indonesia Nomo 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian

SUMBER ELEKTRONIK
AFP. (2016, 05 19). Ratusan Pengungsi Afghanistan masih Terdampar di Indonesia.
Retrieved 12 21, 2016, from JPNN News:
http://www.jpnn.com/read/2016/05/19/412977/Ratusan-Pengungsi-Afghanistan-masih-
Terdampar-di-Indonesia-
AMP, R. (2016, 03 6). Menteri Yasonna: Imigran ilegal di Indonesia Terbanyak dari
Afghanistan. Retrieved 12 20, 2016, from Liputan 6 News:
http://news.liputan6.com/read/2452647/menteri-yasonna-imigran ilegal-di-indonesia-
terbanyak-dari-afghanistan
Asril, S. (2015, 05 15). Panglima TNI Tolak Kapal Pengungsi Rohingya Masuk RI, tapi
Bersedia Beri Bantuan. Retrieved 12 20, 2016, from Kompas News Website:
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/15/20213301/Panglima.TNI.Tolak.Kapal.Pengungs
i.Rohingya.Masuk.RI.tapi.Bersedia.Beri.Bantuan
Bonasir, R. (2016, 02 24). Ditembak di kepala, warga Afghanistan mengungsi ke Indonesia.
Retrieved 12 22, 2016, from BBC News Indonesia:
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/02/160224_majalah_pengungsi_afghanistan
Budiman, A. (2013, 01 29). Makin Banyak Pengungsi Terdampar di Indonesia. Retrieved 12
21, 2016, from Deutsche Welle (DW) Germany International Broadcaster:
http://www.dw.com/id/makin-banyak-pengungsi-terdampar-di-indonesia/a-16557914
Dewi, M. K. (2015, 09 11). Australia Tampung Pengungsi Suriah, Kenapa Indonesia
Waspada? Retrieved 12 0, 2016, from Tempo Corporation Website:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/11/078699791/australia-tampung-pengungsi-
suriah-kenapa-indonesia-waspada
Fairclough, M. (2015, 06 16). Australia Salahkan Indonesia Soal Perahu Pengungsi.
Retrieved 12 20, 2016, from Jakarta Greater Website: http://jakartagreater.com/australia-
salahkan-indonesia-soal-perahu-pengungsi/
Fitria. (2014, 01 31). Masalah Perlindungan. Retrieved 12 22, 2016, from Suaka Indonesia
Civil Society Network for Refugee Right Protection: https://suaka.or.id/public-awareness/id-
masalah-perlindungan/
Frislidia. (2014, 11 20). Pengungsi pencari suaka di Indonesia 6.200 orang. Retrieved 12 22,
2016, from Antara News: http://www.antaranews.com/berita/465403/pengungsi-pencari-
suaka-di-indonesia-6200-orang
Pertiwi, A. (2015, 05 11). Kurus dan Sakit, Kondisi Pengungsi Rohingya di Aceh. Retrieved
12 20, 2016, from Tempo Corporation Website:
https://m.tempo.co/read/news/2015/05/11/118665363/kurus-dan-sakit-kondisi-pengungsi-
rohingya-di-aceh
Salim, A. (2015, 05 15). TNI bantu pengungsi tapi tolak pendaratan. Retrieved 12 05, 2016,
from Antara News: http://www.antaranews.com/berita/496382/tni-bantu-pengungsi-tapi-
tolak-pendaratan
Shea, A. (2015, 10 29). Stopping boats doesn't save lives - it puts them in danger. Retrieved
12 20, 2016, from ABC Australia Website: http://www.abc.net.au/news/2015-10-29/shea-
turn-back-from-your-policy,-australia/6895004
Tiryaki, S. (2015, 10 31). Hurriyet Daily News. Retrieved 12 21, 2016, from Refugee crisis
and its wider geopolitical repercussions: http://www.hurriyetdailynews.com/refugee-crisis-
and-its-wider-geopolitical-repercussions.aspx?pageID=238&nID=90564&NewsCatID=396
Wahyuni, T. (2015, 07 29). UNHCR: Jumlah Pengungsi di Indonesia Meningkat. Retrieved
12 21, 2016, from BBC News Indonesia:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150728204221-20-68699/unhcr-jumlah-pengungsi-
di-indonesia-meningkat/

Anda mungkin juga menyukai