Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ASAS-ASAS KONSTITUSI DALAM HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu : Dr. Ali Sodiqin

Oleh :

Ayatullah : 17103060078

Wail : 17103060079

Hasibuddin : 17103060080

Ach. Rofiqi : 17103060089

Jurusan Perbandingan Madzhab Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negri

Yogyakarta
Asas-asas Konstitusi dalam Hukum Islam

Asas Hukum ini penting karena ia adalah, “kebenaran yang dipergunakan sebagai
tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksannan hukum.”

Selanjutnya, Mohammad Daud Ali menulis:

“asas hukum, pada umumnya, berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala
masalah yang berkenan dengan hukum.”1

Menurut Bagir Manan, asas atau prinsip hukum ini sangat penting sebab tanpa asas
hukum tidak ada system hukum.

“asas dan prinsip hukum merupakan subsistem terpenting dari suatu system hukum. Asas
hukum dan prinsip hukum berada pada peringkat yang lebih di atas dari pada system kaidah.
Bukan hanya karena sifatnya yang lebih universal, melainkan di dalam asas hukum tercemin
tata nilai dan pesan-pesan kultural yang semestinya diwujudkan oleh kaidah hukum.”2

Pendapat Bagir Manan di atas sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo:

“asas hukum dapat disebut landasan atau alas an bagi terbentuk-nya seatu peraturan
hukum atau merupakan suatu ratio legis dari seatu peraturan hukum yang memuat nilai-nilai,
jiwa, cita-cita social atau pandangan etis yang ingin diwujudkan.”3

Dalam tahun anggaran 1983/1984, Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen


Kehakiman telat menetapkan Tim Pengkajian Hukum Islam dan tim tersebut dalam laporannya
(Laporan 1983/1984, pada halaman 14-27) telah melaporkan beberapa4 asas hukum Islam yang
(1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana dan (3) dalam lapangan hukum perdata.

Mengenai asas asas dalam bidang hukum tata Negara, hukum internasional, dan bidang-
bidang hukum lainya tidak disebutkan dalam laporan tersebut.

Asas Asas Umum

1
Daud Ali, Hukum, hlm 114
2
Manan, Peranan Peradilan Agama, hlm. 152.
3
Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, hlm. 85-86.
4
Daud Ali, Hukum, hlm. 115.
Asas-asas umum hukum Islam adalah:

a. Asas keadilan
b. Asas kepastian hukum
c. Asas kemanfaatan
d. Asas hierarki hukum

1. Asas keadilan

Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam hukum islam sehingga menurut
A.M. Saefudin,5 dalam al-qur’an sebagai sumber utama hokum islam, kata keadilan disebut
lebih dari seribu kali, menempati posisi terbanyak ketiga, setelah kata Allah dan ilmu
pengetahuan. Oleh karena banyaknya kata keadilan yang disebut dalam al-quran itu sehingga
mohammad daud alai menyebutnya sebagi asas yan sangat penting dalam hokum islam dan
Karen itu asas keadilan dapat dikatakan sebagai asas semua asas hokum islam.

Hukum menurut Apeldoorn bertuuan megatur pergaulan hidup secara damai, akan
mencapai tujuannya bila menuju peraturan yang adil.6

Pendapat-pendapat tersebut sama dengan yang ditulis oleh satjipto Raharjo;

“membicarakan hokum adalah membicarakan hubungan anarmanusia. Membicarakan


hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian, setiap
pembicaraan mengenai hokum, jelas atau samar-samar, senantiasa merupakan
pembicaraan mengenai keadilan pula. Kita tidak dapat membicarakan hokum hanya
sampai kepada wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal. Kita juga perlu
melihatnya sebagai ekspresi daricita-cita keadilan masyarakatnya.7

5
Lihat A.M. Saefudin, “Sistem Ekonomi Islam”, dalam Majalah Panji Masyarakat, No. 411 Tahun 1983, hlm. 45
dikutip dari Daud Ali, Hukum, hlm. 116.
6
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 11.
7
Rahardjo, Hukum dan MAasyarakat, hlm. 159.
Penganut teori etis seperti antara lain Geny mengajarkan, bahwa tujuan hukum ialah
semata-mata keadilan. Demikian pula pendapat Dniel Webster seperti ditulis oleh Roscoe Pound
: ”Keadilan adalah kepentingan manusia paling luhur dibumi ini.”8

Penapat Daniel Webster di atas sejalan dengan pendapat Muhammad Muslehuddin


tentang tujuan hokum islam. Menurut dia, “Keadilan merupakan tujuan tertinggi hokum islam.”
Juga sejalan dengan pendapat Abdullah Yusuf Ali Bahwa kata al adl dalam Al-Qur’an adalah
suatu istlah yang bersifat komprehensif yang mencakup semua kebaikan dalam kemanusiaan.

Begitu pentingnya asas keadlian dalam hokum pada umumnya, hokum islam pada
khususnya sehingga perlu dipahami apa sebenarnya makna kata adil itu. Apalagi berbuat adil
adalah suatu perintah Allah Swt, kepada manusia, sesuai firmannya;

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah. Menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu dekat kepada taqwa”. (QS. Al-maidah [5]:8).

Makna Keadilan

”keadilan” merupakan kata jadian dari kata “adil” yang berwalan “ke” dan akhiran “an”.
Asal kaa adil itu adalah dari Bahasa Arab ‘adl” yang dalam kamus-kamus bahasa arab berarti
“sama”.

Kamus Besar Bhasa Indonesia menerangkan bahwa adil berarti :

1. Tidak berat sebelah


2. Berpihak kepada yang benar
3. Sepatutnya tidak berwenang-wenang.9

Dalam hubungan dengan pengertian keadilan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
di atas, M. Quraish Shihab menulis:

8
Lihat Roscoe Pound, Tugas Hukum, terj. Muhammad Radjab (Jakarta:Baratara 1965), hlm. 9.
9
Lihat, Kamus Besar, hlm. 7.
“Persamaan” yang merupakan makna asal kata adil itulah yang menjadikan pelakunya
“tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seseorang yang adil ‘berpihak kepada yang benar”
karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya,. Dengan
demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang”.

Quraish Shihab juga berpendapat bahwa keadilan didalam Al-Qur’an dingkapkan antara
lain dengan kata-kata, al adl, al qist, al mizan.

Di dalam ensiklopedia Hukum Islam,10 kata al misl (sama bagian atau semisal) adalah
juga bermakna adil.

Adl, yang berarti ‘sama”, memberikan kesan adanya dua pihak atau lebih sebab apabila
hanya ada satu pihak tidak ada pembanding untuk mengatakan sama bagiannya, sama besarnya,
sama baiknya, dan sebaginya.11

Al-qist arti asalnya adalah “bagian” (yang wajar dan patut).12

Al-qist yang bermakna “bagian” ini tidaklah menuju ke arah “persmaan” sebab “bagian”
bisa saja berbeda misalnya bagian warisan anak laki-laki dan kali banyak dari bagian
permpuan.13

Kata “Mizan” berasal dari akar kata “wazn” yang berarti timbangan. Jadi, “mizan”
berarti alat untuk menimbang, namun bisa juga berarti “keadilan” oleh akrena bahasa kadang-
kadang menyebut “alat” untuk makna “hasil” penggunaan alat itu.

Kata qist lebih umum penggunaannya dari pada kata “adl”

Penggunaan kata adil yang bermakna sama, dilakukan dengan teliti dan tidak berpihak,
adalah bagian dari keadilan hokum (legal justice).

Majid Khadduri membagi keadilan hukum (legal justice) itu ke dalam (1) substantive
justice dan (2) procedural justice atau formal justice.

10
Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 1, hlm. 25.
11
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 117
12
Ibid. hlm. 117
13
QS. An-nisa’ [4]: 11.
Dalam keadilan prosedur, formal atau keadilan hukum acara, hakim harus netral. Kedua
belah pihak harus diberlakukan sama, pada tempat duduk yang sama tingginya, raut muka hakim
yang sama cerahnya kepada kedua belah pihak, penyebutan nama yang tidak diembel-embeli
penghormatan kepada para pihak, pemberian kesempatan yang sama untuk mengajukan dalil-
dalil mereka , persamaan dalam waktu untuk mengajukan bukti-bukti, memohon banding
bilamana tidak menerima putusan, kesempatan yang sama untuk membaca dan mempelajari
berkas perkara, mengajukan memori banding, memohon kasasi, dan lain-lain persamaan yang
menyangkut hukum acara atau procedural justice.

Al-qist atau “bagian” (yang wajar dan patut) ini adalah substantive justice, keadilan
subtantif, keadilan materil yang seperti tersebut di atas tidak mengarah kepad persamaan
melaikan bagian yang patut, berpihak kepada yang benar. Dalam penerapan keadilan subtantif
ini, pihak yang benar akan mendapat kemenangan sesuai dengan bukti-bukti akan kebenarannya.

Al-Qur’an memberikan contoh penerapan keadilan subtantif sebagai berikut:

“Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sebilan puluh Sembilan ekor kambing betina
dan aku mempunyai seekor saja. Maka ia berkata “serahkanlah kambingmu itu kepadaku
dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan”

Daud berkata “sesungguhnya ia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta


kambingmu untuk ditambahkan kepada kambingnya” (QS. Shadd [38]:23-24).

Dalam penyelesaian kasus tersebut, Nabi Daud As, tidak membagi dua 100 ekor kambing
tersebut, untuk masing-masing mendapat 50 ekor kambing, melainkan berkata bahwa ia telah
berlaku zalim terhadap saudaranya. Sebab, andai kata kasus diatas bagian yang harius di dapat
dipersamakan maka menurut M. Quraish Shihab, “ketika itulah persamaan tersebut menadi
wujud nyata kezaliman.”14

14
Shihab, Wawan Al-Qur’an, hlm. 114
Jadi, dalam keadilan hukum yang harus ada perlakuan yang sama adalah keadilan dalam
beracara, procedural justice atau formal justice, sedangkan yang harus diberikan sesuai dnegan
bagian yang patut adalah keadilan dalam subtansinya atau substantive justice.

2. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum adalah sebagian dari ciri Negara hukum. Negara hukum seperti
kita ketahui adalah Negara yang setiap langkah kebijaksanaan, baik yang sementara berjalan atau
yang akan dilaksanakan oleh pemerintah, berdasarkan hukum. Begitu pula masyarakat yang
diayomi oleh hukum itu harus berbuat sesuai dengan aturan yang jelas sehingga diharapkan
mempedomani dan melaksanakan hukum itu tanpa keraguraguan.15

Sebagai salah satu aspek dalam kehidupan hukum, kepastian hukum berati berkehendak
untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar-orang dalam masyarakat. Untuk maksud itu,
yang berhubungan eratsekali dengan masalah kepastian hukum itu adalah dari mana hukum itu
berasal16. Artinya, apakah hukum itu bersal dari sumber hukum yang mempunyai otoritas yang
sah dank arena itu mengikat dan harus di taati.

Kepastian hukum juga sangat erat terkait dengan asas legalitas. Artinya, hukum yang
tujuannya antara lain, untuk menerbitkan masyarakat, harus jelas diketahui oleh masyarakat
sehingga kalau ekiranya di dalam hukum itu ada larangan sudah jelas hal-hal yang dilarang itu,
demikian pula kalau ada sanksi atas larangan tersebut juga sudah tercantum secara tegas.

Asas kepastian hukum diperlihatkan contohnya oleh Allah SWT. Hukum yang berasal
dari Allah SWT. Sebagai otoritas tertinggi dalam pandangan islam., suatu hukum yang akan
diterapkan dalam masyarakat harus disampaikan sejelas-jelasnya kepada masyarakat itu untuk
dipedomani dan dilaksanakan dalam kehidupan mereka. Hal itu antara lain diinformasikan oleh
Allah SWT.:

“dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota kota sebelum dia mengutus ibukota itu
seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula)

15
Lopa, Al-Quran dan Ilmu Hukum, hlm. 128.
16
Rahadjo, Hukum dan Masyarakat, hlm, 81.
kami membinasakan kota kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan
kezaliman.”

Mohammad Daud Ali17 menunjuk juga pada akhir surat al-isra (17) ayat 15 sebagai
kepastian hukum.

“dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul.”

Anwar harjono berpendapat bahwa asas kepastian hukum juga berati tidak ada suatu
perbuatan pun dapat dipidana, kecuali atas kekuatan kekuatan kekuatan hukum atau peraturan
perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan.

Ketentuan di atas sama dengan ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang lazim
dikenal dengan asas nullum delictum nulla poena sine pravia lage poenali yang berati bahwa
tidak ada tindak pidana, tidak ada pemindahan,kalau ketentuan tindak pidana dalam undang-
undangan tidah terlebih dahulu ada.

Menurut achmad ali aliran yuridis dogmatic yang bersumber dari paham positivis sangat
mengutamakan kepastian hukum. Bagi mereka hukum adalah kumpulan peraturan.

Dapat juga di katakana bahwa ketentuan surat al-Baqoroh (2:282) yang memerintahkan
untuk menulis perjanjian dalam bidang muamalah yang dilakukan tidak secara tunai dengan di
persaksikan kepada dua orang saksi, sebab menurut ayat tersebut hal itu lebih adil di sisi Allah
dan lebih dapat menguatkan persaksian, dan lebih menghendaki aturan atau perundang-undangan
tertulis dengan tujuan, antara lain, untuk kepastian hukum.

Dalam sejarahnya, al-Qu’ran sebagai sumber pokok hukum islam yang semula tidak
tertulis dan terkumpul dalam satu kitab, akhirnya atas usul umar bin khattab kepada Khalifah
Abu Bakar dimulailah mengumpulkan ayat ayat al-Quran itu dan akhirnya terkumpul, namun
masih berserakan dan belum teraturseperti sekarang yang pada akhirnya mushaf al-quran
tersebut tersimpan pada hafsah binti Umar. Oleh karena keadaan al-quran seperti itu, lalu
Khalifah Usman bin Affan membentuk panitia untuk menyusun al-Quran yang diketahui oleh

17
Daud Ali, Hukum, hlm. 117
Zaid bin Tsabit, dengan anggota Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Haris. Panitia inilah
yang menyelesaikan penyusunan al-Quran dan membukukannya hingga selesai. Buku yang
berisi ayat-ayat al-Quran secara lengkap pertama itu, disebut mushaf, dan biasa dinamakan
mushaf Usman.

Paling utama dari kepastian hukum sebagai salah satu, bukan satu-satunya, asas hukum
islam dalam bentuknya yang tertulis ialah bahwa satu di antara ciri hukum modern selalin dari
asas teritorial, dalam arti hukum itu berlaku di seluruh wilayah Negara, hukum sebagai
instrument yang dipergunakan secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik
masyarakatnya, hukum modrn itu adalah dalam bentuk tertulis.

3. Asas Kemanfaatan

Imam Ahmad meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah, bahwa ketika Rasulullah Saw.
tiba di Madinah beliau melihat para sahabat sedang minum khamar dan bermain judi. Kemudian
para sahabat itu menanyakan mengenai khamar dan judi. Lalu, turunlah firman Allah Swt. (QS.
Al-Baqaraah [2]:219), sebagai jawaban atas pertanyaan mereka, yaitu:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanalah “Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaat.”

Apabila diperhatikan redaksi ayat tersebut bahwa di dalam meminum khamar dan
bermain judi tetap ada manfaatnya, akan tetapi dosa atau mudharatnya lebih besar sehingga
dilarang. Di sini kelihatan bahwa hukum Islam juga menganut asas manfaat.

Asas kemanfaatan juga tersirat dari ketentuan al-Qur’an:

“Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishah berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, perempuan
dengan perempuan. Maka barang siapa mendapat pemaaf dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. (QS. Al-
Baqaraah[2]:178).

Menurut Mohammad Daud Ali, dalam kasus pembunuhan, apabila pidana mati dinilai
lebih bermanfaat bagi masyarakat, misalnya dengan tujuan untuk mencegah secara umum,
general prevention, agar masyarakat tidak melakukan tindakan salah seperti terdakwa, maka
pidana matilah yang dijatuhkan. Sebaliknya apabila menurut pertimbangan hakim bahwa tidak
usah menjatuhkan pidana mati, malainkan dengan pidana diat (denda) lebih bermanfaat bagi
terdakwa, terutama keluarga korban, maka yang diterapkan sebagai pidana kepada terdakwa
adalah pidana denda yang dibayarkan kepada keluarga korban.

Asas kemanfaatan juga dapat disimpulkan dari larangan berbuat mubazzir, menyia-
nyiakan sesuatu, bahkan dalam penekanan akan larangan memborososkan sesuatu dipersamakan
dengan bersaudara dengan setan, sesuai dengan firman Allah Swt.;

“….. dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.


Sesungguhnya, pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat
ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra [17]:26-27)

Larangan memboroskan harta itu pada hakikatnya adalah agar harta itu dipergunakan
secara hemat dan cermat supaya bermanfaat betul yang biasa disebut berhasil guna dan berdaya
guna. Larangan menyia-nyiakan sesuatu yang dengan keras ditekankan dalam hukum Islam
adalah karena hukum Islam mengutamakan kemanfaatan seperti yang telah disinggung di atas.

Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam telah mengemukakan asas manfaat
sebagai salah satu asas hukumnya, yang berarti sejak abad ketujuh masehi hukum Islam telah
menganut asas menfaat sebagai salah satu asas hukumnya, sehingga ketika Jeremy Betham
menulis bukunya yang berjudul Introduction to the Principle of Morals and Legislation (terbit
pertama di London 1780) yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah menjamin
kebahagiaan terbesar (the greatest happiness for the greates number) yang dalam ilmu hukum
biasa disebut aliran kemanfaatan (utilitariansm) ia berarti telah ketinggalan sebelas abat dari
ajaran Islam!

Hal yang cukup menarikjuga bahwa ketiga asas hukum Islam tersebut, yaitu asas
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, menurut Gustav Radbruch adalah tiga ide dasar
hukum atau nilai dasar hukum.

4. Asas Hierarki
a. Asas Hukum Khusus Menyampingkan Hukum Umum

Dalam penelitian Tim Pengkajian Hukum Islam, yang dimaksud asas umum hukum Islam
hanyalah asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas kemanfaatan. Dalam tulisan ini, akan
ditambahkan beberapa asas umum hukum Islam di luar yan tiga asas di atas. Asas ini dapat
disimpulkan, baik dari al-Qur’an maupun hadits.

Dalam al-Qur’an, Allah Swt. Berfirman:

“Perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 228)

Dalam ayat lain Allah Swt. Berfirmn:

“Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid di antara perempuan-perempuanmu


jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka tiga bulan.” (QS. Ath-
Thalaq [65]: 4).

Bagi para janda yang diceraikan suaminya, apabila mereka sudah tidak berdatang bulan,
sudah tidak haid, maka waktu tunggunya adalah tiga bulan dan apabila masih berdatang bulan
maka waktu tunggunya adalah tiga kali haid atau tiga kali suci. Ini adalah ketentuan atau hukum
umum. Akan tetapi ada hukum khusus yang ditentukan oleh hukum Allah Swt. Sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak
wajib atas mereka iddah baagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” (QS. Al-
Ahzab [33]:49).

Dalam penjelasannya, mengenai kedua ayat di atas yang merupakan hukum umum, dan
ayat terakhir, Akhmad Sjalabi menulis “ini adalah merupakan suatu aturan umum bagi tiap-tiap
perempuan yang diceraikan. Lalu dibatasi oleh aturan belum “bersetubuh”. Dalam keadaan ini
tidaklah ada iddahnya”.

Ada contoh lain yang diterangakan dalam al-Qur’an:

“Sesungguhnya Allah hanya mengaharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]:73)

Ketentuan umum yang mengharamkan memekan bangkai di atas dikesampingkan oleh


ketentuan khusus, yaitu bangkai binatang air/laut yang halal menurut firman Allah Swt.:

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makan yang lezat bagimu dan orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS. Al-Midah
[5]:96).

Dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari, bagi kaum muslim yang tidak bepergian, shalat
wajib dluhur, ashar dan isya dilakukan masing-masing empat rakaat pada waktunya. Khusus
dalam muslimin dalam perjalanan atau musyafir, dengan jarak perjalanan tertentu, diberi
keringanan dalam melaksanakan shalat dluhur dua rakaat, shalat ashar dua rakaat dan shalat isya
dua rakaat. Selain itu untuk shalat dluhur dan ashar digabungkan. Kalau shalat dluhur dilakukan
pada waktu, maka shalat ashar dilakukan pada shalat dluhur juga, yakni setelah mengucapkan
salam pada shalat dluhur. Dapat juga shalat dluhurnya dilaksanakan pada waktu ashar dengan
cara shalat dluhur dulu dua rakaat dan setelah mengucapkan salam lalu shalat ashar lagi dua
rakaat.
Aturan yang sama bisa juga shalat maghrib dan isya. Pertama, bisa shalat maghrib tiga
rakaat pada waktu maghrib, setelah mengucakan salam baru shalat isya dua rakaat. Dapat juga
shalat maghrib dilaksanakan pada waktu isya dengan cara shalat maghrib terlebih dahulu tiga
rakaat kemudian setelah itu shalat isya sebanyak dua rakaat.

Dari urain di atas jelas bahwa asas hukum khusus menyampinkan asas hukum umum
yang dalam bahasa latin disebut lex specialis derogat legi generali adalah salah satu asas hukum
Islam yang disulap oleh barat menjadi berbahasa latin untuk memberi kesan seolah-olah asas
tersebut adalah asas Romawi.

b. Asas Hukum Baru Mengubah Hukum Lama

Asas hukum ini dikenal dalam literature hukum Islam dengan nama nasikh-mansukh
(membatalkan-dibatalkan, mengubah-diubah, mengganti-diganti) dan sebagainya.

“Apa saya ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (QS. Al-
baqarah [2:] 106).

Kata ‘naskh’ menurut M. Quraish Shihab, “mempunyai banyak arti, antara lain,
membatalkan, mengganti, mengubah, menyalin, dan lain-lain.”

Mungkinnsalah satu dari sebab perbedaan pendapat para ulama tentang makna kata naskh
itu karena adanya beberapa makna sehingga, “ayat ini dari segi tinjauan hukum menjadi bahan
perbedaan pendapat yang cukup panjang dikalangan ulama.”

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa orang-orang Yahudi


membantah adanya naskh. Mereka tidak membenarkan Al-Qur’an me-naskh taurat. Mereka juga
mengingkari kenabian Isa As, dan Muhammad Saw. Kerana keduanya mendatangkan perubahan-
perubahan hukum taurat.

Dalam menafsirkan ayat diatas, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy memilih pendapat


bahwa maksud kata, ‘ayat” adalah Mukjizat. M. Quraish Shihab menulis, “penutup ayat 106 dan
keseluruhan ayat 107 dapat juga menjadi semacam argumentasi tentang kebijaksanaan Allah
untuk melakukan naskh dan penundaan di atas.”

Dalam hubungan degan pembatalan ayat-ayat Al-Qur’a Ahmad Sjalaby memebrikan


beberapa catatan.

Pertama, ayat-ayat makkiyah, yang isinya adalah pokok-pokok dan dasar agama, seperti
keesaan Allah (tauhid), larangan menyembah berhala dan selain Allah, berperilaku atau
berakhlak mulia tidak mungkin dibatalkan karena hal-hal itu tidak berubah dengan perubahan
masa dan tempat.

Kedua, pembatalan itu pada umumnya memebrikan keringanan, Allah Swt, Berfirman:

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada 20 orang
yang sabar diantara kamu, niscaya mereka akan mengalahkan 200 orang musuh. Dan jika
ada 100 orang (yang sabar) di anataramu, mereka dapat mengalahkan 1000 orang dari
orang-orang kafir.” (QS. Al-anfal [8]: 65).

Ayat diatas jelas menegaskan perbandingan anatara mukminin dan kafirin dalam
peperangan adalah 20 berbanding 200 atau 100 berbanding 1000 atau 1 berbanding 10.
Kemudian Allah Swt. Mengubah ketentuan ini dengan firmannya:

“Sekarang Allah meringakan kepadamu dan dia telah mengetahui pada padamu ada
kelemahan. Maka jika ada diantara kamu 100 orang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan 200 orang: dan jika di anataramu ada 1000 orang (yang sabar), niscaya
mereka dapat mengalahkan 2000 orang dengan se izini Alllah.” (QS. Al-anfal [8]: 66).
Ketiga, kadangkala suatu ketentuan hukum dibatalkan secara keseluruhan oleh aturan
atau hukum sesudahnya. Allah Swt. Berfirman:

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah
berwasiat untuk istri-istrinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). ‘QS Al-Baqarah (2: 240).

Kemudian ayat diatas dibatalkan oleh ayat berikut:

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri


(hendaklah pada istri itu) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari.”
(QS al-baqarah [2]: 234).

Dalam hadits, juga biasa terjadi pembatalan hukum. Sebagai contoh, Nabi Muhammad
Saw. Pada mulanya melarang orang-orang berziarah ke kuburan. Ada kekhawatiran jangan
sampai umat islam yang baru dibina itu mengkramatkan kuburan sehingga mengarah kepada
kemusyrikan. Akan tetapi, setelah keimanan umat telah kokoh, serta kekhawatiran untuk
menserikatkan Allah Swt. Sudah tidak ada lagi, lalu Rosulullah Muhammad Saw. Mengubah
larangan berziara ke kuburan dengan sabdahnya:

“dahulu kami melarang kamu berziarah ke kubur, tetapi sekarang berziarahlah.”

Keempat, Ahmad Sjalaby berpendapat bahwa ayat ayat yang di batalkan tidaklah
beberapa jumlahnya, dan lebih baik jangan beranggapan bahwa banyak ayat-ayat yang di
batalkan.

Ahmad Mustafa al Maragi rupanya sependapat dengan Ahmad Sjalaby. Menurutnya,


“Menasakh suatu hukum kadang mengganti dengan hukum lain yang pelaksanaannya lebih
mudah seperti masalah ‘iddah seorang istri yang ditinggal mati suaminya.pada mulanya, satu
tahun kemudian di Nasakh dengan empat bulan. Terkadang dengan hukum yang sepadan
misalnya seperti menghadapi baitul maqdis didalam shalat, kemudian dinasakh dengan
menghadap kiblat.”

Dalam hubungan dengan pembatasan hukum ini, imam Syafi’i menulis bahwa Allah
menegaskan ketentuan dalam al-Qur’an hanya dapat dihapuskan oleh al-Qur’an itu sendiri.
Sunnah tidak dapat membatalkan al-Qur’an karena sunah yang justru harus mengikuti al-Qur’an
baik dengan cara memberikan penegasan yang sama atau memberikan penjelasan dari makna
yang ada di dalamnya. Alasan atau hujjah yang dikemukakan oleh imam syafi’i adalah firman
Alllah Swt.:

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-orang yang
tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkat, “Datanglah al-Qur’an yang lain dari
ini atau gantilah dia.” Katakanlah, “Tidak patut bagiku mengganti dari pihak diriku
sendiri. Aku tidk mengikuti kecuali yang diwahyukan kepdaku. Sesungguhnya, aku takut
jika mendurhakai Tuhanku, akan siksa Hari Yang Besar (Qiamat). (QS. Yunus [10]:15).

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki) dan di sisiNyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Rad
[3]:39).

Dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang dibatalkan dan membatalkan, mengubah dan
diubah, mengganeti dan diganti (nasikh-mansukh) tersebut dapat disimpulkan baha hukum tau
aturan yang membatalkan atau mengubah harus sederajat, atau lebih tinggi tingkatnya daripada
aturan yang diubah atau dibatalkannya dan hukum yang mengubah atau membatalkan itu ada
sesudah hukum yang dibatalakan.

Pembatasan hukum oleh yang lebih tinggi tingkatannya tehadap hukum yang lebih
rendah, dalam contoh hukum Islam ialah ketika Rasulullah Saw. berjanji takkan minum madu
demi menyenangkan hati istri-istrinya sehingga Allah Swt. Membatalkan sunah yang
mengharamkan madu tersebut dengan firmannya:
“Hai nabi mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu
mencari kesenangan hati istri-istrimu?” (QS. At-Tahrim [66]:1).

Pembatalan hukum oleh yang lebih tinggi tingktannya terhadapa hukum yang lebih
rendah posisinya, dikenal dalam ilmu hukum sebagai asas lex superior derogate legi inferiori.

Al-Qur’an dan Sunah yang masing-masing merupakan otoritas Rasulullah Saw. untuk
mengubahnya, karena sudah tidak ada lagi ayat-ayat yang diturunkan Allah Swt. dan Rasulullah
Saw. telah wafat, maka al-Qur’an dan sunah yang biasa disebut syariah sudah tidak bisa lagi
dirubah, karena tidak ada otoritas yang dapat melakukukannya dan sebab itulah berlaku abadi.
Adapun fiqh, yaitu pemahaman terhadap syaria, karena ia adalah pendapat dari para fakih, ahli
fiqh, bisa saja berubah menurut waktu dan tempat.

Kemungkinan perubahan suatu aturan hukum seperti yang dicontohkan oleh Allah Swt.
Dan Rasulullah Saw. itulah sehingga Pasal 37 Undang-undang Dasar 1945 menetapkan
kemungkinan mengubah undang-undang dasar tersebut oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dalam hubungan dengan perubahan Undang-undang Dasar 1945, pernah suatu waktu,
terutama pada masa pemerintah Orde Baru, Undang-undang Dasar 1945 menjadi suatu yang tabu
untuk diubah, sehingga seolah-olah sudah meningkat posisinya sederajat dengan syariah yang tak
boleh diubah sementara ia tidak lebih dari karya manusia yang tak luput dari kekurangan dan
kelemahan. Syukurlah kita semua bahwa era pemberhalaan Undang-undang Dasar 1945 sudah
berlalu dengan mulai dilakukannya perubahan atasnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan Perubahan Pertama , pada tanggal 19 Oktober 1999; Perubahan kedua, 18 Agustus 2000;
Perubahan ketiga, 9 November 2001 dan Perubahan Keempat, 10 Agustus 2002.

Dengan perubahan hukum atau perundang-undangan baru terhadap hukum atau aturan
perundang-undangan yang lama sepertib diuraikan di atas, maka asa lex posterior derogate legi
anteriori (proiri) yang dipopulerkan dalam bahasa latin sesungguhnya adalah termasuk salah satu
asas hukum Islam.
c. Asas Hukum Tinggi Menyampingkan Hukum Rendah

Hukum Islam itu bertingkat-tingkat seperti piramida, sebagaimana yang selama ini secara
keliru dibangsakan kepada atau sebagai teori Hans Kelsen. Dalam tingakatan-tingkatan hukum
itu, yang tertinggi kedudukannya adalah al-Qur’an, menyusul setelah itu sunah Rasulllah dan
baru setelah itu ijtihad.

Dengan adanya tingkatan-tingkatan itu, maka suatu ijtihad yang memperoleh dasar
hukum berlakunya dari sunah atau hadits tidak boleh bertentangan dengan hadits, apalagi dengan
al-Qur’an. Sunah atau hadits yang memperoleh keabsahannya dari al-Qur’an juga tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an sebagai sumber hukumnya. Jikalau hasil ijtihad bertentangan
dengan sunah maka hasil ijtihad itu tidak sah. Suatu ijtihad, yang biasa disebut fiqh, yakni
pemahaman terhadap syariah (al-Qur’an dan Sunnah) berlakunya hanya bersifat temporal dan
lokal, berbeda dengan syariah yang berlaku kekal dan universal.

Sunah Rasulullah yang memperoleh dasar hukum berlakunya dengan adanya pelimpahan
wewenang dari Allah Swt, tentu juga tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an. Sutu contoh
sunah Rasulullah Saw. yang bertentangan dengan al-Qur’an adalah masalah pengaharaman madu
oleh Rasulullah Saw.

Al-quran sudah menetapkan bahwa madu adalah minuman halal yang mengandung obat
bagi manusia sesuai firman-Nya;

“dan dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya di
dalamnya terdapat obat yang menyembukan bagi manusia.” (QS. An-Nahl (16): 69).

Suatu waktu, Rasullah SAW. minum madu di rumah salah seorang istrinya, yaitu Zainab
binti Jahzy, karena dia memang suka manisan dan madu. Seterusnya, Nabi ke istrinya yang lain,
yaitu hafzah dan si sana ditanyai oleh istrinya itu tentang makanannya di rumah Zainab binti
Jahzy yang dijawab, “aku minum madu di rumah Zainab binti Jahzy dan aku tidak akan
meminumnya lagi karena aku telah bersumpah dan jangan beritahukan hal ini kepada orang lain”
Behubung adanya sunnah atau hadist rasullah saw. yang mengharamkan madu yang telah
dihalalkan Allah SWT. Seperti tersebut di atas, maka Allah SWT. Memberikan semacam teguran
yang merupakan judicial review dan sekaligus meluruskan kesalahan Rasulullah. Dengan firman
Nya:

“hal Nabi, mengapa kamu mengharamkan yang Allah menghallalkan bagimu; kamu
mencari kesenangan hati istri-istrimu?” (QS. At-Tahrim(66): 1).

Terguran yang diberikan Allah SWT. Tersebut terhadap Rasul-Nya, menggunakan Teori
bahwa jenjang atau tata urutan perundang –undangan dilaksanakan secara konsisten dalam
hukum islam. Di sini jelas bahwa hukum yang lebih rendah tingkatangnya tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi levelnya. Kalau sampai bertentangan, maka
hukum yang lebih tinggilah yang berlaku. Hal semacam itu, dalam asas hukum sekarang, dikenal
dengan prinsip lex superior derogate legi inferirio.

Anda mungkin juga menyukai