PELAYANAN KEBIDANAN
OLEH :
15340005
1
B. Latar belakang sistem legislasi tenaga bidan Indonesia
a. UUD 1945
Amanat dan pesan mendasar dari UUD 1945 adalah upaya pembangunan nasional
yaitu pembangunan disegala bidang guna kepentingan, keselamatan, kebahagiaan, dan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia secara terarah, terpadu dan berkesinambungan.
2
D. Pelayanan bidan yang terkait dengan aspek hukum
1. Tindakan kesehatan Administrasi meliputi : pendidikan formal,SIB.SIPB Inform
consent
2. Tindakan kesehatan diagnostik meliputi : jaminan kerahasiaan,mutu pelayanan
3. Tindakan kesehatan terapi meliputi : SPK, Standar profesi
3
• Dalam melakukan kewajibannya harus memenuhi standar Profesi dan menghormati
hak pasien
H. Otonomi bidan dalam pelayanan
Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal yang penting dan
dituntun dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan dengan keselamatan jiwa
manusia, adalah pertanggungjawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua
tindakan yang dilakukannya. Sehingga semua tindakan yang ilakukan oleh bidan harus
berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence based. Akuntabiliti diperkuat dengan satu
landasan hukumyang mengatur batas-batas wewang profesi yang bersangkutan.
Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan memiliki hak
otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang dilandasi kemampuan
berfikir logis dan sistematis serta bertindak sesuai standar profesi dan etika profesi.
Praktik kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan mutunya melalui :
1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
2. Penelitian dalam kebidanan
3. pengembangan ilmu dan tehknologi dalam kebidanan
4. Akreditasi
5. Sertifikasi
6. Registrasi
7. Uji Kompetensi
8. Lisensi
Beberapa dasar dalam otonomi pelayanan kebidanan antara lain sebagai:
1. Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan.
2. Standar Pelayanan Kebidanan,2001
3. Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar
Profesi Bidan.
4. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan.
5. PP No. 32/Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan.
6. Kepmenkes 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang organisasi dan tata kerja Depkes.
7. UU No. 22/1999 tentang Otonomi daerah.
4
8. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
9. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung, transplantasi.
10. KUHAP,dan KUHP,1981.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
12. UU yang terkait dengan Hak reproduksi dan keluarga Berencana;
a. UU no. 10/1992 Tentang pengembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera
b. UU no.23/ 2003 Tentang PenghapusanKekerasan Terhadap Perempuan di
Dalam Rumah Tangga.
5
2. ISUE ETIK DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
1) Pengertian dan bentuk Etika
a. Etika diartikan "sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam
hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan
didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan".
Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik
adalah disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia.
Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam
menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau
tidak (Jones, 1994)
b. Bentuk Etika
1. Etika deskriptif, yang memberikan gambaran dan ilustrasi tentang tingakh laku
manusia ditinjau dari nilai baik dan buruk serta hal-hai,mana yang boleh dilakukan
sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
2. Etika Normatif, membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia,
yang biasanya dikelompokkan menjadi:
a. Etika umum: yang membahas berbagai hal yang berhubungan dengan kondisi
manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori.
b. Etika khusus; terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.
- Etika sosial menekankan tanggungjawab sosial dan hubungan antarsesama
manusia dalam aktivitasnya,
- Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia
- Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi
2) Issue etik yang terjadi antara Bidan dengan Klien, Kelurga, dan Masyarakat Teman
Sejawat,Teman kesehatan lainya, Organisasi profesi.
a) Issue etik yang terjadi antara bidan dengan klien,keluarga,masyarakat
Issue etik yang terjadi antara bidan dengan klien, keluarga dan masyarakat
mempunyai hubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan. Seorang
bidan dikatakan profesional bila ia mempunyai kekhususan sesuai dengan peran dan fungsinya
6
yang bertanggung jawab menolong persalinan. Dengan demikian penyimpangan etik mungkin
saja akan terjadi dalam praktek kebidanan misalnya dalam praktek mandiri, bidan yang
bekerja di RS, RB atau institusi kesehatan lainnya. Dalam hal ini bidan yang praktek mandiri
menjadi pekerja yang bebas mengontrol dirinya sendiri. Situasi ini akan besar sekali
pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan etik.
7
3) Issue etik dalam pelayanan kebidanan
a. Pengertian Issue
Isu adalah masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu lingkungan yang
belum tentu benar, serta membutuhkan pembuktian. Isu adalah topic yang menarik
untuk didiskusikan dan sesuatu yang memungkinkan orang untuk mengemukakan
pendapat yang bervariasi. Isu muncul dikarenakan adanya perbedaan nilai.
8
3. Contoh masalah etik yang berhubungan dengan profesi:
a. Pengambilan keputusan dan penggunaan etik.
b. Otonomi bidan dan kode etik profesional.
c. Etik dalam penelitian kebidanan.
d. Penelitian tentang masalah kebidanan yang sensitif.
9
3. PERATURAN MENKES TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PRAKTEK
BIDAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bidan adalah seorang perempuan yg lulus dari pendidkan bidan yang telah teregistrasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yg digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif,
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
3. Surat Tanda Registrasi, selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang diregistrasi setelah memiliki sertifikat
kompetensi
4. Surat Izin Kerja Bidan, selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan.
5. Surat Izin Praktik Bidan, selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk mejalankan praktik
bidan mandiri
6. Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar
operasional prosedur.
7. Praktik mandiri adalah praktik bidan swasta perorangan.
8. Organisasi profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
10
BAB II
PERIZINAN
Pasal 2
Bidan dapat menjalankan praktik mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan.
Bidan yg menjalankan praktik mandiri harus berpendidikan minimal Diploma III (D
III) Kebidanan.
Pasal 3
Setiap bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB.
Setiap bidan yg menjalankan praktik mandiri wajib memiliki SIPB.
SIKB atau SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk 1
(satu) tempat.
Pasal 4
Untuk memperoleh SIKB dan SIPB sebagaimana dimaksud pada pasal 3, Bidan harus
mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
melampirkan:
1. Fotokopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir
2. Surat keterangan sehat fisik dari dokter yangg memiliki SIP
3. Surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat
praktik
4. Pasfoto berwarna ukuran 4×6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar
5. Rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk
6. Rekomendasi dari organisasi profesi.
Kewajiban memiliki STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila belum terbentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), Majelis
Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum dapat dilaksanakan,
Surat Izin Bidan ditetapkan berlaku sebagai STR.
Contoh surat permohonan memperoleh SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Formulir I terlampir
11
Contoh SIKB sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir.
Contoh SIPB sebagaimana tercantum dalam Formulir III terlampir
Pasal 5
SIKB / SIPB dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten / kota
Dalam hal SIKB/SIPB dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota maka
persyaratan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) huruf e tidak diperlukan.
Permohonan SIB/SIPB yang disetujui atau ditolak harus disampaikan oleh pemerintah
daerah kabupaten /kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota kpeada pemohon dalam
waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan diterima.
Pasal 6
Bidan hanya dapat menjalankan praktik dan/atau kerja paling banyak di 1 (satu) tempat kerja
dan 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 7
SIKB/SIPB berlaku selama STR masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika
habis masa berlakunya.
Pembaharuan SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota setempat dengan melampirkan :
1. fotokopi SIKB/SIB yg lama
2. fotokopi STR
3. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki SIP
4. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga) lembar
5. rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk
sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e
6. rekomendasi dari oranisasi profesi
Pasal 8
SIKB/SIPB dinyatakan tidak berlaku bila :
1. Tempat kerja/praktik tidak sesuai lagi dengan SIKB/SIPB
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut oleh pejabat yang berwenang memberikan izin
12
BAB III
PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 9
Bidan dalam mejalankan praktik berwenang untuk memberikan Pelayanan yang meliputi :
1. Pelayanan kesehatan ibu
2. Pelayanan kesehatan anak
3. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
Pasal 10
Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a diberikan pada
masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa
antara dua kehamilan.
Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
1. Pelayanan konseling pada masa pra hamil
2. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
3. Pelayanan persalinan normal
4. Pelayanan ibu nifas normal
5. Pelayanan ibu menyusui
6. Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berwenang
untuk :
1. Episiotomi
2. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
3. Penanganan kegawat-daruratan, dlanjutkan dengan perujukan
4. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
5. Pemberian Vit A dosis tinggi pada ibu nifas
6. Bimbingan inisiasi menyusui dini dan promosi ASI ekslusif
7. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum
8. Penyuluhan dan konseling
9. Bimbingan pada kelompok ibu hamil
10. Pemberian surat keterangan kematian
13
11. Pemberian surat keterangan cuti bersalin
Pasal 11
Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksd dalam pasal 9 huruf b diberikan pada
bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berwenang untuk :
1. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi,
inisiasi menyusu dini, injeksi vit K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal
(0-28 hr) dan perawatan tali pusat
2. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
3. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan rujukan
4. Pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah
5. Pemantauan tubuh kembang bayi, anak balita dan anak prasekolah
6. Pemberian konseling dan penyuluhan
7. Pemberian surat keterangan kelahiran
8. Pemberian surat keterangan kematian
Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c berwenang untuk
1. Memberikan penyuluhan dan konseling; kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana
2. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom
Pasal 13
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, 11, dan 12, bidan yang
menjalankan program pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan
meliputi:
1. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kotrasepsi dalam rahim, dan alat kontrasepsi
bawah kulit
2. Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu
dilakukan dibawah supervisi dokter
3. Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
14
4. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak,
anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan
5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah, dan anak sekolah
6. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
7. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi
Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya
8. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) melalui informasi dan edukasi
9. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah
Pelayanan alat kontasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi
dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk dan memberikan
peyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta
pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah dilatih untuk itu.
Pasal 14
Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9.
Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terdapat dokter,
kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.
Pasal 15
Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota menugaskan bidan praktek mandiri
tertentu untuk melaksanakan program pemerintah
Bidan praktek mandiri yang ditugaskan sebagai pelaksana program pemerintah berhak
atas pelatihan dan pembinaan dari pemeritah daerah provinsi/kabupaten/kota.
Pasal 16
Pada daerah yang belum memiliki dokter, pemerintah dan pemerintah daerah harus
menempatkan bidan dengan pendidikan minimal Diploma III Kebidanan.
15
Apabila tidak terdapat tenaga bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
dan pemerintah daerah dapat menempatkan bidan yang telah mengikuti pelatihan.
Pemerintah daerah propinsi/kabupaten/kota bertanggung jawab menyelenggarakan
pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memilki dokter.
Pasal 17
Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi :
1. Memiliki tempat praktek, ruangan praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan
kebidanan, serta peralatan untuk menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita dan
pra sekolah yang memenuhi persyaratan lingkungan sehat
2. menyediakan maksimal 2 ( dua ) tempat tidur untuk persalinan
3. memiliki sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku
4. Ketentuan persyaratan tempat praktik dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) satu tercantum dalam Lampiran Peraturan ini
Pasal 18
Dalam melaksanakan praktek/kerja, bidan berkewajiban untuk :
1. menghormati hak pasien
2. memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan
3. merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat
waktu
4. meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
5. menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
6. melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelyanan lainnya secara sistematis
7. mematuhi standar
8. melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk
pelaporan kelahiran dan kematian
Bidan dalam menjalankan praktik/kerja senantiasa meningkatkan mutu pelayanan
profesinya, dengan mengikuti perkembangan iptek melalui pendidikan dan pelatihan
sesuai dengan bidang tugasnya.
Bidan dlm menjalankan praktik kebidanan hrs membantu program pemerintah dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
16
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktek bidan mempunyai hak :
1. perlindungan hukum dalam pelaksanaan praktik/kerja sepanjang sesuai dengan standar
2. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya
3. melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar
4. menerima imbalan jasa profesi.
BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 20
Dalam melakukan tugasnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai
dg pelayanan yg diberikan.
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan ke Puskesmas wilayah
tempat praktik.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk bidan yang
bekerja di fasilitas pelayan kesehatan.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 21
Menteri, Pemerintah daerah Provinsi, Pemda kabupaten/kota melakukan pembinaan
dan pengawasan dengan mengikutsertakan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia,
Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi, organisasi profesi dan asosiasi institusi
pendidikan yang bersangkutan.
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pd ayat (1) diarahkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat
terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan
17
Kepala Dinas Kesehatan Kab/kota hraus melaksanakan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan praktik bidan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas
Kab/Kota hraus membuat pemetaan tenaga bidan praktik mandiri dan bidan di desa
serta menetapkan dokter Puskesmas terdekat untuk pelaksanaan tugas supervisi
terhadap bidan di wilayah tersebut.
Pasal 22
Pimpinan fasilitas kesehatan wajib melaporkan bidan yang bekerja dan yang berhenti bekerja
di fasilitas pelayanan kesehatannya pada tiap triwulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kab/Kota dengan tembusan kepada organisasi profesi
Pasal 23
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21,
Menteri, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kab/kota dapat memberikan
tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :
1. teguran lisan
2. teguran tertulis
3. pencabutan SKIB/SIPB untuk sementara paling lama 1(satu) tahun; atau
4. pencabutan SKIB/SIPB selamanya
18
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Bidan yang telah mempunyai SIPB berdasarkan Kepmenkes No
900/Menkes/SK/VI/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan dan Permenkes No
HK.02.02/Menkes/149/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
dinyatakan telah memiliki SIPB berdasarkan Peraturan ini sampai dengan masa
berlakunya berakhir.
Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperbaharui SIPB apabila Surat
Izin Bidan yang bersangkutan telah habis jangka waktunya berdasarkan Peraturan ini.
Pasal 26
Apabila Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Kesehatan Provinsi
(MTKP) belum dibentuk dan/atau belum dapat melaksanakan tugasnya maka registrasi bidan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Kepmenkes No 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang
Registrasi dan Praktik Bidan.
Pasal 27
Bidan yang telah melaksanakan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan sebelum ditetapkan
Peraturan ini harus memiliki SIKB berdasarkan Peraturan ini paling selambat-lambatnya 1
(satu) tahun sejak peraturan ini ditetapkan.
Pasal 28
Bidan yang berpendidikan di bawah Diploma III (D III) Kebidanan yang menjalankan praktik
mandiri harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan ini selambat-lambatnya 5 (lima)
tahun sejak Peraturan ini ditetapkan.
19
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat peraturan ini mulai berlaku :
1. Kepmenkes No 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan
sepanjang yang berkaitan dengan perizinan dan praktik bidan
2. Permenkes No HK.02.02/Menkes/149/I/2010 tentang Izin dan penyelenggaraan
Praktik Bidan; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Peraturan ini berlaku pada tgl diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2010
20
4. PERAN DAN FUNGSI MENJADI PERTIMBANGAN ETIK BIDAN (MPEB)
Pelaksanaan tugas bidan dibatasi oleh norma, etika, dan agama. Tetapi apabila ada
kesalahan dan menimbulkan konflik etik, maka di perlukan wadah untuk menentukan
standar profesi, prosedur yang baku dan kode etik yang di sepakati, maka perlu di bentuk
Majelis Etika Bidan,yaitu MPEB dan MPA.
Tujuan dibentuknya Majelis Etika Bidan adalah untuk memberikan perlindungan yang
seimbang dan objektif kepada Bidan dan penerima pelayanan.
21
Penorganisasian majelis etik kebidanan, adalah sebagai berikut:
a) Majelis etik kebidanan merupakan lembaga organisai yang mandiri, otonom, dan
non
structural.
b) Majelis etik kebidanan dibentuk ditingkat propinsi dan pusat
c) Majelis etik kebidanan pusat berkedudukan di ibukota Negara dan majelis etik
kebidanan propinsi berkedudukan di ibu kota propinsi.
d) Majelis etik kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh sekretaris
e) Jumlah anggota masing-masing terdiri daei lima orang
f) Masa bakti anggota majelis etik kebidanan selam tiga tahun dan sesudahnya,jika
berdasarkan evaluasi masih memenuhi ketentuan yang berlaku, maka anggota
tersebut
dapat dipilih kembali
g) Anggota majelis etik kebidanan diangkat dan diberhentikan oleh menteri kesehatan
h) Susunan organisasi majelis etik kebidanan tediri dari:
1. Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan dibidang hukum
2. Sekretaris merangkap anggota
3. Anggota majelis etik bidan
22
f) Keputusan paling lambat 60 hari, dan kemudian disampaikan secara tertulis kepada
pejabat yang berwewenang
g) Biaya dibebankan pada anggaran pimpinan pusat IBI atau pimpinan daerah IBI
ditingkat profensi
Dalam pelaksanaanya dilapangan sekarangan ini bahwa organisasi profesi bidan
IBI,telah melantik MPEB (Pertimbangan Etika Bidan) dan MPA (Majelis Pembelaan
Anggota),namun dalam pelaksanaanya belum terealisasi dengan baik.
23
5. PERATURAN UU KESEHATAN TENTANG ABORSI
a. Pasal 75
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2) larangan pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang menderita penyakit genetik
beratdan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan.
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
4) Tindakan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan:
1) Sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis.
2) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri.
3) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan.
4) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
5) Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.
24
c. Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan
tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
a. Pasal 229
1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya
diobati
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu
hamilnya dapat digugurkan. Maka orang tersebut diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat puluh ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian demi mencari keuntungan, menjadikan
perbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atrau jika dia seorang tabib,
bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian,
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian.
b. Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan, menghabisi nyawa kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
25
c. Pasal 347
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan
kandungan
seorang wanita tanpa persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya orang tersebut, dikenakan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
d. Pasal 348
1) Siapa yang dengan sengaja menggugurkan atau menghabisi nyawa kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama
lima tahun enam bulan.
2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
e. Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang diterangkan
dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.
f. Pasal 535
Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk
menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau diminta menawarkan,
ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta,
menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantara yang demikian itu, diancam
dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
26
6. PERATURAN PEMERINTAH TENTANG UU ADOPSI
Adopsi adalah suatu proses penerimaan seorang anak dari seseorang atau lembaga
organisasi ketangan orang lain secara sah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Adopsi juga berarti memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang
lain kedalam keluarganya dengan status fungsi sama dengan anak kandung.
Adopsi juga diartikan sebagai perbuatan hukum, dimana seseorang yang cakap
mengangkat seorang anak orang lain menjadi anak sah-nya. Pada adopsi tidak berarti
memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, tetapi secara hukum
terbentuk hubungan hukum sebagai orang tua dan anak.
27
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak
perempuan.
d. Isi permohonan, adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah motivasi
mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut. -
penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
e. Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua orang saksi yang
mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula orang
yang mengetahui betul tentang kondisi pemohon (baik moril maupun materil) dan
memastikan bahwa pemohon akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.
28
f. Yang dilarang dalam permohonan, Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan
dicantumkan dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu:
1) Menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
2) Pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon. Hal ini
disebabkan karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal,
tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak
angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja. Mengingat bahwa Pengadilan akan
mempertimbangkan permohonan, maka pemohon perlu mempersiapkan segala sesuatunya
dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan
finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan keyakinan kepada majelis
hakim tentang kemampuan pemohon dan kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti
tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.
h. Akibat hukum pengangkatan anak, pengangkatan anak berdampak pula pada hal
perwalian dan waris.
1) Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat
menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban
orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan
beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya
hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
2) Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama,
29
artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan
pewarisan bagi anak angkat.
Ø Pengangkatan Anak diatur dalam pasal 39 – 41 UUPA
1. Pasal 39
a. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak
dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-
undangan yang berlaku.
b. Pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan
darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
c. Calon orang tua anak harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak
angkat.
d. Pengangkatan anak oleh WMA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
e. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan
agama
mayoritas penduduk setempat.
2. Pasal 40
a. Orang tua wajib memberitahukan keoada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan
orang tua kandungnya.
b. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
3. Pasal 41
Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP No 54 Tahun 2007).
30
7. PERATURAN UU TENTANG BAYI TABUNG
31
2. Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat ditinjau dari
beberapa kondisi berikut ini:
a) Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan ke
dalam rahim isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki hubungan
waris serta keperdataan selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH Perdata).
b) Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka
anak yang terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari pasangan
yang memiliki benih (Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH Perdata).
c) Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan tetapi
embrionya diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan, anak yang
terlahir statusnya sah bagi pasutri tersebut.
d) Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak yang terlahir
adalah anak di luar nikah.
32
8. APLIKASI ETIK DALAM PRAKTEK KEBIDANAN
Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap
anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam
hidupnya di masyarakat.
Kode etik profesi merupakan "suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan
tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang profesinya baik
yangberhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi
dan dirinya sendin". Namun dikatakan bahwa kode etik pada zaman dimana nilai–nilai
perada ban semakin kompleks, kode etik tidak dapat lagi dipakai sebagai pegangan satu–
satunya dalam menyelesaikan masalah etik, untuk itu dibutuhkan juga suatu pengetahuan
yang berhubungan dengan hukum. Benar atau salah pada penerapan kode etik,
ketentuan/nilai moral yang berlaku terpulang kepada profesi.
33
2). Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental. Dalam hal
kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi
anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga
menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak
pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.
34
Penetapan Kode Etik
Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh organisasi untuk para anggotanya. Penetapan kode etik
IBI harus dilakukan dalam kongres IBI.
35
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)
1). Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga dan
masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan
klien, keluarga dan masyarakat.
2). Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam
mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk keputusan mengadakan konsultasi dan
atau rujukan.
3). Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan atau dipercayakan
kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau dipedukan sehubungan kepentingan
klien.
36
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air (2 butir)
1). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuanketentuan
pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan
keluarga dan masyarakat.
2). Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikirannya kepada
pemerintah untuk- meningkatkan mutu jangakauan pelayanan kesehatan terutama
pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
7. Penutup (1 butir)
Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari senantiasa menghayati dan
mengamalkan Kode Etik BidanIndonesia.
37
DAFTAR PUSTAKA
http://chellious.wordpress.com/2010/11/02/issue-etik-dalam-pelayanan-kebidanan/
file:///C:/Users/User/Downloads/tugas-etika-tentang-issue-etik-dalam.html
Marimbi, Hanum.2008. Etika dan Kode Etik Profesi Kebidanan, Mitra Cendikia Press.
Jogjakarta
http://www.depkes.go.id/index.php?act=regulation&pgnumber=1&txtKeyword=&type=003&
year=2010
38