Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

Mata Kuliah Ekonomi Publik

Dosen pengampu : Singgih Setiawan, M.M

Disusun oleh :

1. Dwi Sabella Putri (4117062)


2. Wahyu Aji Pamungkas (4117181)
3. Naila Mardiani (4117247)

Kelas A

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayahnya kepada kita semua
khususnya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan penulisan Makalah ini dengan judul
“Pajak Petambahan Nilai” dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun untuk
memenuhi tugas pembelajaran mata Kuliah Ekonomi Publik di IAIN Pekalongan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu
penyelesaia penulisan makalah ini, disamping itu kami juga menyadari bahwa masih banyak
kesalahan dalam penulisan makalah ini, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang
membangun. Sehingga bisa melengkapi dan menjadikan makalah ini bisa lebih baik lagi
nantinya. Akhir dari kami tentunya kami mohon maaf sebesar-besarnya jika terjadi kesalahan
dalam penulisan ini, mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat dan menjadi referensi bagi
pembaca.

Pekalongan, April 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak
Penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak relevan lagi
dengan perkembangan zaman. Dan banyak aspek-aspek yang terbuka celahnya sehingga
dapat menimbulkan penyelundupan yang tidak dapat teratasi. Selain itu, Pajak Penjualan
mempunyai beberapa kelemahan lainnya seperti, mempunyai bermacam-macam tarif yang
menyulitkan para Subjek dan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya, dan adanya
pajak berganda. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Pajak Penjualan mengalami
perubahan dari waktu ke waktu.
Pemerintah pun menyadari akan kekurangan Pajak Penjualan tersebut, oleh karena itu
diadakanlah revisi secara berkala pada Pajak Penjualan itu sendiri sehingga namanya dirubah
menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN sendiri memiliki beberapa forte (kelebihan)
yang menutupi Pajak Penjualan pendahulunya tersebut. Di antaranya seperti, menghilangkan
pajak berganda, menggunakan tarif tunggal, netral dalam persaingan dalam negeri,
perdagangan internasional, pola konsumsi dan juga dapat mendorong ekspor.

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pajak Pertambahan nilai dan Pajak atas barang mewah

Pajak pertambahan nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah Pabean yang
dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produkasi dan distribusi. Pengenaan pajak
pertambahan nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis yang baru. Pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah diatur dalam UU No 42 Tahun 2009.1

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas “Nilai Tambah” dari Barang Kena Pajak (BKP)
atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

PPN berasal dari Pajak Penjualan yang termodifikasi. Pada dasarnya terdapat 2 cara dalam
pengambilan Pajak Penjualan, yaitu dengan cara Single Stage Levies dan Multi-Stage Levies.
Pada Single Stage Levies, terdapat 3 tempat dimana pajak tersebut diambil. Yaitu pada pihak
produsen atau pedagang besar/grosir, atau pada tingkat konsumen akhir. Akan tetapi, pada
masing-masing tingkatan terdapat kelemahan-kelemahan yang memungkinkan untuk
memberatkan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya. Pada sistem yang kedua (Multi-
Stage Levies) juga terbagi menjadi 2 sistem, yaitu Cumulative Cascade Systems dan Non
Cumulative System (Value Added).
Pada Cumulative Cascade Systems pajak dipungut pada tingkat peredaran barang pada jalur
produksi dan distribusi tanpa adanya penyesuaian (adjustment) terhadap pajak yang telah dibayar
pada jalur sebelumnya. Pajak ini dipungut setiap kali ada pemindahan barang pada jalur
berikutnya. Karena tidak ada kredit pajak, maka beban pajak menjadi berlipat ganda (kumulatif)
melebihi tarif yang sebenarnya berlaku untuk peredaran barang tersebut. Sedangkan pada Non
Cumulative System (Value Added) pajak hanya timbul karena adanya faktor produksi yang
terpakai untuk menambah nilai barang tersebut seperti bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua
biaya untuk mendapatkan laba. Jadi yang menyebabkan PPN (Value Added Tax) makin
bertambah di setiap tingkatan penjualan adalah adanya unsur-unsur yang menambah nilai suatu
barang yang mempunyai biaya tertentu yang labanya tersebut dapat diambil pajak darinya.

1
Chairil Anwar Pohan, Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai ; teori, konsep, dan Aplikasi PPN, (Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 7
Sehingga tidak terjadi perlipatan ganda biaya pajak karena pada dasarnya biaya produksi yang
produsen keluarkan sudah dibayarkan ketika raw material tersebut dirubah menjadi produk siap
pakai.2
Alan A. Tait dalam bukunya yang berjudul Value Added Tax :Internasional Practice and
Problem (1998 : 4) menguraikan pengertian nilai tambah sebagai berikut :

“Nilai tambah adalah nilai yang seorang produser (apakah produsen, distributor, agen
periklanan, penata rambut, petani, pelatih kuda pacuan, atau pemilik sirkus) tambahkan ke dalam
nilai bahan baku atau pembelian (selain tenaga kerja) sebelum produk baru atau produk atau jasa
yang telah ditingkatkan tersebut terjual.”

Jadi dalam hal ini dapat dilihat bahwa pajak pertambahan nilai (PPN) pada dasarnya merupakan
pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarnnya dari
produsen ke konaumen. Dalam bahasa inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods
and Services Tax(GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut
disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain,
penanggung pajak(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung
(Wikipedia, 2015). ST diterapkan di Amerika Serikat dan Australia.

 Kelebihan dan kelemahan PPN

Ben Terra dalam bukunya Sales Taxation : The Case of value Added Tax in The Europran
Community (1988 :37) mengemukaan beberapa kelebihan (advantages)dari VAT :

1. Fiscal Advantage
2. Psychological Advantage
3. Economic Advantage
a. Kelebihan PPN
1. Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda
2. Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri

2
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers; 2014), 220-224.
3. PPN atas barang modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan, sesuai tipe
konsumsi (consumption type VAT) dan metode pengurangan tidak langsung. Dengan
demikian, maka sangat membantu likuiditas perusahaan
4. Ditinjau dari sumber pendapatan Negara, PPN mendapat predikat “money maker”
karena konsumen sebagai pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak
tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.
b. Kelemahan PPN
1. Biaya administrasi relative tinggi jika dibandingkan dengan pajak tidak langsung
lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun di pihak wajib pajak
2. Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggo tingkat kemampuan konsumen,
semakin ringan beban pajak yang dipikul, dan sebaliknya
3. PPN sangat rawan terhadap upaya penyelundupan pajak akibat mekanisme
pengkreditan yang merupakan upaya memperoleh kembali pajak uang dibayar
pengusaha dalam bulan yang sama tanpa terlebih dahulu melalui prosedur
administrasi fiskus
4. Konsekuensi dari kelemahan tersebut menuntut pengawasan yang lebih cermat
terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya oleh administrasi pajak.3
 Tipe PPN
Ben Terra dalam bukunya Sales Taxnation (1988: 31-33) mengelompokkkan VAT
kedalam tiga tipe VAT/PPN, yaitu :
1. Consumption Type
2. Income Type
3. Product Type
B. SUBJEK DAN OBJEK PAJAK
1. Subjek Pajak

Istilah subjek pajak pada PPN dalam UU PPN tidak ditemukan terminologinya. Dalam
PPN, orang atau badan yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kewajiban pajak, anatara

3
Chairil Anwar Pohan, Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai ; teori, konsep, dan Aplikasi PPN, (Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 46
lain memungut, menyetor, dan melaporkan pajak (PPN) yang terutang disebut juga dengan
Pengusaha Kena Pajak(PKP).

Jumlah pengusaha yang ditunjuk oleh undang-undang untuk menjadi subjek pajak yang
bertanggung jawab memungut PPN dai masyarakat adalah dalam batas-batas tertentu, bukan
faktor utama yang menentukan besarnya penerimaan pajak disamping nilai yang menjadi dasar
perhitungan pajaknya. (Saroyo, 1999)

Siapa yang bertanggung jawab memungut PPN 1984, serta pasal 2 PP Nomor 1 Tahun 2012
(PP. 1/2000 dicabut dan diganti dengan PP.1/2012), dapat dikategorikan menjadi tiga :

1) Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Sesuai pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang PPN, tidak termasuk pengusaha kecil, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih
untuk dikukuhkan menjadi PKP (Pasal 3 PMK 68/PMK.03/2010)

Pengertian Pengusaha Kena Pajak ini ternyata diperluas lagi dalam Pasal 3 PP Nomor 1 Tahun
2012 yang menyatakan nbahwa bentuk kerja sama operasi wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkn sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi. Dengan demikian, Pengusaha
Kena Pajak (PKP) meliputi :

 Yang menyerahkan BKP (Pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPN 1984)


 Yang menyerahkan JKP (Pasal 4 ayat 1 huruf c UU PPN 1984)
 Yang mengekspor BKP (Pasal 4 ayat 1 huruf f UU PPN 1984)
 Kerja sama operasi (Joint Operation) (Pasal 3 PP 1/2012), misalnya konsorium.
2) Pengusaha yang memilih menjadi PKP
3) Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri
yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan.
2. Objek Pajak

Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik
keadaan, perbuatan maupun peristiwa. Dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand (Soemitro,
1990:101). Terminology Tatbestand ini berdasarkan atas RAO yang memuat dasar untuk pajak
dijerman sebelum perang dunia II yang menyebutkan bahwa rangkaian dari kekadaan-keadaan,
perbuatan-perbuatan, dan peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak dinamakan
Tatbestand.

Menurut Ajaran material (juga dianut oleh Prof.Adriani yang oernah menjabat guru besar
dalam hukum pajak pada Universitas Amsterdam, kemudian pemimpin Internasional Bureau of
Fiscal Documentation di Amsterdam dan juga Hoge Raad sebagai hakim terahir dan tertinggi di
Belanda), timbulnya utang pajak adalah karena bunyi undang-undang saja tanpa diperlakukan
suatu perbuatan manusia (sekalipun tidak dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh Fiskus)
asalkan dpenuhi syarat : terdapatnya suatu Tatbestand. Karena undang-undnag timbulnya utang
pajak dihubungkan dengan adanya suatu Tatbestand yang terdiri atas keadaan-keadaan tertentu,
perbuatan-perbuatan tertentu dan peristiwa-peristiwa tertentu (Brotodihardjo, 195 :112)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian Objek Pjak adalah
segala sesuatu yang kerena undnag-undang dapat dikenakan pajak asalkan dipenuhi syarat
terdapatnya suatu Tatbestand. Kata “dapat” berarti bahwa objek pajak dapat dikenakan atau tidak
dikenakan/dikecualikan dari penanganan pajak. Oleh sebab itu, dalam penentuan suatu objek
untuk dikenakan pajak, harus lebih dahulu dilakukan penelitian yang mendalam agar pajak
tersebut tidak menimbulkan permasalahan dalam masyarakat.

Objek PPN diatur dalam pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D UU PPN 1984. Adapun objek
PPN dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagaian.

1) Objek PPN yang pengaturannya berdasarkan mekanisme umum


Menurut ketentuan hukum positif Indonesia, dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPN 1984, Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha
2. Impor Brang Kena Pajak
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daaerah Pabean did dalam Daerah Pabean
6. Ekspor barang kena pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
8. Ekpor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Ke na Pajak
2) Objek PPN yang oengaturannya berdasarkan mekanisme khusus
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16C dan Pasal 16D:
1. Pasal 16C : Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri
yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain, yang batasan
dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 tgl 22 Oktober 2012, sebagai berikut:
a. Bangunan berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang di tanam atau dilekatkan
secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria :
 Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau
sejenis, dan/atau baja;
 Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
 Luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi)
b. PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff 10% dari Dasar Pengenaan
Pajak. Dasar Pengenaan Pajak adalah 20%dari jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga
perolehan tanah.
c. Saat terutangnya PPN atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada saat
dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai.
d. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap
merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahap-tahap
tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
e. Tempat PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di temoat
bangunan tersebut didirikan
f. Pembayaran PPN terutang atas kegiatan membnagun sendiri dilakukan setiap
bulan sebesar 10% x 20% x jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang
dibayarkan pada setiap bulannya.
2. Pasal 16D : Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukkannya
tidakndapat dikreditkan.
 Penyerahann Barang Kena Pajak, anatara lain, berupa mesin, bangunan,
peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha kena pajak dikenai Pajak.
 Namun, PPN tidak dikenakan atas pengalihan Batrang Kena Pjaka yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan
bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9
ayat 8 huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak
dapat dikreditkan.4
3. Objek yang tidak kena pajak

Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:

a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, seperti:
 Minyak mentah (crude oil);
 Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat;
 Panas bumi;
 Asbes, batu tulis, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonite, dolomit,
feldspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit,
kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil,
pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah
diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
 Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan

4
Chairil Anwar Pohan, Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai ; teori, konsep, dan Aplikasi PPN, (Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 102
 Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta
bijih bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
seperti:
 Beras;
 Gabah;
 Jagung;
 Sagu;
 Kedelai;
 Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
 Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau
direbus;
 Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan, atau dikemas;
 Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas;
 Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas
atau tidak dikemas; dan
 Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,
dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat
maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa
boga atau catering; dan
d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya)

C. Mekanisme Pemungutan PPN


Sebagai pajak tidak langsung, akhirnya PPN dibebankan pada konsumen akhir melalui
pemungutan cara bertingkat. Namun sebelum barang atau jasa tersebut sampai pada
tingkat konsumen, PPN sudah dikenakan pada setiap tingkatan jalur produksi amaupun
jalur distribusi. Panjang pendeknya jalur produksi maupun jalu distribusi tidak
mempengaruhi besarnya persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen,dan tidak
pula mengakibatkan timbulnya cascading effect atau “efek pajak ganda” karena PPN
hanya dikenakan atas “nilai tambah atau Value Added” yan terjadi pada setia tingkatan
jalur pridukasi maupun jalur distribusi.
“Nilai Tambah” adalah suatu nilai yang merupakan hasil dari penjumlahan biaya
produksi atau distribusi yang meliputi biaya gaji/upah, biaya manajemen, biaya
penyusutan, bunga modal, serta pengeluaran-pengeluaran lain dan laba yang diharapkan
oleh pengusaha.
Dengan demikian, value added adalah nilai yang pengusaha tambahan kepada
bahan baku atau barang yang dibeli sebelum barang atau jasa tersebut dijual.
Atau dengan kata lain : harga jual dikurangi dengan bahan baku sisanya adlah upah
(wages) dan pofit (keuntungan).
Value Added = wages + profit = output – input
Sebagai ilustrasi, dalam tabel 1.1 berikut digambarkan aliran dari elemen cost pada setiap
tingkatan jalur produksi dan distribusi yang sekaliigus memperlihatkan beban pajaknya
(tax burden)
Tabel 1.1 Jumlah Beban Pajak (tax burden) dalam sistem VAT
LEVEL COST MARKUP PRICE VAT TAX
(US$) (US$) (US$) (10%) BURDEN/NILAI
(US$) PPN (US$)
Producer/manufaktur 20.000 4.000 24.000 2.400 400
Wholesaler 24.000 4.800 28.800 2.880 480
Retailer 30.000 6.000 36.000 3.600 600
Costumer 37.000 7.400 44.400 4.440 740
Total 22.200 13.320 2.220
Dimulai dari harga barang di tingkat Producer/Manufacturer sebesar US$
20.000,00 hingga barnag mencapai consumer akhir (user) melalui dua tahapan saluran
distribusi (channel of distribution), yakni Wholesaler dan Retailer, dimana pada setiap
unit tingkatan/ level terdapat markup sebagai tambahan berupa profit margin masing-
masing unit level dan besar markup tersebutlah yang menjadi objek PPN. Dengan total
markup sebesar (US$) 22.200,00 dalam satu mata rantai distribusi tersebut menghasilkan
Net PPN yang menjadi beban pajak (tax burden) konsumen akhir/user sebesar(US$)
2.220,00.
1. Metode penghitungan PPN
Dari definisi tentang VAT di depan, maka dari persamaan Value Added = wages +
profit = output + input, menurut Allan A.Tait (1998 : 4), terdapat empat bentuk dasar
pengenaan pajak:5
1. The additive-direct or account method :
t(wages+profits)
2. The additive-indirect or accounts method :
t(wages) + t(profits)
3. The subtractive-direct method:
t(output-input)
4. The subtractive-indirect method (the invoice or credit) method :
T(output) – t(input)

A. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

5
Chairil Anwar Pohan, Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai ; teori, konsep, dan Aplikasi PPN, (Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 45
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Penjualan yang


direstrukturisasi/dimodifikasi. Banyak kelebihan yang ditawarkan oleh PPN, salah satunya
dapat menghapus kewajiban pajak berganda. Untuk barang yang dianggap mewah ada
perlakuan khusus yang dinamakan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Tarif
untuk PPN sebesar 10 persen, sedangkan untuk PPnBM minimal 10 persen dan paling tinggi
sebesar 200 persen.
PPN dan PPnBM diterapkan untuk menarik pendapatan dari masyarakat secara
efektif dan efisien. Selain itu, keduanya diterapkan agar masyarakat tidak berjiwa konsumtif
dalam setiap perniagaan yang dilakukannya.

Anda mungkin juga menyukai