Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Permasalahan pangan tidak pernah lepas dari kehidupan bangsa


Indonesia. Ketergantungan bahan pangan seperti beras menjadi hal yang paling
memprihatinkan karena menyebabkan ketahanan pangan nasional menjadi
lemah. Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan
ketahanan pangan. Pemerintah bekerja sama dengan Menteri Pertanian
melakukan kebijakan dalam program Diversifikasi Pangan, yaitu menciptakan
alternatif makanan pokok selain beras sehingga dapat menekan tingkat impor
akibat ketersediaan beras terbatas dan ketergantungan mengkonsumsi beras di
Indonesia.

Gandum merupakan komoditas strategis yang dapat menjadi bahan


pangan alternatif selain beras. Gandum memiliki kandungan karbohidrat yang
tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan komoditas serealia lainnya seperti
sorgum, jagung, dan beras. Bahan pangan dari gandum berupa tepung terigu
sudah menjadi sumber bahan pangan alternatif yang merata bagi penduduk
Indonesia dari kota sampai ke pelosok desa.

Pada umumnya masyarakat Indonesia sudah mengenal dengan baik


tepung terigu namun hanya sedikit orang yang mengetahui tanaman gandum
sebagai penghasil biji untuk bahan baku pembuatan tepung terigu. Kebutuhan
tepung terigu hingga kini menunjukkan perkembangan yang signifikan. Hal ini
ditandai dengan berkembangnya industri pengolahan pangan berbahan baku
tepung terigu seperti mie instan, biskuit, dan roti.

Tingkat kebutuhan gandum di Indonesia saat ini relatif besar, dimana


usaha pemenuhan kebutuhan gandum dilakukan dengan impor gandum dari
negara lain. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia
(APTINDO) 2011, impor gandum sebanyak 4,6 juta ton terjadi pada tahun
2010, dilanjutkan pada tahun 2011 meningkat 10,5% dan tahun 2012 konsumsi
tepung terigu telah mengalami kenaikan yang sangat besar yaitu sebanyak 9
juta ton. Pertumbuhan permintaan tepung terigu dari pasar domestik mencapai
2

6–7% per tahun. Produksi domestik sebesar 4,07 juta ton dan 679.000 ton dari
impor.

Berdasarkan artikel APTINDO pada 8 Maret 2013, impor tepung terigu


diproyeksi bisa terus menyusut pada tahun ini. Penerapan Bea Masuk Tindakan
Pengamanan Sementara (BMTPS) sebesar 20% terhadap produk tepung impor
yang berlaku selama 200 hari sejak 5 Desember 2012, menjadi salah satu
pemicunya. Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia
(APTINDO) Ratna Sari Loppies memperkirakan impor terigu tahun ini bisa
turun lebih dari 10%. Ditambahkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pertanian (2014), pada data tahun 2014 produksi gandum di daerah
dataran rendah mencapai 1–2 ton/ha, sedangkan di dataran tinggi sebesar 7–9
ton/ha di Pasuruan, Jawa Timur.

Upaya mengembangkan gandum dalam negeri dengan penerapan


teknologi budidaya yang sesuai dengan kondisi agroklimat di Indonesia sangat
diperlukan (Sovan, 2002). Pengembangan gandum di Indonesia sangat
berpotensi. Gandum yang termasuk tanaman daerah beriklim dingin, juga
mampu tumbuh dengan baik di negara tropis seperti Indonesia. Hal ini
didukung dengan kondisi tanah dan agroklimat beberapa wilayah di Indonesia
yang cocok untuk budidaya dan pengembangan tanaman gandum.

Tanaman gandum sebenarnya dapat tumbuh dan berproduksi dengan


baik pada beberapa lahan pertanian di Indonesia. Khususnya pada daerah
dataran tinggi yang bersuhu 12–26,50 C pada areal yang tidak begitu luas.
Bercocok tanam tanaman gandum masih dilakukan dengan cara sederhana
seperti budidaya pada padi gogo (DEPTAN, 1978).

Pengembangan gandum di daerah tropis sudah menjadi perhatian


banyak pihak guna menekan impor yang cukup tinggi. Pengembangan ini
sudah dimulai dengan melakukan uji multilokasi beberapa genotipe gandum
baik lokal maupun introduksi beberapa wilayah di Indonesia. Varietas lokal
yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu Selayar, Dewata, Nias, dan Timor belum
mampu memenuhi kebutuhan tepung terigu dalam negeri. Hal ini dikarenakan
produksinya masih rendah (Putri, et al., 2013).
3

Sianturi (2012), telah melakukan peneletian mengenai uji adaptasi


dengan menggunakan genotipe asal Republik Slovakia dari Breeding Station
Istropol Solary yaitu IS Jarissa, IS-1247, SO-1, SO-2, SO-3 dan SO-4,
melakukan perbandingan dengan benih gandum varietas lokal yaitu Nias.
Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut, daerah yang memenuhi syarat
kesesuaian lahan penanaman gandum adalah Alahan Panjang, Kabupaten
Solok, yang bersuhu 20–250 C. Genotipe yang dapat beradaptasi paling baik di
daerah tersebut adalah genotipe SO-3, diikuti dengan varietas lokal (Nias). Hal
ini dibuktikan dengan dihasilkannya gabah terbanyak dengan bobot yang
tinggi.

Banyak kendala yang dapat menurunkan produktivitas tanaman


budidaya termasuk gandum, salah satunya yaitu gulma. Gulma merupakan
masalah yang penting bagi tanaman gandum. Gulma bersaing dengan tanaman
gandum dalam hal penyerapan air, cahaya dan unsur hara. Selain itu gulma
juga dapat menjadi tumbuh-tumbuhan inang bagi berkembangnya hama dan
penyakit.

Kompetisi merupakan salah satu bentuk hubungan antar dua individu


atau lebih yang mempunyai pengaruh negatif bagi kedua pihak (Mulyaningsih,
et al., 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya persaingan dalam
pertanaman gandum adalah kepadatan gulma yang ada di sekitar pertanaman.
Semakin tinggi kepadatan gulma, semakin menurunkan hasil tanaman gandum.
Dalam hal kompetisi, daya kompetisi gulma ditentukan oleh jenis, densitas,
distribusi, umur atau lamanya gulma tumbuh bersama tanaman budidaya,
kultur teknik yang ditetapkan pada tanaman budidaya dan jenis atau varietas
tanaman (Tjitrosoedirdjo, et al., 1984 dalam Murni 1995).

Pengendalian gulma dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma


dan mengurangi populasi gulma sehingga penurunan hasil yang diakibatkannya
secaran ekonomi menjadi tidak berarti. Cara pengendalian gulma berbeda
dengan cara pengendalian hama dan penyakit tanaman pada umumnya
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 1983).
4

Hingga saat ini cara yang dilakukan untuk mengendalikan gulma pada
usaha tani dengan skala yang besar yaitu dengan menggunakan herbisida.
Dewasa ini telah berkembang dan beredar berbagai jenis dan merk dagang
herbisida di pasaran, akan tetapi informasi secara ilmiah mengenai efektifitas
dan efisiensi penggunaannya terhadap jenis gulma pada tanaman gandum
khususnya di daerah Sumatera Barat masih minim. Oleh karena itu pengkajian
tentang efektivitas dan selektivitas berbagai herbisida sangat diperlukan
terutama untuk rujukan rekomendasi serta menjawab kebutuhan teknologi
pengolahan tanah petani dan pengguna lainnya dalam melaksanakan budidaya
gandum.

Selektivitas herbisida merupakan daya bunuh suatu herbisida pada


salah satu jenis tumbuhan (gulma) dan relatif tidak merusak tumbuhan lain
(tanaman budidaya). Selektivitas herbisida tersebut dipengaruhi oleh peranan
tanaman, herbisida, lingkungan dan cara penggunaan herbisida (Moenandir,
1988).

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka penulis


melakukan penelitian dengan judul “Aplikasi Herbisida Dengan Berbagai
Bahan Aktif Terhadap Gulma Pada Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Gandum
(Triticum aestivum L.) di Alahan Panjang Kabupaten Solok”.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui selektifitas herbisida


terhadap gulma dan melihat produktivitas tanaman gandum (Triticum aestivum
L.) di Alahan Panjang Kabupaten Solok.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai


pengendalian gulma bagi masyarakat, khususnya para petani gandum yang
berada di sekitar lahan percobaan.
5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PRODUKSI GANDUM

Gandum merupakan bahan dasar dari pembuatan tepung terigu. Sampai


sekarang tidak ada bahan dasar lain sebagai pengganti gandum untuk membuat
tepung terigu karena gandum adalah satu-satunya jenis biji-bijian yang
mengandung gluten. Protein gandum (gluten) tidak larut dalam air dan
mempunyai sifat elastis seperti karet sehingga merupakan syarat mutlak yang
harus dikandung dalam tepung untuk pembuatan roti beragi (Sudarmini, 2001).
Tanaman gandum telah lama dikenal di Indonesia, hanya saja karena adaptasi
yang terbatas pada dataran tinggi dan saingan dari tanaman lain yang bernilai
ekonomi tinggi, maka areal pertanaman gandum yang ada tidak dapat menekan
impor tepung terigu (Danakusuma, 1985).

Gandum adalah tanaman kedua terbesar di Asia setelah padi dengan


pertumbuhan lebih cepat. Asia merupakan benua yang terbesar dalam hal
luasan dan hasil pada tahun 1992–1994 memberikan konstribusi 67% dari total
produksi negara-negara berkembang (39% di Cina, 19% Asia Barat sampai
Afrika Utara, 7% di Amerika Latin dan Karibia, serta kurang dari 1% di Sub-
Sahara Afrika). Pada periode tersebut (1992–1994) konstribusi negara
berkembang adalah 45% dari produksi gandum dunia yaitu 551 juta/ha atau
46% dari total luas pertanaman gandum dunia 219 juta/ha (Hariadi, 2002).

Tanaman gandum dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada


beberapa lahan pertanian di Indonesia, khususnya pada daerah dataran tinggi
yang bersuhu sejuk (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2008).
Pengembangan gandum di Indonesia dimulai semenjak Menteri Pertanian
dipegang oleh Thoyib Hadiwijaya dengan membentuk Tim Inti Uji Adaptasi
Gandum pada tahun 1978 yang berlokasi di Kabanjahe Sumatera Utara.
Varietas gandum yang ada di Indonesia berasal dari introduksi atau
didatangkan dari negara lain. Gandum tersebut telah melalui tahapan pengujian
daya adaptasi pada beberapa agroekosistem dan daya hasil di beberapa lokasi
percobaan, kemudian varietas introduksi dilepas menjadi varietas gandum baru
6

nasional. Benih asal yang digunakan adalah CIMMYT Meksiko dengan


produktivitas 4 ton/ha dalam bentuk pecah kulit (Direktorat Jenderal Bina
Produksi Tanaman Pangan, 2003).

Gandum bukan merupakan tanaman asli Indonesia, maka keragaman


genetik tanaman yang tersedia masih sangat terbatas. Perlu adanya usaha
pemuliaan untuk melakukan perakitan varietas dan pengujian di lokasi-lokasi
yang mewakili agroekologi tertentu secara berkesinambungan agar dapat
beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik lingkungan. Pada tahun 2000 PT.
ISM Bogasari Flour Mills mensponsori kegiatan penelitian gandum di
Indonesia melalui Proyek Gandum 2000. Penelitian tersebut dilakukan untuk
mempelajari kemungkinan perkembangan gandum di Indonesia sebagai bagian
dari strategi pengembangan gandum. Adapun proyek tersebut dilakukan
melalui kerjasama antara Departemen Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(IPB), Universitas Brawijaya (Unibraw), SEAMEO Biotrop, Universitas
Kristen Setia Wacana (UKSW) Salatiga dan Universitas Slamet Riyadi (Unisri)
Solo. Penelitian tersebut menghasilkan pemetaan wilayah yang sesuai untuk
pembudidayaan tanaman gandum (Bogasari, 2004).

B. GULMA

Tumbuhan yang tidak dikehendaki, tidak pada tempatnya atau tidak


diinginkan, menjadi dasar lahirnya istilah tumbuhan pengganggu (gulma)
(Ronoprawiro, 1992). Gulma senantiasa muncul dari masa ke masa pada lahan
yang diganggu manusia. Oleh karena itu, gulma dijuluki sebagai tumbuhan
yang persisten atau bertahan selalu ada sepanjang masa (Sembodo, 2010).

Gulma banyak mengakibatkan kerugian, diantaranya yaitu: 1) Hasil


produksi tanaman pertanian dan peternakan menurun. 2) Kualitas produksi
pertanian yang dihasilkan menjadi rendah. 3) Penggunaan tanah menjadi
kurang efisien, dapat meningkatkan biaya pengolahan tanah dan kualitas tanah
menurun. 4) Biaya untuk pemberantasan hama dan penyakit tanaman
meningkat. 5) Masalah dalam pengelolaan air semakin meningkat, karena
gulma dapat mempengaruhi sistem irigasi dan drainase. 6) Efisiensi tenaga
7

manusia semakin menurun. 7) Mengganggu keindahan akibat kehadiran gulma


yang tidak diinginkan (Anderson, 1983 dalam Ardi, 1989).

Gulma merupakan tumbuhan yang mempunyai sifat dan ciri khas


tertentu yang umumnya berbeda dengan tanaman pokok atau tanaman
budidaya. Sifat-sifat dari gulma tersebut antara lain: a) Gulma mudah tumbuh
pada setiap tempat atau daerah yang berbeda-beda, mulai dari tempat yang
miskin nutrisi sampai tempat yang kaya nutrisi. b) Gulma dapat bertahan hidup
dan tumbuh pada daerah kering sampai daerah yang lembab bahkan di daerah
tergenang. c) Kemampuan gulma untuk mengadakan regenerasi atau
perkembangbiakan memperbanyak diri besar sekali, khususnya pada gulma
perennial. Gulma perennial (gulma yang hidupnya menahun) dapat pula
menyebar luas dengan cara perkembangbiakan vegetatif di samping secara
generatif (Moenandir, 1988).

Produksi tanaman pertanian baik yang diusahakan dalam bentuk


pertanian rakyat ataupun perkebunan besar ditentukan oleh beberapa faktor
antara lain hama, penyakit dan gulma. Kerugian akibat gulma terhadap
tanaman budidaya bervariasi, tergantung dari jenis tanamannya, iklim, jenis
gulmanya, dan tentu saja praktek pertanian di samping faktor lain. Di Amerika
Serikat besarnya kerugian tanaman budidaya yang disebabkan oleh penyakit 27
%, hama 28 %, gulma 42 % dan nematoda 3 % dari kerugian total. Di negara
yang sedang berkembang, kerugian karena gulma tidak saja tinggi, tetapi juga
mempengaruhi persediaan pangan dunia (Anderson, 1983 dalam Ardi, 1989).

Petani penghasil tanaman pangan di Indonesia masih belum


menggunakan herbisida untuk memberantas gulma. Umumnya penyiangan
dilakukan dengan tangan saja (handweeding). Pada pertanaman gandum di
Lembang dan Pacet (Panggalengan), jenis gulma yang ada pada daerah tersebut
antara lain: Oxalis co inculata, Centela asiatica, Imperata cylindrica, Mimosa
invisa, Paspalum notatum, Sida rhombifolia, Ricinus communis, Ageratum
conyzoides, Euphorbia esula, Agropyron repens, Amaranthus retroflexus dan
Polygonum convolvus (Nurmala, 1980).
8

Pengaruh negatif gulma terhadap tanaman budidaya dapat terjadi


karena kompetisi (nutrisi, air, cahaya dan CO2), produksi senyawa penghambat
pertumbuhan (alelopati), dan sebagai inang jasad pengganggu tanaman lain
(serangga hama atau patogen penyakit), serta menurunkan kualitas hasil karena
adanya kontaminasi dari bagian-bagian gulma (Tjitrosoedirdjo, et al., 1984
dalam Murni, 1995). Beberapa faktor yang menentukan derajat atau tingkat
kompetisi antara gulma dengan tanaman adalah jenis gulma, kerapatan gulma,
distribusi gulma, waktu kehadiran gulma, kultur teknis yang diterapkan dan
alelopati (Sembodo, 2010).

Persaingan antara gulma dengan tanaman yang kita usahakan dalam


mengambil unsur-unsur hara dan air dari dalam tanah dan penerimaan cahaya
matahari untuk proses fotosintesis, menimbulkan kerugian-kerugian dalam
produksi baik kualitas maupun kuantitas. Muncul dan berkembangnya jenis-
jenis gulma dalam suatu lahan pertanian selain dipegaruhi oleh iklim, keadaan
tanah dan sifat biologis jenis gulma sendiri, juga ditentukan oleh sistem pola
tanam, pengolahan tanah dan cara pengendaliannya (Everaarts, 1981).

Program pengendalian gulma yang tepat untuk memperoleh hasil yang


memuaskan perlu dipikirkan terlebih dahulu. Pengetahuan tentang biologis dari
gulma (daur hidup), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gulma, dan
pengetahuan mengenai cara gulma berkembang biak, menyebar dan bereaksi
dengan perubahan lingkungan, serta cara gulma tumbuh pada keadaan yang
berbeda-beda sangat penting untuk diketahui dalam menentukan arah program
pengendalian. Keberhasilan dalam pengendalian gulma harus didasari dengan
pengetahuan yang cukup dan benar dari sifat biologi gulma tersebut. Misalnya:
a) Dengan melakukan identifikasi, b) Mencari dalam pustaka tentang referensi
gulma tersebut, dan c) Bertanya pada para pakar atau ahli gulma. Ketiga cara
ini merupakan langkah pertama untuk menjajaki kemungkinan cara
pengendalian yang tepat (Sukman dan Yakup, 2002).

Pengaruh buruk dari gulma secara kualitatif pada tanaman yang kurang
mendapatkan perawatan yang teratur adalah pertumbuhan tanaman terhambat,
cabang produksi kurang, dan pertumbuhan tanaman muda tidak normal, serta
daunnya berwarna kuning. Selain faktor kompetisi dan alelopati, keberadaan
9

gulma di pertanaman dapat menjadi inang patogen atau hama bagi tanaman
(Suprapto dan Yufdy, 1987 dalam Daud, 2008).

Penyiangan dan penggunaan herbisida sintetik masih menjadi


primadona, karena efektivitasnya segera terlihat (Rahayu, 2001). Gulma jenis
berdaun lebar dapat diberantas dengan herbisida 2,4 D dan MCPA. Untuk jenis
gulma berdaun sempit dapat digunakan Dalapon, Diallate dan Barban.
Pemberantasan secara kultur teknik dapat dilakukan dengan sistem tanaman
sela, yaitu menananam jenis leguminosa di antara barisan tanaman gandum.
Penyiangan dapat dilakukan 2-3 kali tergantung banyaknya populasi gulma.
Penyiangan pertama dilakukan setelah tanaman gandum berumur satu bulan
(Nurmala, 1980).

C. HERBISIDA

Salah satu cara pengendalian gulma yaitu secara kimiawi dengan


aplikasi herbisida. Keuntungan pengendalian gulma secara kimiawi adalah
cepat dan efektif, terutama untuk areal yang luas. Beberapa segi negatifnya
ialah bahaya keracunan tanaman, mempunyai efek residu terhadap alam sekitar
dan sebagainya, maka pengendalian gulma secara kimiawi ini harus merupakan
pilihan terakhir apabila cara-cara pengendalian gulma lainnya tidak berhasil
(Noor, 1997).

Herbisida adalah bahan kimia atau kultur hayati yang dapat


menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida yang
diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian dan jenis
tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan
tertentu dan tidak merusak tumbuhan lainnya (Sembodo, 2010). Noor (1997)
menambahkan yang dimaksud dengan herbisida adalah senyawa kimia yang
dapat digunakan untuk mematikan atau menekan pertumbuhan gulma, baik
secara selektif maupun non selektif.

Pengertian selektivitas herbisida secara umum adalah suatu jenis


herbisida yang hanya mematikan suatu jenis tumbuhan (gulma) tanpa
mengganggu tumbuhan yang lain (tanaman budidaya). Selektivitas terjadi
10

akibat proses pengrusakan terhadap satu jenis tumbuhan atau dalam hal ini
yaitu gulma (Ashton dan Crafts, 1981).

Beberapa kondisi seperti karakteristik tumbuhan, lingkungan dan jenis


herbisida sangat menentukan selektivitas herbisida. Hal ini dikarenakan sangat
erat kaitannya dengan dosis herbisida. Pada dosis tertentu suatu herbisida
selektif akan tetapi berubah tidak selektif bila dosis diturunkan atau dinaikkan
(Sukman dan Yakup, 2002).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, herbisida dibedakan atas dua


golongan yaitu kontak dan sistemik. Herbisida kontak dapat mengendalikan
gulma secara kontak langsung pada bagian yang terkena herbisida. Herbisida
ini tidak dialirkan ke dalam tubuh gulma. Berbeda dengan herbisida sistemik,
herbisida ini dialirkan atau ditranslokasikan dari tempat terjadinya kontak
pertama dengan herbisida ke bagian lainnya, biasanya akan menuju titik
tumbuh karena pada bagian tersebut metabolisme tumbuhan paling aktif
berlangsung (Sembodo, 2010).

Keistimewaan herbisida sistemik dapat mematikan tunas-tunas gulma


yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut.
Dampaknya merata ke seluruh bagian gulma, mulai dari bagian daun sampai
perakaran. Dengan demikian, proses pertumbuhan kembali juga terjadi sangat
lambat sehingga rotasi pengendalian dapat lebih lama (panjang) (Noor, 1997).

Herbisida sistemik ada yang bersifat selektif dan ada juga yang bersifat
tidak selektif. Herbisida sistemik yang tidak bersifat selektif seperti glifosat,
imazapir, dan sulfosat. Sedangkan yang bersifat selektif yaitu seperti 2,4 D,
ametrin, klomazon dan diuron (Sembodo, 2010).

Herbisida juga dikelompokkan berdasarkan waktu aplikasi. Waktu


aplikasi biasanya ditentukan oleh stadia pertumbuhan dari tanaman maupun
gulma, yaitu: 1) Pra tanam. Herbisida diaplikasikan pada saat tanaman belum
ditanam, tetapi tanah telah diolah. 2) Pra tumbuh. Herbisida diaplikasikan
sebelum benih tanaman atau biji gulma berkecambah. Benih dari tanaman
sudah ditanam, sedangkan gulma belum tumbuh. 3) Pasca tumbuh. Herbisida
diaplikasikan pada saat gulma dan tanaman sudah lewat stadia perkecambahan.
11

Aplikasi herbisida dapat dilakukan pada saat tanaman masih muda maupun
telah dewasa (Sukman dan Yakup, 2002).

Pengelompokan herbisida berdasarkan waktu aplikasi dapat juga


dilakukan dengan cara mencampurkan herbisida ke dalam tanah sebelum
tanam, yaitu dengan meletakkan herbisida di lapisan tanah tempat terdapatnya
biji-biji gulma yang akan berkecambah. Walaupun tidak ada hujan yang
membantu pencampuran herbisida dengan tanah, namun hasil yang akan
diperoleh juga baik. Hanya saja benih yang ditanam harus toleran terhadap
herbisida. Herbisida yang cepat menguap juga dapat diaplikasikan dengan cara
ini (Ardi, 1989).
12

BAB III. METODE PENELITIAN

A. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian ini dilaksanakan di daerah Batu Bagiriak, Jorong Galagah,


Kenagarian Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok
dan berlangsung pada bulan Mei sampai September 2014. Jadwal penelitian
dapat dilihat pada Lampiran 1.

B. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan pada penelitian yaitu: benih gandum SO-3,


pupuk Urea, SP36, KCl, herbisida dengan bahan aktif 2,4 DMA, dan herbisida
dengan bahan aktif Atrazin, serta air. Sedangkan alat yang digunakan meliputi:
tali rafia, kayu, kantong plastik, kertas label, meteran, knapsacksprayer,
timbangan analitik, oven, sabit, mesin perontok, kamera digital dan alat tulis.

C. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan yaitu berupa Metode Eksperimen dengan


mengamati setiap sampel pada petakan sampel baik gulma maupun gandum.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Data
dianalisis secara statistik dengan uji F pada taraf nyata 5% dan apabila F
Hitung lebih besar dari F Tabel 5%, maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s
New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata 5%.
Percobaan dirancang dengan menggunakan 4 perlakuan dan 3 ulangan
sehingga tersedia 12 petak perlakuan dan masing-masing diambil 1 petakan
sampel dengan ukuran 1 x 1 m2. Denah penempatan petak percobaan dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Berikut adalah perlakuan yang digunakan:
Bebas Gulma (A1)
Tanpa Herbisida (A2)
Herbisida Bahan Aktif 2,4 DMA (A3)
Herbisida Bahan Aktif Atrazin (A4)
13

D. PELAKSANAAN PENELITIAN
1. Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan untuk tanaman gandum hampir sama dengan


pengolahan lahan untuk tanaman padi gogo dan palawija lainnya yaitu antara
lain agar tanah mempunyai aerasi yang baik, dikarenakan tanah bekas olahan,
maka cukup dilakukan satu kali pengolahan tanah. Disamping itu, dapat
sekaligus membenamkan pupuk organik bagi tanah yang memerlukan.
Kemudian tanah diinkubasi selama 7 - 10 hari agar bahan organik melapuk dan
terhindar dari unsur-unsur beracun yang kemungkinan ada di dalam tanah.
Kemudian tanah diberi pupuk kandang sapi dan pupuk dasar sesuai
rekomendasi.
Setelah tanah diolah atau digemburkan, dibuat petak sampel dengan lebar
1,20 m dan panjang 5 m sebanyak 12 petakan. Selain itu, diberi jarak antar
petak selebar 50 cm dan sedalam 25 cm. Pada setiap bedengan terdapat lima
baris tanaman dengan jarak tanam 25cm x 25 cm dengan 125 individu. ( Denah
penempatan tanaman tercantum pada Lampiran 3 )
2. Pemilihan Benih

Benih gandum yang baik yaitu benih yang mempunyai warna dan
bentuk yang seragam dan bebas dari hama penyakit. Dalam penelitian ini
digunakan benih SO-3. Benih S0-3 merupakan rekomendasi dari penelitian
terdahulu yang menunjukkan hasil pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
varietas lainnya. Deskripsi benih gandum SO-3 dapat dilihat pada Lampiran 4.

3. Penanaman

Penanaman dilakukan dengan membuat alur/larikan pada bedengan


dengan jarak antara 20 cm X 25 cm. Benih yang akan ditanam, dicampur
terlebih dahulu dengan Dithane. Benih dimasukan dalam alur sedalam kurang
lebih 3 cm dengan cara seretan. benih ditanam 2 perlobang dan ditaburi
Furadan ditempat biji dalam alur, kemudian ditutup dengan tanah halus.
Pemberian Furadan berikan agar benih tidak terkena hama dan penyakit.
14

4. Pemupukan

Pada penelitian ini tidak digunakan pupuk dasar dikarenakan lahan


merupakan lahan bekas olahan pertanian, sehingga pupuk yang digunakan
hanya berupa pupuk sintetis, yaitu: pupuk Urea (45% N), SP36 (36% P2O5),
dan KCl (60% K2O) masing-masing dengan dosis 150 kg/ha Urea, 200 kg/ha
SP36, dan 100 kg/ha KCl sesuai dengan kebutuhan. Pupuk SP36 dan KCl
diberikan pada 15 HST seluruh dosis, sedangkan untuk pupuk urea diberikan
setengah dari dosis dan setengah dosis lagi diberikan pada tahap kedua yaitu 30
HST. Pupuk diberikan secara larikan disamping kiri atau kanan tanaman
dengan jarak 5 cm. Perhitungan pupuk dapat dilihat pada Lampiran 5.

5. Pemasangan Label

Pemasangan label dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu tahap pertama


pemasangan label untuk setiap petak perlakuan berupa bedengan yang telah
dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap dan tahap kedua pemasangan
label yang dilakukan untuk tiap petakan sampel yang berukuran 1 x 1 m2
secara acak dimana terdapat 1 petakan sampel pada setiap petakan perlakuan
yang sama untuk tiap pengambilan sampel gulma maupun gandum.

6. Pengendalian atau Aplikasi Herbisida

Aplikasi dilakukan saat gulma sedang tumbuh subur. Penyemprotan


dilakukan pada pagi hari ataupun sore hari disaat hujan tidak turun dan angin
tidak kencang. Pada perlakuan aplikasi herbisida, dibutuhkan bantuan alat
knapsacksprayer ukuran 14 liter dan dilakukan kalibrasi agar menghindari
pemborosan herbisida dan terjadinya keracunan pada tanaman akibat sisa-sisa
herbisida yang menumpuk di dalam tanah. Aplikasi herbisida dilakukan sesuai
dengan dosis yang dianjurkan (Lampiran 6). Perlakuan dengan beberapa jenis
herbisida dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu Aplikasi I pada 4 MST dan Aplikasi
II 10 MST. Herbisida yang digunakan merupakan herbisida sistemik selektif
pada tanaman padi. Padi dan gandum merupakan tanaman budidaya yang
berada pada satu famili yaitu Poaceae, dengan kemiripan baik secara
morfologis maupun fisiologis. Berikut adalah jenis herbisida yang digunakan:
15

a. Herbisida DMA-6 825 SL


DMA-6 merupakan herbisida purna tumbuh yang diformulasi dalam
bentuk konsentrat yang dapat larut dalam air. DMA-6 berspektrum luas dan
termasuk herbisida yang bersifat selektif khususnya untuk gulma berdaun
lebar. Berbahan aktif 2,4 DMA.
b. Herbisida Claris 550 SC
Claris 550 SC merupakan herbisida yang bersifat sistemik selektif yang
dapat di aplikasikan pada tanaman untuk mengendalikan gulma, khususnya
gulma berdaun lebar. Herbisida ini berbentuk cairan yang dapat larut dalam air
dan berbahan aktif atrazin.

7. Perawatan

Setiap perlakuan tidak membutuhkan perawatan khusus, cukup dengan


melakukan penyiraman apabila hujan tidak turun. Pada perlakuan tanpa
herbisida, dibutuhkan pengendalian dengan cara mencabut gulma yang ada
pada petak sampel secara intensif tiap minggu sedangkan Pada perlakuan bebas
gulma dengan membiarkan gulma tumbuh pada bedengan.

8. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan untuk mempermudah melakukan


identifikasi terhadap gulma. Identifikasi gulma merupakan suatu kegiatan
untuk mendeskripsikan gulma. Deskripsi umumnya berisi sifat-sifat beserta
cirinya yang sebagian besar bersumber pada sifat-sifat morfologi tumbuhan,
sehingga dapat dikelompokkan sebagai gulma berdaun lebar, teki-tekian atau
rerumputan. Sampel yang telah diambil juga dibutuhkan untuk tahap analisis
vegetasi, yaitu suatu cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk
(struktur) vegetasi atau tumbuh-tumbuhan. Kegiatan analisa vegetasi erat
kaitannya dengan pengamatan sampel, hanya cukup dengan menempatkan
beberapa petak sampel untuk mewakili habitat tersebut.

Pengambilan sampel dilakukan pada aplikasi jenis herbisida berbeda


yaitu pada saat sebelum dan sesudah Aplikasi I (4 MST) dan begitu juga pada
Aplikasi II (7 MST), sedangkan untuk perlakuan tanpa herbisida dan bebas
16

gulma, sampel yang diambil hanya pada saat sebelum Aplikasi I dan menjelang
panen (Lampiran 7).

9. Panen

Pemanenan dilakukan saat sekam yang menutupi biji gandum telah


mengering, 80% malai dalam populasi telah menguning, biji gandum sudah
terasa keras, daun dan batang telah mengering. Pemanenan dilakukan pada saat
cuaca cerah dengan cara memotong batang gandum menggunakan sabit dan
biji dirontokkan dengan mesin perontok.

E. PENGAMATAN

1. GULMA

a. Analisis Vegetasi

Pada pengendalian gulma, analisis vegetasi ditujukan untuk


mengevaluasi hasil suatu tindakan yaitu berupa morfologi dan ciri-ciri gulma.
Pengamatan ini menggunakan metode kuadrat yaitu semua gulma yang ada
pada petak sampel berukuran 1 x 1 m2 diidentifikasi dengan mencatat nama
spesies dan menghitung jumlah individu gulma masing-masing spesies. Setelah
itu dikeringovenkan selama 48 jam pada suhu 70°C dan ditimbang bobot
keringnya. Data yang telah diperoleh kemudian dikonversikan ke dalam rumus
untuk menentukan Summed Dominance Ratio (SDR) atau Nisbah Dominansi
Terjumlah (%) melalui kerapatan, frekuensi dan bobot kering gulma.

Nisbah Dominansi Terjumlah/Summed Dominance Ratio (SDR) dapat


dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Kerapatan nisbi + Frekuensi nisbi+Bobot kering
SDR = Kerapatan nisbi +
3
Frekuensi nisbi + Bobot kering nisbi
KM spesies tertentu
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑁𝑖𝑠𝑏𝑖 = x 100%
Jumlah KM semua jenis
Kerapatan Mutlak (KM) = Jumlah individu spesies gulma tertentu dalam petak
contoh.
17

FM spesies tertentu
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑁𝑖𝑠𝑏𝑖 = x 100%
Jumlah nilai FM semua jenis
Frekuensi Mutlak (FM) = Jumlah petak contoh yang berisi spesies tertentu.

Nilai bobot kering mutlak spesies


𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐾𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑁𝑖𝑠𝑏𝑖 = x 100%
Jumlah bobot kering mutlak semua jenis
Bobot Kering Mutlak = Berat kering mutlak semua jenis tertentu.

b. Koefisien Komunitas (C)

Koefisien komunitas digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan


vegetasi yang tumbuh antara lahan satu dengan yang lainnya dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

2𝑊
𝐶= x 100%
a+b

Keterangan :
C = Koefisisen komunitas
W = Jumlah nilai yang lebih kecil dari masing-masing penyusun vegetasi
yang dibandingkan
a = Jumlah nilai SDR I
b = Jumlah nilai SDR II

2. GANDUM

a. Umur Muncul Malai (Hari)

Umur muncul malai diamati ketika malai telah keluar sebanyak 50%
dari populasi tiap petakan sampel pengamatan.

b. Umur Panen ( Hari)

Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung lamanya tanaman gandum


panen yaitu bila 5% dari tanaman telah memenuhi kriteria panen. Panen
18

dilakukan apabila malai keseluruhannya sudah cukup tua dan mengeluarkan


suara gemersik bila digerakan.

c. Jumlah Anakan Produktif (batang)

Jumlah anakan produktif dihitung pada saat panen dengan cara


menghitung jumlah anakan yang bermalai dari setiap tanaman sampel.

d. Bobot Biji Pada 10% Sampel Tiap Petakan (g)

Pengamatan bobot biji dilakukan dengan cara merontokkan tiap malai


yang ada pada 10% sampel tanaman setiap petakan sampel pengamatan. Biji
kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.

e. Hasil Per Hektar (ton)

Pengamatan terhadap hasil gandum per hektar yaitu dengan


menimbang biji dari hasil per petakan perlakuan kemudian dikonversikan ke
dalam hektar :

Luas lahan per hektar


𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑒𝑘𝑡𝑎𝑟 = x Hasil per petakan
Luas petakan perlakuan
19

BAB IV. ANALISIS STATISTIKA


Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok ( RAL ) dengan
4 perlakuan dan 3 ulangan. Sehingga diperoleh 12 satuan percobaan. Hasil
pengamatan akan dianalisis dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test
(DNMRT) pada taraf 5%.

A. Analisis Ragam
Tabel.1. Dasar Analisis Statistika Rancangan Acak Kelompok
Perlakuan Ulangan Total Rata–
Rata

1 2 3

A1 A11 A12 A13 A1. 𝑥̅ 1.

A2 A21 A22 A23 A2. 𝑥̅ 2.

A3 A31 A32 A33 A3. 𝑥̅ 3.

A4 A41 A42 A43 A4. 𝑥̅ 4.

Total A.1 A.2 A.3 A.. 𝑥̅ ..

B. Sidik Ragam
Tabel 2. Sidik Ragam
Sumber Db JK KT F Hitung F Tabel
Keragaman 5 1
% %

Perlakuan P-1 JKP KTP KTP/KTS

Kelompok K-1 JKK KTK KTK/KTS


20

Sisa (P-1)(K-1) JKS KTS

Total (P . K) - 1 JKT

C. Perhitungan
1. FK = (X..)2/ P.U
2. JKT ={ (X11)2 + (X12)2 +…+ (X73)2}- FK
3. JKP = { (X1.)2 + (X2.)2 +…+ (X7.)2}- FK/ 4
4. JK = JKT - JKP
5. KTP = JKP/ dbp
6. KTS = JKS/ dbs
7.F hitung perlakuan = KTP/ KTS
8. F Tabel 5 %
9. Bandingkan F Hitung dengan F Tabel pada taraf 5 %
10. Ambil Kesimpulannya dengan ketentuan :
Jika F hitung > F table taraf 5% berarti berbeda nyata (*)
Jika F hitung < F table taraf 5% berarti berbeda tidak nyata (tn)
11. Tentukan nilai koefesien keragaman
KK = √KTS x100 %
X
Jika F hitung > F table 5% dikatakan berbeda nyata, maka uji akan
dilanjutkan dengan uji lanjut DNMRT pada taraf 5 %.
Keterangan :
FK = Faktor Koreksi
JK = Jumlah Kuadrat
db = Derajad Bebas
KT = Kuadrat Tengah
JKT = Jumlah Kuadrat Tengah
JKP = Jumlah Kuadrat Perlakuan
JKS = Jumlah Kuadrat Sisa
KTP = Kuadrat Tengah Perlakuan
KTS = Kuadrat Tengah Sisa
U = Ulangan
21

D. Uji Lanjut DNMRT taraf 5%


Hitung kesalahan baku dengan rumus Sy = √KTS/ulangan
1. Tentukan nilai SSR p (significant studentised range) lihat tabel
Duncan.
2. Tentukan nilai LSR (Least Significant Range) dengan mengalikan
Sy x SSR

Tabel 3. SSRp

Nilai 1 2 3 4
perlakuan

SSRp 5%

SSRp 1%

Tabel 4. LSRp

Perlakuan 1 2 3 4

LSRp 5%

LSRp 1%

1. Susun nilai perlakuan rata – rata perlakuan dari nilai yang terbesar
hingga yang terkecil
Perlakuan Rata – Rata

A1

A2

A3

A4

2. Hitung selisih antara nilai rata – rata perlakuan kemudian bandingkan


dengan LSRp 5%. Apabila selisih nilai rata – rata perlakuan besar
dari LSRp 5% berarti berbeda nyata, dan apabila selisih nilai rata –
22

rata perlakuan kecil dari LSRp 5% maka tidak berbeda nyata,


misalnya :
Perbandingan Selisih LSRP 5% Kesimpulan
Rata-Rata
Perlakuan

A1-A4

A1-A3

A1-A2

A2-A4

A2-A3

A3-A4

3. Selanjutnya dibuat tabel kesimpulan dengan menyusun rata – rata


perlakuan dari nilai yang tertinggi sampai yang terendah, misalnya :

Perlakuan Kesimpulan

A …a

B …..ab

C …….bc

D ………cd

Angka – angka pada lajur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama
berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut DNMRT (Gomez, 1995).
23

DAFTAR PUSTAKA

Anon. 1972. Cover management in rubber. Planter’s Bulletin 122: 170-180,


Rubber Research Institute of Malaysia, Kuala Lumpur.

Asandhi, A.A., dan N. Gunadi. 1989. Syarat Tumbuh Tanaman Kentang. Edisi
kedua. Balai Penelitian Hortikultura Lembang.
Ashton, F. M. 1981. Mode of action of herbicides. United States of America.
Canada. 525 p.

Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO), 2013. Ringkasan


Eksekutif. [18 Januari 2014].

Aspinall, D. 1961. The control of tillering in the barley plant I. The pattern of
tillering and its relation to nutrient supply. Aust. J. Biol. Sci. 14: 493-505.

Auld, B.A and R.W. Medd. 1987. Weeds An Illustrated Botanical Guide to the
Weeds of Australia. Agriculturural Research and Veterinary Centre. Inkata
press. Melbourne. 255 p.

Beukema, H. P. 1977. Potato production. International Agriculture Centre.


Wageningen.

Bogasari 2004. Referensi Industri. http://www.bogasariflour.com/ref_ind.htm.


[7Mei 2011].

Bogasari. 1997. Quality Control of Raw Material Wheat Flour and By Product.
Jakarta: PT ISM Bogasari Flour Mills.

Breeding Station Istropol Solary 2011. List of Wheat Varieties for Andalas
University. Interstate Publisher. Republic Slovakia. 43 pp.

C.G.G.J. van Steenis. 2006. Flora. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Hal 107.

Clements, F.E., J.E. Weaever dan H. Hanson. 1929. Plant competition. Camegil.
Inst. Washington Publ. 398 hal.

Cudney, D.W. 1996. Why herbicides are selective. 1996 Symposium Proceedings.
California Exotic Pest Plant Council.

Darwis, S.N. 1979. Teori Pertumbuhan dan Peningkatan Hasil Padi. Jilid I. Lembaga
Pusat Penelitian Pertanian. Perwakilan Padang. 86 Hal.

Daud, D. Staff Peneliti BPTP Sulawesi Utara. Uji Efikasi Herbisida Glifosat,
Sulfosat dan Paraquat Pada Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) Jagung.
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX
Komisariat Daerah Sulawesi Selatan:316-327 hal.
24

DEPTAN. 1978. Laporan hasil survei potensitpotensi tanaman gandum. Bidang


Potensi Tegakan gandum (konsep).

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Pestisida Untuk Pertanian dan


Kehutanan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Jakarta.

Evans, E.F and R.L. Donahue. 1957. Exploring Agriculture. Pren-tice Hall.
Engliwood Cliffs. New Jersey.

Everaarts, A.P. 1981. Weed of Vegetation in The Highlands of Java. Horticultural


Research Institute, Pasar Minggu, Jakarta. 121 hal.

Ewing, E.E., and R.E Keller. 1982. Limiting factors to the extension of potato into
non-traditional climates. Proc. Int. Congr. Research for the Potato in the
Year 2000. International Potato Centre. 37-40 p.

Hasanuddin. 2012. Aplikasi Herbisida Clomazone Dan Pendimethalin Pada


Tanaman Kedelai Kultivar Argomulyo: I. Karakteristik Gulma. Jurnal
Agrista Vol. 16 No. 1. Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Jumin, H.B. 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologis. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 201 hal.

Kamil, J. 1986. Teknologi Benih I. Angkasa Raya. Padang. 227 hal.

Komisi Pestisida. 2000. Pestisida Untuk Pertanian dan Kehutanan. Departemen


Pertanian RI. Jakarta.

Labrada, R. 1997. Problems releated to the development of weed management in


the developing world. In: Expert Consultation on Weed Ecology and
Management. Plant Production and Protection Division, FAO UN, Rome.
P:8-13.

Lakitan, B. 2007. Dasar - dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.

Lubigan, R.T., K. Moody., C.E Munroe., and E.C. Paller, Jr,. 1984. Major Weeds
of the Philipines. Weed Science Society of the Philipines University of the
Philipines at Los Banos College. Philipines. 326p.

Moenandir, J. 1985. Weed crop interaction in the sugarcane peanut intercropping


system. Diss. Unibraw Malang. Hal 236.

___________. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Ilmu Gulma -


Buku I, Universitas Brawijaya. Rajawali. Jakarta. 122 hal.

___________. 1988. Fisiologi Herbisida. Ilmu Gulma - Buku II, Universitas


Brawijaya. Rajawali. Jakarta. 143 hal.
25

___________. 1988. Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma. Ilmu


Gulma - Buku III, Universitas Brawijaya. Rajawali. Jakarta. 101 hal.

Mueller-Warrant, G.W. 1999. Duration of control from preemergence herbicides


for use in nonburned grass seed crops. Weed Technol. 13:439-449.

Mulyaningsih, S., F.T. Kadarwati, dan I. Sadikin. 2008. Periode kritis kompetisi
gulma pada kapas yang ditumpangsari dengan jagung. Agrivita30: 35-44.

Murni, M.A., 1995. Pengendalian dan pemanfaatan gulma perkebunan lada.


Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Natar. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Vol. XIV No.4. Badan Litbang Pertanian.
Bogor.

Nurmala, T. 1980. Budidaya Tanaman Gandum. PT. Karya Nusantara. Jakarta. 47


hal.

Nurmayulisun. 2009. Fisiologi Tumbuhan Kentang. Erlangga. Jakarta

Prima, D. 2006. Penampilan Karakter Pertumbuhan, Komponen Hasil dan Hasil


Varietas Padi Sawah (Oryza sativa L.) di Kab. Tanah Datar. [Skripsi].
Padang. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang. 48 hal.

Putri, N.E., Chaniago, I., Suliansyah,I., 2013. Seleksi Beberapa Genotipe Gandum
Berdasarkan Komponen Hasil di Daerah Curah Hujan Tinggi. Jurnal
Agroteknologi, Vol. 4 No. 1. Prodi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian,
Universitas Andalas. Padang. Hal 1-6.

Rahayu, H.L. 1992. Aplikasi Herbisida Metsulfuron Metil dan Campurannya


dengan 2,4 D Pada Dosis dan Tinggi Air yang Berbeda pada Saat Aplikasi
Untuk Mengendalikan Gulma pada Padi Sawah. [Skripsi]. Institut
Pertanian Bogor.

Rahmi YA., Suryawati., dan Zubactirodin. 2007. Balai Penelitian Tanaman


Serealia. Maros, Sulsel.

Rao, V. S. 2000. Principles of weed science 2nd ed. Science publishers, Inc.,
Enfield, NH.

Sastroutomo, S.S. 1992. Pestisida Dasar dan Dampak Penggunaanya. PT.


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Shah, M.I., Jabeen M., and Ilahi l., 2003. In Vitro Introduction and Plant
Regeneration From Mature Embryos in Spring Wheat (Triticum aestivum
L.) Var. LU 26S. Pak J. Bot. 35 (2): 209 – 217.

Sianturi, E. 2012. Uji Adaptasi Beberapa Genotipe Gandum (Triticum aestivum


L.) di Alahan Panjang Kabupaten Solok. [Skripsi]. Padang. Fakultas
Pertanian Universitas Andalas. Padang. 41 hal.
26

Sovan, M. 2002. Penanganan Pascapanen Gandum. Disampaikan Pada Acara


Rapat Koordinasi Pengembangan Gandum di Pasuruan, Jawa Timur, 3-5
September 2002. Direktorat Serealia Direktorat Jenderal Bina Produksi
Tanaman Pangan.

Sriyani, N. 2011. Mekanisme Kerja Herbisida. Bahan mata kuliah Herbisida dan
lingkungan. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Sudarmini, 2001. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanamana Gandum (Triticum


aestivum L.) Pada Periode Tanam dan Taraf Pemupukan Nitrogen yang
Berbeda. [Skripsi]. Bogor. Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor.

Suprapto dan M.P. Yufdy. 1987. Gulma dan cara pengendaliannya. Makalah
Seminar "Peranan Herbisida dalam Pengembangan Produksi Tanaman
Lahan Kering di Lampung. Unila. Lampung.

Suprihatin, A. 2013. Pemanfaatan Gulma Di Halaman Kampus PPPTK BOE


Malang Sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup
(Mata Diklat Pestisida Nabati). Dept. Pendidikan Lingkungan Hidup.
Malang.

Tjitrosoedirdjo, S., HI. Utomo., dan I. Wiratmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di


Perkebunan. PT. Gramedia, Jakarta.Universitas Brawijaya. Rajawali.
Jakarta. 210 p.

Tonks, D.J., C.V. Eberlein, & M. I. Guittieri. 2000. Preemergence weed control in
potato (Solanum tuberosum) with ethalfluralin. Weed Technol. 14:287-
292.

Violetta, Z. 2013. Pengaruh Pemberian Beberapa Dosis Pupuk Kandang Sapi


Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Dua Genotipe Tanaman Gandum
(Triticum aestivum L.) di Kabupaten Tanah Datar. [Skripsi]. Padang.
Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang. 60 hal.

Wichert, R.A., and R.E. Talbert. 1992. Soybean [Glycine max (L.)] response to
lactofen. Weed Sci. 41:23-37.

Yakup dan S. Yarnelis. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 160 hal.

Yoshida, S. 1981. Foundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research


Institute. Los Banos, Laguna, Philippines.73 pp.
27

Lampiran
Lampiran 1. Jadwal Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Bulan ke Bulan ke Bulan ke Bulan ke Bulan ke


I II III IV V

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Pengolahan lahan

2 Persiapan benih

3 Penanaman di
lapangan

4 Pemberian
Perlakuan

5 Pemeliharaan

6 Pengamatan

7 Panen

8 Pasca Panen

9 Pengolahan data
28

Lampiran 2. Denah Penempatan Petak Percobaan Menurut RAK


I II III
a b

A3 A1 A4 A3 A1 A4

A4 A2 A1 A1
Y A3 A2

Keterangan :

 (A1,A2,A3,A4, ) = Perlakuan T
 (1, 2, 3 = Ulangan Perlakuan
 X = Lebar Lahan U S
 Y = Panjang Lahan
 ( a, b ) = Jarak kelompok perlakuan B
29

Lampiran 3. Denah Penempatan Tanaman pada Petakan

x x x x x U
x x x x x
a x b x x x x
x x x x x B T
x x x x x
x x x x x
x x x x x S
x x x x x
Keterangan :
x x x x x
x x x x x a = jarak ke pinggir
x x x x x d bedengan 10 cm
x x x x x
b = jarak antar tanaman
x x x x x
dalam bedengan 25 cm
x x x x x
x x x x x c = lebar bedengan 1,2 m
x x x x x
d = panjang bedengan 5 m
x x x x x
x x x x x = tanaman sampel
x x x x x
x x x x x
x x x x x
x x x x x
x x x x x
x x x x x
x x x x x
30

Lampiran 4. Deskripsi Benih Gandum SO-3

Nama verietas S0-3

Asal benih Republik Slovakia

Deskripsi  Warna awn merah tua.


 Tinggi batang 85 cm.
 Pertumbuhan cepat.
 Tahan terhadap penyakit daun.
 Biji keras.
 Kandungan protein dan gluten basah tinggi
sampai sangat tinggi.
 Kualitas roti baik.

Sumber : Breeding Station Istropol Solary, Republik Slovakia, 2011


31

Lampiran 5. Perhitungan Kebutuhan Pupuk

Diketahui : Pupuk Urea yang dibutuhkan = 150 kg/ha

Pupuk SP36 yang dibutuhkan = 200 kg/ha

Pupuk KCl yang dibutuhkan = 100 kg/ha

Panjang bedengan =5m


Lebar bedengan =1,20 m
Ditanya : Jumlah pupuk yang diberikan per bedengan ?
Jawaban : 1 ha = 10.000 m2

Luas Bedengan = 5 x 1,20 = 6 m2

Jumlah larikan = 5 larikan

6,25 m² x 150 kg/ha


 Kebutuhan pupuk Urea =
10.000 m²

= 0,09 kg/ha
= 90 gram/bedengan

6 m² x 200 kg/ha
 Kebutuhan pupuk SP36 =
10.000 m²

= 0,12 kg/ha
= 120 gram/bedengan

6 m² x 100 kg/ha
 Kebutuhan pupuk KCl =
10.000 m²

= 0,06 kg/ha
= 60 gram/bedengan
32

Lampiran 6. Perhitungan Dosis Herbisida Sesuai Kebutuhan

Kaliberasi alat semprot : Lebar sebaran semprot = 0,5 m


Volume semprot = 1000 ml/perlakuan
Kecepatan berjalan = 60 m/menit

a. Herbisida Bahan Aktif 2,4 DMA


Diketahui : Dosis = 1,5 L/ha
Kapasitas knapsack sprayer = 14 L
Ditanya : Takaran dosis herbisida per perlakuan ?
Jawab :1 ha = 10.000 m2
Luas Bedengan = 5 x 1,20 = 6 m2
=6x4
= 24 m2/perlakuan

24 m² x 1,5 L
Dosis yang dibutuhkan =
10.000 m²
= 0,0036 L
= 3,6 ml

14 L x 3,6 ml
Jumlah bahan produk =
1000 ml
= 0,054 L
= 50,4 ml

b. Herbisida Bahan Aktif Atrazin


Diketahui : Dosis = 1,5 L/ha
Kapasitas knapsack sprayer = 14 L
Ditanya : Takaran dosis herbisida per perlakuan?
Jawaban : 1 ha = 10.000 m2
Luas Bedengan = 5 x 1,20 = 6 m2 = 6 x 4
= 24 m2/perlakuan
33

24 m² x 1,5 g
Dosis yang dibutuhkan =
10.000 m²

= 0,0036 L
= 3,6 ml

14 L x 3,6 ml
Jumlah bahan produk =
1000 ml
= 0,054 L
= 50,4 ml

14 L x 0,06 g
Jumlah bahan produk =
1L
= 0,84 gram
34

Lampiran 7. Denah Pengambilan sampel Gulma Pada Petakan Sampel


Kelompok I

Ax3
Ax2

Ax4

Ax1

c
Kelompok II

Ax3
Ax2

a Ax4
Ax1

Kelompok III

Ax3
Ax2

Ax4

Ax1

b
35

Keterangan :
a = Panjang Lahan yang digunakan
b = Lebar Lahan yang digunakan
c = Petakan Sampel 120 cm X 500 cm
= Letak sampel gulma (1 x 1 m²)
Ax1, Ax2, Ax3, Ax4 = Sampel Gulma

Anda mungkin juga menyukai