Anda di halaman 1dari 3

1

Sejarah Tasawuf dan Sumber-Sumber Ajarannya1


Oleh: Fadh Ahmad Arifan

Eksistensi tasawuf sejatinya tidak bisa dipisahkan dari pasang surut Peradaban Islam.
Berbicara mengenai istilah Tasawuf, ia berasal dari bahasa Arab. Istilah ini khas milik
umat Islam dan muncul kira-kira 50-60 tahun sesudah wafatnya Rasulullah saw. Asal-usul
tasawuf secara etimologis memang diperdebatkan oleh para ahli, sehingga Abu Hasan al-
Fusyandi seorang generasi tabi‟in yang hidup sezaman dengan Hasan al-Bashri (w.
110/728 M) mengatakan bahwa tasawuf hari ini ada nama tetapi tidak ada buktinya. Dulu,
di zaman Rasulullah tidak ada nama tasawuf, tetapi ada buktinya. Sementara sekarang
tasawuf itu ada namanya, tetapi hakikatnya tidak ada. Di zaman Rasulullah, istilah tasawuf
memang belum dikenal, akan tetapi terdapat kata-kata kunci yang termaksud di dalamnya
seperti zuhûd, warâ‟ dan lainnya. Oleh karena itu, ketika Imam Ahmad bin Hanbal menulis
tentang tasawuf dalam kehidupan Rasulullah, beliau memberi nama kitabnya dengan nama
Kitab az-Zuhd, kitab tentang Zuhud.2

A. Definisi Tasawuf

Secara etimologi baik ulama dan kalangan akademisi berbeda pendapat tentang asal-
usul kata tasawuf maupun definisi tasawuf yang banyak variannya tergantung berapa
banyak para Sufi yang mengutarakan pendapatnya. Banyaknya pendapat para Sufi
disebabkan antara Sufi yang satu dengan yang lain memiliki pengalaman rohani yang
berbeda-beda. Persis dengan definisi filsafat yang amat banyak variannya. Bila Filsafat
adalah jalan menuju kebijaksanaan, maka tasawuf adalah jalan menuju ketenangan batin
(hati). Dua-duanya membutuhkan penguasaan ilmu Syariah dan peran guru supaya tidak
tergelincir di kemudian hari.

Bila Filsafat lebih menekankan pada sisi logika (rasio), mengapa tasawuf ini lebih
menekankan spiritualitas dalam berbagai aspek ajarannya? Ini karena para Sufi
mempercayai keutamaan “spirit” ketimbang “jasad”, mempercayai dunia Spiritual

1
Disampaikan pada pertemuan ke-3 mata kuliah “Akhlak-Tasawuf” di STAI al-Yasini, Kab Pasuruan
2
Sukardi (ed), Kuliah-Kuliah Tasawuf, (Bandung: Pustaka hidayah, 2000), hal. 23.
2

ketimbang material. Pada hakekatnya mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih real
dibanding dunia jasmani.3

Melihat dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai dengan


subyektivitas masing-masing sufi, maka Ibrahim Basyuni seperti dikutip Amin syukur,
mengklasifikasikan definisi tasawuf kedalam tiga varian yang menunjukkan elemen-
elemen: Elemen pertama, al-bidayah yaitu sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung
arti bahwa secara fitrah manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak
dapat menguasai dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat realitas yang mutlak.
Elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf.4

Elemen kedua al-mujahadah yaitu sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara
manusia dan realitas mutlak yang mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh
rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat
menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat
mendeatkan diri kepada Realitas Mutlak. Elemen ini dapat disebut tahap perjuangan
tasawuf. Contoh definisi ini seperti dikemukakan oleh Syibli, “Tasawuf adalah
memutuskan hubungan dengan mahluk dan mempererat hubungan dengan Tuhan”.5

Elemen ketiga yaitu al-Mazaqat artinya bila manusia telah lulus mengatasi hambatan
dan rintangan untuk mendekati realitas mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan
berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang
didambakan. Tahap ini dapat disebut tahap pengalaman atau penemuan mistik. Contoh
definisi ini seperti dikemukakan oleh al-Junaid, „Tasawuf adalah berada bersama
(menemukan) Allah tanpa perantara”.6

B. Sumber Ajaran Tasawuf

Habib Luthfi yang kini berdomilisi di Pekalongan menyatakan, Inti ajaran Tasawuf
adalah Tasfiyat al Qulub wa Tazkiyat al-Nufus, membersihkan berbagai kotoran-kotoran
yang mendiami hati seperti: Takabur, Hasad, dan penyakit-penyakit lain yang merusak
keislaman kita. Di antara penyakit-penyakit tersebut adalah al-ghaflah atau lalai. Lalai

3
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal 2-3
4
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 11-12
5
Ibid, hal 12
6
Ibid.
3

disini artinya lupa kepada Allah swt, lupa akan perintah serta larangan-Nya dan lupa
kepada Rasul-Nya. Masih menurut Habib Luthfi, Tasawuf sudah ada pada zaman Nabi,
sumbernya tak lain adalah Kitabullah dan Sunnah/hadist Rasulullah. Sudah selayaknya kita
mempelajari dan mengamalkannya setelah kita mempelajari ilmu Tauhid, Syariat terutama
Fiqh.7

Ajaran Tasawuf yang digali dari al-Quran, misalnya dalam Surah Ali Imran ayat 31
yang dijadikan dasar untuk doktrin/konsep tentang cinta (mahabbah). “Katakanlah: “Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu…”. Cinta yang dimaksud adalah cinta timbal balik antara
Tuhan dan hamba-Nya. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, mahabbah ini derajat yang
tinggi, sedangkan kerinduan, kesenangan dan keridhaan mengikuti kecintaan.8 Tak Cuma
mahabbah, ajaran zikir yang menjadi amaliah para Sufi banyak bertebaran di berbagai
Surah di al-Quran, misalnya pada al-Ahzab ayat 41, demikian pula ajaran “kewalian” yang
termaktub dalam Surah Yunus ayat 62.

Di samping Quran, Hadist-hadist Rasulullah saw memberi basis/dasar terhadap ajaran


dan amaliah para Sufi itu, seperti sebuah hadist yang menyatakan “Barangsiapa mengenal
dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. Hadist ini diapakai sebagai hujjah para sufi
untuk doktrin “Makrifat”, yakni pengetahuan sejati yang diperoleh langsung dari
sumbernya sendiri (ilmu hudhuri).9 Kebiasaan Rasulullah saat dulunya berada di Gua Hira
jelang pengangkatan beliau sebagai utusan Allah yang terakhir, dipandang para Sufi
sebagai “uzlah”, “tafakkur” dan “khalwat” semata-mata karena Allah swt. Sayang sekali
untuk istilah khalwat pada masa kini disalahgunakan media untuk penyebutan orang
berpacaran. Wallahu’allam bishowwab

7
Lihat Kata Pengantar Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dalam Buku al-Rashafat: Percikan Cinta
Para Kekasih, (Yogyakarta: Bentang, 2013)
8
Imam Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Jakarta: Sahara Publisher, 2013), hal 478
9
Mulyadhi Kartanegara, Op, cit. hal 26

Anda mungkin juga menyukai