Anda di halaman 1dari 6

AKIDAH SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN AKHLAK

Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah akidah yang benar terhadap alam dan
kehidupan, karena akhlak tersarikan dari akidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu, jika
seseorang berakidah dengan benar, niscaya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu
pula sebaliknya, jika akidah salah dan melenceng maka akhlaknya pun akan tidak benar.
Akidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinannya terhadap Allah juga
lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui Sang Penciptanya dengan benar, niscaya ia
akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin
menjauh atau bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkan-Nya.
Adapun yang dapat menyempurnakan akidah yang benar terhadap Allah adalah berakidah
dengan benar terhadap malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para
Rasul dan percaya kepada Rasul-rasul utusan-Nya yang mempunyai sifat jujur dan amanah
dalam menyampaikan risalah Tuhan Mereka.
Keyakinan terhadap Allah, Malaikat, Kitab, dan para Rasul-rasul-Nya berserta syariat yang
mereka bawa tidak akan dapat mencapai kesempurnaan kecuali jika disertai dengan keyakinan
akan adanya hari Ahkir dan kejadian-kejadian yang menggiringnya seperti hari kebangkitan,
pengmpulan, perhitungan amal dan pembalasan bagi yang taat serta yang durhak dengan masuk
surga atau masuk neraka.
Di samping itu, akidah yang benar kepada Allah harus diikuti pula dengan akidah atau
kepercayaan yang benar terhadap kekuatan jahat dan setan. Merekalah yang mendorong manusia
untuk durhaka kepada Tuhannya. Mereka menghiasi manusia dengan kebatilan dan syahwat.
Merekalah yang merusak hubungan baik yang telah terjalin di antara sesamanya. Demikianlah
tugas –tugas setan sesuai dengan yang telah digariskan Allah dalam penciptaannya, agar dia
dapat memberikan pahala kepada orang-orang yang tidak mengikuti setan dan menyiksa orang
yang menaatinya. Dan semua ini berlaku setelah Allah memerpingatkan

umat manusia dan mengancam siapa saja yang mematuhinya setan tersebut.
Pendidikan akhlak yang bersumber dari kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang
harus diikuti oleh manusia. Mereka harus mempraktikannya dalam kehidupan mereka, karena
hanya inilah yang akan mengantarkan mereka mendapatkan ridha Allah dan akan membawa
mereka mendapatkan balasan kebaikan dari Allah.
Ketidakberesan dan adanya keresahan yang selalu menghiasi kehidupan manusia timbul sebagai
akibat dari penyelewengan terhadap akhlak –akhlak yang telah diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Penyelewengan ini tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada kesalahan dalam
berakidah, baik kepada Allah. Malikat, rasul, kitab-kitab-Nya maupun hari Akhir.
Untuk menjaga kebenaran pendidikan akhlak dan agar seseorang selalu dijalan Allah yang lurus,
yaitu jalan yang sesuai dengan apa yang telah digariskan-Nya, maka akidah harus dijadikan dasar
pendidikan akhlak manusia.

DEFINISI AKHLAK

1.Menurut Imam Abu Hamid Al-Gazali


Kata al-khalq ‘Fisik’ dan al-khuluq ‘akhlak’ adalah dua kata yang sering dipakai bersaman.
Seperti redaksi bahasa arab ini, fulaan husnu al-khalq wa al-khuluq yang artinya “si fulan baik
lahirnya juga batinnya”. Sehingga yang dimaksud dengan kata “al-khalaq” adalah bentuk
lahirnya. Sedangkan al-khuluq adalah bentuk batinnya.
Hal ini karena manusia tersusun dari fisik yang dapat dilihat dengan mata kepala, dan dari ruh
yang dapat ditangkap dengan batin. Masing-masing dari keduanya memiliki bentuk dan
gambaran, ada yang buruk ada pula yang baik. Dan ruh yang ditangkap oleh mata batin itu lebih
tinggi nilainya dari fisik yang ditangkap dengan penglihatan mata. Yang dimaksud dengan ruh
dan jiwa di sini adalah sama.
Kata al-khuluq merupakan suatu sifat yang terpatri dalam jiwa, yang darinya terlahir perubahan-
perubahan dengan mudah tanbpa memikirkan dan merenung terlebih dahulu.
Jika sifat yang tertanam itu darinya terlahir perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut rasio
dan syariat, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang baik. Sedangkan jika yang terlahir adalah
perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang buruk.
Al-khuluq adalah suatu sifat jiwa dan gambaran batinnya. Dan sebagaimana halnya keindahan
bentuk lahir manusia secara mutlak tak dapat terwujud hanya dengan keindahan dua mata,
dengan tanpa hidung, mulut dan pipi. Sebaliknya, semua unsur tadi harus indah sehingga
terwujudlah keindahan lahir manusia itu. Demikian juga, dalam batin manusia ada empat rukun
yang harus terpenuhi seluruhnya sehingga terwujudlah keindahan khuluq “akhlak”. Jika keempat
rukun itu terpenuhi, indah dan saling bersesuaian, maka terwujudlah keindahan akhlak itu.
Keempat rukun itu antara lain:
1)Kekuatan ilmu
2)Kekuatan marah
3)Kekuatan syahwat
4)Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi

1)Kekuatan Ilmu
Keindahan dan kebaikannya adalah dengan membentuknya hingga menjadi mudah mengetahui
perbedaan antara juur dan dusta dalam ucapan, antara kebenaran dan kebatilan dalam beraqidah,
dan antara keindahan dan keburukan dalam perbuatan.
Jika kekuatan ini telah baik, maka lahirlah buak hikmah, dan hikmah itu sendiri adalah puncak
akhlak yang baik. Seperti difirmankan Allah SWT.,
“…..Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak ….” (Al-Baqarah: 269).
2)Kekuatan marah
Keindahannya adalah jika mengeluarkan marah itu dan penahannya sesuai tuntutan hikmah.
3)Kekuatan syahwat
Keindahan dan kebaikannya adalah jika ia berada di bawah perintah hikmah. Maksudnya
perintah akal dan syariat.

4)Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi


Adalah kekuatan dalam mengendalikan syahwat dan kemarahan di bawah perintah akal dan
syariat.
Perumpamaan akal adalah seperti seorang pemberi nasihat dan pemberi petunjuk
Kekuatan keadilan adalah kemampuan, dan perumpamaannya adalah seperti pihak yang menjadi
pelaksana dan pelaku bagi perintah akal.
Dan kemarahan adalah tempat yang padanya dilaksanakan perintah tadi itu. Perumpamaannya
adalah seperti anjing pemburu, yang perlu dilatih, sehingga gerak-geriknya sesuai dengan
perintah, bukan sesuai dengan dorongan syahwat dirinya.
Sementara perumpamaan syahwat adalah seperti kuda yang ditunggangi untuk mencari hewan
buruan, yang terkadang jinak dan menuruti perintah, dan terkadang pula binal.
Siapa yang dapat mewujudkan kesimbangan unsur-unsur tadi, ia pun menjadi sosok yang
berakhlak baiks secara mutlak. Sementara orang yang hanya dapat mewujudkan keseimbangan
sebagian unsur itu saja, maka ia menjadi orang yang berakhlak baik jika dilihat pada segi yang
baik itu saja, seperti orang yang sebagian wajahnya indah, sementara sebagian lainnya buruk.
Keindahan kekuatan kemarahan dan keseimbangannya digambarkan dengan keberanian
Keindahan kekuatan syahwat dan keseimbangannya digambarkan dengan sifat iffah menjaga
kesucian diri
Jika kekuatan marah seseorang cenderung ke arah bertambah maka ia dinamakan dengan
tahwwur ‘sembrono’. Sedangkan, jika cenderung melemah dan berkurang maka dinamakan
pengecut. Jika kekuatan syahwat cenderung bertambah maka ia dinamakan serakah, sedangkan
jika cenderung melemah dan berkurang dinamakan statis.
Yang terpuji adalah sikap seimbang yang merupakan keutamaan, sedangkan dua sikap yang
cenderung bertambah dan melemah adalah dua hal yang tercela. Sedangkan keadilan, jika ia
terluput maka ia tak mempunyai dua sisi ekstrem, berlebihan atau kurang, tapi ia mempunyai
satu lawan dan antonimnya, yaitu kezaliman.
Sementara hikmah, tindakan menguranginya ketika menggunakannya dalam perkara-perkara
yang tidak baik dinamakan kebusukan dan kerendahan. Sementara tindakan berlebihan padanya
dinamakan kedunguan. Maka sikap pertengahannyalah yang dinamakan dengan hikmah. Dengan
demikian, pokok-pokok utama akhlak ada empat, yaitu: Hikmah, keberanian, iffah, menjaga
kesucian diri, dan keadilan.
Hikmah adalah kondisi kekuatan kemarahan yang tunduk kepada akal, dalam maju dan
mundurnya.
Kesucian diri adalah melatih kekuatan syahwat dengan kendali akal dan syariat.
Keadilan adalah kondisi jiwa dan kekuatannya memimpin kemarahan dan syahwat, dan
membimbingnya untuk berjalan sesuai dengan tuntutan hikmah, juga memegang kendalinya
dalam melepas dan menahannya, sesuai dengan tuntutan kebaikan. Dari keseimbangan pokok-
pokok tersebut, terwujudlah seluruh akhlak yang mulia.

2.Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syariif al-Jurjani


Al-Jurjani mendefinisikan akhlak dalam bukunya, at-Ta’rifat sebagai berikut:
“Khlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berfikir dan merennung. Jika sifat
tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syariat, dengan mudah, maka
sifat tersebut dinamakan dengan akhlak baik. Sedangkan jika darinya terlahir pebuatan-perbuatan
buruk, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang buruk”
kemudian Al-Jurjani kembali berkata “Kami katakan akhlak itu sebagai suatu sifat yang tertanam
kuat dalam diri, karena orang yang mengeluarkan derma jarang-jarang dan kadang-kadang saja,
maka akhlaknya tidak dinamakan sebagai seorang dermawan, selama sifat tersebut tak tertanam
kuat dalam dirinya.
Demikian juga orang yang berusaha diam ketika marah, dengan sulit orang yang akhlaknya
dermawan, tapi ia tidak mengeluarkan derma. Dan hal itu terjadi kemungkinan karena ia tidak
punya uang atau karena ada halangan.
Sementara bisa saja ada orang yang akhlaknya bakhil, tapi ia mengeluarkan derma, karena ada
suatu motif tertentu yang mendorongnya atau karena ingin pamer
Dari pemaparan tadi tampak bahwa ketika mendefinisikan akhlak, al-Jurjani tidak berbeda
dengan definisi Al-Ghazali. Hal itu menunjukan bahwa kedua orang ini mengambil ilmu dari
sumber yang sama, dan keduanya juga tidak melupakan Hadits yang menyifati akhlak yang baik
atau indah bahwa akhlak adalah apa yang dinilai oleh akal dan syariat.

3.Menurut Ahmad bin Musthafa (Thasy Kubra Zaadah)


Ia seorang ulama ensiklopedia – mendefinisikan akhlah sebgai berikut; “Akhlak adalah ilmu
yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan. Dan keutamaan itu adalah terwujudnya
keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu; kekuatan berfikir, kekuatan marah, kekuatan syahwat.
Dan masing-masing kekuatan itu mempunyai posisi pertengahan di antara dua keburukan, yakni
sebagai berikut:
Hikmah, merupakan kesempurnaan kekuatan berfikir, dan posisi pertengahan antara dua
keburukan, yaitu: kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya Hikmah, dan
yang kedua adalah berlebihan.
Keberanian. Adalah kesempurnaan kekuatan amarah dan posisi pertengahan antara dua
keburukan, yaitu kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya keberanian dan
yang kedua adalah berlebihan keberanian.
Iffah adalah kesempurnaan kekuatan sahwat dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu
kestatisan dan berbuat hina. Yang pertama, adalah kurangnya sifat tersebut, sedangkan yang
kedua adalah berlebihnya sifat tersebut.
Ketiga sifat ini, yaitu Hikmah, keberanian dan iffah, masing-masing mempunyai cabang, dan
masing-masing cabang tersebut merupakan tersebut merupakan posisi pertengahan anatara dua
keburukan. Sedangkan sebaik perkara adalah pertengahnnya. Dan dalam ilmu akhlak disebutkan
penjelasan detail tentang hal-hal ini.
Kemudian cara pengobatannya adalah dengan menjaga diri untuk tidak keluar posisi dari posisi
pertengahan, dan terus berada di posisi pertengahan itu
Topik ilmu ini adalah insting – insting diri, yang membuatnya berada di posisi petengahan antara
sikap mengurangi dan berlebihan
Para ahli Hikmah berkata kepada Iskandar, “Tuan raja, hendaknya anda bersikap pertengahan
dalam segala perkara. Karena berlebihan adalah keburukan sedangkan mengurangi adalah
kelemahan”
Manfaat ilmu ini adalah agar manusia sedapat mungkin menjadi sosok yang sempurna dalam
perbuatan-perbuatannya, sehingga di dunia ia berbahagia dan di akherat menjadi sosok yang
terpuji

4.Menurut Muhammad bin Ali al-Faaruqi at-Tahanawi


Ia berkata, “Akhlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat alami, agama, dan harga diri
Menurut definisi para ulama, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat
yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawalai berfikir panjang, merenung
dan memaksakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tak tertanam kuat dalam diri, seperti kemarahan
seorang yang asalnya pemaaf, maka ia bukan akhlak. Demikian juga, sifat kuat yang justru
melahirkan perbuatan-perbuatan kejiwaan dengan sulit dan berfikir panjang, seperti orang bakhil.
Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin di pandang orang. Jika demikian maka tidaklah
dapat dinamakan akhlak.
Segala tindakan mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu seperti Qudrat ‘kemampuan’
berbeda dengan dudrat, yaitu ia tidak wajib ada bersama makhluk ketika ia mengerjakan sesuatu
seperti wajibnya hal itu menurut para ulama Asy’ari dalam masalah Qudrat
Kemudian at-Tahanawi berkata,
“Akhlah terbagi atas hal sebagai berikut
Keutamaan, yang merupakan dasar bagi apa yang sempurna
Kehinaan, yang merupakan dasar bagi apa yang kurang
Dan selain keduanya yang menjadi dasar bagi selain kedua hal itu”
Penjelasannya adalah bahwa jiwa yang mampu berbicara, ketika berkaitan enggan fisik dan
Pengendalian atas fisik, serta memerlukan tiga kekuatan
Pertama, kekuatan yang mampu memikirkan apa yang dibutuhkan dalam membuat perencanaan
dan aturan. Yang dinamakan dengan kekuatan akal, kekuatan berbicara, insting, dan jiwa yang
tenang dan dikatakan pula sebagai kekuatan yang menjadi dasar untuk memahami hakikat-
hakikat, keinginan untuk memperhatikan akibat-akibat setiap perbuatan, dan membedakan antara
yang mendatangkan manfaat dan mengasilkan kerusakan.
Kedua, kekuatan yang mendorong seseorang untuk mendapatkan apa yang memberi manfaat
bagi fisiknya dan cocok dengannya, seprti makanan, minuman dan lainnya, dan hal itu
dinamakan dengan kekuatan syahwat, unsur hewani dan nafsu amarah
Ketiga, kekuatan yang dapat menghindari seseorang dari sesuatu yang dapat merusak dan
membuat pedih tubuhnya, dan hal itu dikatakan pula sebagai dasar untuk maju dalam keadaan
sulit, dan pendorong untuk berkuasa dan meningkatkan derajat diri. Kekuatan ini dinamakan
dengan kekuatan amarah dan ganas, serta nafsu lawwanah.
Kemudian ia berkata bahwa dari keseimbangan kondisi kekuatan instingtif lahirlah Hikmah,
Hikmah itu adalah suatu keadaan kekuatan akal praktis yang berada pada posisi pertengahan
antara berfikir terlalu mengkhayal kondisi berlebih dari kekuatan ini, yaitu ketika seseorang
menggunakan kekuatan pemikiran untuk memikirkan apa yang tak seharusnya dipikirkan, seperti
perkara-perkara yang mustasyaabihat ‘samat’ dan bentuk yang tak seharusnya sperti menyalahi
syariat. Dan antara kebodohan dan kedunguan yang merupakan kondisi kekurangan Hikmah,
yaitu ketika seseorang mematikan kekuatan berfikirnya secara sengaja. Dan berhenti dari
mendapatkan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Keseimbangan kekuatan syahwat melahirkan sifat iffah menjaga kesucian diri iffah itu sendiri
adalah kekuatan syahwat yang moderat antara bertindak berlebihan dan melanggar etika sifat
kurangnya berarti jatuh dalam terus mengikuti dorongan merasakan kelezatan apa yang ia
senangi, dengan kesatisan sifat lebihnya iffah yang merupakan kondisi vakum dari usaha
mendapatkan kelezatan sesuai dengan kadara yang diperbolehkan akal dan syariat. Dalam sifat
iffah tersebut nafsu syahwat tunduk terhadap kekuatan Pikiran
Kesimbangan kekuatan marah melahirkan keberanian. Keberanian itu adalah suatu kondisi
kekuatan marah, yang bersifat moderat antara tindakan sembrono yang merupakan kondisi berani
yang berlebihan yaitu maju untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan sifat
pengecut, sikap khawatir atas apa yang tak seharusnya dikhawatirkan, dan ia adalah kondisi
kurang berani.
Dalam kekuatan keberanian ini, sifat buas menjadi tunduk kepada kekuatan berfikir, sehingga
maju dan mundurnya kekuatan ini sesuai dengan pertimbangan pemikiran, tanpa mengalami
kebingungan ketika menghadapi masalah-masalah besar, dan karena itu perbuatannya menjadi
indah dan kesabarannya menjadi terpuji.
Jika keutamaan yang tiga itu bercampur, maka terjadilah dari percampuran itu kondisi yang
sama, yaitu keadilan. Karena hal ini, maka keadilan digambarakan sebagai sikap tengah atau
moderat, dan itulah yang dimaksud dengan Sabda Rasulullah sawa ini
“Paling baik perkara adalah yang pertengahan”
Kemudian at-Tahanawi meneruskan perkataannya, dan ia pun berbicara tentang akhlah yang
agung, ia berkata bahwa akhlak agung bagi para shalihin adalah berpaling daru dua semesta, dan
menghadap hanya kepada Allah semata secara total.
Al-Wasithi berkata bahwa akhlak yang agung adalah tidak memusuhi dan tidak dimusuhi
Athaa berkata bahwa akhlak yang agung adalah melepaskan pilihan dan penolakannya atas
segala kesulitan dan cobaan yang diturunkan Allah SWT.
Akhlak yang agung bagi Nabi SAW adalah yang disinyalir dalam firman Allah SWT
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar-benar berbudi pekerti yang agung” (al-Qalam:4) dans
sesuai yang dikatakan oleh Aisyah r.a bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an, yang
bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan telah tertanam kuat dalam diri, sehingga beliau
menjalaninya tanpa kesulitan.

5.Kesimpulan
Para ulama Islam yang menulis tentang akhlak itu menjelaskan bahkan menkankan pa yang
diperhatikan oleh para penulis barat, yaitu bahwa akhlak yang baik adalah apa yang dinilai baik
oleh akal dan syariat. Sedangkan akal saja tak cukup untuk menilai baik dan buruknya suatu
perbuatan. Oleh karena itu, Allah mengutus para Rasul dan menurunkan pertimbangan (Kitab
Suci) bersama mereka yang memperlakukan manusia dengan penuh keadilan
Demikianlah, ukuran akhlak yang baik jika sesuai dengan syariat Allah. Berhak mendapatkan
ridha-Nya dan dalam memegang akhlak yang baik ini sambil memperhatikan pribadi, keluarga,
dan masyarakat, sehingga di dalamnya terdapat kebaikan dunia dan akherat
Sub judul ini berbicara tentang segi etimologi pendidikan akhlak, maka kami masih perlu
penjelasan dimensi-dimensi maknawi bagi pendidikan bagi pendidikan akhlak ini.

Anda mungkin juga menyukai