Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhlak merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam, karena diutusnya
Rasulullah saw di muka bumi ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan umatnya, dan salah
satu akhlak yang terbaik adalah akhlak Rasulullah, karena Al Qur’an adalah salah satu
cerminan akhlak Rasulullah saw. Pemimpin mempunyai kedudukan yang penting dalam
sebuah komunitas, kelompok, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemimpin. Suatu
komunitas masyarakat, suatu bangsa dan negara tidak aman, maju dan terarah jika tidak adanya
seorang pemimpin, maka pemimpin menjadi kunci keberhasilan suatu bangsa maupun suatu
negara.
Pemimpin yang mampu memberi rasa aman,tenteram, mampu mewujudkan keinginan
rakyatnya, maka dianggap pemimpin yang berhasil. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin
yang dicintai oleh rakyatnya, bangsanya, pemikirannya dipakai meskipun telah pemimpin itu
tidak lagi bersama mereka. Segala perintahnya dilakukan, rakyat membelanya tanpa diminta
terlebih dahulu. pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang disukai rakyatnya dan disegani
lawannya.
Figur kepemimpinan yang mendekati penjelasan tersebut adalah Rasulullah dan
khulafaur rashidin. Rasulullah sebagai pemimpin merupakan anugrah tersendiri, atau semacam
keistimewaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw. Karena pada dasarnya Rasulullah
adalah utusan terakhir untuk seluruh umat manusia yang secara juga pemimpin umat manusia.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari akhlak kepada pemimpin?
2. Bagaimana akhlak dan kewajiban seorang pemimpin menurut hadits Rasululloh?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah, untuk memenuhi tugas hadits akhlak, selain itu juga
untuk menambah wawasan penulis serta pembaca lebih mendalam lagi tentang bagaimana
akhlak kepada pemimpin menurut hadits.

BAB II
PEMBAHASAN

Akhlak merupakan tiang yang menopang hubungan yang baik antara hamba dengan
Allah SWT (habluminallah) dan antar sesama umat (habluminannas). Akhlak yang baik akan
hadir pada diri manusia dengan proses yang panjang, yaitu melaui pendidikan akhlak. Banyak
kalangan di dunia ini menawarkan pendidikan akhlak yang mereka yakini kebaikannya, tetapi
tidak semua dari pendidikan tersebut mempunyai kaidah-kaidah yang benar dalam Islam. Hal
tersebut dikarenakan pengetahuan yang terbatas dari pemikiran manusia itu sendiri.1

Islam menetapkan tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ibnu
Taimyah mengungkapkan bahwa kewajiban seorang pemimpin yang telah ditunjuk dipandang
dari segi agama dan dari segi ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan
diri kepada Allah adalah dengan menaati peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun hal
itu lebih sering disalah gunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kedudukan dan harta.

1.1 HADITS TENTANG KEPEMIMPINAN

Islam bahkan telah mengatur bagaimana hubungan pemimpin dan rakyat seperti pada firman
Allah swt :

‫سو َل َوأُو ِلي أاْل َ أم ِر ِمن ُك أم فَإِن تَنَازَ أعت ُ أم فِي ش أ‬


‫َيءٍ ي‬ َّ ‫َّللا َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َ َّ ‫يُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا‬
ً ‫س ُن تَأ أ ِو‬
‫يل‬ َ ‫اَّلل َو أاليَ أو ِم أاْل ِخ ِر َذ ِل َك َخي ٌأر َوأ َ أح‬
ِ َّ ‫سو ِل إِن ُكنت ُ أم تُؤأ ِمنُونَ ِب‬
ُ ‫الر‬ ِ َّ ‫فَ ُردُّوهُ إِلَى‬
َّ ‫َّللا َو‬

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.2

1
Anwar Rosihon, akhlak tasawuf ,CV Pustaka Setia, bandung 2010, h 9
2
Surah an-nisa : 59
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw. : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada
pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah
ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at. 3

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menyatakan: “Ulil Amri mencakupi dua
golongan, yaitu ulama dan penguasa.” (Majmu’ Fatawa, 5/240)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullah menyatakan: “Hadis ini menunjukkan


wajibnya taat kepada penguasa, hal itu berlaku dalam perkara yang bukan maksiat. Hikmah
taat kepada penguasa adalah agar menjaga persatuan kesatuan, hingga menghindari
perpecahan dan kehancuran.” (Fathul Bari, 13/112)

Ziyad bin Kusaib al-Adawi berkata: “Aku pernah bersama Abu Bakrah duduk di bawah
mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian tipis. Abu Bilal berkata:
‘Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik!’ Abu Bakrah berkata: “Diamlah!
Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menghina penguasa
Allah di muka bumi, Allah akan menghinakannya4

Sahl bin Abdullah at-Tustari yang telah berkata: “Manusia akan sentiasa berada dalam
kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan para ulama. Apabila mereka
mengagungkan dua golongan ini, Allah akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Apabila
mereka merendahkannya, bererti mereka telah menghancurkan dunia dan akhirat mereka
sendiri.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/260)

3
HR. Bukhari, 4/2955, an- Nasai, 7/4206, Ibnu Majah, 4/2864, Abu Daud 2/2628
4
HR.Tirmidzi, 4/2224
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang ia benci dari penguasanya maka hendaklah ia
bersabar. Barangsiapa yang meninggalkan jama’ah walau sejengkal maka dia mati dalam
keadaan jahiliyyah.5

Imam Ibnu Abil Izzi rahimahullah berkata: “Adapun taat kepada penguasa tetap wajib
sekalipun mereka zalim, kerana keluar dari ketaatan terhadap mereka akan menimbulkan
keburukkan yang banyak melebihi kezaliman mereka. Bahkan sabar di atas kezaliman
penguasa adalah penghapus dosa, melipat gandakan pahala, kerana tidaklah Allah
menimpakan hal itu kecuali kerana keburukkan perbuatan kita sendiri. Balasan itu setimpal
dengan perbuatan. Wajib bagi kita untuk bersunguh-sungguh meminta ampun kepada Allah,
taubat dan memperbaiki diri. Maka apabila rakyat ingin membebaskan diri dari kezaliman
penguasa hendaklah mereka mengawali dengan meninggalkan perbuatan zalim pada diri
mereka sendiri.” (Syarah al-Aqidah at-Thohawiyyah, 2/542)

Rasulullah saw. Bersabda yang artinya: Barangsiapa yang hendak menasihati


penguasa, janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia
memegang tangannya, kemudian bersendirian dengannya. Apabila penguasa itu ingin
menerima nasihat, maka itulah yang diinginkan. Apabila tidak, sesungguhnya dia (yang
menasihati) telah menunaikan kewajibannya. (HR., Ahmad 3/403, Hakim 3/290, hadis ini
disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dhilalil Jannah, hal. 507)

Sebaik-baiknya penguasa adalah yang kalian mencintainya dan mereka mencintai kalian.
Kalian mendo‘akannya dan mereka mendo’akan kalian. Seburuk -buruknya penguasa adalah
yang kalianmembencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian mencacinya dan mereka
mencaci kalian.” Rosulullah ditanya: “Wahai Rasulullah tidakkah kita memberontak dengan
pedang?” beliau menjawab: “Jangan, selama mereka masih menegakkan solat.” Apabila kalian
melihat sesuatu yang kalian benci dari penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya dan
janganlah kalian mencabut ketaatan dari mereka.6

1.2 Bentuk akhlak rakyat terhadap pemimpin

5
HR. Bukhari,9/7054
6
HR Muslim, 3/1481
1. patuh dan taat

Terdapat juga dalam hadits nabi saw :

‫عَلَْيَكَ الَّسْم ََع ََوالَّطاعَةَ فِي‬ َ ‫عَلَْي ِِه ََو‬


َ ‫َسَل ََم‬ َ ُ‫صَلى َّللا‬ َ ِ‫َسو ُل َّللا‬ ُ ‫عَن أَبِي ُه َري َرةَ قَا َل قَا َل َر‬
َ‫عَُّس ِرك‬
َ ‫ََويَُّس ِركَ ََو َمنش ََِّطَكَ ََو َمك َر ِهَكَ ََوأَث َ َر ٍة‬
َ‫عَلَْيَك‬
Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wajib bagi
kalian untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan susah maupun senang, dalam perkara
yang disukai dan dibenci dan biarpun merugikan kepentinganmu. 7

Ketaatan kepada pemimpin tersebut bukan tanpa batas. Menurut keterangan yang diperoleh
dari hadits-hadits Nabi, paling tidak ada dua persyaratan kewajiban mentaati pemimpin8:
a. Pemimpin yang ditaati itu adalah pemimpin yang sah (legal) menurut aturan
syari’at Islam. Yaitu pemimpin yang diangkat berdasarkan kehendak dan
pilihan masyarakat, bukan melalui kudeta, ataupun pemaksaan.
b. Pemimpin tersebut tidak memerintahkan berbuat maksiat. Jika ia menyuruh
membangun tempat-tempat maksiat atau melestarikan perzinaan atau
memperbolehkan narkoba, maka haram untuk diikuti.
2. Menasehati pemimpin jika salah

Sebagaimana sabda nabi:


‫َسَل ََم قَا َل إِن َّللاَ ك َِر َه لَكَُم ث َ ََلثًا‬
َ ‫عَلَْي ِِه ََو‬
َ ُ‫صَلى َّللا‬ ُ ‫عَن أ َ ِبي ُه َري َرةَ أَن َر‬
َ ِ‫َسو َل َّللا‬
‫ََو َر ِض َي لَكَُم ث َ ََلثًا َر ِض َي لَكَُم أَن تَعبُدَُوهُ ََو ََل ت ُش ِركُوا ِب ِِه شَْيئ ًا ََوأَن تَعت َ ِص ُْموا‬
‫ضاعَةَ ال َْما ِل‬ َ ِ‫ص ُحوا ِل ُو ََل ِة اْلَم ِر ََوك َِر َه لَكَُم قِْي َل ََوقَا َل ََوإ‬
َ ‫ِب َحب ِل َّللاِ َج ِْمْيعًا ََوأَن تَن‬
‫َّسؤَا ِل رَواه أحْمد‬ ُّ ‫ََوكَث َرةَ ال‬
dari Abu Hurairah, dia berkata; Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
Bersabda: "Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal pada kalian dan membenci tiga hal dari
kalian; kalian sembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, kalian
berpegang teguh dengan tali Allah semuanya, dan Allah suka jika kalian menasehati para
pemimpin. Dan Allah membenci dari kalian; adu domba, menyia-nyiakan harta dan
banyak tanya. (HR Ahmad no 7984
‫َسَل ََم قَا َل إِن ِمن أَع َظ َِم ال ِج َها ِد‬
َ ‫عَلَْي ِِه ََو‬ َ ‫َس ِعْي ٍد ال ُخد ِري ِ أَن النبِي‬
َ ُ‫صَلى َّللا‬ َ ‫عَن أَبِي‬
ُ ‫َك َِل َْمةَ عَد ٍل ِعن َد‬
ٍ ‫َسَل ََّط‬
‫ان َجائِ ٍر‬

7
HR Muslim ultimate no 3419
8
Ahman Ritonga, Akhlak, Amelia Surabaya, surabaya 2005, h 139.
Dari Abu Sa'id Al Khudri bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya jihad yang paling agung adalah menyampaikan ungkapan yang adil
(benar) kepada penguasa yang sewenang-wenang."

Dalam penyampaiannya seorang muslim tetap dituntut supaya tidak menyalahi koridor
agama. Oleh sebab itu, di dalam hadits disebut sebagai kalimatu ‘adl, berarti tidak
mengeluarkan kata-kata kotor, penghinaan, dan melecehkan hak-hak orang lain.9

1.3 Hadits Kewajiban Pemimpin

a. Pemimpin Memikul Tanggung jawab

‫صلَّى‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع َم َر أ َ َّن ٍَر‬
َّ ‫سو َل‬ َّ ‫ع ْب ِد‬
ُ ‫َّللاِ ب ِْن‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫َاٍر‬ َ ‫ع ْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
ٍ ‫َّللاِ ْب ِن ِدِين‬ َ ٍ‫ع ْن َمالِك‬ َ َ‫َّللاِ ب ُْن َم ْسلَ َمة‬ َّ ُ‫ع ْبد‬َ ‫َحدَّثَنَا‬
‫علَ ْي ِه ْم َو ُه َو‬
َ ٍ‫اِس ٍَراع‬ ِ َّ‫علَى الن‬ َ ‫ير الَِّذِي‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل أ َ ََل ُكلُّ ُك ْم ٍَراعٍ َو ُكلُّ ُك ْم َم ْسئُو ٌل‬
ُ ‫ع ْن ٍَر ِعيَِّتِ ِه َفَ ْاَأْل َ ِم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ
َ ُ‫َّللا‬
َ ‫ت بَ ْع ِل َها َو َولَ ِد ِه َوه‬
‫ِي‬ َ ٌ‫ع ْن ُه ْم َو ْال َم ْرأَة ُ ٍَرا ِعيَة‬
ِ ‫علَى بَ ْي‬ َ ‫علَى أ َ ْه ِل بَ ْيِتِ ِه َو ُه َو َم ْسئُو ٌل‬ َّ ‫ع ْن ُه ْم َو‬
َ ٍ‫الر ُج ُل ٍَراع‬ َ ‫َم ْسئُو ٌل‬
‫ع ْن ٍَر ِعيَِّتِه‬ َ ‫ع ْنهُ َفَ ُكلُّ ُك ْم ٍَراعٍ َو ُكلُّ ُك ْم َم ْسئُو ٌل‬
َ ‫سيِ ِد ِه َو ُه َو َم ْسئُو ٌل‬ َ ‫علَى َما ِل‬ َ ٍ‫ع ْن ُه ْم َو ْالعَ ْبدُ ٍَراع‬
َ ٌ‫َم ْسئُولَة‬

Ibn umar r.a berkata : aku sudah mendengar rasulullah saw bersabda : tiap-tiap orang
merupakan pemimpin & bakal diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Satu
Orang kepala negeri dapat diminta pertanggungjawaban faktor rakyat yg dipimpinnya.
Seseorang suami dapat ditanya aspek keluarga yg dipimpinnya. Seseorang isteri yg memelihara
rumah tangga suaminya dapat ditanya elemen tanggungjawab & tugasnya. Bahkan satu orang
pembantu/pekerja rumah tangga yg bertugas memelihara barang milik majikannya pula bakal
ditanya dari elemen yg dipimpinnya. & anda sekalian pemimpin & bakal ditanya (diminta
pertanggungan jawab) darihal faktor yg dipimpinnya.(H.R.Bukhari, muslim).

Penjelasan: Pada dasarnya, hadist di atas berkata berkaitan rutinitas kepemimpinan


dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa kebiasaan paling pokok dalam kepemimpinan
merupakan tanggun jawab. Seluruhnya orang yg hidup di muka bumi ini dinamakan sbg
pemimpin. Karenanya, yang merupakan pemimpin, mereka memikul tanggung jawab,
sekurang-kurangnya kepada ia sendiri

suami bertanggung jawab atas istrinya, satu orang Bpk bertangung jawab pada anak-
anaknya, seseorang majikan betanggung jawab terhadap pekerjanya, seseorang atasan

9
Ahman Ritonga, Akhlak, Amelia Surabaya, surabaya 2005, h 141.
bertanggung jawab pada bawahannya dan satu orang presiden, bupati, gubernur bertanggung
jawab pada rakyat yg dipimpinnya, dst.

Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna laksanakan


pekerjaan dulu seterusnya selesai & tak menyisakan dampakbagi yg dipimpin. Melainkan lebih
dari itu, yg dimaksud tanggung jawab di sini yaitu lebih berarti upaya satu orang pemimpin
utk wujudkan kesejahteraan bagi pihak yg dipimpin. Sebab kata ra ‘a sendiri dengan cara
bahasa bermakna gembala & kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, dirinya mesti
merawat, berikan makan & mencarikan area berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, satu
orang penggembala bertanggung jawab utk mensejahterakan binatang gembalanya.

Tetapi narasi gembala hanyalah satu buah tamsil, & manusia pasti tidak sama dgn
binatang, maka menggembala manusia berbeda dgn menggembala binatang. Anugerah akal
budi yg diberikan allah terhadap manusia yakni kelebihan tersendiri bagi manusia utk
mengembalakan dia sendiri, tidak dengan mesti mengantungkan hidupnya terhadap
penggembala lain.

Karenanya, pertama-tama yg diungkapkan oleh hadis di atas ialah bahwa tiap-tiap


manusia yakni pemimpin yg bertanggung jawab atas kesejahteraan ia sendiri. Atau denga kata
lain, seorang harus bertanggung jawab buat mencari makan atau menghidupi dirinya, tidak
dengan mengantungkan hidupnya pada orang lain.

Dgn begitu, hakekat kepemimpinan merupakan tanggung jawab & bentuk tanggung
jawab yakni kesejahteraan, sehingga seandainya ortu cuma sekedar berikan makan anak-
anaknya namun tak memenuhi standar gizi pula keperluan pendidikannya tak dipenuhi,
sehingga hal tersebut tetap jauh dari makna tanggung jawab yg sebenarnya.

Begitu juga seandainya seseorang majikan memberikan upah prt (pekerja rumah
tangga) di bawah standar ump (bayaran minimum propinsi), sehingga majikan tersebut belum
dapat dikatakan bertanggung jawab. Demikian juga kalau seseorang pemimpin, katakanlah
presiden, dalam memimpin negerinya cuma sebatas jadi “pemerintah” saja, tapi tak ada upaya
serius utk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, sehingga
presiden tersebut belum mampu dikatakan sudah bertanggung jawab.

Dikarenakan tanggung jawab seseorang presiden mesti diwujudkan dalam wujud


kebijakan yg berpihak terhadap rakyat mungil & kaum miskin, bukannya berpihak terhadap
konglomerat & kawan-kawan dekat. Dikarenakan itu, kalau kondisi satu buah bangsa masihlah
jauh dari standar kesejahteraan, sehingga tanggung jawab pemimpinnya masihlah butuh
dipertanyakan.

Ulama lain berkata, “Masuk pula dalam cakupan umum ini orang yang hidup sendirian
tanpa istri (atau suami), pembantu, dan tidak pula anak, karena dia tetap menjadi pemimpin
atas anggota badannya agar melakukan hal-hal diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang
dilarang, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun keyakinan. Anggota badan, kekuatan, dan
indranya adalah hal-hal yang dipimpinnya. Kedudukan seseorang sebagai pemimpin tidaklah
menafikkan keberadaannya sebagai yang dipimpin ditinjau dari segi lain.”10

b. Pemimpin Pelayan Masyarakat


Hadits:
‫س ِن‬ َ ‫ع ِن ال َح‬
َ ‫اٍر‬
ٍ ‫س‬َ َ‫ َم ْع ِق ِل ب ِْن ي‬, ‫ض ِه الَِّذِي َماتَ َفِ ْي ِه‬
ِ ‫اٍر‬
َ ‫اٍر َفِي َم‬ ٍ ‫س‬َ َ‫عاِدَ َم ْع ِق َل بْنَ ي‬ ُ ‫أ َ َّن‬, ُ‫َفَقَا َل لَه‬
َ ‫عبَ ْيدَهللاِ اِبْنَ ِزيَا ٍِد‬
ُ ‫س ِم ْعِتُهُ ِم ْن ٍَر‬
‫س ْو ِل هللاِ َم ْع ِق ٌل‬ َ ‫ ِإنِي ُم َح ِدثُكَ َحا ِِدثًا‬, ‫ي‬ َ , ‫يَقُو ُل‬: ‫عاهُ هللاُ ٍَر ِعيَةً َفَلَ ْم‬
َّ ِ‫س ِم ْعتُ النَّب‬ َ ‫َما ِم ْن‬
َ ‫ع ْب ٍد ا ْسِت َْر‬
‫َص ْي َح ٍة ِإَلَّ لَ ْم يَ ِج ْد ٍَرائِ َحةَ ال َجنَّ ِة‬ ْ ‫يَ ُح‬
ِ ‫ط َها بِن‬
( ‫أخرجه البخري َفي‬: ‫ كِتاب اَأْلحكام‬٣٩:‫ باب من اسِترعى ٍرعية َفلم ينصح ٍرقيق‬٨)

Terjemah:
Ma’qil bin Yasar, dari Al-Hasan, sesungguhnya Ubaidillah bin Ziyad menjenguk
Ma’qil bin Yasar ketika dia sakit sebelum dia meninggal. Maka Ma’qil berkata kepada
Ubaidillah bin Ziyad: aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang telah aku dengar
dari Rasulullah . aku telah mendengar beliau bersabda: “Tiada seorang hamba yang diberi
amanah rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan hamba itu tidak
akan mencium bau surga.”
[Al-bukhari meletakkan hadits ini di: 93 Kitab Hukum: 8. Bab orang yang diberi amanah lalu
tidak memeliharanya]
Penjelasan:
Al Karmani berkata, “Pengertian hadits ini menunjukkan bahwa dia mendapatkan
aromanya, padahal ini bertentangan dengan yang dimaksudkan hadits. Oleh karena itu, mesti
disisipkan illa (melainkan), yakni melainkan dia tidak mendapatkan. Lalu kalimat

10
Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Baari. Kitab Al-Ahkam. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009) h. 389-391
pelengkapnya tidak disebutkan. Perkiraannya adalah, tidaklah seorang hamba melakukan
seperti ini melainkan Allah mengharamkan surga baginya.

Ibnu Bathal berkata, “ini adalah anaman keras terhadap para pemimpin zalim yang
menyia-nyiakan amanah yang dititipkan Allah keada mereka, atau mengkhianati rakyat, atau
menzalimi mereka, sehingga dia dituntut karena menzalimi para hamba pada hari kiamat.
Bagaimana dia mampu berlepas dari kezaliman umat yang demikian banyak.

Ibnu At-Tin menukil dari Addawudi sama sepertinya, dia berkata, “mungkin ini juga
berkenaan dengan orang kafir. Karena orang mukmin akan menggunakan wewenangnya
dengan baik.”

ْ ‫ َفَلَ ْم َي ُح‬sama seperti huruf lam pada firman


Ath-Thaibi berkata, “huruf fa’ pada kalimat ‫ط َها‬
Allah dalam surah Al-Qashash ayat 8;

ِ ‫ان ََو ُجنُو َد ُه َْما كَانُوا َخ‬


َ ِ‫اطئ‬
‫ْين‬ َ ‫ُون لَ ُهَم‬
َ ‫عدَُوا ً ََو َح َزنا ً إِن ِفرعَو َن ََو َها َم‬ َ َ‫فَالتَق‬
َ ‫َّطِهُ آ ُل فِرعَو َن ِلْيَك‬
“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir`aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan
bagi mereka. Sesungguhnya Fir`aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang
bersalah.”

Maksudnya, Allah hanya memberikan kekuasaan kepadanya atas hamba-hamba-Nya


agar senantiasa berlaku lurus terhadap mereka hingga meninggal dalam keadaan demikian.
Tetapi ketika dia membalikkan urusan maka dia patut diberi hukuman.11
Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa
kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa pondasi, dari luar nampak megah namun di
dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak
didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap
kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya
mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua
komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga
struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah

11
Ibid. hal. 440-444.
kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak
yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan
itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.

Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini adalah seorang
pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya.
Suri tauladan ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau
keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin
yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk
mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya
hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman
“haram masuk sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak
jujur dan suka menipu rakyat.

c. Larangan Berambisi Menjadi Pemimpin


Hadits:
َ ‫س ُم َرة‬
َ ‫بن‬
ِ ‫من‬
ِ ْ‫ِالرح‬ َ , ‫قَا َل‬: ‫ي‬
َّ ‫ع ْبد‬ ُّ ‫قَا َل النَّ ِب‬: َ ‫اٍرة‬
َ ‫اإل َم‬ِ ‫س ُم َرةََلَ تَسْأ َ ِل‬ َ َ‫من بن‬ ِ ْ‫الرح‬
َّ َ‫ع ْبد‬ َ ‫ َيا‬, ‫ع ْن‬ َ ‫ََفإِنَّك ِإ ْن أُوتِيِت َ َها‬
َ َ‫غي ِْر َم ْسئَلَ ٍة أ ُ ِع ْنت‬
‫ َمسئ َل ٍة ُو ِك ْلتَ إِلَ ْي َها‬, ‫علَي َها‬ َ ‫َوإِ ْن أُو تِيِت َ َها ِم ْن‬
( ‫أخرجه البخري َفي‬: ‫ كِتاب اَأْليمان و النِذوٍر‬٨٣:﴾‫ باب قول هللا تعل ﴿َليؤاخِذكم هللا باللغو َفي أيمانكم‬١
Terjemah:
Abdurrahman bin Samurah, dia berkata: Nabi , bersabda: “Ya Abdurrahman bin
Samurah, engkau jangan meminta-minta jabatan, sebab jika jabatan itu diserahkan kepadamu
berdasarkan permintaanmu, maka akan diserahkan sepenuhnya. Sebaliknya jika jabatan itu
diserahkan kepadamu bukan atas dasar permintaanmu, maka kamu akan dibantu
mengatasinya.”
[Al-Bukhari meletakkan hadits ini di: 83. Kitab Sumpah dan Nadzar: 1. Bab firman Allah Ta’ala:
“Allah tidak menghukummu atas sumpah yang tidak engkau maksudkan.”]
Penjelasan:
Makna dari hadits tersebut adalah, barang siapa meminta jabatan lalu diberikan maka
dia tidak akan ditolong karena ambisinya itu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa meminta
sesuatu yang berkenaan dengan jabatan adalah makruh (tidak disukai). Maksud dalam jabatan
ini adalah pemerintahan, pengadilan, keuangan, dan lainnya. Barang siapa yang berambisi
mendapatkan demikian maka dia tidak akan diberi pertolongan. Namun secara lahir, hadits ini
bertentangan dengan riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah yang diriwayatkan secara marfu’;

ُ‫ع ْدلُهُ َج ْو ٍَرهُ َفَلَهُ ال َجنَّة‬


َ ‫ب‬ َ ‫ضا َء ال ُمس ِل ِمينَ َحِتَّى َينَا لَهُ ث ُ َّم‬
َ َ‫غل‬ َ َ‫ب ق‬ َ ‫ َمن‬,‫ع ْدلُهُ َفَلَهُ النَّاٍر‬
َ َ‫طل‬ َ َ‫غل‬
َ ُ‫ب َج ْو ٍُره‬ َ ‫َو َم ْن‬
(barang siapa meminta jabatan untuk mengadili kaum muslimin hingga mendapatkannya
kemudian keadilannya mengalahkan kecurangannya maka baginya surga. Tetapi barangsiapa
yang kecurangannya mengalahkan keadilannya maka baginya neraka)
Untuk mengompromikan antara kedua riwayat tersebut dikatakan, bahwa
keberadaannya tidak diberi pertolongan sama sekali tidak berkonsekuensi bahwa dirinya tidak
dapat berbuat adil bila sempat memangku jabatan. Atau kata ‘meminta’ di sini dipahami
dengan arti ‘bermaksud’. Oleh karena itu, yang menjadi pasangannya adalah pertolongan,
karena barangsiapa yang tidak mendapatkan pertolongan dari Allah terhadap pekerjaannya,
maka dia tidak akan mampu menunaikan pekerjaan itu. Sehingga tidak patut memenuhi,
permintaannya karena diketahui bahwa suatu jabatan tidak akan luput dari kesulitan.
Barangsiapa tidak mendapatkan pertolongan dari Allah, maka dia mendapatkan kesulitan
dalam pekerjaannya dan merugi dunia akhirat. Orang yang berakal sehat tentu tidak akan mau
memintanya sama sekali. Bahkan bila dia memiliki kemampuan lalu diberi jabatan tanpa
meminta maka dia dijanjikan akan mendapat pertolongan.
Al Muhallab berkata, “Termasuk makna ‘dipaksakan’adalah diberi jabatan itu dan dia
melihat dirinya tak layak memangkunya karena pengangungan dan ketakutan akan terjerumus
dalam perbuatan yang terlarang. Dalam kondisi seperti itu dia akan ditolong serta diluruskan.
Asas bagi masalah ini bahwa siapa merendah untuk Allah, maka dia mengangkatnnya.12

Hadits:
‫أَبِي ُموسى َو ُمعَا ِذ ب ِْن َجبَ ٍل قَا َل أَبُو ُموسى‬: ِ ‫أ َ ْقبَ ْلتُ إِلَى النَّبِي‬, َ‫ َو َم ِعي ٍَر ُجالَ ِن ِمنَ اَأْل َ ْشعَ ِريِين‬, ‫ع ْن‬ َ ‫أ َ َحدُ ُه َما‬
‫اٍري‬
ِ ‫س‬َ َ‫ع ْن ي‬
َ ‫يَ ِمينِي ِواآلخ َُر‬, ِ‫س ُل هللا‬ َ ‫سأ َ َل‬
ُ ‫و ٍَر‬, َ ‫يَا أَبَا ُموسى أَو يَا‬,
َ ‫يَ ْسِت َاكُ َفَ ِكالَ ُه َما‬, ‫َفَقَا َل‬: ‫ع ْبدَهللاِ بْنَ قَي ٍْس قَا َل‬
ُ‫قُ ْلت‬: ‫علَى َما َفِي أ َ ْنفُ ِس ِه َما‬ ْ َ ‫ق َما أ‬
َ ‫طلَعَانِي‬ ِ ‫ َوالَِّذِي بَعَثَك بِالَ َح‬, ‫ان العَ َم َل َفَ َكأَنِي أ‬ ْ َ‫شعَ ْرتُ أَنَّ ُه َما ي‬
ِ َ‫طلُب‬ َ ‫!و َما‬ ُ ‫ْن‬
َ ‫ظ ُر‬
‫ت َفَقَا َل‬ َ َ‫إِلَى ِس َوا ِك ِه تَحْ ت‬: ُ‫ع َم ِلنَا َم ْن أ َ ٍَراِدَه‬
َ َ‫شفَِتِ ِه قَل‬
ْ ‫ص‬ َ ‫علَى‬ َ ‫لَ ْن أ َ ْوَلَ نَسِت َ ْع ِم ُل‬, ‫سى‬ َ ‫َولَ ِك ْن اذَهَبْ أَنتَ يَا أَبَا ُمو‬
َ ‫علَ ْي ِه أ َ ْلقَى لَهُ ِو‬
ً ‫ساِدَة‬ َ ‫ع ْبدَهللاِ بْنَ قَي ٍْس إِلَى اليَ َم ِن ث ُ َّم اتَّبَعَهُ ُمعَاذُ ب ُْن َجبَ ٍل َفَلَ َّم قَد َِم‬ َ ‫أ َ ْو يَا‬, ‫قَا َل‬: ‫ا ْن ِز ْل َوإِذَا ٍر ُج ٌل‬
‫ ِع ْندَهُ ُمث َ ٌق قَا َل‬: ‫ َما َهِذَا قَا َل‬: ‫ َكانَ يَ ُهو ِِديًّا َفَأ ْسلَ َم ث ُ َّم ت َ َه َّوِدَ قَ َل‬: ‫س قَ َل‬ ْ ‫اجْ ِل‬: ‫س َحِتَّى يُ ْقِت َ َل‬ُ ‫َلَ أَجْ ِل‬, ِ‫ضا ُء هللا‬
َ َ‫ق‬

12
Ibnu Hajar Al Asqalani. Opcit. hal. 428-431
‫س ِل ِه‬ َ ‫ام اللَّي ِل َفَقَا َل أ َ َحدُ ُه َما‬
ُ ‫و ٍَر‬, َ َ‫ت َفَأ َ َم َربِ ِه َفَقُِتِ َل ث ُ َّم تَِذَا َك َرا قِي‬ َ َ‫ثَال‬: ‫أ َ َّما أَنَا َفَأَقُو ُم َوانَا ُم‬, ‫َوأ َ ٍْر ُجوَفِي ن َْو َمِتِي‬
ٍ ‫ث َم َّرا‬
‫َما أ َ ٍْر ُجوَفِي قَو َمِتِي‬
( ‫أخرجه البخري َفي‬: ‫ كِتاب اسِتِتابه المرتدين‬٨٨:‫ باب حكم المرتدوالمرتدة‬٢)

Terjemah:
Abu Musa berkata: aku datang kepada rasulullah, bersama dua orang suku Asy’ari.
Yang satu di sebelah kananku dan yang satu di sebelah kiriku. Sementara itu Rasulullah ,
sedang bersiwak. Lalu kedua orang itu meminta jabatan, maka Nabi , menegur: “Hai Abu Musa
atau hai Abdullah bin Qais.” Aku menjawab: demi Allah yang telah mengutusmu dengan haq,
keduanya tidak memberi tahu kepadaku maksudnya atau aku tidak tahu kalau keduanya ingin
jabatan. Akupun melihat beliau berhenti bersiwak, lalu bersabda: “kami tidak akan mengangkat
seseorang untuk bekerja kepada kami jika orang itu memintanya. Tetapi engkau wahai Abu
Musa, pergilah ke Yaman.” Kemudian di ikuti oleh Mu’az bin Jabal. Dan ketika Mu’az sampai
ke tempat Abu Musa, langsung diberinya sandaran bantal dan menyuruhnya tinggal di situ.
Tiba-tiba Mu’az melihat orang yang terikat, maka dia bertanya: mengapakah orang itu? Abu
Musa menjawab: dia dahulunya orang Yahudi kemudian masuk Islam, tapi ia kembali ke
Yahudi. Maka Mu’az dipersilahkan duduk. Tapi Mu’az berkata: aku tidak akan duduk sehingga
orang itu dibunuh. Begitulah putusan (hukum) Allah dan Rasulullah. Diulangnya kalimat itu
tiga kali. Maka Abu Musa segera memerintahkan agar orang Yahudi itu dibunuh. Kemudian
keduannya membicarakan soal bagun malam, maka yang satu berkata: aku bangun dan tidur,
dan tetap mengharap ridha Allah dalam tidurku sebagaimana aku mengharap ridha-Nya dalam
bangunku.
[ Al-Bukhari meletakkan hadits ini di: 88. Kitab Meminta Taubat Orang yang Murtad: 2. Bab
Hukum Orang yang Murtad.]
Penjelasan:
Hadits Abu Musa Al-Asy’ari di atas mencakup empat hukum, yaitu:
1) Siwak
2) Terelanya meminta jabatan dan larangan berambisi mendapatkan jabatan.
3) Abu Musa diutus ke Yaman, dan juga dikirimnya Mu’az ke sana.
4) Kisah orang Yahudi yang memeluk Islam, kemudian murtad.
Adapun makna dari hukum pada poin kedua di atas memiliki penjelasan yang sama dengan
hadits sebelumnya bahwa, kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh
diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala
cara untuk dapat mendapatkannya.
Menukil perkataan al-Muhallab dalam Fathul Baari (XIII/126), "Ambisi untuk
mendapatkan suatu jabatan merupakan penyebab timbulnya peperangan di kalangan manusia
hingga terjadi pertumpahan darah dan perampasan harta, pemerkosaan dan penyebab utama
terjadinya kerusakan besar di muka bumi." Saya katakan, "Inilah makna dari sabda Rasulullah
saw, 'Kalian nantinya akan berambisi untuk menjadi penguasa...,"
Bagi siapa yang meminta jabatan pemerintahan maka ia tidak boleh diberi jabatan itu.
Islam tidak memberikan jabatan kekuasaan kepada orang yang memintanya, menginginkannya
dan berambisi untuk mendapatkannya. Orang yang paling berhak mendapatkan jabatan
kekuasaan adalah orang yang menjauhkan diri dan tidak suka menerimanya.
Meminta sebuah jabatan kekuasaan atau jabatan yang berkaitan dengan pemerintahan
seperti jabatan hakim, bendahara dan jabatan lainnya yang mengurus kepentingan masyarakat,
sangat berpengaruh dengan kemaslahatan pribadi. Barangsiapa yang seperti itu keadaannya
maka tidak disangsikan lagi bahwa ia akan sanggup berbuat dosa untuk meraih apa yang ia
anggap mulia dan untuk mewududkan ambisinya. Adapun orang yang takut terhadap hukum
ini, ia lebih mempunyai peluang besar untuk berbut adil dan lebih mampu menahan diri dari
perbuatan dosa. 13

d. Batasan Ta’at Kepada Pemimpin


Hadits:
‫ع َم َر‬ َ , ‫قَا َل‬: َ‫علَى ال َم ْر ِء ال ُمس ِل ِم َِفيْـما َ أ َ َحبَّ َو َك ِره‬
َ , ِ ‫ع ِن النَّ ِبي‬
ُ ‫ع ْب ِد هللاِ ب ِْن‬ َ ُ ‫عة‬ َ ‫طا‬ َ ‫س ْم ُع َوال‬ َّ ‫ال‬, ‫َما َل ْم يُؤْ َم ْر‬
َ‫عة‬َ ‫طا‬ َ َ‫س ْم َع َوَل‬ َ َ‫ص َي ٍة ََفال‬ِ ‫صيَةٍ؛ َفَإِذَا أ ُ ِم َر ِب َم ْع‬
ِ ‫ِب َم ْع‬
( ‫أخرجه البخري َفي‬: ‫ كِتاب اَأْلحكام‬٩٣:‫ باب السمع و الطعة لإلمام ما لم تكن معصية‬٤)
Terjemah:
Abdullah bin Umar, dia berkata: Nabi bersabda: “Mendengar dan ta’at itu wajib atas
seseorang, baik suka maupun benci, selama ia tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Jika
diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan tidak wajib taat.”
[Al-Bukhari meletakkan hadits ini di: 93. Kitab Hukum: 4. Bab. Mendengar dan Ta’at kepada
Imam selama bukan dalam hal maksiat.]
Penjelasan:

13
Ibid hal. 444-447
َ ‫عة‬ َ َ‫س ْم َع َوَل‬
َ ‫طا‬ ِ ‫( َفَإِذَا أ ُ ِم َر بِ َم ْع‬Jika diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak
َ َ‫صيَ ٍة َفَال‬
ada kewajiban mendengar dan tidak wajib taat). Maksudnya, tidak wajib mendengar dan taat,
bahkan haram bagi siapa yang mampu untuk tidak melakukannya. Ringkasnya, pemimpin
dipecat dengan sebab kekufuran menurut ijma’. Wajib bagi setiap muslim melakukan hal itu.
Bagi siapa yang memiliki kekuatan melakukannya maka dia akan memperoleh pahala.
Sedangkan orang yang larut di dalamnya akan memperoleh dosa. Orang yang tidak melakukan
apa pun maka dia wajib hijrah dari negeri tersebut.14
Hadits:

َ , ‫قَا َل‬: ‫ث النَّبِي‬


ِ ‫ع ِلي‬ َ ‫بَ ْع‬, ‫ع َل ْي ِهم‬
َ ‫ب‬
َ ‫َض‬ِ ‫اٍر َوأ َ َم َر ُه ْم أ َ ْن ي ُِط ْيعُوهُ ََفغ‬
ِ ‫ص‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم ٍَر ُجالً مِنَ اَأْل َ ْن‬َ ‫س ِريَّةً َوأ َ َّم َر‬
َ ,
‫وقَا َل‬:َ ‫ي‬ ُّ ‫ْس قَ ْد أ َ َم َر النَّ ِب‬
َ ‫أ َلَي‬, ‫أ َ ْن ت ُ ِط ْيعُونِي قَالُوا‬: ‫بَلَى قَا َل‬: ‫َاٍرا ث ُ َّم‬
ً ‫طبًا َوأَوقَ ْدت ُ ْم ن‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم لَ َما َج َم ْعِت ُ ْم َح‬
َ ُ‫عزَ مت‬ َ
َ ‫ِدَخ َْلِت ُ ْم َفِي َها َفَ َج َمعُوا َح‬, ‫َفَأ َ ْوقَد ُْوا َفَلَ َّما َه ُّموا ِبدُّ ُخو ِل‬, ‫ض ُه ْم‬
‫طبَا‬ ُ ‫ام يَ ْن ُز ٍُر بَ ْع‬ َّ ِ‫ ِإنَّ َما ت َ ِب ْعنَا الـنَّب‬, ‫اٍر‬
َ َ‫َفَق‬: ‫ي‬ ِ َّ‫اٍر ِمنَ الن‬
ً ‫َفِ َر‬,
‫ت الـنَّ ُر‬ِ َ‫أَفَنَ ْد ُخلُ َها َفَبَ ْينَ َما ُه ْم َكِذَلِكَ ِإ ْذ َخ َمد‬, ِ ‫ضنبُهُ َفَِذ ُ ِك َر ِللنَّ ِبي‬ َ ‫غ‬َ َ‫س َكن‬ َ ‫ َو‬, ‫َفَقَا َل لَ ْوِدَ َخلُوهَا َما خ ََر ُجوا ِم ْن َها أ بَدًا‬,
‫عةُ َفِي ال َم ْع ُروف‬ َّ ‫ِإنَّ َما‬
َ ‫الطا‬
(‫أخرجه البخري َفي‬:‫ كِتاب اَأْلحكام‬٩٣: ‫ باب السمع و الطاعة لإلمام مالم تكن معصيه‬٤)
Terjemah:
Ali berkata: Rasulullah mengirim sariyah (pasukan yang berjumlah 300-400 orang) dan
diserahkan kepemimpinannya kepada salah seorang sahabat Ansar. Suatu saat dia marah
kepada pasukannya dan berkata: tidakkah Nabi menyuruh kalian menurut kepadaku? Mereka
menjawab: Benar. Kini aku perintahkan kalian untuk mengumpulkan kayu dan menyalakan api
kemudian kalian masuk ke dalam api itu. Maka merekapun mengumpulkan kayu dan
menyalakan api, dan ketika akan masuk ke dalam api, mereka saling pandang satu sama lain
dan berkata: kami mengikuti Nabi karena takut dari api (neraka). Apakah kami akan
memasukinya? Tidak lama kemudian padamlah api dan reda juga amarah pemimpin itu. Lalu
kejadian itu di sampaikan kepada Nabi. maka beliau bersabda: “Andaikan mereka masuk ke
dalam api itu, niscaya mereka tidak akan keluar selamanya, sesungguhnya wajib taat itu hanya
dalam kebaikan.”
[Al-Bukhari meletakkan hadits ini di: 93 kitab Hukum: 4 bab mendengar dan taat kepada imam
selama bukan dalam kemaksiatan]
Penjelasan:

14
Ibid hal. 424-425
Perkataan ‫ِإن َْما الَّطاعَةُ فِي ال َْمع ُرَوف‬ (, sesungguhnya wajib taat itu hanya dalam
kebaikan.) pembahasannya ada pada surah An-nisa: 59

‫َسو َل ََوأَُو ِلي اْلَم ِر ِمنكَُم‬


ُ ‫ِين آ َمنُوا أ َ ِطْيعُوا َّللاَ ََوأ َ ِطْيعُوا الر‬
َ ‫ َيا أَيُّ َها الذ‬...﴾٥٩﴿
(Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri kalian)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah
ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan
lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila seorang
pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban
dengar dan ta’at.

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun
mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul
kerusakan yang lebih besar dari kezholiman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap
kezholiman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala
tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada
diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan
(al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar
dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita.

Ada yang mengatakan bahwa pemimpin itu tidak benar-benar bermaksud memasukkan
mereka ke dalam api. Dia sebenarnya hendak mengisyaratkan bahwa ketaatan pemimpin
adalah wajib dan siapa yang meninggalkan kewajiban tersebut maka dia masuk neraka. Jika
terasa berat bagi kamu memasuki api itu maka bagaimana dengan api yang lebih besar lagi. Ini
mengesankan seolah-olah maksudnya adalah apabila dia melihat dari mereka kesungguhan
untuk memasukinya, maka dia akan mencegah mereka.
5. Wanita Menjadi Pemimpin
Hadits:
َ‫ ََو عَن أ َ ِبي بَك ََرة‬, ‫ع َِن الـن ِبي ِ قَا َل‬: ً‫لَن يُف َِل َح قَو ٌم ََولوا أَم َر ُه َُم اَم َرة‬
(‫)رَواه البخاري‬
Terjemah:
Dari Abu Bakrah bahwa Nabi bersabda: "Tidak akan bahagia suatu kaum yang
menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang perempuan."[Riwayat Bukhari]
Penjelasan:
Al Khathabi berkata, “Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa wanita tidak dapat
diangkat menjadi pemimpin maupun hakim, ini juga menjelaskan bahwa dia tidak dapat
menikahkan dirinya, dan tidak berhak menikahkan selainnya.” Namun, pernyataannya kurang
tepat. Mengenai larangan seorang wanita memegang kekuasaan pemerintah dan hakim adalah
pendapat jumhur. Namun, Ath-Thabari membolehkannya, dan ia adalah salah satu dari riwayat
Imam Malik. Adapun Abu Hanifah membolehkan bagi kaum wanita menjadi hakim dalam
perkara-perkara yang diterima kesaksiannya.15
Adapun alasan para jumhur tidak membolehkan wanita menjadi pemimpin diantaranya:
a) Pemimpin wanita pasti merugikan
Al Baghowiy mengatakan dalam Syarhus Sunnah (10/77) pada Bab ”Terlarangnya
Wanita Sebagai Pemimpin”:
”Para ulama sepakat bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga hakim.
Alasannya, karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga seorang pemimpin negara
haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin. Seorang hakim haruslah bisa menyelesaikan
sengketa. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak diperkenankan berhias (apabila keluar rumah).
Wanita itu lemah, tidak mampu menyelesaikan setiap urusan karena mereka kurang (akal dan
agamanya). Kepemimpinan dan masalah memutuskan suatu perkara adalah tanggung jawab
yang begitu urgent. Oleh karena itu yang menyelesaikannya adalah orang yang tidak memiliki
kekurangan (seperti wanita) yaitu kaum pria-lah yang pantas menyelesaikannya.”
b) Wanita kurang akal dan agama
Rasulullah Saw. Bersabda, “Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan
agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara
kalian wahai wanita.” Lalu ada yang menanyakan kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah,
apa yang dimaksud kurang akalnya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab,
”Bukankah persaksian dua wanita sama dengan satu pria?” Ada yang menanyakan lagi,
”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang agamanya? ” Beliau shallallahu
’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah ketika seorang wanita mengalami haidh, dia
tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak dapat berpuasa?” (HR. Bukhari dan Muslim)

15
Ibid, hal. 436
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kurang akalnya
adalah dari sisi penjagaan dirinya dan persaksian tidak bisa sendirian, harus bersama wanita
lainnya. Inilah kekurangannya, seringkali wanita itu lupa. Akhirnya dia pun sering menambah-
nambah dan mengurang-ngurangi dalam persaksiannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala
berfirman,

ِ َ ‫ََواَستَش ِهدَُوا ش َِهْيدَي ِن ِمن ِر َجا ِلكَُم فَ ِإن لََم َيكُو َنا َر ُجَلَْي ِن فَ َر ُج ٌل ََوام َرأَت‬
َ ‫ان ِمْمن تَر‬
‫ضو َن ِم َن‬
‫َاء أَن ت َ ِضل ِإحدَا ُه َْما فَتُذَ ِك َر ِإحدَا ُه َْما اْلُخ َرى‬
ِ ‫ش َهد‬
ُّ ‫ال‬
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak
ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al
Baqarah: 282)

Yang dimaksud dengan kurangnya agama adalah ketika wanita tersebut dalam kondisi haidh dan
nifas, dia pun meninggalkan shalat dan puasa, juga dia tidak mengqodho shalatnya. Inilah yang
dimaksud kurang agamanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/292)

KESMPULAN
1. Akhlak kepada pemimpin adalah bagaimana kita bisa taat dan patuh kepada pemimpin
seperti firman Allah swt :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.(surah an-annisa :59)

Dan sebagaimana sabda nabi:

Ibn umar r.a berkata: bersabda nabi saw: seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada
pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah
ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib
ta’at.( HR. Bukhari, 4/2955, an- Nasai, 7/4206, Ibnu Majah, 4/2864, Abu Daud 2/2628)

2. Pemimpin mempunyai kedudukan yang penting dalam sebuah komunitas, kelompok,


masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemimpin. Suatu komunitas masyarakat, suatu
bangsa dan negara tidak aman, maju dan terarah jika tidak adanya seorang pemimpin,
maka pemimpin menjadi kunci keberhasilan suatu bangsa maupun suatu negara.
Pemimpin yang mampu memberi rasa aman,tenteram, mampu mewujudkan keinginan
rakyatnya, maka dianggap pemimpin yang berhasil.
Sabda nabi Muhammad saw :
Ibn umar r.a berkata : aku sudah mendengar rasulullah saw bersabda : tiap-tiap orang
merupakan pemimpin & bakal diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya.
Satu Orang kepala negeri dapat diminta pertanggungjawaban faktor rakyat yg
dipimpinnya. Seseorang suami dapat ditanya aspek keluarga yg dipimpinnya.
Seseorang isteri yg memelihara rumah tangga suaminya dapat ditanya elemen
tanggungjawab & tugasnya. Bahkan satu orang pembantu/pekerja rumah tangga yg
bertugas memelihara barang milik majikannya pula bakal ditanya dari elemen yg
dipimpinnya. & anda sekalian pemimpin & bakal ditanya (diminta pertanggungan
jawab) darihal faktor yg dipimpinnya.(H.R.Bukhari, muslim).
Daftar pustaka

Anwar Rosihon, akhlak tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia, 2010

Bertens, K, Etika, surabaya: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al, al-Jami’ as-Shahi, Kairo:
Dar as-Sya’bi, 1987.

Hajar al-‘Asqalani, ibnu, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar
al-Ma’rifah, edisi Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadl al-Asqalani as-
Syafi’i.

Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Baari. Kitab Al-Ahkam. Jakarta: Pustaka


Azam, 2009

Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini Ibnu, Sunan Ibnu
Majah, Ttp, Maktabah Abu al-Ma’aty, Tth.

Surah an-nisa [4]

Tirmidzi as-Salamy, At, al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-Tirmidz, Beirut: Dar


Ihya’ at-Turats al-‘Araby, Tth, edisi Ahmad Muhammad Syakir Dll.
Rahman Ritonga, Akhlak, Surabaya: Amelia Surabaya, 2005

Anda mungkin juga menyukai