Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Fungsi dan Peran TKI

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ternyata mempunyai peranan penting untuk memperbaiki
hubungan antara Indonesia dan Malaysia yang saat ini sedang memanas. Hal ini diungkapkan
oleh M. Cholily, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Timur, yang ditemui
pada hari Minggu (05/09) kemarin. “Pemerintah Malaysia diuntungkan dengan adanya TKI,
Pemerintah Indonesia juga diuntungkan dengan devisa dari TKI,” jelasnya. Menurutnya,
Pemerintah Malaysia juga dipengaruhi oleh banyaknya TKI yang bekerja di sektor formal
dan informal, sehingga penarikan secara massal TKI dari Malaysia dapat merugikan Negara
Jiran tersebut. Belum lagi jika para TKI tersebut dipulangkan ke Indonesia, Pemerintah
Indonesia juga harus menyediakan lapangan pekerjaan pengganti para TKI tersebut yang
jumlahnya sekitar 2 juta jiwa. “Sebenarnya Indonesia dan Malaysia membutuhkan TKI,
sehingga kedua negara seharusnya memberikan perhatian yang serius kepada buruh migran
itu,” ucapnya.

Cholily mengatakan bahwa hubungan Indonesia dan Malaysia yang memanas bias saja
mempengaruhi kondisi psikologis dari para TKI. Bisa saja para majikan melakukan tindakan
sewenang-wenang terhadap para TKI karena memanasnya hubungan antara Indonesia dan
Malaysia. “Ada kemungkinan para majikan melakukan tindakan sewenang- wenang kepada
TKI yang menjadi pembantu rumah tangga karena ketegangan kedua negara itu, sehingga hal
itu merugikan TKI” katanya. Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan.
Faktual, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data yang didiseminasi Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk
Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya
rentan untuk jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan
penduduk miskin.

Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun
telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90
triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat
dan jauh dari harapan. Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras, dan upaya
penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini. Berbagai upaya lain juga perlu
dicoba, dan salah satunya adalah pemanfaatan potensi uang yang dikirim oleh para tenaga
kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri (remitansi).

Hingga tahun 2012, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang.
Tiga negara utama tujuan para TKI adalah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia
(1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang). Ini adalah data resmi yang dikeluarkan oleh
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang tentu saja tidak
mencakup mereka yang bekerja di luar negeri tanpa melalui jalur resmi alias ilegal.

Diketahui, jumlah TKI ilegal cukup besar (khususnya di Malaysia). Hingga saat ini, belum
ada data pasti mengenai jumlah mereka. Di Malaysia, misalnya, jumlah TKI illegal
diperkirakan mencapai 2/3 dari total pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di negara
tersebut (Sukamdi, 2008). Sayangnya, sebagian besar TKI (71 persen) bekerja di sektor
informal. Mudah untuk diduga, sebagian besar mereka adalah pembantu rumah tangga (PRT).
Hasil studi yang dilakukan Suhariyanto et al. dengan menggunakan data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007 menunjukkan, sekitar 48,8 persen TKI bekerja
sebagai PRT.

Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan fakta bahwa sekitar 76 persen TKI adalah
perempuan. Meskipun sebagian besar TKI bekerja di sector informal, mereka berperan
penting bagi perekonomian melalui uang yang mereka kirimkan ke Indonesia. Itulah sebab
mereka digelari sebagai “pahlawan devisa”. Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti
jumlah remitansi yang dikirim oleh para TKI. Sebagai gambaran, pada tahun 2009,
jumlahnya diperkirakan mencapai 6,77 miliar dollar AS (BI dan BNP2TKI).

Angka 6,77 miliar dollar AS tersebut dipastikan lebih kecil dari jumlah remitansi
sesungguhnya yang diterima dari para TKI. Pasalnya, selama ini belum ada sistem yang
memadai terkait penghitungan jumlah remitansi yang diperoleh dari para TKI. Secara
sederhana, selama ini remitansi dihitung dari semua residual pada neraca pembayaran
(balance of payment).

Selain itu, remitansi dalam jumlah signifikan yang mengalir ke Indonesia masih banyak yang
tidak terdeteksi karena dikirim melalui berbagai saluran tidak resmi. Sebagai contoh, Survei
Remitansi Nasional yang dilakukan Bank Indonesia mengungkap fakta bahwa di Nunukan,
Kalimantan Timur, hanya 30 persen TKI yang mengirimkan uangnya ke tanah air dengan
menggunakan saluran resmi atau bank. Sisanya, lebih memilih untuk mengirim uang mereka
melalui karabat atau teman yang kembali ke tanah air serta berbagai jalur tak resmi lainnya.

Potensi besar

Umumnya, para TKI berasal dari rumah tangga dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Karena
itu, peran remitansi dari para TKI cukup besar bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Hasil
studi yang dilakukan oleh Suhariyanto et al. juga menemukan bahwa sebagian besar sumber
pendapatan rumah tangga migran, yakni rumah tangga dengan minimal satu anggota rumah
tangga bekerja sebagai TKI, berasal dari remitansi. Donasinya mencapai 31,2 persen terhadap
total pendapatan yang diterima oleh rumah tangga.

Hasil studi juga menunjukkan, pola pengeluaran (expenditure pattern) rumah tangga migran
yang menerima remitansi lebih baik ketimbang rumah tangga migran yang tidak menerima
remitansi: porsi pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama lebih
tinggi. Ini merupakan indikasi bahwa kondisi kesejahteraan rumah tangga migran penerima
remitansi lebih baik dibanding rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi.
B. Aturan TKI

Banyak sekali peraturan hukum positif yang menegaskan tentang eksistensi dari Tenaga Kerja
Indonesia (TKI), bahwa negara sangat berperan dalam pembudidayaan TKI di Indonesia.
Seperti halnya, pengurusan negara terhadap TKI. Maka, secara emplisit negara telah
menetapkan peraturan yang harus dijalan oleh seorang yang ingin menjadi TKI, yaitu sebagai
berikut:

a. Bekerja merupakan hak asasi manusia

yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya.

b. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan

kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan
yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat,
minat, dan kemampuan.

c. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri

sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban
kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta
perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.

d. Negara wajib menjamin dan melindungi

hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan
prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti
diskriminasi, dan anti perdagangan manusia.

e. Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar

negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi
tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya
dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan
hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan nasional.

f. Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar

negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah
dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja
Indonesia yang ditempatkan di luar negeri.

g. Peraturan perundang-undangan di bidang

ketenagakerjaan yang ada belum mengatur secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai
penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

h. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri
diatur dengan Undang-undang. Mengingat :

1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279). Dari berbagai peraturan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah tentang pelaksanaan dan tanggung jawab TKI telah
disebutkan dalan peraturan pemerintahan. Maka, secara otomatis seorang TKI harus patuh
dan taat hukum di dalam negri maupun di luar Negri, agar asuransi dan perlengakapan
persiapan Tki bisa berjalan sebagaimana mestinya.

C. Perlindungan pemerintah terhadap TKI

Perlindungan TKI Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyebutkan bahwa Perlindungan
TKI yaitu Segala upaya untuk melindungi kepentingan calon Tenaga Kerja Indonesia dalam
mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak- haknya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Dengan demikian, seluruh TKI
yang bekerja di Iuar negeri wajib mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah, karena
telah termuat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Selain itu PPTKIS juga mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada para calon TKI/ TKI.

A. Peran pemerintah dalam melindungi

Tenaga Kerja Indonesia Mengesampingkan berbagai kasus mengenai penganiayaan atas TKI
yang sudah terjadi. Di Indonesia telah disusun dalam bentuk undang- undang yang memuat
regulasi penempatan TKI. Sudah terdapat ketentuan yang jelas, meskipun fakta dilapangan
masih terdapat berbagai pelanggaran. Adapun dilakukannya penempatan TKI keluar negeri
merupakan upaya dalam menanggulangi minimnya lapangan kerja di Indonesia. Tujuan dari
program tersebut adalah :

1. Upaya penanggulangan masalah pengangguran.

2. Melakukan pembinaan, perlindungan dan memberikan berbagai kemudahan kepada TKI


dan Perusahaan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).

3. Peningkatan kesejahteraan keluarganya melalui gaji yang diterima atau remitansi.

4. Meningkatkan keterampilan TKI Karena mempunyai pengalaman kerja di luar negeri.

5. Bagi Negara, manfaat yang diterima adalah berupa peningkatan penerimaan devisa, karena
para TKI yang bekerja tentu memperoleh imbalan dalam bentuk valuta asing.
Namun dibalik tujuan dan manfaat yang didapatkan penempatan TKI ke luar negeri juga
mempunyai efek negatif. Dengan adanya kasus kekerasan fisik/psikis yang menimpa TKI
baik sebelum, selama bekerja, maupun pada saat pulang ke daerah asal. Munculnya
kepermukaan banyak masalah TKI yang bekerja di luar negeri semakin menambah beban
persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Ketidakadilan dalam perlakuan pengiriman tenaga
kerja oleh Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI), penempatan yang
tidak sesuai standar gaji yang rendah karena tidak sesuai kontrak kerja yang disepakati,
kekerasan oleh pengguna tenaga kerja, pelecehan seksual, tenaga kerja yang illegal (illegal
worker).

Hukum yang berlaku di daerah tujuan penenmpatan TKI yang kurang memberikan
perlindungan. Hal ini sudah jelas terlihat dengan maraknya kasus penganiayaan yang terjadi
terutama pada PRT. Ketika terjadi masalah para TKI harus mengadu dulu pada duta besar
negara Indonesia atau ketika sudah disorot oleh media baru ada respon untuk melindungi hak
mereka. Hal yang selama ini dipertanyakan mengenai perjanjian tertulis antara Indonesia
dengan negara tujuan karena banyaknya kasus penganiayaan yang masih terjadi. Hal tersebut
ternyata telah diatur dalam Pasal 27 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengatur
tentang penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang
pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau
ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga
kerja asing.. Padahal di dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dinyatakan
bahwa Perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain:

 Pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di


negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional.

 Pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan
perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.

Mengenai hak-hak para buruh migran Pasal 8 Undang-undang nomor 39 tahun 2004
menyatakan bahwa setiap calon TKW/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk:

1. bekerja di luar negeri;

2. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur
penempatan TKI di luar negeri;

3. memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri;

4. memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk


menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya;

5. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan;

6. memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan;
7. memperoleh jaminan perlindungan hokum sesuai dengan peraturan perundang-undangan
atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-
hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar
negeri;

8. memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat


asal

B. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negri

1) Hak-hak kewajiban pekerja

1. Hak-hak pekerja

Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang harus
diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukanatau status dari seseorang,
sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang harus dilakukan
oleh seseorang Karena kedudukanatau statusnya.

Mengenai hak-hak bagi pekerja adalah sebagai berikut:

a. Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97 Undang-undang No. 13
Tahun 2003; Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah)

b. Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4 Undang-
undang No. 13 Tahun 2003)

c. Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya (Pasal 5
Undang-undang No. 13 Tahun 2003);

d. Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan
keterampilan lagi ( Pasal 9 – 30 Undang- undang No. 13 Tahun 2003);

e. Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai
dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3 Undang-undang No. 3 Tahun 1992
tentang Jamsostek)

f. Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 (dua belas)
bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi majikan
(Pasal 79 Undang-undang No. 13 Tahun 2003)

2. Kewajiban pekerja

Di samping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di atas,tenaga kerja juga mempunyai


kewajiban sebagai berikut:

a. Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan

b. Wajib mematuhi peraturan perusahaan;


c. Wajib mematuhi perjanjian kerja;

d. Wajib mematuhi perjanjian perburuhan;

e. Wajib menjaga rahasia perusahaan;

f. Wajib mematuhi peraturan majikan;

g. Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal ada banding
yang belum ada putusannya

2) Perlindungan norma kerja

Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian pekerja yang berkaitan dengan
norma kerja yang meliputi waktu kerja,mengaso, istirahat (cuti), lembur dan waktu kerja
malam hari bagi pekerja wanita.

Pasal 77 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Waktu kerja


meliputi :

a. 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau

b. 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu pasal 78

Apabila melebihi waktu kerja sebagaimana yang ditentukan, harus memenuhi syarat

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; atau

b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam
dalam 1 minggu;

c. pengusaha wajib membayar upah kerja lembur Pasal 79 :

Waktu istirahat dan cuti meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, sekurang- kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam
terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

b. istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja
dalam 1 minggu;

c. cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 haris kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan


bekerja selama 12 bulan secara terus menerus;

d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan
kedelapan masing-maisng 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 Tahun
berturut-turut pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak
berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk
setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.
D. Permasalahan TKI dan Solusinya Permasalahan TKI Beberapa permasalahan tenaga kerja
seperti, keahlian terbatas, kurangnya kesempatan mendapat pekerjaan di Dalam Negeri,
pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan bekerja di Dalam Negeri, ataupun keinginan
meningkatkan taraf kehidupan ekonomi, mestinya tidak boleh diremehkan tanpa
mempertimbangkan kesiapan TKI yang akan dikirim. Data menunjukkan bahwa hampir 90%
permasalahan yang dihadapi oleh TKI bersumber di Dalam Negeri. Pemalsuan identitas calon
TKI, keterampilan dan kecakapan TKI yang kurang sesuai dengan pekerjaan, minimnya
kemampuan berbahasa dan pengenalan budaya negara tujuan, buruknya informasi, pelayanan,
dan perlakuan calon TKI dalam penempatan di Luar Negeri dan sebagainya, menunjukkan
bahwa kita tidak antisipatif dalam menata para calon TKI. Belum lagi masalah penipuan,
kekerasan, perlakuan tidak adil terhadap calon TKI, memperburuk kinerja pemerintah,
sehingga banyak calon TKI kita yang berangkat melalui jalur illegal. Kalaupun para TKI
mengikuti mekanisme legal sebagaimana yang ditetapkan, para TKI harus membayar mahal
diluar kepatutan oleh rangkaian birokrasi yang berbelit. Solusi Masalah TKI Pengaturan
penempatan TKI di Luar Negeri diatur melalui UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang diperkuat melalui Instruksi
Presiden RI (Inpres) No. 6 Tahun 2006. UU No. 39 Tahun 2004 Pasal 7 huruf e secara tegas
telah menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan kepada TKI
selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna-penempatan.
Namun pada kenyataannya, terdapat berbagai ketidaksesuaian/penyimpangan dalam
implementasinya. Salah satu penyimpangan tersebut misalnya, aturan mengenai bahwa Calon
TKI harus memperoleh kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja
yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja yang terakreditasi. Pada
kenyataannya, banyak TKI yang tidak memperoleh pendidikan dan pelatihan yang memadai,
yang mengakibatkan mereka tidak memiliki kompetensi kerja yang memadai, tidak
memahami adat istiadat setempat, serta tidak bisa berbahasa negara tujuan dengan baik.
Terjadinya ketidaksesuaian/penyimpangan tersebut dapat memicu diajukannya gugatan,
khususnya kepada Pemerintah RI baik di Pusat maupun Perwakilan RI di luar negeri.
Penyimpangan dan ketidaksesuaian yang sangat mendasar inilah yang mesti diperbaiki oleh
Pemerintah agar penempatan TKI ke Luar Negeri menjadi lebih baik. Artinya, jika
Pemerintah tidak mampu memenuhi hal ini, Pemerintah tidak perlu mengirim mereka atau
melakukan moratorium bila perlu, sebab tidak sesuai dengan standar kualifikasi TKI yang
dibutuhkan. Saya menggarisbawahi instruksi Presiden kepada Menakertrans agar dalam
waktu 3 bulan, untuk melakukan kajian negara-negara tujuan TKI agar dapat diputuskan
langkah-langkah berikutnya. Pelaksanaan Kebijakan Nasional Pelayanan Penempatan Dan
Perlindungan TKI Ke Luar Negeri (P3TKI-LN) haruslah bersifat menyeluruh dan
terintergrasi. Hal ini dapat diwujudkan melalui komitmen nasional untuk melaksanakan
koordinasi lintas regional dan sektoral, baik vertikal maupun horizontal dengan proporsi
peran dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Kejelasan proporsi dan tanggung
jawab tersebut perlu dijalin dalam rangka kemitraan karena ketika TKI berangkat dan bekerja
di luar negeri menyandang harkat dan martabat bangsa, negara, dan Pemerintahan Indonesia
di dunia internasional.
Perubahan atas UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri telah menjadi prioritas pembahasan tahun 2011. Perubahan atas UU
tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan atas peningkatan pelayanan penempatan dan
perlindungan TKI oleh pemerintah. Selain itu, dalam perubahan tersebut diharapkan adanya
pembagian kewenangan yang jelas antara BNP2TKI yang saat ini berperan sebagai operator
dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai regulator dalam mengelola supply
dan demand pasar kerja luar negeri. Dengan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI
yang menyeluruh dan terintegrasi, penegakan hukum yang kuat dan transparan, serta
pengelolaan pasar kerja luarnegeri yang terencana, maka kerugian social yang ditimbulkan
dapat diminimalisasi sekecil mungkin sehingga pelayanan penempatan dan perlindungan TKI
dapat berdaya dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penerimaan
devisa negara.

Anda mungkin juga menyukai