Anda di halaman 1dari 15

Pengertian Motivasi

Istilah motivasi digunakan untuk menjelaskan adanya daya atau kekuatan yang mendorong dan mengarahkan

organisme untuk melakukan aktivitas tertentu. Di sini perlu diketahui bahwa beberapa ahli tidak secara lansung

menyebut kata motivasi seperti William James, William McDougal, Konrad Lorenz dan Niko Timbergen menyebutnya

dengan insting, Sigmund Freud dengan istilah energi psikis, Robert Session Woodworth dan Clark Hull

dengan drive, Kurt Lewin dengan force atau vector Skinner dengan reinforcementserta Abraham Maslow dan Alderfer

dengan kebutuhan (need). Istilah tersebut di atas dalam konteksnya masing-masing berkonotasi dengan motivasi.

Bahkan Keinginna dan Keinginna (lih. Petri, 1976), menemukan 102 istilah definisi dan statemen-statemen yang

berkonotasi dengan motivasi dalam tulisan-tulisan dan topik-topik yang berbeda. Sekalipun terdapat banyak definisi

yang berbeda, tapi secara umum memberikan gambaran bahwa karakteristik dari motivasi adalah wilayah yang

berfungsi mengaktifkan perilaku.

Sehubungan dengan pengertian motivasi sebagai daya atau kekuatan yang mendorong dan mengarahkan organisme

untuk melakukan aktivitas terntu tadi, dapat disimak pendapat para ahli sebagai berikut. McMachon dan McMachon

(1986), menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu proses yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan. Menurut

Teevan dan Smith (1967), motivasi adalah suatu konstruksi yang mengaktifkan dan mengarahkan prilaku dengan cara

memberi dorongan atau daya pada organisme untuk melakukan suatu aktivitas. Menurut Chauhan (1978), motivasi

adalah suatu proses yang menyebabkan timbulnya aktivitas organisme sehingga terjadi suatu perilaku. Petri (1981 &

1996), menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu konsep yang digunakan untuk menjelaskan adanya kekuatan di

dalam organisme yang mendorong dan mengarahkan perilaku. Membahas tentang motivasi, maka yangtercakup di

dalamnya adalah arah dan persistensi (Franken, 1982 & 2002). Motivasi merupakan penggerak dan pemberi arah dalam

proses munculnya perilaku serta pemberdaya terhadap perilaku yang ada, sehingga perilaku tersebut tetap persisten

(berkesinambungan) sampai tujuan tercapai. Motivasi sebagai pemberi arah, tentunya arah dimaksud tertuju pada objek

yang berkaitan dengan tujuan perilaku. Atau sebaliknya, mengarahkan untuk menghindari objek dimaksud. Oleh karena

itu motivasi dapat dikatakan pula sebagai kontrol terhadap perilaku (Buck, 1988). Di sini dapat dipahami, bahwa dengan

adanya motivasi maka akan muncul suatu proses yang mendorong dan mengarahkan organisme pada suatu tindakan

tertentu dan berlangsung secara persisten sehingga tujuan tercapai.

Motivasi yang mendorong organisme atau menggerakkan dan mengarahkan organisme untuk melakukan tindakan

tertentu tersebut, distimulasi oleh faktor internal seperti haus, lapar, rasa sakit dan kondisi-kondisi fisiologis yang lain

serta faktor eksternal yaitu yaitu stimulasi-stimulasi yang datangnya dari lingkungan. Kondisi lapar misalnya, akan

mendorong individu untuk untuk pergi ke ruang makan atau mencari restoran dan rasa haus akan mendorong individu

untuk membuka lemari pendingin untuk mengambil minuman. Stimulasi lingkungan yang mendorong munculnya tingkah

laku, misalnya irama musik memotivasi orang untuk berdansa, atau seseorang yang masuk perguruan tinggi, dengan

maksud untuk mendapatkan gelar sarjana (Dekkers, 20001). Sekalipun motivasi dapat distimulasi oleh faktor eksternal,

keberadaan motivasi tetap ada pada dunia internal yaitu di dalam organisme. Dalam kaitannya dengan kemunculan

motivasi, dominasi dari salah satu faktor di atas, akan menentukan kualita dari motivasi dimaksud. Apabila yang

dominan fakktor eksternal, maka motivasi yang ada dikatagorikan pada motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik, biasanya
dipicu oleh objek eksternal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar. Misalnya orang melakukan aktivitas dalam rangka

untuk mendaptkan makanan dan minuman. Apabila yang dominan adalah faktor internal, maka motivasi dimaksud

dikatagorikan sebagai motivasi intrinsik. Orang yang melakukan sesuatu didasari oleh motivasi intrinsik, akan

mendapatkan kepuasan tidak pada hasil (outcome) yang berkaitan dengan imbalan terutama materi yang berkaitan

dengan aktivitas tersebut; akan tetapi kepuasan yang didapat terletak pada aktivitas itu sendiri.

Motivasi, baik yang intrinsik ataupun ekstrinsik adalah kondisi internal yang merupakan kekuatan atau dorongan yang

ada dalam organisme. Motivasi ekstrinsik cenderung mengarahkan perilaku untuk mrndapatkan kompensasi atau insentif

dari dunia eksternal, baik yang berupa materi atau non materi. Misalnya seorang nelayan pergi ke laut lepas untuk

mendapatkan ikan, seorang penambang mengadakan penambangan untuk mendapatkan emas atau hasil tambang yang

lain, seorang buruh bekerja untuk mendapatkan upah, seorang pegawai bekerja rajin dan disiplin dengan harapan untuk

mendapatkan promosi dan penghargaan dari atasannya, seorang mahasiswa belajar dengan keras agar mendapatkan

predikat mahasiswa teladan atau agar cepat untuk mendapatkan gelar kesarjanaan merupakan refleksi dari motivasi

ekstrinsik. Motivasi baik yang intrinsik atau ekstrinsik keduanya merupakan kondisi internal yang menjadi faktor

penyebab timbulnya tingkah laku.

Dalam buku ini tidak terlalu mempermasalahkan tentang motivasi ekstrinsik ataupun motivasi intrinsik, tetapi lebih

menekankan pada sejumlah teori mengenai motivasi, dilihat dari cara pendekatannya, baik yang instingtif, behavioris

ataupun yang kognitif. Pendekatan instingtif sering disebut dengan istilah pendekatan fisiologis atau biologis.

Pendekatan behavioris atau pendekatan yang didasarkan pada teori belajar mencakup teori drive, insentif, kondisioning

klasik, kondisioning operan dan modeling. Pendekatan kognitif meliputi teori keseimbangan kognitif, harapan, efek sosial

dan pertumbuhan. Buku ini cenderung menyajikan berbagai macam teori motivasi dari berbagai macam cara

pendekatannya, sesuai dengan kebutuhan tanpa terjebak dengan pengelompokan-pengelompokan sebagaimana

tersebut di atas tadi.

Penelitian dalam Psikologi Motivasi

Penelitian dalam bidang psikologi motivasi, seperti halnya penelitian-penelitian dalam bidang psikologi pada umumnya

dibedakan berdasarkan subjeknya, berdasarkan metode yang digunakan dan berdasar kedudukannya sebagai vriabel.

Berdasar subjeknya peneletian dalam bidang psikologi motivasi yaitu binatang dan manusia. Berdasar metodenya yaitu

penelitian korelasional dan penelitian eksperimental. Berdasar kedudukannya sebagai variable, yaitu sebagai variabel

dependen (kriterium) dan sebagai variabel independen (prediktor)

WILLIAM JAMES

William James mengemukakan bahwa insting sama dengan refleks-refleks yang disebabkan oleh adanya mekanisme

sensor fisiologis terhadap stimulus yang pada mulanya tanpa diketahui. Ia juga mengatakan bahwa insting merupakan

impuls yang berada di wilayah motivasi, dengan pengertian bahwa inting adalah suatu kekuatan yang mendorong

organisme untuk melakukan aktivitas. Insting ada yang bersifat permanen yang tetap bertahan selama kehidupan

organisme, seperti insting lapar, haus, insting seksual dan insting-insting yang lain. Sedangkan insting yang tidak

permanen atau yang sifatnya sementara, hanya terjadi terjadi pada periode tertentu dalam rentang kehidupan
organisme, yang disebut dengan imprinting (periksa teori Lorenz & Timbergen). Contoh perilaku yang terdorong

oleh imprinting ini adalah anak itik yang baru ditetaskan, bergerak mengikuti gerakan objek yang pertama kali

dilihatnya, tetapi setelah dewasa perilaku tersebut tidak dilakukannya. Contoh lain, yaitu perilaku anak itik yang selalu

mengikuti ke mana pergi induk ayam yang selama ini telah mengeraminya, tetapi setelah dewasa lalu meninggalkannya,

kemudian bergabung dengan itik-itik dewasa lain. Hal ini juga terjadi pada manusia sekalipun tidak seprimitif seperti apa

yang terjadi pada binatang. Misalnya, anak yang lebih lekat terhadap pengasuh atau baby sitter nya, dibandingkan

terhadap orang tuanya. Tetapi pada masa-masa perkembangan selanjutnya, kelekatan tadi akan beralih kepada bapak

ibunya sendiri. Mengenai imprinting ini juga periksa teori McDougall di bab lain.

Insting meliputi: dorongan untuk bersaing, berkelahi, bersimpati, berburu, rasa takut, memiliki, membangun, bermain,

rasa ingin tahu, berhubungan dengan orang lain, rasa malu, berahasia, kebersihan, kerendahan hati, cemburu dan

cinta.

James percaya bahwa insting sebagai impuls yang mendorong munculnya tingkah-laku, tidak diketahui kemunculannya,

akan tetapi manusia dapat mengontrol atau mengendalikannya, terutama dengan pengalaman-pengalaman yang ada.

Misalnya insting lapar, insting haus, insting seksual atau insting-insting yang lain, mungkin datang secara tiba-tiba tanpa

disengaja. Akan tetapi manusia memiliki kemampuan untuk melakukan, menunda atau tidak sama sekali untuk

memenuhi atau memuaskan insitng-insting tersebut. James juga percaya, perilaku instingtif dapat dimodifikasi melalui

pengalaman. Sebagai contoh misalnya, insting yang berkaitan dengan kesopanan akan menyebabkan seseorang merah

mukanya dan serta merta akan memalingkan muka manakala secara tanpa sengaja melihat orang berjemur di pantai

dalam keadaan bugil. Akan tetapi tidaklah demikian bagi orang-orang yang sudah terbiasa melihatnya, yang tentunya

akan tenag-tenag saja, bahkan mungkin tidak ambilpeduli meghadapi hal yang demikian itu.

James memandang perilaku instingtif sebagai intermediasi antara refleks-refleks dan proses belajar. Dalam hal ini

insting tidak hanya dipandangnya sebagai kondisi yang menunjuk kepada suatu keadaan yang hanya berkaitan dengan

kebutuhan fisiologis saja, seperti keadaan lapar, haus, rasa sakit dan sebagainya. Di sini rupanya James cenderung

menganggap insting sebagai sinonim dari motivasi. Ini dapat dilihat dari klasifikasi insting yang dikemukakannya sudah

begitu kompleks dan menyeluruh seperti dorongan untuk bersaing, keingintahuan, dorongan berkelahi, keinginan untuk

bergaul, dorongan untuk bersimpati, rasa malu, rasa takut, dorongan untuk memiliki, dorongan untuk bersopan santun,

rasa cemburu, rasa cinta dan dorongan untuk membangun.

Selain konsep tentang insting, James mengajukan konsep tentang ideo motor action atau tindakan ideomotor. Dalam

kenyataannya, tingkah laku tidak hanya didorong oleh insting saja, tetapi juga digerakkan oleh ide-ide atau pikiran

tertentu yang dikatakan sebagai tindakan ideomotor tadi. Ide-ide tersebut dikemukakan oleh james dalam kaitannya

dengan tujuan atau keinginan tertentu yang hendak dicapai dalam suatu aktivitas. Ini dicontohkan oleh Petri (1981;

1996) bahwa: bila kita menulis, kita tidak menyadari kalau hal tersebut menyangkut koordinasi yang rumit dari otot-otot

dan sistem persyarafan, agar supaya dapat membuat garis dan lingkaran untuk menggambarkan sebuah kata. Kita

menulis begitu lancar dengan pikiran sederhana tentang kata-kata dan meletakkan tangan di atas kertas. Apabila kita

ingin berhenti menulis, atau pikiran kita memutuskan untuk berhenti menulis, maka berhentilah aktivitas menulis tadi.

Sebaliknya, sekalipun kondisi kita dalam keadaan lelah, kurang bersemangat, sehingga dorongan untuk meneruskan
menulis rendah. Tetapi karena pikiran kita menghendaki untuk menyelesaikan tulisan tadi secepat mungkin, maka

aktivitas menulis akan terus dilakukan sampai selesai.

Dalam uraian sebelumnya, dikemukakan bahwa manusia dapat mengontrol insting yang biasanya muncul tanpa

diketahui. Mungkin gerakan ideomotor inilah yang melakukan fungsi kontrol tersebut. Misalnya, ketika insting lapar

secara tiba-tiba muncul, tentunya organisme tidak serta merta atau langsung melakukan aktivitas yang berkaitan

dengan pemuasan insting lapar tadi. Organisme yang bersangkutan mungkin masih berpikir terlebih dahulu kapan

dimulai aktivitas pemenuhan, di mana akan dilakukan dan objek mana atau makanan macam apa yang akan dimakan

sebagai objek pemuasan. Atau mungkin pula organisme yang bersangkutan sama sekali tidak melakukan aktivitas

apapun yang berkaitan dengan insting lapar tadi, sekalipun dorongan yang ada begitu besar apabila pikiran tidak

menghendaki unntuk melakukan. Di sini James juga memberi catatan bahwa adanya sebuah ide untuk melakukan

sesuatu, tidak serta merta berkelanjutan pada munculnya suatu perilaku aktual, terutama apabila dalam waktu yang

sama muncul ide-ide yang bertentangan. Misalnya, seseorang yang betul-betul lapar dan makanan sudah tersedia,

tetapi memutuskan untuk menunda untuk makan dengan pertimbangan ada orang lain di sekitarnya yang juga lapar;

sedangkan makanan yang ada tidak mencukupi untuk dibagi.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, James berpandangan bahwa manusia memiliki insting-insting seperti

yang dimiliki binatang juga insting-insting yang khas manusia. Sebagai tokoh yang konsepnya banyak dipengaruhi oleh

teori evolusi, James menjelaskan bagaimana peranan berbagai macam insting dari yang sederhana sampai pada tingkat

evolusi yang peling tinggi yaitu insting yang hanya ada pada manusia dalam proses munculnya tingkah laku. Suatu

koreksi yang ditujukan kepadanya, adalah tidak adanya penjabaran secara jelas yang mana gerakan-gerakan refleks,

yang mana perilaku instingtif dan yang mana pula perilaku yang didapat melalui proses belajar. Padahal ketiganya jelas

berbeda antara yang satu dengan yang lain. Mungkin inilah konsekuensi dari teori James yang menganggap insting

sebagai sinonim dari motivasi.

WILLIAM McDOUGALL

McDougall agak berbeda pandangannya dengan William James. Bila James memandang insting sama dengan reflek-

reflek, ia meyakini bahwa semua tingkah laku sifatnya instingtif kecuali reflek-reflek. Bila ingin memahami motivasi,

maka tugas utamanya adalah berusaha mengungkap dalam arti mencari kejelasan mengenai berbagai macam insting

dalam kehidupan organisme. Perilaku instingtif meliputi: dorongan yang berkaitan dengan masalah pengasuhan anak,

rasa simpati, dorongan menyerang, naluri mempertahankan diri, rasa ingin tahu tahu, kepatuhan, mencari makanan,

dorongan untuk kawin, penolakan, melarikan diri, dorongan untuk minta tolong, dorongan berkelompok serta dorongan

untuk membangun.

McDougall menyatakan bahwa insting tidak hanya sekedar disposisi-disposisi yang mendorong munculnya tingkah laku

tertentu saja, karena insting yang dimaksudkannya sudah menyangkut aspek kognitif, afekktif dan aspek konatif. Aspek

kognitif adalah aspek pikir yang berfungsi untuk mengenali, mengkaji atau menganalisis dalam rangka menemukan,

kemudian menseleksi berbagai macam objek pemuasan atau perasaan subjektif yang dirasakan oleh organisme

terhadap objek-objek pemuasan, atau perasaan subjektif yang disebabkan oleh munculnya perilaku. Aspek konatif

adalah kehendak atau upaya untuk meraih objek pemuasan yang ada di luar diri organisme. Di sini rupanya McDougall
memahami insting tidak hanya sebagai kondisi yang mendorong organisme untuk melakukan aktivitas tetapi sebagai

suatu rangkaian proses munculnya perilaku, mulai dari proses kognisi, afeksi dan konasi. Melalui aspek kognisi,

organisme berpikir bagaimana menemukan objek pemuasan yang tepat dalam rangka memuaskan insting yang ada.

Aspek afeksi merupakan perasaan subjektif yang memungkinkan organisme dapat menyikapi objek pemuasan yang

tersedia, dengan muatan suka tidak suka, menerima atau menolak, setuju tidak setuju, serta senang atau tidak senang.

Apabila objek pemuasan yang tersedia sudah disikapi, misalnya dengan rasa suka, senang atau setuju, maka aspek

konasi akan mendorong organisme untuk mendekati objek tadi, yang tentunya akan berkelanjutan dengan munculnya

perilaku. Sebaliknya bila objek yang tersedia disikapi dengan negatif, misalnya tidak suka, tidak senang atau tidak

setuju, maka aspek konatif akan mendorong organisme untuk menjauhi objek yang ada tadi.

Mengenai konsep tentang ketiga aspek yaitu kognisi, afeksi dan konasi sebagai komponen dalam arti sebagai sustansi

dari motivasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya akan menimbulkan kerancuan. Oleh sebab itu diperlukan

kecermatan dalam rangka memahaminya. Memang, pemikiran, pengenalan dan pemahaman seseorang tentang suatu

objek akan membentuk sikap orang tersebut terhadap objek tadi. Sikap seseorang terhadap suatu objek akan

mendorong orang tersebut untuk mendekati atau menjauhi objek tadi, sehingga muncullah perilaku tertentu. Tetapi,

sekalipun seseorang memiliki pemahahaman yang baik terhadap suatu objek, tidak serta merta memiliki sikap positif

pula terhadap objek tadi. Misalnya saja seseorang yang tahu banyak tentang Osamah bin Laden, kalau ia adalah

konglomerat berkewarga-negaraan Arab Saudi, pemimpin gerakan Al-Kaedah, pernah mendapatkan latihan militer dari

CIA Amerika Serikat, pahlawan bagi Afganistan dalam rangka melawan pendudukan Uni Sovyet dan seterusnya sampai

sedetil-detilnya, tidak berarti yang bersangkutan tadi bersimpati atau memiliki sikap posistif dengan Osamah bin Laden

dan apa yang dilakukan. Contoh lain, Amin Rais (mantan ketua DPR-RI, 199-2004) ilmuan politik internasional, ahli

dalam politik kawasan Timur Tengah. Konon beritanya beliau tahu betul tentang Israil mulai dari historisnya, langkah

politiknya, hubungannya dengan negara-negara barat, negara-negara tetangganya di Timur Tengah dan negara-negara

lain di dunia ini, keadaan dalam negerinya sampai nama jalan dan gang di sana dihafalnya pula. Apakah Amin Rais

memiliki sifat positif terhadap Israil ? Ternyata beliau termasuk bagian dari orang-orang yang anti Israil dengan

Zionisnya.

Apabila seseorang memiliki pemahaman yang baik serta sikap positif terhadap suatu objek, tidak bisa serta merta

disimpulkan bahwa hal tersebut merupakan representasi dari dorongan yang bersangkutan untuk mendekati objek tadi

(melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek tersebut). Dari uraian di atas, posisi antara ketiga aspek (kognisi,

afeksi dan konasi) tersebut tidak sejajar sebagai komponen dari motivasi, tetapi berhubungan secara gradual dalam

rangka memotivasi untuk kemunculan suatu perilaku. Kognisi akan mempengaruhi afeksi dan afeksi akan

mempengaruhi konasi, selanjutnya konasi ini yang mendorong organisme untuk melakukan aktivitas tertentu. Rupanya

di sini dapat dipahami bahwa konasilah yang merupakan komponen motivasi atau mungkin juga motivasi yang

merupakan komponnen konasi atau justru konasi itu sendri adalah motivasi atau dorongan untuk bertindak.

Menurut McDougall, insting dapat diubah melalui empat cara. Pertama, suatu insting tidak hanya diakktifkan oleh objek

eksternal yang spesifik langsung saja, tetapi diaktifkan juga oleh objek yang tidak langsung serta ide-ide atau bayangan-

bayangan dari objek tadi. Dengan demikian objek yang secara langsug akan memicu kemunculan insting, dapat diubah

atau diganti dengan objek-objek lain yang tidak langsung. Misalnya makanan dapat mengaktifkan insting yang berkaitan
dengan perilaku memuaskan inting lapar, tetapi hal tersebut dapat pula distimulasi dengan iklan-iklan tentang makanan

di surat kabar, TV, radio dan media lain. Insting seksual tidak hanya dipicu oleh organ-organ seksual atau objek-objek

seksual secara langsung, tetapi juga dipicu oleh gambar-gambar, cerita-cerita dan filem-filem yang berkaitan dengan

aktivitas seksual.

Kedua, kemunculan perilaku instingtif dapat dimodifikasi sesuai dengan tahapan perkembangan. Rasa ingin tahu bayi

terhadap lingkungannya dilakukan dengan cara merangkak megitari ruangan, selanjutnya pada masa kanak-kanak hal

tersebut terekspresikan dalam perilaku membongkar pasang mainannya atau berburu binatang kecil di leingkungan

alam sekitarnya. Setelah dewasa insting ini bisa dimodifikasi dalam bentuk perilaku membaca buku-buku ilmu

pengetahuan dan melakukan penelitian di lapangan maupundi laboratorium. Dalam contoh di atas, insting keingintahuan

masih tetap keberadaannya seperti semula, tetapi ekspresi atau manifestasinya dapat berubah sesuai dengan tingkat

perkembangan.

Ketiga, beberapa insting mungkin dapat dipicu secara simultan dan dengan demikian tingkahlaku yang muncul dipicu

oleh sejumlah insting yang menyenangkan atau menggairahkan secara bersama-sama. Perilaku seksual pada remaja

menurut McDougall, merefleksikan komposisi dari insting keingintahuan, dorongan untuk kawin dan keinginan untuk

bercumbu. Kasus bunuh diri dengan menabrakkan pesawat terbang pada menara kembar di Washington D.C; Amerika

Serikat pada tanggal 11 September 2001 mungkin merupakan akumulasi dari insting agresif yang ada pada dirinya,

kebencian terhadap Amerika yang dianggap memiliki stadar ganda dalam menyelesaikan konflik Plestina dengan Israil

dan masalah lain di timur tengah dan Negara-negara Islam, kebencian terhadap Zionis, dorongan kepahlawanan serta

keinginan untuk mati syahid. Kasus peledakan bom di jalan Legian pantai Kuta Denpasar Bali pada tanggal 12 Okktober

tahun 2002 mungkin merupakanakumulasi dari dorongan agresif, kebencian terhadap negara Amerika Serikat, niat balas

dendam terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai perilaku penindasan terhadap umat Islam di seluruh dunia,

reaksi terhadap fenomena kehidupan malam yang dianggap sebagai gejala dari dekadensi moral yang terjadi di sana,

serta dorongan untuk melakukan jihad.

Keempat, perilaku-perilaku instingtif mungkin mengarah secara teroeganisir terhadap sejumlah objek tersebut dan

sebab itu organisme tidak responsif terhadap objek-objek lain. Misalnya, orang yang memiliki minat yang tinggi

terhadap kegiatan olah raga sepak bola, perhatian dan aktivitasnya banyak tertuju pada kegiatan-kegiatan yang

berkaitan dengan olah raga tersebut seperti menonton pertandingan secara langsung, melihat tayangan di televisi,

membaca bacaan-bacaan serta mengikuti berita-berita yang berkaitan dengan olah raga sepak bola tadi dan tidak

responsif terhadap berita-berita serta kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan dunia musik atau yang lainnya. Perilaku

instingtif yang terarah secara terorganisir pada objek tertentu dengan intensitas respon yang cukup dalam suatu situasi

seperti tersebut di atas, mungkin tidak begitu responsif atau intensitasnya berbeda dalam situasi yang lain. Misalnya

orang yang menunjukkan motivasi yang tinggi dalam lingkungan kerjanya bisa saja terjadi sebaliknya kalau berada di

rumah. Atau seorang karyawan yang teridentifikasi memiliki motivasi rendah dalam suatu unit, menunjukan mutivasi

yang tinggi setelah dimutasi ke unit lain. Atau dapat juga sebaliknya yang semula memiliki mutivasi optimal, kemudian

menurun setelah dimutasi ke bagian lain.


Suatu koreksi terhadap teori McDougall sebagaimana tersebut di atas adalah sangat antropomorfis. Maksudnya, ia

mengatribusikan sifat-sifat manusia pada binatang. Misalnya, kalau melihat seekor anjing yang menjilati luka-luka di

tubuh anjing lainnya, dikatakan bahwa anjing tadi memiliki rasa simpati terhadap anjing lainnya. Contoh lain dari

pandangan antromorfis ini misalnya seorang yang mengatakan bahwa kucing merasa sangat bersalah setelah

membunuh burung murai piaraan saya. Rasa simpati pada anjing dan rasa bersalah pada kucing sebagaimana contoh di

atas, masih menimbulkan perdebatan tentang keberadaannya. Karena dalam kenyataannya, rasa simpati dan rasa

bersalah adalah sifat manusia yang

keberadaannya sangat banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang tentunya tidak terjadi pada binatang. Koreksi ini

sebagaimana halnya yang ditujukan kepada William James, McDougall tidak menguraikan secara jelas, yang mana

tingkah laku instingtif dan yang mana pula tingkah laku yang didapat melalui proses belajar. Problem tumpang tindihnya

antara konsep perilaku instingtif dan perilaku yang dipelajari merupakan konsekuensi dari pemahaman McDougall

bahwa semua perilaku itu adalah instingtif

SIGMUND FREUD

Freud menggunakan konsep enersi dalam menjelaskan motivasi. Ia menyebut motivasi dengan enersi psikologis,

sekalipun definisi mengenai hal tersebut tidak pernah dipaparkan secara jelas. Kadang-kadang ia menyamakan enersi

psikis sebagai stimulasi yang terjadi dalam sistem persyarafan dan pada kesempatan lain ia menganggapnya sebagai

sistem hidrolik yang berkaitan dengan penyimpanan dan pelepasan enersi. Namun dengan demikian Freud menegaskan

bahwa enersi psikis berada dalam salah satu struktur kepribadian yaitu id (aspek psikologis dari kepribadian). Proses

timbulnya enersi psikologis bermula dari adanya kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang menyebabkan ketegangan pada

organisme. Ketegangan ini menimbulkan insting dan dari insting inilah muncul enersi psikologis.

Berbicara tentang enesi psikologis, tentang insting dan segala hal yang berkaitan dengan perilaku tidak bisa terlepas

dari konsep Freud tentang struktur kepribadian. Menurut Freud, struktur kepribadian manusia terdiri dari tiga komponen

yaitu: id, ego dan super ego. Id adalah aspek fisiologis, ego adalah aspek pswikologis dan super ego merupakan aspek

moral dari kepribadian. Id sebagai aspek fisiologis, disebut oleh Freud sebagai gudang raksasa tempat berkumpulnya

insting-insting. Keberadaan insting seperti yang telah disebut di atas tadi, adalah sebagai akibat dari munculnya

kebutuhan-kebutuhan dalam organisme. Kebutuhan akan air dalam tubuh misalnya, akan memunculkan insting haus

dan kebutuhan akan makanan akan memunculkan insting lapar. Kehadiran insting bertujuan untuk memberikan

pemuasan terhdap kebutuhan yang ada, dengan cara menghilangkan insting itu sendiri. Misalnya insting haus untuk

menghilangkan rasa haus dan insting lapar untuk menghilangkan kondisi lapar yang terjadi dalam tubuh. Ketika proses

memberikan pemuasan terhadap kebutuhan, insting memunculkan enersi yang oleh Freud disebut dengan enersi

psikologis. Enersi psikologis ini mendorong munculnya perilaku dalam rangka memberikan pemuasan terhadap

kebutuhan tadi. Misalnya insting haus memunculkan enersi psikis yang mendorong terjadinya perilaku untuk mencari

minuman dan inting lapar memunculkan enersi psikis yang mendorong organisme untuk mendapatkan makanan.

Dalam kaitannya dengan proses-proses instingtif menyangkut beberapa hal yaitu: sumber (source), tekanan (pressure),

tujuan (aim) dan objek (object). Sunber dari insting adalah proses fisiologis yaitu kebutuhan (need). Tekanan adalah

sejumlah kekuatan dalam proses instingtif, yang kekuatannya tergantung pada jumlah enersi yang ada dalam insting
tersebut. Semakin besar enersi yang ada di dalam insting maka akan semakin besar pula tekanannya. Tujuan dari

insting adalah mendapatkan pemuasan dengan cara menghilangkan atau meredusir stimulasi yang menimbulkan

tegangan. Objek dari insting adalah benda-benda yang dapat meredusir atau menghilangkan insting dalam arti

memberikan pemuasan terhadap kebutuhan. Misalnya air adalah objek yang dapat menghilangkan insting haus dan

makana adalah objek yang dapat Imenghilagkan insting lapat.

Mekanisme munculnya perilaku menurut Freud sebagai mekanisme penyebaran enersi psikologis dari struktur

kepribadian yang satu ke struktur keparibadian yang lain yaitu id ego dan super ego. Id sebagai aspek fisiologis

memberikan pelayanan dalam rangka pemuasan terhadap kebutuhan dengan suatu prinsip yang disebut dengan prinsip

kesenangan (pleasure principle), yang dilayani melalui suatu proses yang disebut dengan proses primer. Bentuk layanan

proses primer adalah refles-refleks dan berhayal. Berkhayal disini maksudnya membayangkan atau bermimpi tentang

objek pemuasan. Misalnya, bila dalam diri seseorang membutuhkan makanan, maka yang akan muncul adalah insting

lapar. Untuk menghilangkan insting lapar tadi, id hanya mampu membayangkan atau bermimpi tentang makanan.

Memang, proses tersebut mampu menghilangkan atau mereduksi ketegangan yang disebabkan karena kebutuhan tadi,

tetapi sifatnya hanya sementara, dalam arti bukan pemuasan yang realistis, maka enersipsikologis di kirim ke ego yang

memiliki prinsip kerja kenyataan (reality principle). Kemudian, ego sebagai aspek psikologis dari kepribadian mengambil

alih upaya pemuasan dengan cara mengingat, berfikir dalam rangka upaya menemukan obyek pemuasan dalam hal ini

makanan yang realistis untuk orang yang lapar. Freud berpendapat bahwa dalam kehidupan, seseorang tidak cukup

hanya memenuhi kebutuhan hidupnya dengan obyek-obyek yang riil secara materi belaka. Karena dalam kenyataan ia

akan berhadapan dengan hal-hal yang sifatnya non materi yaitu nilai-nilai, baik itu nilai-nilai moral maupun nilai-nilai

sosial. Oleh karena itu sekalipun ego sudah menemukan objek pemuasa yang realistis, ego masih mengirim enersi

psikologis ke super ego yang memiliki prinsip kerja kesempurnaan (perfection principle). Enersi psikologis dikirim oleh

ego ke super ego, dengan maksud untuk meminta pertimbangan apa objek yang realistis tadi tidak bertentangan

dengan nilai-nilai moral misalnya norma-norma agama atau norma-norma sosial. Apabila super ego memberikan

persetujuan, dalam arti upaya pemuasan yang akan dilakukan tidak bertentangan dengan norma-norma (agama, sosial,

dan moral), maka dimulailah upaya pemuasan. Memang, adakalanya upaya pemuasan dilakukan tanpa pertimbangan

dari super ego. Ini biasanya dilakukan orang-orang yang super egonya tidak berkembang dengan baik. Orang yang

super egonya tidak berkembang dengan baik. Orang yang super egonya tidak berkembang dengan baik atau tidak

berkembang secara normal, dimana perilakunya cenderung impulsif orang tersebut dikategorikan pada orang yang tidak

bermoral.

Dalam kaitannya dengan teori motivasi sebagian ahli menggolongakn teori Freud ini dalam kelompok teori insting, tapi

sebagian ahli lain mengelompokkannya dalam teori kognitif. Karena dalam teori Freud jelas tingkah laku itu muncuk

tidak sema-mata karena adanya enersi psikologis yang bersumber dari insting saja, tetapi muncul setelah adanya

pertimbangan super ego (keputusan moral) dan atas koordinasi dari ego. Teori Freud ini biasanya dikelompokkan dalam

teori insting, tetapi juga dijadikan sebagai acuan dalam teori motivasi yang berpendekatan kognitif.

KONRAD LORENZ DAN NIKO TIMBERGEN


Pandangan Lorenz dan Timbergen dalam hal motivasi seperti halnya para teoretisi yang berpendekatan insting

(biologis), didasarkan pada konsep etologi dimana konsep etologi sendiri didasarkan pada teori evolusi dari Darwin.

Teori evolusi telah banyak memberikan kontribusi dalam bidanga psikologis terutama dalam kaitannya adaptasi manusia

terhadap lingkunganya. Organisme, oleh Darwin dikonsepsikan sebagai tempat berkumpulnya berbagai macam

kebutuhan, dimana setiap kebutuhan tadi memerlukan upaya pemuasan dengan bermacam-macam tindakan. Berbagai

macam cara dalam rangka pemuasan kebutuhan tersebut oleh Darwin disebut sebagai upaya atau perjuangan dalam

rangka mempertahankan eksistensinya (model or survival) sebagai mahluk hidup.Model for survival ini adalah cara

organisme untuk mengadakan penyesuaian diri dengan lingkungannya dalam rangka mempertahankan hidupnya.

Dalam teori mitivasi Lorenz dan Timbergen ada beberapa istilah yang merupakan konsep pokok enersi yang

mengarahkan organisme pada aktivitas khusus (action specific energy), mekanisme pelepas bawaan (innate releasing

mechanism), stimulus kunci (key stimuli) atau stimulus sinyal atau stimulus tanda (sign stimuli) , pemicu sosial (social

releaser) , pola-pola tindakan tetap (fixed action pattern) , perilaku konsumatori, perilaku atetitif, aktivitas vacum

(vacum activity) gerakan-gerakan bermaksud (intention movement), perilaku konflik (conflict behavior), rantai-rantai

reaksi (reaction chains), imprinting dan aktivitas vakum.

Stimulus Kunci

Setiap perilaku memiliki enersinya sendiri yang oleh Lorenz dan Timbergen disebut action specific energy. Kemunculan

setiap perilaku bisa dihambat atau dipicu oleh suatu mekanisme pemicu bawaan yang disebut dengan innate releasing

mechanism. Mekanisme pemacu bawaan ini bekerja untuk menyalurkan enersi, sehingga muncul aktivitas apabila

mendapatkan stimulasi dari objek ekternal. Keduanya (mekanisme pemicu bawaan dan objek ekternal) bekerja seperti

halnya mekanisme sebuah kunci yang dapat dibuka hanya dengan anak kuncinya. Objek eksternal yang berkaitan

dengan kemunculan mekanisme pemicu bawaan tadi disebut dengan stimulus kunci (key stimuli atau sign stimuli) .

Misalnya makanan, adalah stimulus kunci bagi kondisi lapar yang akan memicu munculnya perilaku yang berkaitan

dengan perilaku makan. Stimulus kunci disebut sebagai pemicu sosial (sosial releaser) apabila stimulus eksternal

dimaksud datang dari organisme lain. Misalnya, munculnya perilaku menyerang dari seekor stickleback jantan yang

sedang menjaga daerah teritorialnya apabila ia melihat ikan stickleback lain yang bertanda merah di perutnya. Tanda

merah di perut tadi merupakan stimulus tanda (sign stimuli) yang mengidikasikan kalau ikan yang bersangkutan adalah

ikan jantan. Bulu badan yang mencolok, bau badan , tanda-tanda organ seksual sekunder seperti payudara serta

gerakan-gerakan tubuh tertentu, bisa menjadi stimulus kunci yang dapat memicu munculnya perilaku seksual bagi

manusia seperti halnya tanda merah yang ada di perut ikan stickleback tadi, menurut Lorenz dan Timbergen merupakan

pemicu sosial.

Stimulus kunci dalam kondisi normal kadang-kadang tidak cukup kuat untuk memicu munculnya tingkah laku tertentu.

Ini dibuktikan oleh pengamatanTimbergen. Timbergen menempatkan telur lain warna putih dengan bintik-bintik hitam

diantara telur asli dari burung oystercacher yang berwarna coklat muda dengan bintik-bintik coklat tua. Ternyata burung

tadi lebih memilih telur lain yang berwarna putih dengan bintik-bintik hitam untuk dierami dari pada telurnya sendiri.

Pada percobaan lain, Timbergen menempatkan telur ayam yang tentunya jauh lebih besar dari telur burung

oystercatcher dan dicat dengan bintik-bintik sesuai dengan warna aslinya. Ternyata burung oystercatcher lebih tertarik
pada telur yang lebih besar, dibanding dengan telur asli yang berukuran normal. Suatu eksperimen yang menggunakan

subyek burung gereja memperkuat teori Timbergen ini. Seekor burung gereja betina diberi stimulus dua ekor burung

gereja jantan. Jantan yang satu di kepalanya diberi jambul yang terbuat dari tiga butir mutiara kecil dikomposisikan

dengan bulu yang ditempelkan diatas rangkaian mutiara tadi dengan posisi berdiri tegak, sehingga kelihatan seperti

mahkota. Jantan yang lain dibiarkan seperti apa adanya tidak diberi aksesoris apapun. Kemudian apa yang terjadi ?

Ternyata si betina lebih tertarik pada jantan dengan jambul palsu di kepalanya (acara Discovery, TPI jam 19.00 Tgl. 7

mei 2002). Stimulus-stimulus yang tidak seperti biasanyadan ternyata lebih efektif dalam memunculkan tingkah laku

seperti terurai di atas tadi, oleh Timbergen disebut dengan stimulus supernormal (supernormal stimuli) .

Perilaku Konsumatori, Perilaku Apetetif dan Aktivitas Vakum

Perilaku instingti menurut Lorenz dan Timbergen merupakan merupakan aktivitas dari organisme dalam rangka

mempertahankan eksistensinya. Ada dua macam perilaku instingtif yaitu perilaku konsumatori dan perilaku apetitif.

Perilaku konsumatori merupakan pola tindakan tetap (fixed action pattern) . Perilaku ini sifatnya bawaan, steriotipe,

kemunculannya spontan apabila memiliki cukup enersi, tidak menunjukkan variasi, serta terkoordinasi dengan baik.

Perilaku konsumatori ini memiliki pola respon yang tetap yang tertuju pada stimulus tertentu (stimulus kunci) dan tidak

membutuhkan dorongan dari faktor eksternal selain stimulus kunci yang berkaitan. Misalnya gerakan-gerakan mulut,

geraham dan lidah pada perilaku mengunyah makanan, polanya akan tetap demikian selamanya. Organisme hanya

akan merespon stimulus yang berupa suara yang diterimanya melalui telinga dalam perilaku mendengar, atau hidung

hanya dapat merespon terhadap stimulus kunci yang berupa wangi-wangian dan tidak bisa dilatih untuk merespon

terhadap stimulus yang berupa suara.

Perilaku apetitif adalah perilaku yang sifatnya fleksibel, dapat dimodifikasi melalui proses belajar. Misalnya perilaku tikus-

tikus percobaan belajar mendaptkan makanan dengan menekan-nekan tombol. Pada organisme yang sudah lebih tinggi

tingkat evolusinya seperti manusia misalnya, tidak hanya belajar bagaimana, dengan cara apa dan di mana

mendapatkan objek pemuasan terhadap kebutuhkannya, tetapi juga belajar bagaimana cara meningkatkan kepuasan

dengan objek-objek pemuasan yang ada. Misalnya seorang yang lapar, tidak hanya berhenti pada upaya mendapatkan

makanan lalu memakannya, tetapi mungkin justru berusaha untuk membuat variasi-variasi, atau bahkan menunda

untuk makan dengan maksud agar mendapatkan kepuasan yang lebih besar. Perilaku seperti tersebut diatas jelas

didapat dari pengalaman yang terbentuk melalui proses belajar.

Selain kedua perilaku diatas menurut Lorenz, ada semacam perilaku yang disebut dengan aktivitas vakum ( vakum

activity ) . Hal ini dikemukakan berdasr hasil pengamatannya terhadap burung piaraannya. Biasanya burung tersebut

terbang mengitari ruangan dengan maksud untuk menangkap serangga. Tetapi ada kalanya burung tadi terbang

berputar-putar mengitari ruangan padahal tidak dalam rangka menangkap serangga dan di ruangan itu memang tidak

ada serangga.

Aktivitas vacum ini terjadi ketika enersi dalam organisme berakumulasi karena luapan enersi pada ambang tertentu,

dimana pada saat itu tidak ada stimulus kunci. Akumulasi dari enersi tadi cukup kuat untuk menekan katup (mekanisme

pelepas bawaan), sehinga secara spontan katup terbuka dan muncullah perilaku yang disebut dengan aktivitas vakum
tadi. Aktivitas vakum ini tentunya terjadi juga pada manusia. Misalnya berjalan-jalan ke kompleks pertokoan tanpa

adanya tujuan seperti berbelanja. Bahkan kadang-kadang aktivitasnya tadi berada diluar kontrol sadarnya.

Gerakan-gerakan Bertujuan

Gerakan-gerakan bertujuan (intention movements) adalah gerakan yang mengidikasikan intensitas rendah, tidak

sempurna dalam arti tidak cukup informatif untk menyampaikan sebuah pesaan, bahkan kadang-kadang kabur. Awalnya

gerakan bertujuan ini tidak komunikatif karena tidak lengkap dan tidak jelas seperti tersebut tadi, tetapi melalui proses

ritualisasi ( dilakukan secara berkala setiap kesempatan dengan arti tertentu ) pada akhirnya juga memiliki fungsi

komunikatif.

Gerakan tubuh tertentu sering juga memiliki arti tertentu dalam komunikasi manusia yang juga dikenal dengan bahasa

tubuh (body language) seperti ekspresi wajah dan gerakan-gerakan tubuh yang lain. Misalnya, ekspresi wajah pada

suatu organisme dapat menggambarkan kondisi senang, sedih dan marah. Dari ekspresi wajah, juga dapat ditangkap

pesan bahwa yang bersangkutan siap menyerang atau berharap untuk meminta pertolongan. Anggukan dan gelengan

kepala yang pada awalnya tidak lebih dari gerakan kepala yang mengarah ke bawah dan ke samping, setelah melalui

ritualisasi dalam suatu komunitas dan sistem budaya tertentu akhirnya memiliki arti tertentu juga yaitu setuju

(anggukan) atau tidak setuju (gelengan).

Bahasa verbal yang dimaksud sudah bergeser dari arti harfiahnya juga merupakan suatu fernomena dari gerakan

bermaksud ini. Misalnya perilaku diam (tidak mengucapkan sepatah katapun) bila melihat tindakan orang lain, biasanya

diartikan sebagai tanda setuju, berkenan, atau setidak-tidaknya dapat diartikan tidak ada respon apa-apa. Tetapi, konon

kabarnya kalau pak Harto (Suharto mantan Presiden R.I) diam itu tidak sekedar tidak setuju terhadap apa yang

dihadapi, bahkan itu artinya ia marah. Atau inggih(bahasa jawa) berarti iya. Tetapi apabila kata inggih diucapkan

dengan nada agak tinggi, artinya berubah menjadi tidak. Contoh lain adalah kata dibina. Dibina biasanya berarti

diarahkan, dibimbing, dibantu dalam perkembangannya; pokoknya dibantu untuk menjadi lebih baik. Tetapi konon

kabarnya kata dibina di lingkungan institusi tertentu di negara kita ini, merupakan akronim dari kata dibinasakan.

Gerakan-gerakan bermaksud yang sudah memiliki fungsi komunikasi tertentu tadi, pada akhirnya berfungsi sebagai

pemicu sosial (social releaser) dalam dinamika munculnya perilaku tertentu.

Perilaku Konflik

Dalam suatu situasi atau waktu tertentu kemungkinan organisme menghadapi dua atau lebih stimulus . Situasi demikian

akan memunculkan kondisi motivasional yang disebut dengan kondisi konflik yang tentunya akan mendorong pada

munculnya suatu perilaku yang disebut dengan perilaku konflik. Dalam hal ini ada empat macam perilaku konflik yaitu :

perilaku ambivalen suksesif, perilaku ambivalen simultan dan perilaku yang dialiharahkan (redirected).

Perilaku ambivalen suksesif merupakan refleksi dari dua kondisi motivasional yang mendorong organisme untuk memilih

antara menghadapi sekaligus menghindar dari stimulus yang sekaligus menjadi objek dari perilaku. Sebagai contoh,

perilaku yang muncul dari dorongan untuk menyerang atau melarikan diri dari seekor ikan stickleback jantan apabila ada

ikan jantan lain yang melanggar batas wilayahnya (angguk – geleng Freud)
Perilaku ambivalen simultan adalah tingkah laku yang muncul dalam situasi konflik dimana dua kondisi motivasional

yang bertentangan diekspresikan secara bersama dalam waktu yang sama. Disini, dicontohkan bila seekor kucing

membungkukkan punggung merupakan ekspresi dari dorongan untuk menyerang (kaki belakang menjorok kedepan)

sekaligus merefleksikan dorongan untuk melarikan diri (kaki depan ditarik ke belakang). = Reaksin formation (Freud)

Perilaku yang dialih arahkan sinonim dengan istilah displamen dan sublimasi menurut konsep Sigmund Freud. Alih arah

yang dimaksud adalah pemindahan arah dari ojek yang berbahaya atau beresiko pada objek yanglebih lemah tidak

begitu berbahaya ayau beresiko tinggi. Arah pemindahan objek tersebut bisa tertuju pada suatu organisme seperti

manusia atau benda-benda. Dicontohkan oleh Timbergen, dorongan menyerang dan melarikan diri pada seekor

Stickleback jantan diarahkan pada perilaku membuat sarang (sublimasi ). Atau dorongan agresif dari seorang suami

yang mengalami stres karena selalu mendapatkan omelan dan marah-marah dari pimpinannya di tempat kerja,

mengarahkan dorongan agrsifnya terhadap istri dan anaknya di rumah. Hal ini dilakukan, karena istri atau anaknya

dirumah. Hal ini dilakukan, karena istri atau anaknya tidaklah lebih berbahaya daripada pimpinannya. Sebaliknya, sering

juga terjadi pada seorang suami yang mengalami stres karena tidak berdaya menghadapi istri yang mungkin

mengalami Sindrom Delilah dirumah, kemudian melampiaskan dorongan agresifnya pada bawahannya di tempat kerja.

Rantai-rantai Reaksi

Selain perilaku sederhana yang merupakan respon terhadap stimulus kunci sebagaimana yang telah dikemukakan

diatas, Lorenz juga mengemukakan tentang adanya perilaku yang lebih kompleks. Kompleksitas dari perilaku tersebut

utamanya dibentuk oleh insting yang sifatnya bawaan dan berinteraksi dengan insting yang didapat melalui proses

belajar yang disebut dengan interkalasi pengkondisian insting (instict conditioning intercalation) . Perilaku ini terdiri dari

rangkaian-rangkaian reaksi yang disebut dengan rantai-rantai reaksi (reaction chains).

Rantai-rantai reaksi terdiri dari rangkaian tingkah laku yang sebenarnya berdiri sendiri. Maksudnya setiap mata rantai

reaksi, merupakan suatu segmen aktivitas yang terdiri dari komponen enersi spesifik dengan stimulus kuncinya sendiri.

Tetapi walaupun demikian, keseluruhan rantai reaksi tadi, merupakan suatu kesatuan yang munculnya berselang-seling

sampai tujuan akhir dari perilaku tercapai. Ini dicontohkan oleh Timbergen perilaku kawin dari sepasang ikan

stickleback. Begitu muncul ikan stickleback betina, si jantan mengadakan attaraksi dengan menari-nari zigzag. Tarian

zigzag tadi merupakan stimulus kunci yang mendorong si betina untuk menyambut dengan gerakan-gerakan yang

merupakan stimulus tanda (sign stimuli) bahwa ia siap untuk bercumbu. Kesediaan bercumbu yang ditunjukkan oleh si

betina tadi, menstimulasi (stimulus kunci) munculnya mata rantai berikutnya yaitu si jantan bereaksi lagi dengan

perilaku lain lagi yaitu membimbing dan mengarahkan si betina ke sarang yang sudah tersedia. Selanjutnya terbentuk

rantai reaksi lanjutan yaitu si betina mengikuti dan masuk ke sarang dan kemudian si jantan membuahi dengan

menggetar-getarkan badannya sebagai mata rantai yang lain lagi. Jadi munculnya si betina sampai perilaku pembuahan

dari si jantan terhadap si betina, kemudian si betina bertelur, mengerami sampai telurnya menetas, merupakan rantai-

rantai reaksi yang merupakan interkalasi antara faktor bawaan dan faktor belajar.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sulit kita memahami pola perilaku dengan mekanisme rantai-rantai reaksi ini.

Misalnya ada sebuah kasus yang diberitakan sebuah surat kabar, seorang gadis remaja melapor ke polisi bahwa

semalam ia telah diperkosa oleh seseorang di sebuah hotel. Bagaimana kronologisnya ? Sekitar jam 19.00 sore si
wanita tadi keluar dari sebuah apotik, dan menunggu kendaraan umum untuk pulang, setelah membeli obat untuk

ibunya yang sedang sakit. Kemudian, ada sebuah kendaraan peribadi mengahampiri dan setelah sedikit berbasa-basi si

pengendara mobil tersebut menawarkan jasa untuk mengantarkannya pulang. Dalam benak si wanita ini adalah tawaran

jasa baik lumayan hitung-hitung dapat menghemat ongkos, tidak usah lama-lama menunggu kendaraan umum demi

efisiensi waktu, dan si pengendara boleh juga, sopan, keren dan tampan lagi. Pokoknya okelah. Setelah di dalam mobil

si pemberi jasa mulai bergerilya dengan pembicaraan yang ringa-ringan, sederhana, sampai pada pembicaraan yang

merupakan jurus rayuan. Memperhatikan respon si wanita, dalam benak si lelaki, orang ini oke juga, lalu menawarkan

bagaima kalau kita cari minum dulu. Si wanita dengan senang hati menerima tawaran tadi. Kemudian mereka sepakat

untuk jalan-jalan dulu dengan kendaraan sebelum pulang. Rupanya si gadis tadi sudah mulai lupa kalau ibunya yang

sedang sakit lagi menunggu obat yang ia beli di apotik tadi. Setelah melalui beberapa mata rantai reaksi yang lain,

tibalah mereka di sebuah hotel, dan besok harinya si wanita melaporkan kalau ia telah diperkosa. Pertanyaannya, dalam

kasus ini siapa yang harus dipersalahkan ? Mungkinkah akan terjadi perilaku perkosaan tadi apabila mata rantai reaksi

diputus terlebih dahulu sebelumnya ? Misalnya, si wanita tidak dengan mudah menerima tawaran antaran gratis dari

orang yang sama sekali belum pernah ia kenal sebelumnya ? atau ketika si lelaki mulai melempar aksi rayuan

gombalnya si wanita tidak menanggapi dan minta diturunkan saja ? Kenapa perkosaan itu kok sampai terjadi di sebuah

hotel ?

Imprinting

Salah satu beentuk dari interaksi antara faktor bawaan dan faktor belajar menurut Lorenz, adalah impringting.

Imprinting sebagaimana yang disebut dengan insting sementara (transitory instinct) oleh William James, adalah insting

yang hanya gterjadi dalam periode tertentu dalam rentang kehidupan organisme. Impriting merupakan proses sosialisasi

dari organisme muda dalam bentuk kelekatan (attachement) terhadap organisme tua. Sebagai contoh, anak bebek yang

baru ditetaskan berusaha untuk mengikuti kemana saja arah gerakan objek yang pertama kali dilihatnya setelah

penetasan. Biasanya anak bebek mengikuti induknya tetapi apabila yang dilihat eprtama kali bukan induknya, misalnya

orang, ia akan mengikuti orang tadi dan apabila yang dilihat pertama kali adalah boneka atau bola karet yang bergerak,

maka objek yang akan diikutinya adalah boneka atau bola karet tadi. Kelekatan anak-anak bebek terhadap objek yang

pertama kali dilihatnya tadi merupakan hasil dari proses belajar, sedangkan proses yang mengarah pada kelekatan

bersifat bawaan. Oleh karena itu Lorenz berkesimpulan bahwa imprinting ini merupakan kombinasi antara faktor bawaan

dan fakktor belajar.

Imprinting sebagai insting yang sifatnya sementara tadi, menurut Lorenz memiliki tiga karakteristik. Pertama proses

kelekatan hanyalah terjadi dalam masa tertentu yaitu selama masa kritis dalam kehidupan organisme. Masa kritis

dimaksud adalah antara 13 sampai 16 jam setelah penetasan anak bebek tadi. Masa ini adalah masa yang sangat

sensitif untuk proses belajar, di mana kemunculan imprinting lebih siap, bila dibandingkan dengan waktu sebelum dan

sesudah masa kritis tadi.

Kedua, proses imprinting adalah stereotype dan tidak dapat diubah, terjadi hanya satu kali dan tidak bisa dipadamkan.

Misalnya, anak bebek yang sudah mengarahkan objek objek imprintingnya terhadap bebek dari boneka, ia akan tetap

melakukan kelekatannya terhadap boneka tadi dan tidak bisa dialihkan ke objek lain. Secara tidak langsung, Lorenz
menyatakan kkelekatan yang dibentuk oleh imprinting juga mengarahkan organisme pada kecenderungan

perkembangan perilaku seksual. Kecenderungan atau eksukaan terhadap objek tertentu dalam kaitannya dengan

perilaku seksual organisme dewasa, merupakan akibat dari pola kelekatan dalam imprinting ini. Hal tersebut terbentuk

melalui suatu poses identifikasi yang disebut dengan intraspecific identification. Lorenz membentuk perilaku impriting

seekor angsa terhadap dirinya sejak ditetaskan. Setelah dewasa angsa tadi menolak untuk mengadakan hubungan

seksual dengan spesiesnya, akan tetapi menunjukkan perilaku seksual yang mengarah pada objek inprintingnya yaitu

Lorenz sendiri. Perubahan imprinting pada binatang mungkin terjadi, tergantung pada jenisnya,

apakah nidifogousatau nidicolous. Nidifogous adalah spesies yang langsung meninggalkan sarang setelah ditetaskan;

sedangkan nidicolous spesies yang tinggal di sarang lebih lama. Spesies nidicolous menunjukkan kelekatan lebih

permanen terhadap objek imprinting, tetapi walaupun demikian, kadang-kadang secara seksual masih tertarik juga pada

spesiesnya. Imprinting yang terjadi pada nidifogousterhadap spesies lain tidak menghambat mereka untuk kawin

dengan sesama spesiesnya. Lebih lamanya masa tinggal di sarang darinidicolous yang menyebabkan lebih lamanya pula

kelekatannya terhadap objek imprinting tidaklah semata-mata bawaan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain

seperti misalnya faktor reinforcement dari induknya (monterson, lih . Petri, 1981).

Ketiga, kemunculan imprinting bebas dari pengaruh reward. Maksudnya kemunculan imprinting terbebas dari pengaruh

penguatan eksternal, spontan, tidak melalui tiral and error dimana hal tersebut merupakan tahapan dari proses belajar.

Bagaimana imprinting pada manusia ? Imprinting ini terjadi juga pada manusia, yang tentunya tidak seprimitif dengan

apa yang terjadi pada binatang. Perilaku yang berkaitan dengan imprinting ini dapat dilihat dari perilaku bayi

pada babysitter nya. Ia akan lebih lekat pada baby sitter nya dibandingkan dengan ibunya sendiri sekalipun yang

pertama kali dilihatnya adalah ibunya dan ia juga mendapatkan ASI dari ibunya. Ini terjadi karena sebagian besar

waktunya digunakan untuk berinteraksi dengan baby sitter tadi. Apalagi ia tidak mendapatkan ASI dari ibunya dan

ibunya tidak cukup waktu untuk berinteraksi dengan bayi tadi.

Kritik terhadap Teori Lorenz dan Timbergen

Teori Lorenz dan Timbergen yang dikenal dengan teori insting moderen, juga tidak terlepas dari kritik dari banyak ahli

yang lain, seperti halnya yang ditujukan pada teori insting lama dari Williams James dan Williams McDougall, yaitu tidak

adanya pemisahan yang jelas yang mana tingkah laku instingtif yang sifatnya bawaan dan yang mana tingkah laku yang

didapat melalui proses belajar. Teori-teori insting ini terlalu menyederhanakan semua tingkah laku dengan menganggap

semua tingkah laku sifatnya bawaan. Padahal semua tingkah laku dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor bawaan dan

faktor lingkungan. Dicontohkan, bagaimana pola respon mematuk dari burung camar yang berubah menjadi lebih akurat

dan lebih efisien melalui pengaman dalam proses perkembangannya. Hal ini terjadi pola pada anak ayam yang

berkembang menjadi lebih akurat dan efisien dan lebih mengarah pada objek khusus yang berkaitan dengan

kebutuhannya seiring dengan semakin meningkatnya kedewasaannya.

Kritik lain terhadap teori Lorenz dan Timbergen ini ialah tentang konsep enersi sehubungan dengan tingkah laku

pemindahan objek (displecement) dan aktivitas vakum yang dianggapnya sebagai luapan enersi yang ada dalam

organisme. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian terdahulu, bahwa aktivitas vakum terjadi karena

tekanan enersi yang cukup kuat untuk membuka katup mekanisme pemicu bawaan, sekalipun tanpa kehadiran stimulus
kunci. Mengenai pemindahan objek dan aktivitas vakum, sebetulnya dapat diterangkan berdasarkan suatu asumsi akan

adanya sejumlah kemungkinan respon terhadap suatu stimulus yang dapat muncul secara hirarkis. Dari sejumlah

kemungkinan respon tadi, ada beberapa atau salah satu di antaranya lebih dahulu mendapatkan kesempatan untuk

muncul. Jadi tingkah laku pemindahan objek dan aktivitas vakum lebih merupakan suatu respon yang mendapatkan

kesempatan muncul terlebih dahulu di antara kemungkinan-kemungkinan respon yang lain, dibandingkan dengan

sekedar percikan dari akumulasi enersi dalam organisme.

RANGKUMAN

Anda mungkin juga menyukai