Oleh Paul Agusta Peter hidup bahagia. Paling tidak, seharusnya memang seperti itu. Dan semua orang berpikir dia memang bahagia. Kenapa tidak? Dia memiliki karir cemerlang, seorang wiraswasta, memiliki pacar yang tampan dan apartemen mewah. Semua hal yang paling diinginkan oleh seorang lelaki gay beranjak umur 30 tahun. Tetapi Peter tak bahagia. Tak begitu bahagia. Setidaknya, dia berpikiran demikian. Dia belum pernah mengatakan hal itu kepada orang lain. Dia tahu ocehan apa yang akan dia dapatkan. Hal terakhir yang dia inginkan adalah untuk dianggap sebagai seorang yang tak bersyukur. Dia berterima kasih atas semua hal baik di dunia. Dia seorang yang jujur. Seperti itulah dia. Tetapi Peter tetap tak bahagia, tidak benar-benar bahagia. Ada sesuatu yang mengganggu benaknya. Tapi dia tidak tahu apa tepatnya itu. Apapun itu, maninggalkan peluh di lubuk hatinya. Dia telah berpikir keras berulang kali tentang penyebabkan rasa yang menjengkelkan itu di hatinya. Tetap saja tak berguna. Banyak uang dia dapatkan tanpa bekerja keras, para pegawainya lah yang bekerja keras untuk dia. Pacarnya yang tampan sangat mencintainya, dan dia sendiri yakin bahwa dia juga mencintai pacarnya. Jadi apa sebenarnya yang terjadi? Dalam lubuk hatinya berkata, senyaman apapun hidup seorang lelaki, selalu saja ada suatu saat dimana segalanya belum pernah cukup. Suatu hal yang wajar seorang lelaki menginginkan lebih dari apa yang sudah ia miliki. Begitu juga Peter, meskipun tidak sepenuhnya begitu. Untuk seorang lelaki yang menginginkan lebih dari apa yang ia miliki, ia juga harus tahu hal “lebih” itu, kan? Jadi, Peter tak tahu dan hal semacam itulah yang menggrogoti benaknya selama ini. *** Andy tidaklah bahagia. Hal ini sangat mudah dimengerti karena dia baru saja kehilangan pekerjaannya. Katakanlah, pekerjaan itu hanyalah pekerjaan seorang pelayan yang hanya menunggu meja. Meskipun begitu, itu juga sebuah pekerjaan. Sudah hampir 12 kali kencan pertama ia jalani dalam dua bulan terakhir tanpa ada kelanjutan hubungan yang berarti. Ibunya melakukan panggilan telpon sebanyak enam kali hari ini, meninggalkan enam pesan yang berisi: jika dia tidak lulus semester depan, ibunya tidak mampu lagi membiayai kuliahnya, termasuk juga biaya sewa kontrakan rumahnya. Setelah menghabiskan sebagian besar uang kuliah di kencan pertamanya, dengan membelanjakannya untuk pakaian-pakaian mewah, minyak wangi, dan makan malam bekelas, sekarang dia bagaikan menaiki perahu di sungai tanpa dayung. Berada di halte bus tanpa ada tujuan, dia menunggu sesuatu yang tak pasti sepanjang hari. Saat berada dalam lamunannya –semoga tidak ada yang lebih buruk dari ini- hujan deras turun membasahi harinya. Sekarang dia beranjak dari seperti seseorang yang mencari sesuatu yang tak pasti menjadi seperti seseorang yang terus mencari- dan merasa- seperti seorang pecundang yang basah kuyup. *** Peter menghabiskan waktunya di sebuah kedai kopinya. Dia meyakinkan dirinya –meskinpun tak sepenuhnya yakin- bahwa pekerjaan akan menghapuskan dilema dalam benaknya. Menuangkan kopi dan menghidangkan kue sepanjang hari mungkin bukan sesuatu yang menyenangkan bagi kebanyakan orang, namun hal itu bisaanya bisa menghibur hati Peter. Hari ini mungkin tidak seperti bisaanya, tetapi tetap saja dia melakukan kebisaaanya itu. Lagi pula, dia memiliki anak buah yang terbatas. Dia baru saja memecat seorang pelayannya karena didapati tengah bermain-main dengan pacarnya di pantry. Rintik-rintik hujan tiba-tiba turun di pergantian musim. Hal ini sedikit menenangkan hati Peter. Bukan berarti apa-apa, tetapi hujan bisanya menghadirkan kita pada sesuatu yang hangat seperti secangkir kopi. Tuhan tahu bagaimana cara menikmati ciptaanya. Sesosok muda lagi tampan, berpakaian basah kuyup dengan celana jin ketat, berjalan masuk dengan wajah yang mengingatkan akan sosok anak kucing yang basah kuyup. Sangat menawan hati, begitu pikirnya dalam hati. *** Lelaki tersebut memilih meja kosong yang paling dekat dengan dirinya, berharap menemukan tempat yang nyaman dan kering. Dia mengambil sebungkus rokok yang kusut dari sakunya dan menghisap sebatang rokok yang sebenarnya sudah sedikit bengkok dan basah. Dengan tubuh yang menggigil dia hisap rokok tersebut hisap demi hisap. Seorang lelaki tampan paruh baya mendekat dan memberikan sebuah asbak padanya. “sepertinya anda membutuhkan sesuatu yang hangat”, kata orang paruh baya tersebut sembari tersenyum. Senyuman tersebut seolah-olah sebuah rayuan dalam pikir Andy. Sebuah pikiran yang dengan segera dia buang jauh-jauh. Karena lelaki adalah sumber permasalahan yang telah membuat dia sekarang sengsara, dan tidak ingin lagi diperburuk. “kopi mungkin akan membuat suasana lebih baik. Kental, tanpa gula”. Ucapnya dengan suara lirih. “terimakasih.” *** “Sama-sama.” Pada saat itu Peter memutuskan untuk mengatakan sesuatu yang cerdas dan cepat, atau apa itu mungkin bisa mengakhiri semuanya. “Sungguh cuaca yang indah kita alami hari ini.” Oh baiklah, tidak terlalu cerdas. Sialan. Anak tersebut memandang aneh dengan senyum yang dibuat-buat pada Peter. “Ya, tidak terlalu buruk. Tapi jika anda ingin berbicara pada saya, saya yakin anda bisa melakukannya lebih baik”. Jelas Andy. Astaga, anak ini benar-benar menakjubkan. ”Baiklah kalau seperti itu, apakah anda keberatan jika saya duduk di sini dan saya bisa memberikan ucapan lain kepada anda?” Peter memberikan sinyal kepada salah satu pelayannya untuk memberikan pelayanan. Anak yang menggigil. Sungguh manis sekali. Peter tahu, tidak seharusnya dia berada di meja itu. Namun sepertinya dia tidak bisa menahan untuk bisa berada di situ. Ini akan menjadi sebuah masalah. “Silahkan berikan ucapan terbaik anda yang lain. Mungkin saya bisa sedikit terhibur,” senyum Andi, dengan menunjukan gerak tubuh yang percaya diri, rambut hitam basah terurai di wajahnya. Hal ini dapat menjadikan mereka dekat dan lebih dekat lagi. Dan, memang itulah yang terjadi, dapatkah ini menjadi hal “lebih” yang tengah ia cari-cari selama ini? Atau, apa ini terlalu cepat? Kekosongan yang selama ini terus menggerogotinya tidak mungkin terisi dengan hanya satu akal-akalan yang mendorongnya pada suatu perbincangan, mungkinkah? Kalau begitu, sedikit perbincangan kecil untuk membuktikan bahwa teori tersebut tidak akan mengakibatkan hal yang buruk, bisakah? *** Lelaki paruh baya tersebut tampak terpesona dengan Andy dan hal yang paling penting, lelaki muda tersebut membuktikan dia tampak baik-baik saja meskipun dia masih dalam keadaan basah kuyup. “Biar saya tebak. Anda masih kuliah?” Tanya Peter, yang dijawab Andi dengan sebuah gelengan kepala. “Tidak terlalu cerdas, orang tua.” Andy menertawai dirinya sendiri, bagaimana bisa dia bersama dengan seseorang di saat sebenarnya dia ingin menyendiri di suatu kota yang asing baginya? Area tersebut di kelilingi oleh beberapa kafe dan restoran, dan berdekatan dengan salah satu perguruan tinggi baru di sana. Dia menyalakan rokoknya, ”jadi sebagai mantan mahasiswa naluri saya mengatakan bahwa anda membuuhkan sebuah pekerjaan, mungkin dibidang industri pelayanan makanan”, ucap Peter. Dia melanjutkan, “saya juga ingin berspekulasi bahwa anda sepertinya dan pasti tengah kehilangan pekerjaan bisa juga teman pria atau penghasilan, dan orangtua mengancam untuk tidak lagi membiayai anda.” Andy mengusapkan abu rokok pada sebuah asbak di dekatnya, kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi, menghirup dalam rokoknya, memperhatikan sesosok pria yang sedang terkagum- kagum duduk di depannya. “Anda pasti sudah beristri,” kata Andy. Orang tersebut menunjuk pada sebuah cincin di jari tangan kanannya, “beristri”, ulangnya dengan tersenyum. Keberuntungan tampaknya tidak memihak pada Andy hari ini. “beristri? Tidak adakah cara menggambarkan seorang istri,” Tanya Andy dengan nada agak ragu. “Seorang suami,” jawab Peter membetulkan. Alamak. “Begitu ya, saya mengerti,” jawab andy lirih. “lalu, apakah suami anda akan merasa keberatan jika dia melihat anda sekarang duduk disini bersama saya?” Anak tersebut tampaknya menyusun sebuah tantangan kepada Peter dan Andy memang terkenal suka bermain dengan api – hal tersebut menjadi sedikit sifat jeleknya yang selalu berulang. “Saya memang selalu duduk dan berbincang dengan pelanggan,” jawab Peter. Andy menangkap secercik rasa bersalah di wajah Peter. “Saya mengerti,” jawab Andy sembari dengan hati-hati ia mematikan rokoknya dan menyandarkan tubuhnya di kursi yang -memang ia sengaja- terlalu dekat dengan Peter. *** Aduh, dia sungguh dekat. Peter sedikit menyandarkan tubuhnya, menghela nafas dengan memperlihatkan rasa gugup yang gagal ia sembunyikan. “Bisakah perbincangan yang menyenangkan ini dilanjutkan lain waktu di luar kedai?” Tanya Andy, dengan nada yang menggiurkan. Ketika Peter mulai merasa bahwa dirinya tengah digiring pada sebuah episod hubungan sesama jenis, darahnya mulai mengalir deras ke kepala. “baiklah, saya mau.” Setelah kata-katanya telah terucap, hati Peter mulai teras tercambuk-cambuk. Dan Andy terlihat sedih. “Bagaimana kalau saya juga menawari anda pekerjaan?” Mendengar dirinya mengucapan tersebut mengejutkan Peter, namun dia memutuskan untuk terus melanjutkannya. “Saya baru saja kehilangan seorang pelayan dan kami juga membutuhkan bantuan orang disini. Memang upahnya tidak terlalu besar, namun kami memiliki banyak pelanggan disini dan mereka juga biasanya memberikan tip yang lumayan.” Hal tersebut nampak membuat sedikit senyuman pada diri anak tersebut. Kebaikan hati yang ditunjukan Peter tersebut membawa rasa yang sedikit aneh pada dirinya. Namun dia menyukainya. “Yang benar?”, Tanya Andy. Peter mengangguk sembari menambahkan satu peringatan penting. “Tiga bulan percobaan, dan jika saya menyukai anda, anda bisa tetap disini.” *** Sebuah perkembangan yang menarik bagi Andy, nasibnya pasti telah berubah. “Kapan saya bisa memulainya?” Andy berkata dengan antusias lebih dari apa yang pernah ia perlihatkan. “Kembalilah besok pada jam 8 pagi, kita akan membicarakan rinciannya,” jawab Peter sambil dia mulai berdiri. “Mulai dari sekarang, nikmatilah saja kopi anda. Anggap seperti rumah anda sendiri. Saya harus kembali bekerja.” Andy masih tetap sedikit tertegun, suatu penolakan berkembang menjadi sebuah tawaran bekerja. Dia menjabat tangan Peter, memandang matanya, dan berkata. “Terimakasih teman, sungguh. Terimakasih.” “Sama-sama,” jawabnya sambil tersenyum.