Anda di halaman 1dari 10

HUBUNGAN KESULTANAN ACEH DAN KESULTANAN TURKI

UTSMANI PADA ABAD KE-16

Syaifullah Azizi (071611233009)


Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Airlangga

ABSTRAK
“The conquest of Atjeh would give the Spanish-Portuguese Crown the economic resources
where with to destroy not only ‘the Heresiarchs and their followers’, but to recover all
Christian territory lost to the Muslims (including Jerusalem), and to overthrow the Ottoman
Empire 1.” Seperti itulah ungkapan salah seorang Portugis ketika awal penjajahan ke
semenanjung Malaka. Aceh dan Istanbul memiliki jarak yang sangat jauh, sekitar ± 7.810 km
2
jika ditarik garis lurus dari Aceh ke Istanbul, tetapi dengan jarak yang jauh tersebut Portugis
kewalahan menghadapi kekuatan Aceh-Turki. Apa yang terjadi? bagaimana hal tersebut dapat
terjadi? Dalam tulisan ini, penulis akan membahasnya secara sistematis berdasar sumber-
sumber buku yang kredibel.
Kata Kunci: Hubungan, pan-Islamisme, Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Turki
Utsmaniyah, penaklukkan, jajahan.

PENDAHULUAN

Kesultanan Aceh Darussalam dapat dikategorikan sebagai salah satu Kesultanan Islam terkuat

yang ada di dunia, meskipun daerah kekuasaannya tidaklah sebesar Dinasti Umayyah maupun

Kesultanan Turki Utsmaniyah, Aceh memiliki kekuatan yang kuat berupa keimanan yang

mendarah daging, terbukti pada masa penjajahan Belanda, Aceh merupakan daerah terakhir

yang berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1903. Oleh karena itu, untuk memperkuat

politik dan keamanannya, Kesultanan Aceh kerap mengadakan komunikasi dengan negara-

negara Islam di seluruh dunia, tak terkecuali Kesultanan Utsmaniyah. Tercatat pada tahun

1539, Aceh telah menaklukkan Tano Batak melalui aliansi yang dibangun oleh Sultan Al-

1
C.R. Boxer (1969), A Note on Portuguese Reactions to The Revival of The Red Sea Spice Trade and The Rise
Of Atjeh, 1540-1600, Journal of Southeast Asian History, v. 10, no. 3, hal. 424.
2
Diambil dari data Google Maps, diakses pada 5 Januari 2017.
Qahhar yang terdiri dari 160 prajurit dari Turki Utsmaniyah, beberapa dari Abisinia – sekarang

Ethiopia – dan Gujarat, serta 200 orang dari Malabari 3. Oleh karena itu, ukhuwah islamiah

merupakan salah satu unsur perekat dan penguat negeri serambi Makkah tersebut.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah hubungan Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani pada abad ke 15

dapat terjadi?

2. Bagaimana keadaan Aceh pada abad ke-16 tersebut?

3. Hubungan apa sajakah yang dijalin oleh Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani pada abad

ke-16?

4. Kejadian apa sajakah yang menandai hubungan Aceh dan Turki Utsmani pada abad ke-

16?

PERNYATAAN TESIS

Hubungan Kesultanan Aceh dan Kesultanan Turki Utsmani telah terjadi pada awal abad ke-16,

ditandai oleh dikirimnya delegasi dari Sultan Alauddin Al-Qahhar untuk menjalin hubungan

dengan Turki Utsmani dalam bidang politik, agama, keamanan, maupun kebudayaan. Juga

untuk mempertahankan pemerintahannya dari serangan Portugis kala itu.

PEMBAHASAN

Sejarah Kesultanan Aceh pada Abad ke-16

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah Kesultanan Islam yang pernah berdiri di

Nusantara, tepatnya kini berada di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh dideklarasikan

pertama kali oleh Sultan Mughayat Syah pada tahun 1520. Pada periode itu pula, Aceh berhasil

3
Azyumardi Azra (2006), Islam in The Indonesian World : An Account of Institutional Formation (Jakarta:
Mizan Pustaka), hal. 169.
menaklukkan Deli, Pedir, dan Pasai. Kesultanan Aceh berdiri dan muncul sebagai kekuatan

baru di Selat Malaka, menandingi Portugis yang telah menguasai Selat Malaka pada tahun

1511. Hal ini seperti momentum bangkitnya kesultanan Aceh pada tahun 1511-1520an, dimana

ketika para pedagang yang terdiri dari orang-orang Jawa, Maluku, Sulawesi, Kalimantan,

bahkan saudagar-saudagar dari Arab, yang pada mulanya melakukan aktivitas perdagangannya

di Selat malaka, akhirnya pindah dikarenakan politik dan perdagangan Portugis yang terlalu

mendominasi di Selat Malaka 4. Didorong oleh semangat untuk memonopoli perdagangan,

Portugis tidak menginginkan negeri-negeri di Aceh berdiri, dengan cara apa pun Portugis

mencoba untuk menumbangkan kesultanan-kesultanan kecil yang berada di semenanjung

Sumatera dan Malaka.

Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim

berhasil memenangkan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta

berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan Portugis. Sekitar tahun 1524, Kesultanan

Aceh berhasil mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di

Bandar Aceh 5. Setelah memiliki kapal hasil peperangan ini, Sultan Ali Mughayat Syah

bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Portugis, namun rencana tersebut

gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kesultanan Aceh tersebut

justru berhenti sejenak di sebuah kota. Di sana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar,

sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk menyerang

Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim di

sana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis 6.

4
Mohammad Said (1981), Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada), hal. 160.
5
Marwati Poesponegoro (2010), Sejarah Nasional Indonesia Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka), hal. 28.
6
William Marsden (2008), Sejarah Sumatera (Depok: Komunitas Bambu), hal. 387.
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk

terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka terus

berusaha menaklukkan Kesultanan-Kesultanan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana

Kesultanan-kesultanan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari

perlawanan tersebut akhirnya Kesultanan Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di

Pasai. Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah

seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya,

Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah 7.

Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim.

Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba menyerang

Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukkan Aru pada tahun

1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat

Syah, yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-

Din. Ia mencoba merebut Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun

1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 8.

Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha

mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan

hubungan internasional dengan Kesultanan-Kesultanan Islam di Timur Tengah, seperti Turki,

Abisinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel

untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis

yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan

Baros, dan menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut.

7
Ibid., hal. 387-388.
8
Denys Lombard (2006), Kesultanan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (Jakarta: Balai Pustaka), hal. 65-66.
Penyerangan yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki

Utsmaniyah.

Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kesultanan Perak di Semenanjung

adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah.

Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai

para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar negeri yang

datang ke Kesultanan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh

Sultan Alauddin Ri’ayat Syah bin Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588.

Sejak tahun1588, Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah bin Firman

Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607 9.

Hubungan Kesultanan Aceh Darussalam dengan Kesultanan Turki Utsmaniyah

Dari sumber kabar Portugis, sejak pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar, atau

pada pertengahan abad ke-16 (sekitar tahun 1540), Aceh telah mengadakan hubungan dengan

Turki.

1. Perdagangan Internasional Aceh ke Turki

1540

Perdagangan internasional Aceh, telah sampai kepada Turki di tahun 1540an. Sultan

Al-Qahhar mengirim utusan yang terdiri dari 4 kapal yang dipenuhi oleh lada dan

rempah-rempah. Jalur perdagangan yang dilalui utusan tersebut melalui Laut Merah –

Mecha (pelabuhan di Jazirah Arab) – Teluk Aqabah – dan jalur darat melalui Palestina

dan Suriah 10.

2. Hubungan Politik & Keamanan Kesultanan Aceh dan Kesultanan Turki

Utsmaniyah

9
Marwati Poesponegoro (2010), Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, hal. 30-31.
10
Mohammad Said (1981), Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada), hal. 183.
- 1540

Menurut Fernão Mendes Pinto, selain hubungan perdagangan yang dibangun pada

tahun 1540, hubungan politik dan keamanan pun mulai dibangun. Tercatat pada hikayat

Lada Secupak, setelah pengiriman 4 buah kapal ke Kesultanan Turki Utsmani, Sultan

Suleyman I menghadiahi Aceh dengan alat-alat perang serta 300 prajurit tempur untuk
11
membantu Aceh melawan musuh yang sama, yakni Portugis . Dan pada akhirnya,

Aceh dapat menaklukkan Tano Batak.

- 1564

Setelah Sultan Alaudin Al-Qahhar wafat dan digantikan oleh putranya Sultan Husain

Ali Ri’ayat Syah, Sultan mengirimkan surat kepada Kesultanan Turki Utsmani dan

menyebut Sultan Turki Utsmaniyah sebagai khalifah Islam – sebagai legitimasi

Kesultanan Aceh terhadap pemerintahan Turki Utsmaniyah - . Surat tersebut juga berisi

laporan mengenai armada Portugis yang sering mengganggu dan merompak kapal

pedagang Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya.

Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh dan sekitarnya untuk

menunaikan ibadah haji ke Makkah. Setelah menerima utusan dari Aceh, Sultan Selim

II yang menggantikan Sultan Suleyman I (wafat pada 1566) segera memerintahkan

armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke Aceh. Sekitar bulan

September 1567, Laksamana Turki di Suez Kurtoğlu Hızır Reis diperintahkan untuk

berlayar memimpin armada laut pergi ke Aceh. Pada tahun 1568, ia berlayar memimpin

armada yang terdiri dari 22 kapal yang membawa prajurit, perlengkapan militer, dan

pasokan lain. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh

Sultan Aceh. Walaupun berangkat dengan yang cukup besar, yang tiba di Aceh hanya

11
Azyumardi Azra (2006), Islam in The Indonesian World : An Account of Institutional Formation (Jakarta:
Mizan Pustaka), hal. 169.
sebagian saja. Karena di tengah perjalanan, sebagian armada dialihkan ke Yaman guna

memadamkan pemberontakan yang berakhir pada 1571. Sesampainya di Aceh,

kehadiran armada Turki disambut meriah, Sultan secara langsung menganugerahkan

Laksamana Kurtoğlu sebagai gubernur (wali) Nanggroe Aceh Darussalam, utusan

resmi Sultan Selim II yang ditempatkan di wilayah tersebut. Secara serentak, Turki

Utsmani menginformasikan kepada Portugis bahwa Aceh merupakan wilayah turki,

dan sejak saat itu serangan terhadap Aceh akan dipandang sebagai serangan terhadap

Turki Utsmani. Sesampainya Kurtoğlu di wilayah Aceh, pasukan Turki Utsmani tiba di

Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, namun

seluruhnya ahli dalam seni bela diri maupun menggunakan senjata; senjata api,

penembak jitu, dan senjata mekanik. Dengan bantuan tentara Turki, Kesultanan Aceh
12
menyerang Malaka pada tahun 1568 . Setelah kemenangan didapat, agar aman dari

gangguan para perompak, lalu Turki Utsmani juga mengizinkan kapal-kapal Aceh

mengibarkan bendera Turki Utsmani di kapalnya.

3. Hubungan Kultur dan Agama

Pertukaran kultur dan agama antara Turki dan Aceh telah terjadi sejak awal hubungan

perdagangan dilancarkan ke timur tengah. Ketika Turki sebagai kesultanan yang besar

dan pada masa keemasannya dibawah kepemimpinan Sultan Suleyman I Al-Qanuni

yang melakukan ekspansi besar-besaran di daratan Eropa, Afrika, dan Asia Barat.

Untuk memperluas pengaruh Turki Utsmani ke Asia Tenggara yang penduduknya telah

beragama Islam, Turki meneruskan semangat perjuangan kepada saudara-saudara

muslim di sana. Aceh mewujudkan jalinan ukhuwah Islamiyah yang kuat dengan

Kesultanan Utsmani, yang akhirnya membantu untuk melawan penguasaan penjajah

12
Azyumardi Azra (2006), Islam in The Indonesian World : An Account of Institutional Formation (Jakarta:
Mizan Pustaka), hal. 169.
yang sebelumnya selalu mengancam keselamatan orang-orang yang akan

melaksanakan haji. Hasilnya, seperti yang dijelaskan oleh Abdullah Munsyi, keadaan

kapal-kapal jamaah haji Melayu yang dulunya mengalami kesulitan, menjadi aman dan
13
terjamin . Turki yang sebelumnya hanya melihat ekspansi wilayah hanya kepada

daratan-daratan barat dan timur, menjadi tersadarkan akan ekspansi ke pulau-pulau

maritim seperti yang telah di lakukan oleh Kesultanan Aceh.

Gabungan Aceh dan Turki: Pan-Islamisme

Berdasarkan kesadaran akan ukhuwah Islamiyah, ideologi pan-Islamisme memberi

manfaat yang cukup besar bagi pembangunan Islam di daerah Melayu. Sebelum

gagasan pan-Islamisme yang diperkenalkan secara lengkap oleh Jamaluddin Al-

Afghani di awal abad 19, pan-Islamisme tersebut telah dilakukan oleh Kesultanan Aceh
14
dan Kesultanan Utsmani sejak abad ke-16 . Ketika Kesultanan Turki Utsmani

mengampanyekan ideologi pan-Islamisme di Barat, Aceh telah memiliki inisiatif

perpaduan antar kesultanan Islam. Gagasan pan-Islamisme ini dianggap sebagai model

persatuan umat Islam yang cocok untuk wilayah yang berbeda (timur dan barat).

PENUTUP & KESIMPULAN

Sejak awal abad ke 15 Aceh telah mengadakan hubungan diplomatik yang baik dengan Turki

Utsmani, hubungan tersebut diawali oleh perdagangan rempah-rempah yang diekspor dari

tanah Sumatera ke arah barat, yakni ke Istanbul. Ace menghubungi Turki untuk meminta

bantuan, akan tetapi tidak sesederhana itu, para pendiri Kesultanan Aceh Darussalam memiliki

tujuan yang sangat besar dalam membangun hubungan tersebut, Aceh telah lebih dulu

mengetahui bahwa di Eropa ada kerajaan Islam besar yang menguasai sebagian besar wilayah

13
Abdullah Munsyi (1981), Kisah Pelayaran Abdullah Ke Kelantan Dan Judah, Disusun Oleh Kassim Ahmad,
Kuala Lumpur : Fajar Bakti, hal. 94.
14
Norman Itzkowitz (1972), Ottoman Empire And Islamic Tradition, New York : Alfred A. Knof.
Eropa kala itu, dan dapat diketahui dalam tulisan ini bahwa pemikiran orang-orang Aceh kala

itu telah sangat maju dengan berpikir sangat jauh kedepan.

Dalam kitab Bustanus salatin disebutkan ada dua kubu kekuatan Islam paling besar pada masa

itu, di Eropa Turki dan di Timur adalah Aceh. Dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa Aceh

tidak semata-mata mencari bantuan ke Turki, akan tetapi kedua negara ini saling

membutuhkan. Aceh memiliki hasil alam yang melimpah ruah, dan Turki memiliki kekuatan

perlengkapan perang yang sangat lengkap, oleh karenanya kedua negara tersebut saling

membutuhkan satu sama lain.


REFERENSI

Azra, Azyumardi (2006). Islam in The Indonesian World : An Account of Institutional


Formation. Jakarta: Mizan Pustaka.
Boxer, C.R. (1969) ‘A Note on Portuguese Reactions to the Revival of the Red Sea
Spice Trade and the Rise of Atjeh, 1540–1600’, Journal of Southeast Asian History, 10(3),
pp. 415–428.
Itzkowitz, Norman (1972). Ottoman Empire And Islamic Tradition. New York: Alfred
A. Knof.
Lombard, Denys (2006). Kesultanan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda. Jakarta: Balai
Pustaka.
Marsden, William (2008). Sejarah Sumatera. Depok: Komunitas Bambu.
Munsyi, Abdullah (1981). Kisah Pelayaran Abdullah Ke Kelantan Dan Judah. Kuala
Lumpur : Fajar Bakti.
Poesponegoro, Marwati (2010). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai
Pustaka).
Said, Mohammad (1981). Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada.

Anda mungkin juga menyukai