Anda di halaman 1dari 5

LO 1 Herpes Zoster

a. Definisi

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster yang menyerang
kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer (Djuanda
et al, 2015).

b. Epidemiologi

Penyebarannya sama seperti varisela. Penyakit ini, seperti yang diterangkan dalam definisi,
merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah

penderita mendapat varisela. Kadang-kadang varisela ini berlangsung subklinis. Tetapi ada pendapat
yang menyatakan kemungkinan transmisi virus secara aerogen dari pasien yang sedang menderita
varisela atau herpes zoster (Djuanda et al, 2015).

c. Patogenesis

Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis. Kelianan kulit yang
timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-
kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan
gejala-gejala kelainan motorik (Djuanda et al, 2015).

d. Gejala Klinis

Daerah yang paling sering terkena adalah daerah torakal walaupun daerah-daerah lain tidak jarang.
Frekuensi penyakit ini pada pria dan wanita sama, sedangkan mengenai umur lebih sering pada
orang dewasa (Siregar, 2004).

Sebelum timbul gejala kulit terdapat gejala prodromal, baik sistemik (demam, pusing, malaise)
maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan sebagainya). Setelah itu timbul
eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang
eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna
abu-abu) dapat menjadi pustul dan krusta. Kadang-kadang vesikel mengandung darah dan disebut
sebagai herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus
dengan penyembuhan berupa sikatriks (Siregar, 2004).

Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung
kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Disamping gejala kulit
dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah
unilateral dan bersifat dermatomal (sesuai dengan tempat persarafan). Pada susunan saraf tepi,
jarang timbul kelainan motorik. Tetapi pada susunan saraf

pusat kelainan ini lebih sering karena struktur gangguan kranialis memungkinkan hal tersebut.
Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas. Kelainan pada muka sering
disebabkan oleh karena gangguan pada nervus trigeminus (dengan ganglion gasseri) atau nervus
fascialis dan otikus (dari ganglion geniculatum) (Siregar, 2004).

Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus sehingga
menimbulkan kelainan pada mata, disamping itu jugacabang kedua dan ketiga menyebabkan
kelainan kulit pada daerah persarafannya. Sindrom Ramsay Hunt disebabkan oleh gangguan nervus
fascialis dan otikus sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit
yang sesuai dengan tingkat persarafan tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan juga
terdapat gangguan pengecapan. Herpes zoster abortif, artinya penyakit ini berlangsung dalam waktu
yang singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa vesikel dan eritema. Pada herpes zoster
generalisata kelainan kulitnya unilateral dan segmental ditambah kelaianan kulit yang menyebar
secara generalisata berupa vesikel yang soliter dan umbilikasi. Kasus ini terjaditerutama pada orang
tua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah, misalnya pada pada penderita limfoma
maligna (Siregar, 2004).

Neuralgia pascaherpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan lebih dari
sebulan setelah penyakitnya sembuh. Nyeri in dapat berlangsung sampai beberapabulan bahakan
bertahun-tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan
ini dijumpai pada orang yang mendapat herpes zoster diatas usia 40 tahun (Siregar, 2004).

Penegakkan Diagnosis

Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh varicella zoster virus ditegakkan

berdasarkan anamnesis, gejala prodormal, rasa gatal dan manifestasi klinis sesuai tempat predileksi
dan morfologi yang khas dari varicella. Diagnosis penyakit herpes zoster sangat jelas, karena
gambaran klinisnya memiliki karakteristik tersendiri. Deteksi antigen atau nuclei acid VZV, isolasi
virus dari sediaan hapus lesi atau pemeriksaan antibodi IgM spesifik diperlukan. Pemeriksaan dengan

teknik PCR merupakan tes diagnostik yang paling sensitif dan spesifik (dapat mendeteksi DNA VZV
dari cairan vesikel) (Djuanda et al, 2015).

Anamnesis

Keluhan utama : adanya eritema yang terus berkembang menjadi papul dan vesikel

Lokasi : bisa disemua tempat, paling sering pada C4 dan L2

Keluhan penyerta : neuralgia beberapa hari sebelum atau bersamaan dengan kelainan kulit, demam.

Pemeriksaan fisik

Effloresensi kelompok vesikel sampai bula di daerah eritema, sifatnya biasanya unilateral.

Pemeriksaan penunjang

PCR

Kultur virus 1-2 minggu

Tzanck Test (Siregar, 2004).

f. Penatalaksanaan

Sistemik

Obat antivirus
Kortikosteroid

Analgetik

Antidepresan dan antikonvulsan

Topikal

Analgetik topical : Kompres dan AINS

Anestetik lokal

Kortikosteroid (Djuanda et al, 2015).

Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika disertai
infeksi sekunder diberikan antibiotik.

Indikasi obat antiviral ialah herpes zoster oftalmikus dan pasien dengan defisiensi imunitas
mengingat komplikasinya. Obat yang biasa digunakan adalah

asiklovir dan modifikasinya misalah valasiklovir. Obat yang lebih baru adalah pamsiklovir dan
tensiklovir yang mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih lama sehingga cukup diberikan 3 kali
250mg sehari. Obat-obat tersebut diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul.

Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 kali 800mg sehari dan biasanya diberikan 7 hari. Sedangkan
valasiklovir 3 kali 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Jika lesi baru masih
tetap timbul, obat-obat tersebut masih dapat diberikan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru
tidak timbul lagi.
Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah neuralgia pasca herpes (NPH), yaitu nyeri yang masih
menetap di area yang terkena walaupun kelainan kulitnya sudah mengalami resolusi (Djuanda et al,
2015).

Prognosis

Perawatan yang teliti dan memperhatikan higiene memberi prognosis yang baik dan dapat
mencegah timbulnya jaringan parut (Djuanda et al, 2015).

Adhi Djuanda, dkk. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.

Budimulja, Unandar. 2007. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis :

Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta: FKUI.

Ganong, W. F. 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta:

EGC.

Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC; 2004.

Anda mungkin juga menyukai