Anda di halaman 1dari 84

SURVEI NASIONAL

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


DI INDONESIA

Editor:
Haidlor Ali Ahmad
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)

survei nasional kerukunan umat beragama di indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan,


Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI
edisi I, Cet. 1 ……
Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI
xxii + 62hlm; 14,8 x 21 cm

ISBN : 978-979-797-359-9

Hak Cipta pada Penerbit

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk
dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit

Cetakan Pertama, Nopember 2013

SURVEI NASIONAL KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

Editor:
Haidlor Ali Ahmad

Desain cover dan Lay out, oleh:


Zabidi

Penerbit:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta
Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421
www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN
KEAGAMAAN

uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan


Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-
Nya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat
merealisasikan ”Penerbitan Naskah Buku Kehidupan
Keagamaan”. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan
hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012.

Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8


(delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut:

1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.

2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja


Aparatur Kementerian Agama.

3. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di


Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat.
4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi
Produk Halal.

5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah


Bidang Keagamaan.

6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di


Berbagai Komunitas Agama.

iii
7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina
Damai Etnorelijius di Indonesia.
8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.
Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian
yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial
keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para
pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan
dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula
buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai
pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia.
Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku
kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan
sambutan bagi terbitnya buku-buku ini.
2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan
prolog atas buku-buku yang diterbitkan.
3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan
laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat
hadir di depan para pembaca yang budiman.
4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi
bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku
kehidupan keagamaan ini.
5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara.

iv
Apabila dalam penerbitan buku ini masih ada hal-hal
yang perlu perbaikan, kekurangan dan kelemahannya baik
dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan
berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan
perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan
semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat.

Jakarta, Oktober 2013


Kepala,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag.


NIP. 19590320 198403 1 002

v
vi
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI

D
alam tahun 2012 yang lalu, berbagai kalangan baik
dari kalangan birokrasi maupun kalangan umat
beragama sempat dikejutkan oleh hasil penelitian
yang dilakukan CSIS yang menunjukkan bahwa sikap intoleran
masyarakat beragama di Indonesia semakin meningkat. Hal ini
dapat dimaklumi, karena masalah intolerasi beragama adalah
masalah yang peka dalam kehidupan bermasyarakat, ber-
bangsa dan bernegara. Memang dalam realitasnya, konflik
akibat intolerasi sampai saat ini masih sering terjadi dan
melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Akan tetapi benarkah
jika bangsa Indonesia semakin tidak toleran?
Untuk mendapatkan gambaran tentang kerukunan antar
umat beragama dengan menggali masalah kerukunan dan
mencatatkan tingkatan serta indeksnya, Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI -
dalam tahun 2009 - melakukan penelitian berkaitan dengan
kerukunan ini di daerah Jawa Barat. Penelitian yang sama
dilakukan pula di Jawa Timur (2010) dan Lampung (2011).
Hasil yang didapat dari penelitian ini hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan sebelumnya di Jawa Barat.
Kesimpulannya adalah ditemukannya variasi tingkat
kerukunan di berbagai wilayah kabupaten di Jawa Barat dan
Lampung mulai dari yang “tidak rukun” sampai pada yang
“harmonis”.

vii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Untuk lebih mempertajam penelitian kerukunan dan


mendapatkan indeks kerukunan bagi seluruh daerah di
Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2012
berusaha memperlebar penelitian masalah kerukunan dengan
menjadikan seluruh provinsi sebagai lokasi penelitian. Dengan
pengambilan lokasi sampel sebanyak ini diharapkan survei
dapat merepresentasikan jawaban atau sikap seluruh masya-
rakat beragama dalam hal hubungan mereka dengan pemeluk
agama lainnya. Survei yang melibatkan peneliti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan peneliti Puslitbang
Kehidupan Keagamaan ini hasilnya menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia masih toleran, dengan indeks terendah 3.1
(cukup toleran) hingga 4.2 (sangat toleran).
Oleh karena itu, saya menyambut baik penerbitan buku
”Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia” ini.
Saya berharap buku hasil survei kerukunan ini dapat
memberikan gambaran lain kondisi faktual bangsa Indonesia,
dan dapat mengonfirmasi kondisi sesungguhnya umat
beragama atau memberikan jawaban benarkah bangsa
Indonesaia semakin tidak toleran? Survei nasional tentang peta
kerukunan umat beragama ini diharapkan dapat memberikan
gambaran lain, kondisi faktual lapangan yang bersifat nasional.
Wilayah yang di survei untuk penelitian ini meliputi seluruh
provinsi di Indonesia. Dengan pengambilan lokasi sampel
sebanyak ini diharapkan survei akan dapat merepresentasikan
jawaban atau sikap seluruh masyarakat beragama dalam hal
hubungan mereka dengan pemeluk agama lainnya.
Buku yang memberikan informasi seputar peta
kerukunan dan indeks kerukunan di tiap-tiap wilayah
provinsi ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi

viii
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

kebijakan khususnya bagi para pimpinan di lingkungan


Kementerian Agama RI dan pada umumnya Kementerian
Dalam Negeri beserta jajaran Pemerintah Daerah baik tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga dapat meningkat-
kan kualitas kebijakan yang dirumuskan. Di samping itu
diharapkan pula buku hasil survei ini dapat dijadikan sebagai
acuan bagi berbagai pihak tentang masalah kerukunan di
Indonesia.
Ucapan terima kasih khususnya disampaikan kepada
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan dan umumnya
kepada para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
dan peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang telah
melaksanakan tugas dengan baik.

Jakarta, Oktober 2013.


Pgs. Kepala,
Badan Litbang dan Diklat

Prof. Dr. H. Machasin, MA


NIP. 19561013 198103 1003

ix
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

x
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

PROLOG
SURVEI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
DI INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. Imam Tholkhah MA.

I nformasi hasil penelitian survei yang memfokuskan


pada kerukunan antar umat beragama (kerukunan
keagamaan) di Indonesia sebagaimana dilaporkan
dalam buku ini sangat penting diketahui oleh para pengamat
atau policy maker pembangunan bidang agama, karena:
Pertama, studi yang memfokuskan tentang kerukunan
keagamaan di Indonesia dengan pendekatan kuantitatif
semacam ini tergolong langka. Studi semacam ini dapat
menjadi “pengimbang” dari banyaknya informasi penelitian
yang menekankan pada aspek konflik antar umat beragama
(konflik keagamaan). Sejak era reformasi informasi hasil
penelitian yang memfokuskan pada aspek kerukunan
keagamaan dengan pendekatan survei masih terasa kurang,
dan popularitasnya lebih rendah dibanding dengan informasi
penelitian yang terkait dengan konflik keagamaan.1 Memang
bisa dimengerti, seringkali studi tentang kerukunan keagamaan
informasinya cenderung terasa datar, kurang tajam, tidak
menggigit dan tidak ada hal yang aneh sehingga kurang
bermakna “informatif.” Sedangkan hasil penelitian tentang
konflik keagamaan informasinya sering sangat menarik dan
menyentuh perasaan, karena mengejutkan, mengharukan,
memprihatinkan dan membahayakan tertib sosial, apalagi

1
Bandingkan Syamsul Arifin. 2009. Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-
Isu Kontemporer. Malang: UMM Press. hlm. 63-98

xi
Prolog

kalau konflik keagaman itu membawa korban hilangnya harta


benda, kekuasaan dan jiwa raga. Selain itu konflik keagamaan
juga dipandang sebagai penyimpangan norma sosial dan
budaya, yang kemunculannya seringkali tak terduga, tak
terdeteksi , unorganized, dan perlu segera diatasi oleh negara.
Mungkin, kerukunan keagamaan itu bagi bangsa Indonesia
sudah menjadi hal yang sangat rutin dan biasa serta telah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di berbagai
pelosok tanah air. Hidup rukun, damai dan saling menghargai
antar teman dan tetangga, antar kampung dan kawasan serta
antar suku bangsa yang berbeda faham keagamaan sudah
membudaya dan bahkan sudah menjadi bagian dari kearifan
lokal sejak berabad-abad yang lalu,2 sehingga kerukunan
keagamaan bagi kebanyakan orang bukan peristiwa atau
masalah yang penting untuk dipublikasikan.
Namun bisa dipahami bahwa studi-studi tentang
kerukunan keagamaan dan konflik keagamaan, dapat dipandang
sebagai dua sisi mata uang yang saling berhubungan.
Semakin tinggi intensitas konflik keagamaan pada sebuah
komunitas umat beragama menandakan kualitas kerukunan
keagamaan pada komunitas tersebut semakin rendah.
Demikian sebaliknya, semakin tinggi kualitas kerukunan
keagamaan pada sebuah komunitas umat beragama
menandakan semakin rendah intensitas konflik keagamaan
pada komunitas tersebut.

2
Hasil penelitian Badan Litbang Agama tahun 1989/1990, memberikan contoh
tradisi hidup rukun, damai, tidak saling mengganggu antar penganut Buddha dan
Hindu sejak masa kerajaan Sriwijaya tahun 629M telah berkembang (Bahrul
Hayat. 2012. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta: Saadah Cipta
Mandiri)

xii
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Kedua, dilihat dari segi hasil penelitian, informasi yang


diberikan dari penelitian tentang kerukunan keagamaan ini juga
dapat menjadi “penyejuk” dari banyaknya informasi hasil
penelitian tentang konflik keagamaan di Indonesia yang terasa
”sumbang”. Berbagai informasi penelitian tentang konflik
keagamaan sejak era reformasi ini menunjukkan bahwa konflik
keagamaan dalam bentuk kekerasan, intoleransi dan
radikalisme keagamaan semakin meningkat.3 Sedangkan
dalam laporan penelitian kerukunan keagamaan dalam buku ini,
dengan pendekatan survei menunjukkan bahwa kerukunan
umat beragama di Indonesia masih signifikan dalam “kondisi
baik.” Tentu, hasil penelitian ini memiliki makna penting bagi
para policy maker dan pengamat sosial khususnya untuk
mengevaluasi apakah kebijakan pembangunan agama selama
ini di bidang kerukunan umat beragama sudah berjalan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia atau belum. Hasil penelitian
ini dapat dijadikan bahan evaluasi dalam kerangka untuk
meningkatkan kualitas kerukunan keagamaan yang lebih baik di
masa yang akan datang dan agar kondisi persatuan dan
kesatuan bangsa tetap terjaga secara baik.
Meskipun kondisi kerukunan keagamaan saat ini dinilai
dalam kategori “kondisi baik,” dan tradisi kerukunan itu telah
membudaya sejak lama, namun sangat disadari bahwa
penyimpangan norma sosial dan budaya dalam bentuk
letupan-letupan konflik keagamaan tidak bisa dihindari sejak
lama juga. Karena itu, pemerintah Indonesia sejak era
kemerdekaan hingga era reformasi dituntut tetap waspada
dan terus berusaha agar kerukunan keagamaan tetap terpelihara

3
Imam Tholkhah (ed). 2012. Masalah Sosial Keagamaan Peserta Didik SLTA
Pulau Jawa Jawa dan Sulawesi. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan. hlm 1-4

xiii
Prolog

dan konflik keagamaan dapat ditekan. Bagi bangsa Indonesia,


pemancangan pilar-pilar utama yang sangat fundamental
agar seluruh umat beragama tetap dalam kondisi rukun telah
dilakukan oleh para founding fathers Republik Indonesia. Pilar-
pilar itu terdapat dalam Dasar Negara NKRI Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, yang sebagian substansinya
adalah negara memberikan jaminan untuk melindungi
existensi agama, keanekaragaman penganut agama dan
kepercayaan umat beragama di Indonesia. Secara tidak
langsung, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
juga mendorong seluruh umat beragama yang berbeda-beda
itu agar dapat hidup rukun, damai, saling menghargai,
dengan motto negara Bhineka Tunggal Ika. Dalam
perkembangannya, para penguasa pemerintahan RI dalam
mempertahankan kerukunan keagamaan memiliki strateginya
masing-masing, sesuai dengan tuntutan masyarakat pada
masanya yang tentu saja memiliki kekuatan dan
kelemahannya masing-masing.
Pada Era Orde Lama, di antara upaya pemerintah untuk
membangun kerukunan nasional, termasuk kerukunan
keagamaan adalah dengan tetap mempertahan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 sesuai dengan aslinya. Selain itu
kebijakan politik Demokrasi Terpimpin dan Nasakom
dikembangkan, meskipun dalam perjalanannya mendapat
penentangan. Pada Era Orde Baru, untuk mempertahan
keutuhan bangsa dan kerukunan umat beragama Pancasila
tetap dipertahankan sesuai aslinya. Pada masa ini kebijakan
politik Demokrasi Terpimpin diganti dengan Demokrasi
Pancasila, dan kebijakan Asas Tunggal Pancasila diberlakukan
untuk semua ormas dan orpol, meskipun pada akhirnya
kebijakan ini tidak sepi dari kecaman. Pada pemerintahan era

xiv
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

reformasi, untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan juga


kerukunan umat beragama Pancasila juga tetap dipertahankan
sesuai dengan aslinya, tetapi Undang-Undang Dasar 1945
untuk merespon perkembangan zaman dilakukan aman-
demen. Pada era ini kebijakan politik demokrasi lebih liberal
dan otonomi daerah diberlakukan, meskipun kebijakan
pembinaan agama tetap dilakukan secara sentralistis.
Kementerian Agama selaku penanggung jawab
pembinaan kerukunan keagamaan juga telah lama menerbitkan
regulasi dan mengembangkan konsep-konsep kebijakan yang
bersifat normatif dan akademik. Pada aspek regulasi, era
Menteri Agama KH Moh. Dahlan, diterbitkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri, tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan
Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya.
Pada era Menteri Alamsyah Ratuperwiranegara diterbitkan
Keputusan Menteri Agama tentang Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri, yang kemudian diperkuat dengan SKB
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Tatacara
Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri
kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Pada masa Menteri
Agama Tarmizi Taher, diterbitkan Surat keputusan Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan
Kerukunan Hidup Umat Beragama. Kemudian pada masa
Menteri Agama Maftuh Basuni, dilahirkan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,

xv
Prolog

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan


Pendirian Rumah Ibadat.4
Dari aspek kebijakan yang bersifat normatif, Menteri
Agama Mukti Ali dikenal sebagai motor penggerak kerukunan
keagamaan yang mengedepankan konsep agree in disagrement
(setuju dalam perbedaan). Setiap umat beragama hendaknya
menerima adanya orang lain yang berbeda agama. Kemudian
pada masa Menteri Alamsyah Ratu Perwira Negara, kebijakan
kerukunan keagamaan dikenal dengan konsep kebijakan yang
menekankan trilogi kerukunan umat beragama, yakni
kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat
beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan
pemerintah. Pada masa Menteri Agama Munawir Sjadzali,
konsep trilogi kerukunan dilanjutkan dengan istilah Tri
Kondial (Tiga Kondisi Ideal) kerukunan umat beragama.
Kondisi bangsa akan sangat ideal kalau kerukunan intern
umat dalam satu agama, kerukunan antar umat berbeda
agama dan kerukunan antar umat beragama dengan
pemerintah terwujud. Pada era Menteri Agama Tarmizi Taher,
kementerian agama lebih memfokuskan pada kebijakan
pengembangan Bingkai Teologi Kerukunan, yang intinya
mengedepankan perlunya titik temu konsep ajaran semua
agama yang bisa dijadikan landasan kerukunan antar umat
beragama. Kebijakan-kebijakan para Menteri Agama yang
bersifat normatif tersebut terus dikembangkan oleh para
penggantinya, Menteri Agama Malik Fajar, Tolhah Hasan, dan

4
Lihat Atho’Mudhzhar .”Memelihara Kerukunan Umat Beragama: Jalan Landai
atau Mendaki.” Dalam Abdurrahman Mas’ud dkk (ed). 2011. Kerukunan Umat
Beragama dalam Sorotan: Refleksi dan Evaluasi 10 Tahun Kebijakan dan
Program Pusat Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Sekretariat Jenderal
Kementerian Agama. Hlm. 19 – 38.

xvi
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Said Aqil Husin Al Munawar. Dalam tataran praktis,


kebijakan para Menteri Agama tersebut kemudian melahirkan
berbagai kegiatan diskusi, seminar, workshop dan dialog
kerukunan keagamaan dan dialog lintas iman antar tokoh agama
pada tingkat lokal, nasional dan bahkan juga internasional.
Selain itu, organ Kementerian Agama setara eselon II yang
menangani khusus kerukunan keagamaan dikembangkan,
dengan nama Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB). Pada
era Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni hingga
Menteri Agama Suryadarma Ali, kebijakan pembinaan
kerukunan umat beragama yang bersifat normatif dan akade-
mik tetap diteruskan, dengan memperkuat pengembangan
wawasan multikultural umat beragama. Pengembangan
wawasan multikultural ini secara teknis dilakukan melalui
penekanan pendidikan agama yang bernuansa rahmatan lil
alamin dan inklusif mulai dari pendidikan tingkat dasar
hingga perguruan tinggi.5
Hasil penelitian dalam buku ini secara meyakinkan telah
menunjukkan bahwa kerukunan keagamaan secara nasional
dalam “kondisi baik.” Kondisi semacam ini tentu tidak lepas
dari serangkaian upaya pemerintah melakukan pembinaan
kerukunan keagamaan. Namun perlu dicatat, bahwa hasil
penelitian ini jangan dilihat sebagai sebuah kondisi secara
hitam putih atau kondisi yang statis. Kerukunan keagamaan
adalah sebuah kondisi yang dinamis, selalu on going process
dan selalu berubah di setiap saat. Kondisi kerukunan keagamaan
pada saat ini memang menampakkan wajah yang ramah dan
baik, tetapi pada saat yang lain mungkin akan menampakkan

5
Lihat Bahrul Hayat. 2012. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta:
Saadah Cipta Mandiri.

xvii
Prolog

wajah yang buruk, tergantung bagaimana perkembangan


lingkungan strategis di sekitarnya. Di antara lingkungan
strategis yang secara teoritik sangat berpengaruh adalah
lingkungan sosial keagamaan, ekonomi, politik dan
keamanan. Dari aspek sosial keagamaan, perkembangan
sebuah komunitas sosial yang semula penduduknya homogin
dengan keseimbangan struktur penganut paham keagamaan
tertentu, kemudian pada saat lain karena pendatang (penduduk
baru) dengan paham agama yang berbeda akan mengalami
perubahan keseimbangan struktur penganut paham
keagamaan pada komunitas sosial tersebut. Pergeseran
keseimbangan struktur penganut paham keagamaan yang
tidak adaptif dengan sistem sosial yang ada akan menjadikan
komunitas sosial tersebut menjadi rawan konflik. Kerawanan
komunitas sosial tersebut semakin rentan manakala sumber-
sumber ekonomi semakin didominasi oleh pendatang. Kondisi
ini akan berakibat penduduk asli setempat semakin melarat dan
penduduk baru semakin mampu. Kondisi kerawanan konflik ini
akan menjadi sangat rentan apabila pusat-pusat sumber
kekuasaan, khususnya pada jajaran birokrasi mengalami
pergeseran yang semakin memarjinalkan penduduk asli
setempat. Kerentanan komunitas sosial ini akan mudah
meledak apabila kondisi keamanan tidak lagi mampu
mendeteksi secara dini terhadap semakin memburuknya
kondisi kerukunan keagamaan.
Kerukunan keagamaan dapat dilihat melalui pendekatan
organisme. Pendekatan ini menggambarkan bahwa kerukunan
keagamaan di Indonesia dapat diibaratkan sebagai mahluk
hidup yang kadangkala mengalami kondisi sakit, kadangkala
sehat dan kadangkala sekarat. Hasil penelitian ini melapor-
kan bahwa kerukunan keagamaan di Indonesia dewasa ini

xviii
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

dalam kondisi kesehatan yang baik. Indikasi kesehatan


tersebut dianalisis melalui persepsi, sikap dan kerjasama umat
beragama yang dinilai cukup baik. Namun kesehatan yang baik
pada kerukunan keagamaan ini, sebagaimana juga mahluk
hidup yang lain sewaktu-waktu akan mengalami sakit, tidak
sehat manakala virus sosial berkembang. Di antara virus sosial
yang dapat menimbulkan penyakit kerukunan keagamaan
adalah adanya kelompok sosial yang intoleran, radikal atau
provokator. Virus sosial inilah yang secara langsung atau
tidak langsung melahirkan penyakit sosial dalam bentuk
konflik keagamaan. Di Indonesia konflik keagamaan ini dapat
dikatakan sudah menjadi penyakit kronis yang mengganggu
kerukunan keagamaan, dan karena itu perlu secara terus
menerus memperoleh pengobatan dan perawatan agar tidak
semakin parah.
Banyak faktor yang dapat memelihara kerukunan
keagamaan tetap dalam kondisi sehat. Di antara faktor tersebut
adalah pengembangan persepsi yang positif antar umat yang
berbeda faham keagamaan. Persepsi positif ini semacam
antibody, ketahanan diri yang memang sudah melekat pada
diri seseorang. Persepsi positif merupakan fitrah manusia
sebagai mahluk sosial yang sama-sama ingin selalu berteman
dan hidup berkelompok. Dorongan internal yang positif ini
meminjam teori Maslow, karena adanya kebutuhan dasar
manusia untuk memperoleh rasa aman dan kasih sayang
sesama manusia. Dorongan kebutuhan dasar untuk
memperoleh rasa aman dan kasih sayang ini diperkuat oleh
motif atau keyakinan keagamaan yang mengajarkan bahwa
hidup rukun, hidup damai merupakan ajaran agama yang
akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat yang harus
ditaati dan disebarluaskan.

xix
Prolog

Akhirnya, temuan hasil penelitian yang menjelaskan


bahwa kerukunan keagamaan di Indonesia dalam “kondisi
baik” dapat bermakna sebagai justifikasi terhadap budaya
bangsa Indonesia yang sesungguhnya memang mencintai
kerukunan dan kedamaian. Persepsi, sikap dan relasi sosial
bangsa Indonesia nampaknya masih tetap mengindikasikan
budaya kerukunan keagamaan masih mengakar dalam
masyarakat. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih
tetap menghargai sesama manusia, menyukai hidup rukun,
damai, toleran, gotong royong, persatuan, santun dan
menghargai adanya pluralitas paham keagamaan, meskipun
diakui bahwa penyimpangan budaya ini tetap juga exist.
Karena itu setiap umat beragama harus tetap waspada.
Selamat membaca laporan penelitian ini.

Jakarta, 21 Agustus 2013

xx
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

DAFTAR ISI

hal
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan
Keagamaan ………………………………………………… iii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI ………………………………….. vii
Prolog oleh: Prof. Dr. H. Imam Tholkhah, MA ………... xi
Daftar Isi …………………………………………………… xxi

BAB I : PENDAHULUAN ………………………….. 1


A. Latar Belakang Masalah ………………… 1
B. Permasalahan Penelitian ………………... 3
C. Tujuan dan Lingkup Penelitian ………… 4
D. Penelitian Terdahulu ..…………………… 4
E. Lokasi dan Sampel ………………………. 7
F. Paradigma ...……………………………… 9
G. Fokus Penelitian …………………………. 12
H. Instrumen Pengumpulan Data …………. 17
I. Pengolahan dan Analisis Data 28

BAB II : HASIL SURVEI ……………………………... 31


Karakteristik Responden …………………... 31
Pengetahuan Berkaitan dengan Kerukunan
Beragama ……………………………………. 42
Hasil Penghitungan dengan SPSS ………… 45
Hubungan Indeks Kerukunan dengan
Karakteristik Responden ………………….. 47
Sebaran Indeks Kerukunan Berdasarkan
Provinsi ……………………………………… 52

xxi
Daftar Isi

Hubungan Antarvariabel …………………. 53


Catatan untuk Nilai Korelasi ……………….. 54

BAB : PENUTUP …………………………………… 55


A Kesimpulan ………………………………. 55
B Rekomendasi ……………………………... 58

DAFTAR PUSTAKA 61

xxii
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

I ndonesia sering dilihat sebagai contoh bagaimana


masyarakat dengan beragam etnik dan agama bisa
hidup rukun dengan tanpa memunculkan masalah yang
berarti dalam jangka waktu yang cukup lama. Penilaian seperti
ini mungkin benar jika melihat potret masyarakat Indonesia
pada umumnya yang mementingkan harmoni dan mempunyai
toleransi yang cukup tinggi akan perbedaan di antara mereka.
Meskipun demikian, penilaian seperti itu sebenarnya tidak
sepenuhnya benar, mengingat masyarakat Indonesia sendiri
menyadari akan rentannya hubungan di antara mereka dan
juga mengalami seringnya konflik yang berlatar belakang
agama. Oleh karena itu, membangun kerukunan umat
beragama telah lama menjadi perhatian dan upaya pemerintah,
karena hubungan antarumat beragama di Indonesia bukan saja
sering memunculkan masalah tetapi juga telah menimbulkan
konflik berkepanjangan. Klimak dari hubungan yang tidak
baik antara pemeluk agama di Indonesia ini adalah terjadinya
konflik SARA di Ambon dan Poso yang dinilai banyak orang
sebagai konflik berlatar belakang agama, yakni antara pemeluk
Islam dan Kristen. Konflik-konflik ini dikatakan sebagai konflik
agama, karena bukan rahasia lagi bahwa kalangan yang terlibat
di dalamnya telah memakai bendera agama masing-masing
dan menegaskan adanya kepentingan agama yang mengiringi
perjuangan mereka.

1
Bab I. Pendahuluan

Hal lainnya adalah lemahnya pengawasan oleh peme-


rintah terhadap perkembangan agama di Indonesia. Peme-
rintah pada masa Orde Baru, misalnya, kurang memperhatikan
pola-pola dakwah keagamaan yang dilakukan oleh beragam
pemeluk agama yang ada. Aparat pemerintah tidak mempu-
nyai kepedulian terhadap kemungkinan kerusuhan yang di-
timbulkan oleh lalainya mereka dalam mengawasi pola
pengembangan agama di daerahnya. Meskipun sudah banyak
kasus terjadi, aparat di bawah kurang memahami apa yang
harus mereka lakukan, sehingga ketika suatu pelanggaran
terjadi dan memunculkan masalah mereka tidak dapat
mengatasinya karena hal itu di luar pengetahuan mereka.1
Bahkan bisa dikatakan bahwa dalam beberapa kasus terdapat
aparat pemerintah yang kelihatan kurang peduli dengan
perkembangan keagamaan di daerah mereka, sementara dalam
beberapa kasus lainnya mereka justru terlihat terlibat dalam
pengembangan agama tertentu di daerahnya. Jadi dalam hal ini
mereka bukan saja tidak membantu meningkatkan kerukunan
atar umat beragama di daerahnya, bahkan memihak terhadap
pengembangan agama tertentu.
Konflik-konflik keagamaan yang ada nampaknya muncul
karena rasa perbedaan dalam hal pemelukan agama dan
bahkan rasa permusuhan karena perbedaan agama yang
berkembang bukan saja di kalangan mereka yang mengalami

1
M. Natsir et al. (2005) dalam Laporan Penelitian tentang Pemetaan Kehidupan Beragama
di Lombok mengatakan bahwa secara umum ada dua penyebab terjadinya konflik sosial. Pertama,
pada tataran makroskopik, konflik sosial disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah dalam segala
bidang yang sentralistik dengan dampak ketimpangan dan ketidakadilan dalam bidang ekonomi,
hukum, politik dan budaya. Kedua, pada tataran mikroskopik, konflik sosial bernuansa agama
sebagai akibat dari adanya kebijakan yang kurang memperhatikan kehidupan sosial keagamaan
masyarakat lokal.

2
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

konflik melainkan juga di antara mereka para pemeluk agama


pada umumnya.
Keadaan seperti itu tentu saja tidak menguntungkan bagi
persatuan dan kesatuan sebagai bangsa, sebab perpecahan
bukan saja akan menghambat pembangunan pada umumnya
tetapi juga menghilangkan semangat untuk membangun itu
sendiri. Ini berarti bahwa ketahanan nasional di bidang agama
akan menurun, yang dapat berakibat pada melemahnya
persatuan sebagai bangsa. Konflik antara Islam dan Kristen ini
akhirnya bersifat laten, yang bisa muncul lagi setiap saat di
masa mendatang. Situasi ini bahkan dikawatirkan akan lebih
memburuk, mengingat di antara pemeluk kedua agama
tersebut telah muncul orang-orang yang sangat radikal dan
fanatik. Dengan adanya keadaan seperti ini bukan saja
pemantauan oleh pemerintah harus dilakukan tetapi juga
upaya menurunkan ketegangan dengan menumbuhkan sikap
tasamuh (toleran) harus dilakukan oleh para pemimpin agama.
B. Permasalahan Penelitian
1. Disatu sisi agama merupakan faktor integratif yang
mendorong para pemeluknya untuk bersatu dan menyadari
kebersatuan mereka sebagai pemeluk agama. Di sisi lain,
pemeluk agama lebih condong bersikap “inward looking”
dan menganggap pemeluk agama lain sebagai orang luar.
Sehingga menimbulkan sikap fanatisme yang ekslusif.
2. Beberapa konflik agama sepertinya dipicu oleh fanatisme
yang berlebihan. Untuk itu sikap tersebut perlu
dikendalikan agar mampu menjadi faktor yang dinamis
untuk memperkuat keberagamaan pemeluknya tanpa
menimbulkan sikap agresif terhadap pemeluk agama lain.

3
Bab I. Pendahuluan

C. Tujuan dan Lingkup Penelitian


1. Mendapatkan data tentang variasi tingkat kerukunan umat
beragama di Indonesia.
2. Menggali faktor yang berpengaruh terhadap hubungan
antarumat beragama tersebut.
3. Memberikan informasi kepada pemerintah daerah tentang
tingkat kerukunan dan sekaligus kerawanan berkaitan
dengan masalah hubungan antarumat beragama di
daerahnya.
4. Memberikan gambaran peta indeks kerukunan umat
beragama di Indonesia yang terintegrasi dalam bentuk data
GIS (Geographic Information Systems).
Sedangkan lingkup penelitian ini terutama mengenai
hubungan sosial antarumat beragama di Indonesia yang terjadi
di seluruh provinsi.
D. Penelitian Terdahulu
Kementerian Agama telah berusaha untuk mendapatkan
gambaran tentang kerukunan antarumat beragama ini dengan
menggali masalah kerukunan tersebut dan mencatatkan
tingkatan serta indeksnya. Dengan demikian, dapat diketahui
variasi tingkat kerukunan antara pemeluk agama di berbagai
daerah yang diteliti. Dalam tahun 2009, para peneliti
Kementerian Agama melakukan penelitian berkaitan dengan
kerukunan ini di daerah Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan di
26 kabupaten di Jawa Barat dan menghasilkan angka indeks
kerukunan di masing-masing kabupaten yang diteliti.
Pengukuran terhadap tingkat kerukunan ini adalah dengan
menempatkan kabupaten yang diteliti ke dalam kategori,
rukun atau harmonis dan tidak harmonis.

4
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Penelitian yang sama dilakukan pula di Jawa Timur dan


Lampung oleh Kementerian Agama, dengan tujuan yang sama
dengan membidik sasaran yang sama pula, yakni hubungan
antarumat beragama di dua wilayah provinsi tersebut. Hasil
yang didapat dari penelitian ini hampir sama dengan penelitian
yang dilakukan sebelumnya di Jawa Barat. Kesimpulannya
adalah ditemukannya variasi tingkat kerukunan di berbagai
wilayah kabupaten di Jawa Barat dan Lampung ini mulai dari
yang “tidak rukun” sampai pada yang “harmonis”.
Penelitian ini memakai kuesioner sebagai instrumen
utama dalam mengumpulkan datanya. Data-data telah dikla-
sifikasi ke dalam empat dimensi (variabel besar), yang
kemudian dirinci ke dalam iten-item pertanyaan (variabel
kecil). Masing-masing variabel ini kemudian diurutkan secara
rangking ke dalam empat tingkatan, yaitu dari yang paling
tidak rukun sampai pada yang harmonis. Selanjutnya data hasil
analisis statistik memperlihatkan mana saja kabupaten dengan
keadaan yang tidak rukun dan mana saja kondisi kabupaten
yang diwarnai oleh kerukunan.
Hasil yang didapat dari penelitian ini memang telah
memberikan gambaran tentang indeks kerukunan di berbagai
kabupaten yang diteliti. Tingkat kerukunan dan ketidak-
rukunan bisa dilihat dari hasil angka uji statistik terhadap
jawaban para responden. Gambaran kerukunan ini juga telah
dijelaskan secara lebih jauh melalui hasil wawancara mendalam
terhadap para tokoh agama dan masyarakat umum.
Selain penelitian-penelitian tersebut, Puslitbang Kehidup-
an Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
telah melakukan kegiatan Dialog Pengembangan Wawasan
Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah.

5
Bab I. Pendahuluan

Kegiatan unggulan yang dilakukan setiap tahun sejak 2002 ini


kini sudah sampai provinsi ke-31 (tersisa Provinsi DKI Jakarta
dan Banten). Kegiatan yang berupaya menyerap nilai-nilai
kearifan lokal di berbagai daerah ini antara lain menunjukkan
bahwa secara umum kondisi bangsa Indonesia adalah kondusif
rukun. Hal ini terlihat dari masih efektif berlakunya berbagai
kearifan lokal di berbagai daerah yang dikunjungi, seperti:
dalihan na tolu, menyama braya, sauyunan, dan sebagainya. Hanya
saja memang terdapat beberapa kasus keagamaan yang turut
menjadi tantangan bagi kondisi rukun tersebut. Survei
kerukunan ini kiranya dapat mengonfirmasi (atau mungkin
memberikan gambaran lain) kondisi faktual bangsa Indonesia
tersebut di atas.
Kegiatan penelitian yang dilakukan CSIS (2012) misalnya
menunjukkan kondisi intoleransi yang kian meningkat. Hasil
survei ini menyebutkan, sebanyak 59,5% responden tidak
berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain, dan
sekitar 33,7% lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian
dilakukan pada Februari 2012 lalu di 23 provinsi dan
melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan
rumah ibadat agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2%
responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan.
Hanya 22,1% yang tidak berkeberatan. Meski sebagian orang
percaya dengan hasil survei ini, namun tak kalah banyak yang
meragukannya.
Survei nasional tentang peta kerukunan umat beragama
kali ini kiranya dapat memberikan gambaran lain tentang
kondisi sesungguhnya kondisi faktual lapangan yang bersifat
nasional. Untuk lebih mempertajam penelitian Kerukunan ini

6
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

dan mendapatkan indeks kerukunan untuk seluruh daerah di


Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2012 ini berusaha
memperlebar penelitian masalah kerukunan tersebut dengan
menjadikan seluruh provinsi sebagai lokasi penelitian.
E. Lokasi dan Sampel
Wilayah yang disurvei untuk penelitian ini adalah 33
provinsi yang ada di Indonesia dengan masing-masing provinsi
diambil 100 orang sampel, sehingga jumlah keseluruhan
sampel adalah 3.300 responden. Dengan pengambilan lokasi
sampel sebanyak ini diharapkan survei akan dapat
merepresentasikan jawaban atau sikap seluruh masyarakat
beragama dalam hal hubungan mereka dengan pemeluk agama
lainnya. Dalam survei ini, ibukota provinsi dijadikan sebagai
lokasi penelitian, di mana para responden dipilih secara
purposif untuk memenuhi heterogenitas yang ada. Pemilihan
ibukota provinsi didasarkan pada pertimbangan besarnya
pluralitas penduduknya dari sisi kepemelukan agama. Di
samping hal itu, para penganut berbagai agama di wilayah ini
lebih terbuka selain lebih diperkenalkan atau terekspos kepada
situasi yang sering mendatangkan ketegangan dalam
hubungan antarmereka. Pertimbangan yang terakhir adalah
karena mereka juga dari sisi keterdidikan mempunyai level
lebih tinggi dari pada masyarakat beragama di kota-kota
kabupaten di luar ibu kota provinsi.
Pengambilan data diawali dengan pemilihan
kota/kabupaten di Indonesia yang merupakan ibukota provinsi,
serta menentukan 2 kecamatan dengan memperhatikan
hetrogenitas 6 (enam) pemeluk agama. Selanjutnya dipilih

7
Bab I. Pendahuluan

secara random 5 (lima) kelurahan yang terdapat di kota


bersangkutan. Tahap selanjutnya adalah memilih 10 rumah
tangga yang dilakukan secara random dalam kelurahan terpilih
yang menjadi responden.
Gambar 3.
Proses Pengambilan Sampel

Tahap pertama :
Penentuan Kabupaten/Kota
(Ibukota Provinsi)

Tahap kedua :
Penentuan Kecamatan
(ambil 2 kecamatan)

Tahap ketiga :
Penentuan Kelurahan
(ambil 5 kelurahan)

Tahap Keempat :
Setiap kelurahan dipilih
Diplih 10 Rumah Tangga

Dalam pengambilan sampel di kelurahan ini, tahap


pertama adalah mengambil data keluarga dengan berdasarkan
pada kepemelukan 6 agama yang ada. Pada kota-kota di mana
agama selain Islam dominan, maka pengambilan responden
disesuaikan sebagai berikut: untuk lokasi Bali, dalam kelurahan

8
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

yang dijadikan sampel diambil 3 orang responden pemeluk


agama Hindu, 3 responden dari Islam dan 1 orang responden
dari Kristen, Katolik, Budha dan Konghucu. Untuk lokasi
Manado dan Papua serta NTT, maka diambil 4 orang
responden beragama Kristen dan Katholik, 3 orang beragama
Islam dan masing-masing 1 orang responden beragama Hindu,
Buddha dan Konghucu.
F. Paradigma
Konflik keagamaan yang diawali oleh keadaan yang tidak
rukun antarpara pemeluk agama yang berbeda muncul karena
adanya beberapa faktor penyebab. Untuk lebih jelasnya
keterkaitan berbagai faktor ini dengan konflik atau keadaan
tidak rukun bisa diturunkan dalam variabel-variabel berikut:
1. Variabel Norma dan Ajaran.
Ajaran yang ada yang mempengaruhi tingkah laku dan
tindakan seorang Muslim berasal dari al Quran dan hadits
(mungkin juga ijma). Ajaran ini diinterpretasi dan
diinternalisasi. Karena ajaran yang ada sangat bersifat umum,
hal ini memungkinkan munculnya berbagai interpretasi. Hal ini
juga dimungkinkan karena setiap anggota masyarakat Muslim
mengalami sosialisasi primer yang berbeda, di samping
pengalaman, pendidikan dan tingkatan ekonomi yang juga
tidak sama. Dari hasil interpretasi ini muncullah apa yang
diidealkan berkaitan dengan kehidupan masyarakat Islam
(baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur). Termasuk dalam hal ini
adalah pengakuan bahwa interpretasinya adalah yang paling
benar, sehingga menafikan interpretasi kalangan lain, seperti
terlihat dalam gerakan purifikasi. Dalam agama lain, hal seperti

9
Bab I. Pendahuluan

ini juga bisa terjadi, dengan situasi dan faktor penyebab yang
mungkin sama.
2. Variabel Pemahaman.
Pemahaman adalah kelanjutan dari penafsiran terhadap
ajaran. Dalam kasus masyarakat Islam diasumsikan bahwa di
sana ada beberapa paham umum yang muncul setelah
masyarakat menafsirkan ajaran Islam. Pemahaman ini
merupakan penerapan manhaj tertentu dalam menafsirkan teks
al Quran maupun hadits. Karena pemahaman bisa berbeda,
tindakan atau sikap dalam hubungannya dengan agama lain
juga bisa berbeda. Variabel pemahaman ini bisa saja diwarnai
oleh perbedaan yang mencolok antara satu daerah dari daerah
lainnya.
3. Variabel Sikap.
Variabel ini muncul ketika variable kedua dihadapkan
dengan kondisi sosial nyata dalam masyarakat. Hal ini
termasuk di dalamnya adalah faktor-faktor domestik dan
internasional. Hegemoni politik oleh negara atau represi yang
dilakukan oleh kelompok apapun terhadap umat Islam akan
melahirkan respon yang berbeda dari berbagai kelompok yang
ada. Meskipun demikian, sejauh ancaman hegemoni tadi
menyangkut kedirian Islam sebagai agama atau umat Islam
sebagai masyarakat, maka respon kalangan Islam akan sama,
karena mereka juga terikat oleh ajaran bahwa “sebagai sesama
umat Islam, mereka adalah bersaudara”.
4. Variabel Persepsi
Persepsi adalah penilaian yang dalam hal ini terhadap
kelompok agama lain, baik mengenai gambaran umumnya,

10
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

masyarakatnya ataupun apa yang dilakukan oleh masyarakat


agama lain bersangkutan. Konflik-konflik yang muncul antara
pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama lainnya bisa
berasal dari adanya persepsi yang keliru atau pandangan jelek
terhadap agama lain dan pemeluknya. Persepsi ini muncul
setelah mereka melihat dan memberikan penilaian terhadap
kelompok agama lain tersebut yang dianggapnya merugikan
agama atau kelompok mereka. Dengan demikian pemahaman
terhadap variabel ini menjadi penting mengingat hal ini akan
memberikan gambaran kenapa hubungan sosial antarpemeluk
agama memanas dan kenapa suatu konflik terjadi.

Gambar 1:
Hubungan Antarpemeluk Agama dalam Konteks
Faktor-Faktor Berpengaruh

11
Bab I. Pendahuluan

G. Fokus Penelitian
Secara teoritis sikap dan juga tindakan seseorang sangat
dipengaruhi baik oleh nilai yang hidup dalam diri orang
bersangkutan atau yang hidup dalam masyarakat yang
mengelilinginya. Nilai itu selain berasal dari ciptaan manusia –
sebagai produk kebudayaan – juga bisa berasal dari ajaran-
ajaran agama yang dalam kehidupan masyarakat beragama
bisa saja merupakan faktor dominan. Tanpa menyederhana-
kan permasalahan yang ada, nilai-nilai atau norma-norma
yang hidup dalam masyarakatlah yang memengaruhi anggota
masyarakat untuk bersikap dan bahkan mendorong tindakan-
tindakan tertentu, sehingga dalam hal ini nilai dan norma
tersebut, termasuk juga pandangan hidup (world view),
merupakan faktor dominan yang mengerahkan baik itu sikap,
pandangan maupun persepsi manusia yang dalam kasus
penelitian ini terhadap kelompok lainnya.
Meskipun demikian, sikap sosial seorang pemeluk agama
atau bahkan tindakan-tindakan tertentunya bisa merupakan
respon terhadap tindakan yang dilakukan oleh pemeluk
agama lain atau terhadap kondisi kehidupan yang diciptakan
oleh pemeluk agama lain tersebut. Meskipun ajaran bisa saja
berpengaruh terhadap sikap seorang pemeluk suatu agama,
unsur sosial atau kondisi sosial politik biasanya lebih
mendorong dalam memunculkan sikap dalam kaitannya
dengan pemeluk agama lain tersebut.
Survei ini melihat kecenderungan umum berkaitan
dengan masalah kerukunan antarumat beragama. Untuk
ketajaman atau fokus telaahan, beberapa variabel dijadikan
sebagai sasaran. Dalam penelitian pola hubungan antara
pemeluk agama ini – dengan maksud melihat unsur

12
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

primordialismenya atau sikapnya terhadap kelompok agama


lain – variabel target yang menjadi fokus penglihatan adalah :
1. Persepsi, yakni aspek kehidupan yang masuk dalam
wilayah penilaian para pemeluk agama dalam kaitannya
dengan pemeluk agama lainnya. Dalam tindakan sosial
atau sikap yang muncul, persepsi atau penilaian biasanya
mendahului tindakan tersebut. Dengan kata lain, persepsi
biasanya mendorong lahirnya sikap atau bahkan tindakan.
Akan tetapi dalam penelitian ini persepsi didudukan
sebagai variabel dependen karena persepsi terhadap
pemeluk agama lain juga dipengaruhi oleh norma atau
world view yang dipunyai oleh para pemeluk agama
bersangkutan.
2. Sikap, yakni pendirian yang diperlihatkan oleh para
pemeluk agama yang berupa respon terhadap pemeluk
agama lainnya. Aspek ini akan menggambarkan apa yang
akan dilakukan oleh pemeluk agama sehubungan dengan
hadirnya fakta sosial di hadapan mereka. Sikap yang
dimaksud di sini bisa berupa tindakan, tetapi bisa juga
berupa tindakan “diam”. Tetapi dalam penelitian ini sikap
akan diungkapkan melalui pernyataan-pernyataan.
3. Kerjasama, yakni aspek hubungan sosial antara para
pemeluk agama yang berbeda. Persepsi atau penilaian
selain bisa mendorong lahirnya sikap juga bisa melahirkan
tindakan-tindakan kerjasama. Jadi kalau sikap lebih
merupakan tindakan ke dalam dalam artian belum
melahirkan tindakan nyata berkaitan dengan hubungan
mereka dengan pemeluk agama lain, kerjasama adalah
realitas hubungan sosial. Kerjasama dalam hal ini bisa
diperlihatkan, misalnya, dalam tindakan gotong royong

13
Bab I. Pendahuluan

untuk kepentingan bersama atau saling menolong.


Gambar 2:
Unsur Variabel yang Saling Berpengaruh

Kelas/Golongan
(Intervening variable)

Ajaran Agama/ - Persepsi


Norma/World - Sikap
View(Independent - Kerjasama
variable)
(Dependent variable)

Pendidikan
Gender
(Intervening variable)

Ketiga dimensi di atas bisa menggambarkan


kecenderungan-kecenderungan dalam kaitannya dengan
kerukunan hidup beragama. “Persepsi” dalam hal ini berkaitan
dengan penilaian pemeluk suatu agama terhadap pemeluk
agama lainnya dalam berbagai segi kehidupan sosial mereka.
Persepsi ini disamping dipengaruhi oleh unsur-unsur yang
bersifat normatif, seperi ajaran agama, juga dipengaruhi oleh
event-event sosial yang mengelilingi kehidupan mereka.
Sementara itu “sikap” dan “kerjasama” adalah unsur-unsur
yang berkaitan dengan tindakan sosial masyarakat beragama.
Dalam penelitian ini ketiganya dijadikan sebagai indikator dari
bidang-bidang yang biasanya dianggap sebagai wilayah
kerukunan, yaitu toleransi dan solidaritas. Dengan pemahaman

14
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

seperti ini menjadi jelas bahwa ketiganya merupakan variable


dependen yang mengekspresikan tingkat solidaritas dan
toleransi dalam kehidupan beragama masyarakat. Bahkan lebih
jauh bisa dikatakan bahwa ketiganya mengindikasikan tentang
sejauhmana masyarakat yang barsangkutan secara keseluruhan
cohesive atau rentan terhadap konflik.
Selain ketiga dimensi kerukunan di atas, survei ini juga
mengidentifikasi identitas responden, dan dimensi pengetahu-
an yang dimilki responden. Kedua dimensi ini terdiri dari
variable baik yang berupa identitas, seperti jender dan agama,
maupun variable lainnya yang berkaitan dengan pengetahuan
responden tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
antarumat beragama. Selain itu, dimensi ini juga mengeksplor
pengetahuan tentang ajaran agama yang menjadi pedorong
atau juga membatasi tindakan-tindakan responden dalam hal
hubungan mereka dengan mereka yang berasal dari agama
lain.
Survei kerukunan umat beragama ini merujuk pada teori
Bogardus2. Teori ini dijadikan sebagai kerangka acuan dalam
memandang kerukunan hubungan antarumat beragama di
Indonesia. Dalam teori ini terdapat 7 tingkatan yang
menunjukan intimasi atau kedekatan seseorang terhadap orang
lain baik yang tidak senegara, termasuk juga tidak seagama.
Teori ini dengan kata lain untuk mengukur seberapa dekat
hubungan si X dengan orang lain (Y, Z, A dsb) yang berasal
dari negara-negara lain. Kedekatan tidaknya hubungan ini
ditandai dengan sikap pilihan si X yang mendudukkan orang-
orang lain tersebut. Jika X menempatkan Y dengan mau

2
Bogardus, Emory S. (1933). "A Social Distance Scale." Sociology and Social Research 17
(1933): 265-271.

15
Bab I. Pendahuluan

menerimanya, misalnya, sebagai anggota keluarga melalui


perkawinan, maka hubungan tersebut sangatlah dekat yang
oleh karenanya mendapatkan nilai bobot tertinggi, yaitu 7.
Hubungan yang sangat rendah ditandai oleh pilihan si X
tersebut ketika dia menempatkan orang lain tersebut, yang
dalam kasus Bogardus adalah bangsa asing, hanya sebagai
orang yang boleh masuk ke negaranya. Bobot nilai hubungan
tersebut adalah satu (1).
Namun demikian, penglihatan pola hubungan seperti ini
tidak sepenuhnya dipakai, mengingat adanya beberapa
kelemahan ketika hal tersebut dipakai untuk melihat keintiman
atau kedekatan hubungan sosial antara pemeluk yang berbeda
agama di suatu negara. Tingkatan hubungan yang
dikonsepsikan Bogardus tidak selamanya bisa dilihat
berjenjang seperti itu, mengingat dua variabel jenjang yang ada,
misalnya, bisa saja memperlihatkan keintiman atau jarak sosial
yang sama dalam praktek kehidupan masyarakat. Selain itu,
terdapat juga variabel antara (intervening variables) yang ikut
berpengaruh terhadap pilihan hubungan yang dilakukan
seseorang.Oleh karena itu untuk keperluan survei ini yang
dipakai dari teori skala hubungan sosial Bogardus adalah ide
umumnya saja, sedangkan skala penjenjangannya dilakukan
dengan memecah suatu variabel ke dalam beberapa jenjang
hubungan. Misalnya seorang responden akan ditanya tentang
kawin dengan kalangan agama lain. Para responden akan
diminta memilih mulai dari jawaban “senang sekali” sampai
pada jenjang “sangat tidak senang sekali” atau dalam bahasa
yang sederhana mulai dari menerima kawin antara pemeluk
agama berbeda sampai pada “menolak perkawinan beda
agama”. Dengan demikian, variabel jawaban yang dibuat

16
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Bogardus, misalnya, tidak lagi dijenjangkan melainkan akan


dikomparasikan dan dilihat skor jenjang dalam masing-masing
variabel tersebut. Hasil dari skoring beberapa variabel tersebut
– yang tentunya tidak terbatas atau bahkan berbeda dari yang
dibuat oleh Bogardus –dijumlahkan bobotnya. Dengan analisis
statistik kelihatan baik variasi, mean dan mediannya, termasuk
tentu saja kecenderungan pada umumnya.
Dengan demikian hasil penelitian atau survei ini
memperlihatkan pola kerukunan di masing-masing provinsi
yang diteliti. Index kerukunan secara umum bisa dihasilkan,
yang sekaligus menggambarkan variasi kerukunan, mulai dari
yang tertinggi sampai yang terendah. Indeks ini hanyalah
gambaran umum, yang bisa jadi provinsi yang berindex X sama
mempunyai problematika kerukunan yang berbeda. Di sini
hasil depth interview menjelaskan perbedaan-perbedaan ini.
Dengan indeks seperti itu setidaknya pemerintah sebagai pihak
yang mempunyai otoritas dalam mengatur hubungan umat
beragama, termasuk pemerintah daerah, dapat memberikan
rambu-rambu atau bahkan membuat program pemberdayaan
untuk memperkuat hubungan antarumat beragama di daerah
masing-masing.
H. Instrumen Pengumpulan Data
Pengumpulan data mengenai kerukunan antarumat
beragama ini dilakukan melalui kuesioner. Dengan cara ini
diharapkan bisa tergambar generalisasi pola hubungan
antarumat beragama yang ada. Hubungan yang dimaksud
berkaitan dengan tingkat keintiman (intimacy) atau bahkan
sebaliknya kebencian yang menyertainya. Dengan kata lain,
kerukunan hubungan antarumat beragama ini akan diukur
melalui seberapa jauh para pemeluk agama menentukan jarak

17
Bab I. Pendahuluan

sosial mereka terhadap para pemeluk agama lainnya.


Pertanyaannya adalah apakah hubungan antarpemeluk agama
tersebut berjalan normal dalam artian tidak disertai adanya
prejudice atau bahkan kebencian atau sikap lainnya yang bisa
memunculkan ketegangan atau bahkan konflik. Dalam bahasa
yang lebih sederhana, penelitian survei ini melihat sejauhmana
keharmonisan menyertai hubungan mereka.
Ketiga dimensi yang menjadi fokus survei ini, yaitu
“persepsi”, “sikap” dan “kerjasama”, dijelaskan melalui
beberapa indikator yang dirumuskan melalui item-item
pertanyaan dalam kuesioner. Indikator yang memperlihatkan
tiga dimensi di atas diberi bobot, mulai dari yang paling rendah
sampai yang paling tinggi. Dalam jawaban pada kuesioner,
para responden diminta untuk memilih salah satu dari 5
jawaban. Jawaban tersebut diberi nomor secara berurut mulai
dari no.1 sampai no.5. Kelima jawaban yang ada tentu saja
tidak memperlihatkan arti apa-apa bagi responden selain
bahwa mereka diminta untuk memilih satu saja jawaban yang
dirasa sesuai dengan pandangan, pendapat dan persepsi
mereka.
Penomoran jawaban tersebut sebenarnya sekaligus
memberikan bobot, yang mengindikasikan potensi kerukunan
pada diri para responden. Pembobotan ini, yang tentunya
hanya diketahui oleh para peneliti, dijadikan alat ukur
berkaitan dengan tingkat kerukunan, di mana jawaban
berbobot 5 adalah menunjuk pada tingkat kerukunan yang
tinggi. Penomoran ini menjadi penting mengingat jawaban
dalam kuesioner tidak berformat sama, melainkan tergantung
pada pertanyaannya. Dalam kuesioner terdapat pertanyaan
yang memerlukan jawaban “sangat setuju” sampai “sangat

18
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

tidak setuju”, pembobotan jawaban seperti ini merujuk pada


skala Likert yang lazim digunakan dalam penelitian survei.
Pembobotan jawaban dalam skala Likert pada umumnya
berjumlah ganjil: 3, 5, 7 dan seterusnya. Dalam penelitian ini
ditetapkan 5 variasi, artinya 1 – 5, yang dianggap sudah cukup
untuk mengakomodasi semua variasi jawaban yang diberikan
para responden. Bahkan dalam deskripsi temuan pada laporan
penelitian bisa disederhanakan lagi menjadi 3, yakni (1) tidak
setuju, (2) kurang setuju, dan (3) setuju, dengan
menggabungkan nilai ekstrim 1 (sangat tidak setuju) dengan 2
(tidak setuju), dan nilai ekstrim 5 (sangat setuju) dengan 4
(setuju).
Selain itu terdapat beberapa pertanyaan yang tidak bisa
dijawab “setuju” atau “sangat tidak setuju” seperti di atas.
Merujuk pada skala Thurstone jawaban untuk pertanyaan-
pertanyaan ini berbentuk narasi kalimat, di mana nomor yang
menandai jawaban tersebut menunjukkan bobot atau tingkat
kerukunannya. Pada beberapa penelitian lain variasi jawaban
bisa lebih dari 5, tetapi dalam penelitian ini ditetapkan 5 opsi
jawaban yang terdapat dalam satu kontinuum dengan nilai 1
pada kutub negatif dan 5 pada kutub positif. Dengan kata lain,
jawaban pada kuesioner ini yang disusun berupa narasi kalimat
juga diberi bobot dengan tingkatan yang sama, yaitu dari 1
sampai 5. Perlu dijelaskan bahwa pembobotan yang seragam
ini merupakan persyaratan apabila diperlukan pengolahan data
secara statistik untuk memperlihatkan kedekatan hubungan
antarvariabel dengan penggunakan prosedur analisis faktor.
Dalam dimensi “persepsi” terdapat 5 variabel
(pertanyaan), sementara dalam dimensi “sikap” dan “kerja-
sama” masing-masing secara berurut terdapat 8 dan 5 variabel,

19
Bab I. Pendahuluan

yang kesemuanya merupakan alat untuk mengukur tingkat


kerukunan. Jadi, nilai rata-rata semua variabel yang
menunjukkan “persepsi” digabung, yang hasil keseluruhannya
memperlihatkan indeks kumulatif tingkat kerukunan (dalam
satu dimensi). Demikian juga dengan dimensi “sikap” dan
“kerjasama”, yang masing-masing variabelnya digabung dan
dihitung untuk didapatkan nilai dan tingkat kerukunan
masyarakat yang diteliti.
Indeks kumulatif yang diperoleh dari penggabungan
semua variabel dalam ketiga dimensi tersebut secara
keseluruhan memperlihatkan derajat kerukunan para pemeluk
agama di lokasi-lokasi yang disurvei. Tingkatan kerukunan
yang terdapat dalam masyarakat di daerah-daerah yang diteliti
dikelompokkan menjadi (1) “potensi terjadinya konflik dalam
hubungan antaragama sangat besar”, (2) “potensi terjadinya
konflik dalam hubungan antaragama cukup besar”, (3)“agak
kondusif bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama”, (4)
“kondusif bagi terciptanya kerukunan hubungan antarumat
beragama” dan (5)“kondusif bagi terpeliharanya kerukunan
dalam hubungan antarumat beragama”. Pengelompokan ke
dalam lima jenjang kerukunan ini akan didasarkan pada nilai
indeks yang dicapai setelah menghitung beragam jawaban
responden dalam kuesioner berkaitan dengan tiga dimensi
kerukunan yang dijabarkan di atas.
“Potensi terjadinya konflik dalam hubungan antaragama
sangat besar”adalah situasi hubungan antarumat beragama
yang dipenuhi oleh prejudice, bahkan tidak adanya keinginan
untuk menghormati pemeluk agama lain. Hal ini diperlihatkan
secara terang-terangan, dan bahkan saling serang dan
keengganan untuk berkomunikasi juga menandai hubungan

20
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

umat beragama tersebut. Sementara “potensi bagi terjadinya


konflik dalam hubungan antaragama cukup besar” adalah
situasi yang ditandai oleh dominannya ekslusifitas dan
keengganan untuk bekerjasama. Dengan kata lain, situasi
seperti ini diwarnai oleh intoleransi yang cukup tinggi.
Selanjutnya, situasi yang “agak kondusif bagi terciptanya
kerukunan antarumat beragama” ditandai oleh kehidupan
yang berjalan normal di mana riak-riak ketegangan tidak
terlihat lagi secara nyata. Tetapi hal ini tetap menyimpan bara
karena fanatisme dan prasangka buruk tentang agama lain
masih tersisa kuat dalam diri para pemeluk agama.
Adapun “kondusif bagi terciptanya kerukunan hubungan
antarumat beragama” adalah situasi di mana fanatisme yang
ada telah disertai oleh toleransi bahkan solidaritas yang juga
sudah diperlihatkan dalam kehidupan antarumat beragama.
Kondisi yang paling ideal adalah yang “kondusif bagi
terpeliharanya kerukunan dalam hubungan antarumat
beragama”. Dalam situasi seperti ini prasangka buruk
(prejudice) sudah sangat jauh berkurang, dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat juga sudah berjalan dengan baik,
karena masyarakat lebih memperdulikan persatuan sebagai
bangsa daripada memfokuskan diri pada fanatisme kelompok
asal (primordialisme). Mereka menyadari arti kepentingan
bangsa dan fanatisme kekelompokan yang bisa menyebabkan
disintegrasi bangsa.
Pengelompokan yang didasarkan pada indeks kumulatif
dari jawaban responden terhadap ketiga dimensi: (1) sikap, (2)
persepsi dan (3) kerja sama, yang digunakan untuk mengukur
tingkat kerukunan seperti diuraikan di atas bisa digambarkan
sebagai berikut:

21
Bab I. Pendahuluan

Jenjang Arti Indeks dalam Konteks Sebutan


Skor/Nilai Kerukunan Nilai Indeks
Indeks
Kumulatif
1 s/d 1.9 “potensi terjadinya konflik Tidak
dalam hubungan antaragama harmonis
sangat besar”
2 s/d 2.9 “potensi bagi terjadinya Kurang
konflik dalam hubungan harmonis
antaragama cukup besar”
3 s/d 3.9 “kondusif bagi terciptanya Cukup
kerukunan hubungan harmonis
antarumat beragama”
4 s/d 5 “kondusif bagi terpeliharanya Harmonis
kerukunan dalam hubungan
antarumat beragama”
1 s/d 1.9 “potensi terjadinya konflik Tidak
dalam hubungan antaragama harmonis
sangat besar”

Sebelum dilakukan survei, terlebih dahulu dilakukan uji


coba instrumen. Uji coba instrumen ini meliputi dua hal:
Pertama, uji validitas instrumen dengan menggunakan korelasi
spearman antara skor butir pertanyaan dengan total skor. Uji ini
untuk mengetahui apakah keseluruhan pertanyaan dalam
kuesioner sudah dipahami dengan baik oleh para responden.
Penggunaan kata-kata (wording) pada beberapa pertanyaan
yang ternyata kurang jelas atau mungkin juga menimbulkan

22
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

multi tafsir akan diperbaiki. Mungkin juga ada responden yang


menganggap beberapa pertanyaan tidak relevan untuk mereka,
karena itu harus ditinjau ulang untuk dikeluarkan atau diganti
dengan pertanyaan yang lebih sesuai. Kedua, uji reliabiltas
(kehandalan) instrumen dengan menggunakan koefisien Alpha
Cronbanch. Secara filosofi, instrumen yang reliabel tidak akan
berubah makna nilainya walaupun dilakukan pada tempat atau
waktu yang berbeda. Suatu instrumen penelitian mengindikasi-
kan memiliki reliabilitas yang memadai jika koefisien Alpha
Cronbach lebih besar atau sama dengan 0,70 (Zulganef, 2006).

HASIL PENGUJIAN RELIABILITAS

23
Bab I. Pendahuluan

HASIL PENGUJIAN VALIDITAS

24
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

RELIABILITAS ANTARKOTA/KABUPATEN
DEPOK

RELIABILITAS ANTARKOTA/KABUPATEN
BOGOR

25
Bab I. Pendahuluan

RELIABILITAS ANTARKOTA/KABUPATEN
BEKASI

RELIABILITAS ANTARKOTA/KABUPATEN
KOTA BEKASI

26
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

RELIABILITAS ANTARKOTA/KAB

KOTA / KABUPATEN NILAI RELIABILITAS

DEPOK 0.930

BOGOR 0.837

BEKASI 0.841

KOTA BEKASI 0.887

SELURUHNYA 0.891

KESIMPULAN
 Nilai Reliabilitas sudah bagus 0.891 (Reliabel)
 Nilai Validitas yang perlu diperhatikan hanya pertanyaan
E02 karena nilai korelasinya di bawah 0.3 (kurang valid),
alternatif solusinya dibuang atau diganti pertanyaan dan
diuji lagi.
 Instrumen tetap memiliki reliabilitas yang tinggi walaupun
diujicobakan pada daerah yang berbeda.

27
Bab I. Pendahuluan

Selain survei, data akan dikumpulkan melalui wawancara


mendalam (in-depth interview) dan pengamatan lapangan.
Melalui wawancara ini sekaligus akan terlihat faktor-faktor
yang membedakan mengapa hubungan antarumat beragama di
daerah X lebih baik daripada hubungan tersebut di daerah Y.
Wawancara mendalam yang dilakukan terhadap para informan
atau para elit strategis berdasar pada pedoman wawancara
yang telah disediakan.
I. Pengolahan dan analisis data
Pengolahan dan analisis data kuantitatif diolah dengan
menggunakan program statistik SPSS. Jawaban-jawaban
responden yang diperoleh melalui kuestioner pertama-tama
diolah untuk mendapatkan tabel frekuensi dan persentase dari
setiap jawaban pertanyaan. Secara bersamaan juga bisa
diperoleh nilai skor rata-rata berupa mean dan median dari
setiap variabel.Untuk dapat memperoleh indeks skor dari
beberapa variabel yang menanyakan tentang (1) sikap, (2)
persepsi dan (3) kerjasama,masing-masing dikolaps atau
digabung menjadi variabel komposit. Karena jawaban2
terhadap pertanyaan dibobotkan dari yang tertinggi sampai
yang terendah (1-5), Skor variabel komposit inilah yang
digunakan sebagai barometer yang menunjukkan tingkatan
persepsi, sikap dan kerjasama dari sampel yang menjadi
sumber data di masing-masing lokasi penelitian. Karena ketiga
variabel komposit ini merupakan sub-sub yang
mendeskripsikan kerukunan, maka untuk mendapatkan indeks
kerukunan ketiganya digabung.
Dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa kondisi
kehidupan sosial, ekonomi dan latar belakang budaya memang
berbeda antara satu daerah penelitian dengan daerah lainnya,

28
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

maka jika terdapat skor indeks komposit yang sama pada


beberapa lokasi penelitian, hal itu dijelaskan lebih lanjut
dengan menggunakan temuan-temuan kualitatif yang berasal
dari hasil observasi dan wawancara mendalam. Dengan kata
lain, hasil wawancara mendalam lah yang lebih menjelaskan
kecenderungan-kecenderungan yang ditemukan melalui
kuesioner, termasuk juga temuan yang menyimpang. Dalam
hal ini tidak mustahil adanya temuan dari “wawancara
mendalam” yang tidak sejalan dengan temuan survei
kuantitatif. Hal ini dapat dipahami mengingat latar belakang
sosial ekonomi serta pengetahuan para responden pada
umumnya berbeda (untuk tidak mengatakan lebih rendah)
dengan para informan yang biasanya dipilih di antara tokoh-
tokoh masyarakat yang memiliki tingkat pemahaman yang
lebih baik tentang masalah yang diteliti. Selain itu juga ada
kecenderungan sebagian responden tidak bersungguh-sungguh
dalam melakukan pengisian kuesioner, asal isi saja, tidak mau
repot-repot memikirkan jawaban yang paling sesuai dengan
predisposisi atau keyakinan mereka, terlebih apabila mereka
tidak mendapat imbalan yang sepadan dengan waktu yang
telah digunakan.
Dengan menggunakan berbagai teknik statistik dilihat
seberapa jauh terdapatnya hubungan antara variabel-variabel
yang dapat lebih menjelaskan temuan-temuan penelitian, baik
secara deskriptif maupun eksplanatori - seperti tabel silang,
asosiasi dan korelasi antar variabel serta teknik regresi yang
menjelaskan kekuatan hubungan kausalitas antarvariabel
dependen dan beberapa variabel independen. Variabel
independen, termasuk pengetahuan, meliputi tingkat
pendidikan, pekerjaan utama, tingkat penghasilan, tingkat

29
Bab I. Pendahuluan

kecukupan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup,


tingkat kepuasan terhadap kehidupan ekonomi, tingkat
religiusitas, perasaan tentang ada atau tidaknya ekslusifisme
dalam memperoleh peluang di bidang ekonomi dan pekerjaan,
keterbukaan dalam berhubungan dengan komunitas di luar
lingkungan sendiri (cosmopoliteness), mobilitas horizontal, dan
lain-lain, akan dapat menjelaskan variasi sikap, persepsi serta
tingkat kebersediaan untuk bekerjasama dengan orang-orang
bukan seagama dalam rangka menciptakan hubungan yang
harmonis dalam kehidupan beragama.

30
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

BAB II
HASIL SUVEI

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Sebaran Responden Menurut Agama

31
Bab II. Hasil Survei

Sebaran Responden Menurut Kelompok Umur

32
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

33
Bab II. Hasil Survei

34
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

35
Bab II. Hasil Survei

36
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Frekuensi Mengikuti Kegiatan Ibadah Keagamaan di Rumah


Ibadat (seperti mesjid, gereja, dsb)

37
Bab II. Hasil Survei

38
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

39
Bab II. Hasil Survei

 Sebaran Responden menurut agama (sebagai sampel) jika


dibandingkan dengan sebaran penduduk menurut sensus
BPS 2010 khusus daerah perkotaan (sebagai populasi) di
Indonesia cukup mendekati. Demikian pula dengan
sebaran kelompok umur dan tingkat pendidikan, sekalipun
nilai prosentasenya agak berbeda, akan tetapi secara pola
sebaran hampir sama. Terkecuali pada sebaran responden
berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa proporsi jumlah
perempuan agak lebih sedikit dibandingkan dengan laki-
laki. Hal ini dapat dipahami bahwa pengambilan sampel
dalam survei ini lebih banyak dilakukan terhadap orang
yang bekerja, dan sebagai konsekuensinya lebih banyak
laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Namun
demikian proporsi perempuan sebesar 33% dianggap
sudah memadai.

40
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

 Dalam karakteristik responden juga dapat digambarkan


bahwa responden sebagian besar adalah yang sudah
menetap lebih dari 10 tahun dan tidak terlalu sering
bepergian keluar kota. Hal ini diharapkan sudah terjadi
proses adaptasi dan sosialisasi di masyarakat sehingga
pemahaman dan interaksi dalam masalah kehidupan
beragama di tempat tinggalnya dapat merepresentasikan
keadaan masyarakat tersebut. Hal tersebut juga didukung
dalam hal pengamalan agamanya (frekuensi ke tempat
ibadat) cukup tinggi, kepemilikan teman beragama lain,
dan tingkat interaksi dengan agama lain. Seluruhnya
memiliki prosentase di atas 50%.

41
Bab II. Hasil Survei

Persentase Jawaban Responden


No Pertanyaan Tidak Tidak Tdk
Ada
Tahu Ada Jawab
Dalam masyarakat di sini, apakah
ada aturan atau pepatah (kearifan
B.01 lokal) yang bisa menyatukan 41.8 19.4 38.8 0.0
masyarakat meskipun berbeda
agama
Setahu bapak/ibu/sdr apakah
dalam agama yang bapak/ibu/sdr
B.02 anut terdapat ajaran untuk 19.0 5.1 75.8 0.1
bersikap toleran atau menghargai
kalangan agama lain ?
Setahu bapak/ibu/sdr apakah di
wilayah ini (provinsi tempat ting-
B.03 17.2 68.6 14.0 0.2
gal) pernah ada konflik terbuka
antarumat berbeda agama ?
Setahu bapak/ibu/sdr apakah ada
kerjasama antara tokoh berbeda
B.04 37.1 15.5 47.2 0.2
agama untuk menjaga umat ber-
agama agar tidak terjadi konflik ?
Setahu bapak/ibu/sdr, apakah ada
B.06 kebijakan/peraturan pemerintah 48.7 9.6 41.5 0.2
tentang pendirian rumah ibadat ?
RATA RATA 32.76 23.64 43.46 0.14

42
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Persentase Jawaban Responden

No Pertanyaan
Tidak Baik / Sangat Tdk
Baik Biasa Baik Jawab

Setahu bapak/ibu/sdr bagaimana


B.05 hubungan antarumat beragama 0.5 46.8 52.6 0.1
di wilayah ini?

Bagaimana perlakuan umat


B.07 agama lain terhadap bpk/ibu/sdr 0.8 76.3 22.7 0.2
dalam pergaulan sehari-hari?

RATA RATA 0.65 61.55 37.65 0.15

43
Bab II. Hasil Survei

INDEKS KERUKUNAN:
PERSPESI TENTANG KERUKUNAN
BERAGAMA
SIKAP DAN INTERAKSI ANTARUMAT
BERAGAMA
KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA

KLASIFIKASI PENILAIAN

Pemberian skala/skor jawaban untuk masing-masing


pertanyaan sudah memiliki arah yang sama (semakin besar
skala maka semakin bagus persepsinya, dengan kata lain tidak
ada pertanyaan yang nilai skalanya berbalik dengan skornya).
Skala yang digunakan dalam pertanyaan 1-5, dan dalam
pemberian skornya, skala tersebut juga diberi skor 1-5 untuk
memudahkan interpretasi. Klasifikasi penilaian didasarkan
pada skala awal (1-5) dengan mengacu pada jawaban pada
skala tersebut. Misalnya sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2),
kurang setuju (3), setuju (4) dan sangat setuju (5), atau dengan
bahasa lain yang sepadan. Oleh karena itu klasifikasi skor
dikelompokkan sebagai berikut:

44
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Jenjang Arti indeks dalam konteks Kerukunan Sebutan Nilai Indeks


Skor/Nilai
Indeks
Kumulatif

1 s/d 1.9 “potensi terjadinya konflik dalam Tidak harmonis


hubungan antaragama sangat besar”

2 s/d 2.9 “potensi bagi terjadinya konflik dalam Kurang harmonis


hubungan antaragama cukup besar”

3 s/d 3.9 “kondusif bagi terciptanya kerukunan Cukup harmonis


hubungan antarumat beragama”

4 s/d 5 “kondusif bagi terpeliharanya Harmonis


kerukunan dalam hubungan antarumat
beragama”

Hasil Penghitungan Dengan SPSS

45
Bab II. Hasil Survei

VARIABEL SKOR KLASIFIKASI

PERSESPSI TENTANG KERUKUNAN 3.77 CUKUP


ANTARUMAT BERAGAMA HARMONIS

SIKAP DAN TINDAKAN ANTARUMAT 3.61 CUKUP


BERAGAMA HARMONIS

KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA 3.61 CUKUP


HARMONIS

INDEKS KERUKUNAN (RATA-RATA) 3.67 CUKUP


HARMONIS

46
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Indeks Kerukunan Berdasarkan Jenis Kelamin Responden

Indeks Kerukunan Berdasarkan Rentang Usia

47
Bab II. Hasil Survei

Indeks Kerukunan Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Indeks Kerukunan Berdasarkan Agama

Buddha

48
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Indeks Kerukunan Berdasarkan Penghasilan

Indeks Kerukunan Berdasarkan Jenis Pekerjaan

49
Bab II. Hasil Survei

Indeks Kerukunan Berdasarkan Frekuensi Keikutsertaan dalam Ibadah


Keagamaan di Rumah Ibadat

Indeks Kerukunan Berdasarkan Kepemilikan Teman yang


Beragama Lain

50
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Indeks Kerukunan Berdasarkan Intensitas Berhubungan dengan


Teman Beragama Lain

51
Bab II. Hasil Survei

SEBARAN INDEKS KERUKUNAN BERDASARKAN


PROVINSI

52
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

HUBUNGAN ANTARVARIABEL

Persespsi
Sikap Dan
Tentang Kerjasama
Tindakan Membangun
Kerukunan Antarumat
Antarumat Kerukunan
Antarumat Beragama
Beragama
Beragama
Persespsi Tentang
Kerukunan
1 0.24 0.25 0.26
Antarumat
Beragama

Sikap Dan
Tindakan
0.24 1 0.68 0.69
Antarumat
Beragama

Kerjasama
Antarumat 0.25 0.68 1 0.71
Beragama

Membangun
0.26 0.69 0.71 1
Kerukunan

53
Bab II. Hasil Survei

 Dari tabel di atas dapat diketahui, bahwa variabel


persepsi memiliki korelasi yang rendah terhadap
lainnya. Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam
mewujudkan kerukunan, tidak cukup hanya
membangun persepsi. Akan tetapi sikap dan tindakan
antarumat beragama, cukup besar kaitannya dengan
variabel kerjasama dan membangun kerukunan.
Demikian juga kerjasama antarumat beragama sangat
berhubungan erat dengan membangun kerukunan.

54
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

D alam survei yang dilakukan, terdapat tiga variabel


yang ingin diteliti/diketahui, yaitu persepsi
tentang kerukunan beragama; sikap dan interaksi
antarumat beragama; dan kerjasama antarumat beragama.
Dalam survei ini, instrumen yang digunakan yakni
angket/kuesioner tertutup menggunakan skala Likert dengan
lima pilihan jawaban yang disediakan sehingga responden
hanya tinggal memilih saja. Kemudian angket tersebut
dianalisis dengan analisis kuantitatif, yakni setiap pilihan
jawaban diberikan skoring. Semakin positif jawaban yang
dipilih, maka semakin besar skoring yang diberikan, dan
sebaliknya.
Dari skoring yang didapat, kemudian angka tersebut
dikonversi ke skor maksimal 100. Setelah dikonversi, diperoleh
rata-rata yakni: untuk survei tentang “persepsi tentang
kerukunan beragama” diperoleh skor rata-rata 75,2; “sikap dan
interaksi antarumat beragama” memiliki rata-rata 71,9; dan
“kerjasama antarumat beragama” diperoleh rata-rata 72. Dari
hasil rata-rata yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa
kerukunan antarumat beragama sudah berada pada level baik,
namun bukan berarti kita puas dengan hasil tersebut, namun
harus dipelihara bahkan ditingkatkan lagi demi tercapainya
kehidupan beragama yang rukun, harmonis, dan selaras.

55
Bab III. Penutup

Berkaitan dengan hubungan antara variabel dan


karakteristik responden, pada bagian ini dilakukan
perhitungan tabulasi silang antara tiga variabel yang diteliti
(tentang persepsi tentang kerukunan beragama; sikap dan
interaksi antarumat beragama; dan kerjasama antarumat
beragama) dan karakteristik responden (jenis kelamin, usia,
pendidikan, agama, penghasilan, dan pekerjaan). Dalam proses
penghitungannya, masing-masing variabel yang diteliti
dihitung rata-rata total skornya terlebih dahulu (seperti yang
telah dijabarkan pada bagian sebelumnya) baru kemudian
dilakukan tabulasi silang.
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, dari ketiga
variabel yang diteliti, jenis kelamin laki-laki memliki skor total
rata-rata yang lebih tinggi dari perempuan.
Berdasarkan karakteristik usia, trendnya fluktuatif sesuai
dengan kondisi psikologisnya. Misalnya pada kelompok usia
17-24 tahun pada tingkat mahasiswa, biasanya memiliki rasa
ingin tahu yang sangat tinggi terhadap agamanya sehingga
mempengaruhi persepsi dan sikapnya. Namun diantara kelima
kelompok usia tersebut, kelompok usia di atas 55 tahun
memiliki rata-rata total skor yang tertinggi. Hal ini dikarenakan
pada kelompok usia tersebut, pengalaman hidup sudah sangat
banyak, sehingga lebih bijak dalam mengambil/memilih sikap
dan tindakan.
Berdasarkan karakteristik pendidikan, semakin tinggi
tingkat pendidikan semakin tinggi pula rata-rata total skornya.
Artinya dengan pendidikan, seseorang belajar bagaimana cara
bersikap dan bertindak. Dalam mengambil tindakan, mereka
penuh dengan pertimbangan secara rasional tentang dampak
yang akan ditimbulkan. Dengan demikian diharapkan

56
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

tindakan-tindakan main hakim sendiri ataupun yang bersifat


anarkis dapat dicegah, dan dapat mengambil sikap bijak dalam
menghadapi setiap persoalan yang berkaitan dengan keru-
kunan umat beragama.
Berdasarkan karakteristik agama, ternyata rata-rata total
skor terendah terdapat pada kelompok responden beragama
Islam dibandingkan dengan responden yang beragama lain.
Hal ini dikarenakan dalam masalah keyakinan agama (tauhid)
Islam lebih ketat dan tidak ada tawar menawar. Artinya dalam
Islam keyakinan terhadap kebenaran agama merupakan tolok
ukur keimanan seorang Muslim.
Berdasarkan karakteristik penghasilan, ternyata banyak
sedikitnya penghasilan mempengaruhi persepsi, sikap, dan
interaksi seseorang dalam bekerjasama antarumat beragama.
Berdasarkan karakteristik pekerjaan, ternyata jenis pekerjaan
PNS/TNI/POLRI yang memiliki rata-rata total skor tertinggi
secara keseluruhan. Kondisi ini juga sama dengan kelompok
responden yang tidak bekerja.
Adapun sebaran rata-rata skor variabel berdasarkan
provinsi adalah sebagai berikut: Dari tiga variabel yang diteliti,
diperoleh rata-rata total skor (dalam skala 100) untuk survei
persepsi tentang kerukunan beragama diperoleh skor rata-rata
75,2; sikap dan interaksi antarumat beragama diperoleh rata-
rata 71,9; dan kerjasama antarumat beragama diperoleh rata-
rata 72. Sedangkan rata-rata total skor (dalam skala 5) untuk
survei tentang persepsi tentang kerukunan beragama diperoleh
skor rata-rata 3,8; sikap dan tindakan antarumat beragama
diperoleh rata-rata 3,6; dan kerjasama antarumat beragama
diperoleh rata-rata 3,6.

57
Bab III. Penutup

Kemudian, untuk variabel persepsi tentang kerukunan


beragama diperoleh rata-rata total skor 3,8 dengan rata–rata
terendah 3,3 dan rata-rata tertinggi 4,3. Rata-rata terendah
terdapat di Provinsi DKI Jakarta dan Jambi. Sedangkan rata-
rata tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara.
Sedangkan untuk variable sikap dan interaksi antarumat
beragama diperoleh rata-rata total skor 3,6 dengan rata–rata
terendah 2,9 dan rata-rata tertinggi 4,3. Rata-rata terendah
terdapat di Provinsi Jambi. Sedangkan rata-rata tertinggi
terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi
Utara.
Untuk variabel kerjasama antarumat beragama diperoleh
rata-rata total skor 3,6 dengan rata–rata terendah 3 dan rata-rata
tertinggi 4,4. Rata-rata terendah terdapat di Provinsi Jambi.
Sedangkan rata-rata tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi
Utara.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan (dari ketiga variabel yang diteliti) ternyata Jambi
memiliki rata-rata terendah dan Sulawesi Utara memiliki rata-
rata tertinggi.
B. Rekomendasi
1. Pemerintah hendaknya merancang kegiatan-kegiatan yang
melibatkan banyak masyarakat dengan latar belakang
agama yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilakukan
misalnya dengan mengadakan training/pelatihan keagama-
an untuk masyarakat serta siswa siswi sekolah dalam hal
membangun kerukunan bangsa Indonesia.

58
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

2. Pemerintah mengadakan acara dialog-dialog keagamaan


yang mengusung tema pembangunan dan ketahanan
nasional dalam perspektif agama-agama dengan melibat-
kan unsur dalam masyarakat, dari tingkat daerah, provinsi
dan nasional dengan bekerja sama antardepartemen dan
pemerintah.
3. Kementrian agama perlu mengadakan seminar nasional
tentang kerukunan umat beragama tingkat daerah dengan
berdasarkan hasil penelitian ini.
4. Penelitian ini perlu dilakukan kembali dalam jangka
tertentu untuk melihat kembali apakah pola-pola dan
sistem yang diterapkan berlaku efektif atau tidak, terutama
berkaitan dengan pemilihan umum yang akan datang.

59
Bab III. Penutup

60
Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

DAFTAR BACAAN

Bogardus, Emory S (1933). “A Social Distance Scale”. Sociology and


Social research, 17: 265-271.
Endang Turmudi (1998) “The Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
in East Java and Islamic Politics In Indonesia”, Southeast
Asian Journal of Social Science, vol.26, 1998.
------------(2000), “Reformasi dan Konflik politik Antar Pendukung
Partai Islam, Studi Kasus di Jepara”, Masyarakat Indonesia ,
Jilid XXVI, No.1: pp. 137-161.
------------(ed.) 2004. Primordialisme Kesukuan & Golongan dalam
Masyarakat Indonesia Modern: Studi Kasus di Empat Daerah
(Laporan Penelitian). Diterbitkan oleh Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI),Jakarta.
------------(2004). “Patronage, Aliran and Islamic Ideologies During
Elections in Jombang, East Java” in Hans Antlov ed.
Election in Indonesia. London: Routledge-Curzon.
------------(2011). Masalah Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”
Jurnal Harmoni, vol 10, No.3. pp 512-532.
-------------“(2010). Masalah Etnik di Thailan Selatan”, JurnalHarmoni,
2010
Fuller, Graham E. (2010).A World without Islam.New York: Little,
Brown and Company.
Geertz, Clifford (1960). The Religion of Java, Glencoe, Ill: The Free Press.
------------(1973).The Interpretation of Cultures: Selected Essays, New York:
Basic Books.

61
Daftar Pustaka

Gliem, Joseph A. dan Rosemary R. Gliem (2003).”Calculating,


Interpreting, and ReportingCronbach’s AlphaReliability
Coefficient for Likert-Type Scales”. Makalah pada
Midwest Research to Practice Conference inAdult,
Continuing, and Community Education.
Jenkins, Richard(1997). Rethinking Ethnicity: Arguments and
Explorations. Thousand Oaks, Ca: Sage Publications.
M. Natsir, Pemetaan Kerukunan HidupBeragama di Lombok”, Jurnal
Penelitian Keislaman, Vol. 2, No. 1, Juni 2005.
Sijtsma, Klaas (2009). “On the Use, the Misuse, and the Very Limited
Usefulness of Cronbach’s Alpha”. Psychometrika -Vol. 74,
No. 1, 107–120, March 2009.
Smelser, Neil J. (1962). Theory of Collective Behavior. New York: The Free
Press.
Sutiyono (2010). Benturan Budaya Islam : Jakarta : Kompas.

62

Anda mungkin juga menyukai