Oleh:
Nur Ilmi Sofiah, S.Ked
04054821820039
Pembimbing:
Referat
Judul
Oleh:
Nur Ilmi Sofiah, S.Ked
04054821820039
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 15 April - 20 Mei 2019.
2
URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA
Nur Ilmi Sofiah, S.Ked
Pembimbing dr. Nopriyati, SpKK, FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venerologi
FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2019
PENDAHULUAN
Urtikaria atau hives adalah reaksi vaskular pada kulit ditandai edema setempat yang
cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, umumnya dikelilingi halo eritem (flare) disertai
rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk. Sedangkan angioedema adalah urtikaria
yang terjadi pada lapisan dermis bagian bawah atau subkutis ditandai dengan pembengkakan
jaringan, sering mengenai wajah dan membran mukosa seperti bibir, laring dan genitalia. Pada
angioedema lebih dominan rasa nyeri dari pada gatal.1,2
Frekuensi urtikaria diperkirakan sebesar 20% dari seluruh populasi, dapat terjadi pada
semua umur dan semua jenis kelamin. Urtikaria lebih sering terjadi pada wanita (60%) dan
pada kelompok usia 30-40 tahun.3 Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti.
Dari data pasien Poli Rawat Jalan Departemen Dermatologi dan Venerologi Divisi Alergo-
Imunologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2018, didapatkan prevalensi
urtikaria akut sebesar 3,0% dan urtikaria kronik sebesar 11,4%.4
Standar kompetensi urtikaria akut untuk dokter umum adalah 4A, urtkaria kronik 3A
dan untuk angioedema 3B yaitu lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara tuntas dan dapat merujuk. Oleh karena
itu, pemahaman terhadap penyebab, patogenesis, dan penanganan terhadap urtikaria dan
angioedema sangat penting. Tujuan penulisan referat ini untuk memahami epidemiologi,
etiologi, patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi,
dan prognosis urtikaria dan angioedema sehingga dapat dilakukan diagnosis dan pengobatan
secara cepat dan tepat.
DEFINISI
Urtikaria adalah suatu penyakit kulit yang ditandai dengan adanya urtika berbatas tegas,
dikelilingi oleh daerah berwarna kemerahan, dan terasa gatal. Urtikaria dapat terjadi dengan
atau tanpa angioedema. Sedangkan angioedema adalah edema mendadak pada dermis bagian
bawah dan subkutis dengan manifestasi edema sewarna kulit atau eritema pada area predileksi,
yang sering disertai keterlibatan lapisan submukosa. Kadang-kadang disertai gejala subyektif
3
nyeri atau panas, rasa gatal jarang ada. Angioedema disebut akut jika berlangsung kurang dari
6 minggu.5
EPIDEMIOLOGI
Frekuensi urtikaria diperkirakan sebesar 20% dari seluruh populasi, dapat terjadi pada
semua umur dan semua jenis kelamin. Namun orang dewasa lebih banyak mengalami
urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON (1951), menyatakan bahwa umur rata-
rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau
lebih dari 60 tahun. Secara keseluruhan, urtikaria lebih sering terjadi pada wanita (60%) dan
pada kelompok usia 30-40 tahun.6
Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti. Dari data pasien Poli Rawat
Jalan Departemen Dermatologi dan Venerologi Divisi Alergi-Imunologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2018, didapatkan prevalensi urtikaria akut sebesar 3,0%
dan urtikaria kronik sebesar 11,4%.4
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan
angioedema, dan 11% angioedema saja. Lama serangan berlangsung bervariasi, ada yang
lebih dari satu tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun. Berdasarkan data kepustakaan,
kisaran 15-20% populasi akan mengalami episode urtikaria paling tidak satu kali dalam
hidupnya, dan diperkirakan 25% dari mereka akan menderita urtikaria kronik.6
4
ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% urtikaria tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:1,5
1. Obat
Bermacam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-
imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria, contohnya ialah aspirin,
obat anti inflamasi non steroid, penisilin, sepalosporin, diuretik, dan alkohol. Sedangkan
obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan
histamin, misalnya opium dan zat kontras.
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut. Umumnya akibat reaksi
imunologik, pada beberapa kasus urtikaria terjadi setelah beberapa jam atau beberapa
hari setelah mengkonsumsi makanan tersebut. Makanan berupa protein atau bahan yang
dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering
menimbulkan urtikaria alergika. Makanan yang paling sering menimbulkan urtikaria
pada orang dewasa yaitu, ikan, kerang, udang, telur, kacang, buah beri, coklat, arbei, keju.
Sedangkan pada bayi yang paling sering yaitu, susu dan produk susu, telur, tepung, dan
buah-buah sitrus (jeruk).
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseovulfin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan
sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan
aerosol dapat menimbulkan urtikaria alergik.
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent
(penangkis serangga), dan bahan kosmetik.
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh:
Faktor dingin, yakni berenang atau memegang benda dingin.
Faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau
semprotan air. Fenomena ini disebut dermografisme.
Infeksi virus hepatitis, mononukleosis dan infeksi virus coxsackie pernah dilaporkan
sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan
kemungkinan infeksi virus subklinis.
Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab urtikaria.
Infeksi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang juga Schistosoma atau
Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria. Infeksi parasit seperti ini umumnya
paling sering pada daerah beriklim tropis.
9. Psikis
Tekanan psikis dapat menimbulkan urtikaria dengan memicu sel mast atau langsung
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Di sisi lain,
penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis menghambat eritema dan urtika.
6
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria dan angioedema, walaupun jarang
namun dapat menunjukkan penurunan autosomal dominan.
Angioedema terjadi pada lebih dari setengah pasien urtikaria spontan dan sekitar 10-
20% pasien angioedema tanpa disertai urtikaria terjadi karena obat-obatan seperti aspirin,
golongan ACE inhibitor dan AINS. Obat-obat ini mencegah degradasi bradikinin yaitu
komponen peptida yang berfungsi sebagai vasodilator yang poten sehingga terjadi akumulasi
cairan di daerah interstitium terutama pada area wajah.5
Angioedema juga dapat terjadi karena defisiensi atau disfungsi C1INH (C1-esterase
inhibitor). Defisiensi C1INH bisa bersifat herediter atau dapatan. Defisiensi C1INH dapatan
jarang ditemukan dan berhubungan dengan penyakit autoimun atau limfoma. Defisiensi
C1INH herediter bisa dikarenakan produksinya yang menurun (angioedema herediter/AEH
tipe I) akibat mutasi gen SERPIN1 atau fungsi inhibitornya yang terganggu (AEH tipe II)
sedangkan pada AEH tipe III terjadi mutasi gen FXII yang berfungsi mengontrol faktor
pembekuan XII. AEH tipe III sering pada wanita dan dapat dieksaserbasi oleh kehamilan dan
penggunaan kontrasepsi hormonal.5
PATOGENESIS
Berdasarkan etiologi urtikaria dapat terjadi secara imunologik, nonimunologik dan
idiopatik Tabel 1. Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel
mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Sel mast adalah sel efektor yang paling
berperan pada urtikaria dan angioedema, walaupun keterlibatan sel lain juga tidak dapat
dipungkiri. Secara imunologik, reaksi alergi paling sering menyebabkan urtikaria yaitu
melalui reaksi hipersensitivitas tipe I (anafilaksis) yang ditimbulkan melalui alergen misalnya
7
pada alergi obat dan makanan. Imunoglobulin E (IgE) spesifik berikatan dengan high-affinity
IgE receptor pada permukaan sel mast jaringan (Gambar 1) yang menyebabkan degranulasi
sel mast dan mengeluarkan histamin dan mediator lainnya. Pada urtikaria non imunologik,
beberapa bahan kimia (golongan amin dan derivat amidin) dan obat seperti morfin, kodein,
polimiksin (Gambar 1) dapat langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin.
Bahan kolinergik seperti asetilkolin yang dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit, faktor fisik
berupa panas, dingin, stres dan sinar matahari juga dapat secara langsung merangsang
pelepasan beberapa mediator. Pada urtikaria idiopatik, etiologinya belum banyak diketahui
namun diduga sebagian besar berhubungan dengan penyakit autoimun.7
Pada faktor non imunologik, siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang
peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan
derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik
berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf
kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast
untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan
pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas,
emosi, dan alkohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.1,5
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc
bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga
mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis),
misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen
secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang
mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks
imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga
terjadi misalnya setelah pemakaian bahan pengusir serangga, bahan kosmetik, dan
sefalosporin.1,5
Pada angioedema herediter terjadi defisiensi C1 esterase inhibitor (C1INH) yang
berfungsi menghambat pembentukan kinin, aktivasi komplemen yang menghasilkan
vasoactive kinin-like peptides dan pembentukan bradikinin. Kinin adalah peptida dengan berat
molekul rendah yang ikut berperan dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotelial
8
dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.
Angioedema yang rekuren dengan C1INH normal biasanya bersifat idiopatik, namun bisa
juga disebabkan oleh induksi obat- obatan seperti penghambat angiotensin- converting
enzyme (ACE), aspirin dan anti- inflamasi nonsteroid (AINS).5
Idiopatik
Imunologik
Non-imunologik
Aspirin, nonsteroidal anti-inflammatories (metabolisme asa, Arakidonat) dan pseudoalergen dalam diet
PELEPASAN MEDIATOR
(histamin, SRSA, serotonin, kinin, PEG,
PAF)
Alkohol
Emosi VASODILATASI &
Demam PERMEABILITAS KAPILER ↑
URTIKARIA &
Idiopatik ANGIOEDEMA
Gambar 2. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menyebabkan Urtikaria dan
Angioedema1,5
10
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan terjadinya pengumpulan cairan
setempat, sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Sedangkan,
pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari peningkatan permeabilitas
vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan subkutaneus.5
KLASIFIKASI
Urtikaria dibagi berdasarkan durasi, frekuensi dan faktor pencetus. Klasifikasi dan
karakteristik urtikaria berdasarkan subtipe dapat dilihat pada Tabel 2.8 Berdasarkan etiologi
klasifikasi urtikaria dibagi menjadi imunologik, non-imunologik, dan idiopatik Tabel 1.7
Urtikaria Urtikaria kolinergik Peningkatan suhu tubuh akibat Khususnya usia muda,
tipe lain kegiatan fisik atau mental urtikaria bentuknya seperti
11
kepala jarum pentul, terjadi
pada urtikaria kontak
dingin. Durasi 7,5 tahun
Urtikaria kontak - Alergi: alergen binatan Khusus bentuk: oral
dan tumbuhan, bahan allergy syndrome
kimia, dan obat
- Non-alergi: tumbuhan,
makanan, binatang, atau
iritan
Angioedema dapat dibedakan menjadi angioedema yang disertai urtika dan tanpa urtika.
Berdasarkan penyebabnya angioedema tanpa urtika dibagi menjadi:
MANIFESTASI KLINIS
Urtikaria atau hives adalah reaksi vaskular pada kulit yang ditandai edema setempat
yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, umumnya dikelilingi halo eritem (flare)
disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk dan akan kembali normal umumnya
1-24 jam. Angioedema adalah eriema atau perubahan warna kulit dan pembengkan karena
terjadi pada lapisan dibawah dermis dan subkutis. Rasa nyeri lebih dominan dari pada rasa
gatal dan akan membaik setalah 72 jam. Angioedema mengenai wajah dan membran mukosa
seperti bibir, laring dan genitalia seperti pada Gambar 3.1
Lesi urtikaria bersifat sementara, lesi awal berupa edema setempat, tegang, berbentuk
datar berwarna merah muda sampai merah terang dengan keluhan sangat gatal. Lesi dapat
berukuran milimeter sampai sentimeter, dan lesi tersebut bisa bergabung menjadi satu dan
membentuk plak urtikaria yang besar. Manifestasi klinis yang timbul dapat pula tergantung
pada tipe urtikaria.5
Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau berlangsung
selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari. Lesi individu biasanya hilang dalam <24 jam,
12
terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar 20%-30%
pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.5
Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu, pengembangan
urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6 minggu dengan setiap
lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait
dengan kualitas hidup.5
a b
Gambar 3. Manifestasi klinis: (a) urtikaria, (b) angioedema1
Cold Urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter).
Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan dalam
temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Ice cube test (aplikasi es
batu dikulit beberapa menit) untuk menetapkan diagnosis Gambar 4.5
13
Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering disertai
nyeri, yang timbul dalam 3-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit. Episode spontan
terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah
berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.1
Local heat urticaria
Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang terjadi dalam beberapa menit setelah
paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul lima menit setelah kulit terpapar panas
diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti terbakar, tersengat, dan menjadi merah,
bengkak dan indurasi.1
Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai eritem dengan pruritus, dan kadang-kadang angioedema
dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar matahari atau sumber cahaya
buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam
darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang
terlihat.1
Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan merupakan suatu
edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier dengan flare yang muncul
beberapa detik setelah kulit digores seperti Gambar 5. Transient wheal muncul sementara
secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit, akan tetapi, kulit biasanya mengalami
pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.5
14
Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat berhubungan
dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena paparan vibrasi okupasional
seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria
ini dapat sebagai kelainan autosomal dominan yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk
keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah.1
Aquagenic urticaria
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria dan atau
pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa antigen-antigen
epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari eritem kecil yang mirip dengan cholinergic
urticaria.5
Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic urticaria
terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan biduran bentuk
papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritem sedikit atau
luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.1
Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari pruritus,
urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang berbeda dari
cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sebagai
stimulusnya.1
Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak terjadi setelah kontak langsung dengan berbagai substansi, dapat
dimediasi oleh IgE (imunologik) atau non-imunologik. Erupsi transien dapat timbul setelah
beberapa menit. Protein lateks dimediasi oleh IgE imunologik dan penyebab paling banyak
berasal dari bahan lateks, selain itu protein lateks dapat menjadi alergen airbone misal pada
airbone glove powder.5
15
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai dengan gejala dan keluhan yang
menyertainya. Pemeriksaan yang tidak berhubungan dengan riwayat klinis atau anamnesis
tertentu tidak efektif secara financial. Evaluasi secara praktis biasanya terbatas pada riwayat
yang detail (mengenai makanan, obat-obatan termasuk aspirin penyebab fisik lain) dan
pemeriksaan fisik. Angioedema tanpa urtikaria biasanya berhubungan dengan angioedema
herediter atau kelainan dari angiotensin-converting-enzyme (ACE) inhibitor. Defisiensi C1
esterase tidak menyebabkan urtikaria, hanya angioedema. Apabila ada riwayat kelainan sinus,
terutama bila ada nyeri yang dipalpasi pada sinus maxillaris atau ethmoidalis, evaluasi
radiologi terhadap sinus direkomendasikan. Di tempat yang rawan terhadap penyakit parasit,
tes darah lengka untuk mendeteksi eosinofilia adalah uji skrining yang murah dan
memberikan hasil memuaskan. Namun hasil tes hitung darah bisa meragukan bila pasien
mengkonsumsi kortikosteroid sistemik.1,3
Pada urtikaria akut infeksi saluran pernapasan dan virus sering terjadi pada anak-anak.
Makanan dan obat seperti NSAIDs sering terjadi pada anak dan dewasa. Pada urtikaria kronik,
riwayat pengobatan termasuk obat generik, suplemen, aspirin dan golongan NSAID
(nonsteroid anti-inflammatory drug) lainnya harus ditanyakan. Apabila dari riwayat
ditemukan urtikaria, maka tes uji yang sesuai harus dilakukan untuk konfirmasi diagnosis.
Lesi yang memberikan sensasi terbakar bukan gatal, menjadi purpura, atau menetal lebih dari
24 jam harus dilakukan biopsy untuk mengeksklusi vaskulitis urtikaria.1
Tujuan pemeriksaan penunjang pada urtikaria untuk mencari penyebab atau pemicu
urtikaria. Pemeriksaan darah rutin, urin, fases rutin, pemeriksaan kadar IgE total dan eosinofil,
uji tusuk kulit, uji serum autolog, uji dermografisme dan pemeriksaan histopatologis. Pada
pasien dengan angioedema kronis, tanpa gambaran wheal atau gejala pruritus, riwayat obat-
obatan dan evaluasi kadar C4 disarankan untuk dilakukan. Bila C4 rendah maka evaluasi
inhibitor C1 esterase disarankan.1,10
DIAGNOSIS
Diagnosis urtikaria dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes
diagnostik rutin,dan tes diagnostik lanjutan jika perlu (Tabel 3). Tujuan diagnosis adalah
menentukan tipe dan subtipe urtikaria serta mengidentifikasi etiologi. Pada urtikaria akut
infeksi saluran pernapasan dan virus sering terjadi pada anak-anak. Makanan dan obat seperti
NSAIDs sering terjadi pada anak dan dewasa. Pada urtikaria kronik, riwayat pengobatan
16
termasuk obat generik, suplemen, aspirin dan golongan NSAID (nonsteroid anti-inflammatory
drug) lainnya harus ditanyakan.1,3
Tes manual untuk dermografisme dapat dilakukan dengan alat standar
(dermographometer). Alat diset pada tekanan 25 g/mm2, digoreskan pada punggung, dan weal
and flare akan timbul setelah 10 menit. Bila ditempat goresan tidak muncul lesi linier putih
maka disebut White dermographism. Tes untuk urtikaria delayed pressure menggunakan
batang besi berdiameter 15 mm dan berat 2.5 dan 3.5 kg. Beban diletakkan pada paha selama
20 menit, dalam 4 – 6 jam setelah beban diangkat akan timbul palpable swelling. Untuk
mengetahui urtikria kontak dingin bisa dilakukan tes ice tube dengan cara menempelkan es
batu pada kulit dan ditunggu selama 5 menit kemudian akan muncul lesi, tes menggunakan
stimulus hangat air hangat pada urtikaria kontak panas. Skin prick testing digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya hipersensitivitas dengan cara malakukan tusukan intraepidermal
melalui setiap tetesan alergen dengan jarum (satu jarum untuk satu alergen/kontrol positif
histamin da kontrol negatif NaCl), hasil akan dibaca setelah 15-20 menit dengan cara
mengukur diameter lesi >3mm tes positif. Autologous Serum Skin Test (ASST) merupakan tes
in vivo untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin sel basofil yang dideteksi melalui
pemeriksaan in vitro Histamin Release Assay (HRA). ASST berfungsi menilai autoreaktivitas
dalam serum.10
17
Delayed pressure Pressure test (0,2-1,5kg/cm2 Tidak ada
urticaria selama 10-20 menit
Urtikaria tipe lain Urtikaria akuagenik Tempelkan kain basah dengan Tidak ada
suhu sesuai suhu badan
selama 20 menit
Urtikaria kolinergik Olahraga dan provokasi Tidak ada
dengan mandi air panas
Urtikaria kontak Uji tusuk atau tempel yang Tidak ada
dibaca setelah 20 menit
Urtikaria yang Berdasarkan adanya riwayat Tidak ada
diinduksi olahraga olahraga, bisa disertai tidak
dengan makan sebelumnya,
tetapi tidak setelah mandi air
panas
18
Gambar 7. Algoritme dalam mendiagnosis angioedema5
DIAGNOSIS BANDING
Urtikaria perlu dipertimbangkan dengan penyakit lain sebagai diagnosis banding karena
memiliki gejala yang mirip dengan urtikaria seperti vaskulitis, mastositosis, pemfigoid bulosa,
eritema multiform, lupus eritematosus kutan, anafilaktoid purpura, dan pitriasis rosea pada
Tabel 4.11
19
TATALAKSANA
Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari identifikasi dan eliminasi
faktor penyebab atau pencetus dan dengan terapi simptomatis. Di Indonesia, sampai saat ini
belum ada pedoman terapi untuk urtikaria. Sebagian besar institusi menganut pedoman terapi
EEACI (European Academy of Allergy and Clinical Immunology), GA2LEN (The Global
Allergy and Asthma European Network), EDF (The European Dermatology Forum), WAO
(World Allergy Organization) yang diadopsi oleh AADV (Asian Academy of Dermatology
and Venereology) untuk urtikaria (Gambar 8).12
Antihistamin digunakan secara luas oleh ahli dermatologi terutama untuk mengobati
urtikaria, angioedema dan pruritus. Antihistamin menjadi terapi lini pertama dalam mengobati
urtikaria. Antihistamin digolongkan menjadi tiga kategori yaitu antihistamin penghambat
reseptor H1 (AH1), antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2) dan antihistamin
penghambat reseptor H3 (AH3).1 Reseptor histamin yang banyak terekspresi di tubuh adalah
reseptor H1 dan H2. Reseptor H1 ditemukan di neuron, otot polos, epitel, endotel, dan
beberapa tipe sel lainnya. Reseptor H2 berada pada sel parietal mukosa gaster, otot polos,
20
epitel, endotel, jantung, dan sel-sel lainnya. Kerja AH1 akan menurunkan produksi sitokin
pro-inflamasi, ekspresi molekul adhesi, kemotaksis eosinofil dan pelepasan mediator dari sel
mast dan basofil melalui inhibisi kanal ion kalsium. Antihistamin H1 dibagi menjadi dua
golongan, yaitu AH1 generasi pertama dan generasi kedua. Selain memiliki efek antihistamin,
AH1 generasi pertama juga dapat bekerja pada reseptor muskarinik, α-adrenergik dan
serotonik serta kanal ion jantung. Efek samping AH1 generasi pertama adalah retensi urin,
hipotensi dan aritmia jantung yang dimediasi oleh reseptor ini. Antihistamin H1 generasi
pertama dibagi mejadi enam kelompok berdasarkan struktur kimianya yaitu: etilendiamin,
etanolamin, alkilamin, fenotiazin, piperazin dan piperidin. Antihistamin H1 generasi kedua
berikatan non kompetitif dengan reseptor H1. Oleh karena AH1 generasi kedua memiliki
selektivitas tinggi dan sifat yang kurang lipofilik maka AH1 generasi kedua memiliki efek
sedasi yang jauh lebih rendah dan keamanan yang berbeda dibandingkan dengan obat
generasi pertama. Obat yang termasuk AH generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol,
setirizin, loratadin, fexofenadin, desloratadin, akrivastin, mizolastin, azelastin, ebastin, dan
oxatomid.13
Pengobatan urtikaria terdiri dari non-medikamentosa dan medikamentosa.
Berdasarkan non-medikamentosa identifikasi dan menghindari kemungkinan penyebab.
Medikamentosa terbagi secara topikal dan sistemik. Secara topik bisa diberikan bedak kocok
antipruritus mentol dan kamfer. Secara sistemik untuk urtikaria akut bisa diberikan AH1
nonsedatif, bila AH1 nonsedatif tidak berhasil dapat digunakan hydroxyzine atau
diphenhydramine 25-50mg/hari. Untuk angioedema disertai obstruksi saluran pernapasan
dapat diberikan epineprin dan kortikosteroid prednison 50mg/hari selama tiga hari dosis
diturunkan 5-10mg/hari.14 Untuk dosis dari AH1 nonsedatif Tabel 5.8
21
PENATALAKSANAAN URTIKARIA15
Umum:
Khusus:
1. Prinsip
Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran
napas. Dapat dilakukan di unit gawat darurat bersama-sama dengan/atau dikonsulkan ke
Spesialis THT.
2. Topikal
3. Sistemik
Urtikaria akut
b. Bila dengan AH nonsedatif tidak berhasil maka diberikan AH-1 generasi satu
(sedatif).
Urtikaria kronik
b. Terapi lini kedua: Jika gejala menetap setelah 2 minggu, antihistamin H1 generasi
kedua (non sedatif) dapat dinaikkan dosisnya 2-4 kali.
c. Terapi lini ketiga: Bila gejala masih menetap sampai 1-4 minggu, ditambahkan:
22
PENATALAKSANAAN ANGIOEDEMA15
Umum:
Khusus:
Non Medikamentosa
2. Apabila didapatkan sesak nafas, suara serak atau odinofagia dikonsulkan ke spesialis THT
untuk dilakukan nasopharyngolaryngoscopy (NPL) dengan terlebih dahulu diatasi keadaan
darurat di Unit Gawat Darurat.
3. Apabila didapatkan edema laring berdasarkan hasil NPL maka dirawat di ICU untuk
monitor jalan nafas.
4. Pasien dengan edema terbatas pada kulit dapat diobservasi di unit gawat darurat dalam 6
jam, dan diperbolehkan rawat jalan.
Medikamentosa
1. Prinsip
Mengurangi pelepasan mediator oleh sel mast dan/atau efek mediator tersebut pada organ
target, serta menginduksi toleransi. Pada angioedema akut pengobatan difokuskan untuk
mengurangi gejala.
2. Topikal
3. Sistemik
Apabila ada gangguan nafas: epinefrin atau adrenalin (1:1000) dosis 0,3 ml subkutan atau
intramuskular, diulangi setiap 10 menit. Pengobatan selanjutnya:
Lini pertama:
Lini kedua:
o Apabila gejala menetap setelah 1-4 minggu berikutnya diberikan pengobatan lini
ketiga.
Lini ketiga:
KOMPLIKASI
Normalnya, urtikaria tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa gatal yang
ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan menyebabkan depresi.
Angioedema yang mengenai traktus respiratorius sering menyebabkan pasien sesak
nafas dan menyebabkan pasien dibawa ke ruang gawat darurat. Pada edema angioneurotik
kematian hampir 30% disebabkan karena obstruksi saluran nafas. Jika melibatkan
gastrointestinal dapat mengakibatkan kram abdominal, muntah, dan diare.1
PROGNOSIS
Prognosis urtikaria akut umumnya baik, bisa hilang dalam 24 jam. Urtikaria akut
hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila disertai angioedema saluran napas
bagian atas. Pada anak-anak, 20-30% urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronis
dan angka hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun. Prognosis urtikaria kronis
24
lebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan 20% akan
menetap setelah 5 tahun.3
RINGKASAN
Urtikaria adalah edema setempat yang tiba-tiba dan hilang secara mendadak dengan
halo eritem ditandai rasa gatal dan panas yang akan hilang <24 jam. Angioedema adalah
edema yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam seperti lapisan bawah dermis atau subkutis.
Urtikaria diklasifikasi menurut durasi terdiri dari akut yaitu <6 minggu dan kronik >6 minggu.
Selain itu berdasarkan faktor pencetus urtikaria dibagi menjadi urtikaria spontan, urtikaria
yang disebabkan agen fisik, dan urtikaria tipe lain. Sel mast adalah sel utama yang mendasari
terjadinya urtikaria dan angioedema. Menegakkan diagnosis urtikaria dapat dilakukan dengan
cara anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin, dan tes diagnostik lanjutan apabila
diperlukan. Tatalaksana meliputi identifikasi serta eliminasi faktor penyebab dan terapi
simptomatis. Prognosis urtikaria akut pada umumnya baik, sedangkan urtikaria kronis
prognosisnya bervariasi.
25
DAFTAR PUSTAKA
1.James, WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Disease of the Skin Clinical Dermatology
11th Ed. Elsevier inc. 2011; p. 147-154.
2.Grattan, CEH., Kobza Black A. Rook’s Textbook of Dermatology 8th Ed. Blackwell. 2010;
p. 949-978.
4.Data Pasien Poli Rawat Jalan Departemen Dermatologi dan Venerologi Divisi Alergo-
Imunologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2018.
5. Kaplan, AP. Fitzpatrick’s Dermatology In Genereal Medicine 8th ed: Urticaria and
Angioedema. McGraw-Hill Inc. 2012; p. 330-343.
7. Bolognia, JL, Joseph LJ, Julie VS. Dermatology 3th Ed. Elsevier inc. 2012; p. 291-305.
8.Wedi, B et al. Urticaria. Journal of the German Society of Dermatology. 2012; p.12 (10): 1-
13
10. Aisah S, Effendi EH. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ketujuh: Urtikaria dan
Angioedema. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016; hal. 311-314.
12. Asian Academy of Dermatology and Venerology. AADV Asian Consensus Guideline for
management of chronic urticaria: Special Proceedings from the 19th RCD. 2010.
13.Wisesa TW. Penggunaan Antihistamin Dalam Bidang Dermatologi. In: Menaldi SL,
Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015; hal.411-416.
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. 2017.
26