Anda di halaman 1dari 26

Referat

URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA

Oleh:
Nur Ilmi Sofiah, S.Ked
04054821820039

Pembimbing:

dr. Nopriyati, SpKK, FINSDV, FAADV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Judul

URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA

Oleh:
Nur Ilmi Sofiah, S.Ked
04054821820039

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 15 April - 20 Mei 2019.

Palembang, April 2019


Pembimbing,

dr. Nopriyati, SpKK, FINSDV, FAADV

2
URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA
Nur Ilmi Sofiah, S.Ked
Pembimbing dr. Nopriyati, SpKK, FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venerologi
FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2019

PENDAHULUAN
Urtikaria atau hives adalah reaksi vaskular pada kulit ditandai edema setempat yang
cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, umumnya dikelilingi halo eritem (flare) disertai
rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk. Sedangkan angioedema adalah urtikaria
yang terjadi pada lapisan dermis bagian bawah atau subkutis ditandai dengan pembengkakan
jaringan, sering mengenai wajah dan membran mukosa seperti bibir, laring dan genitalia. Pada
angioedema lebih dominan rasa nyeri dari pada gatal.1,2
Frekuensi urtikaria diperkirakan sebesar 20% dari seluruh populasi, dapat terjadi pada
semua umur dan semua jenis kelamin. Urtikaria lebih sering terjadi pada wanita (60%) dan
pada kelompok usia 30-40 tahun.3 Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti.
Dari data pasien Poli Rawat Jalan Departemen Dermatologi dan Venerologi Divisi Alergo-
Imunologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2018, didapatkan prevalensi
urtikaria akut sebesar 3,0% dan urtikaria kronik sebesar 11,4%.4
Standar kompetensi urtikaria akut untuk dokter umum adalah 4A, urtkaria kronik 3A
dan untuk angioedema 3B yaitu lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara tuntas dan dapat merujuk. Oleh karena
itu, pemahaman terhadap penyebab, patogenesis, dan penanganan terhadap urtikaria dan
angioedema sangat penting. Tujuan penulisan referat ini untuk memahami epidemiologi,
etiologi, patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi,
dan prognosis urtikaria dan angioedema sehingga dapat dilakukan diagnosis dan pengobatan
secara cepat dan tepat.

DEFINISI

Urtikaria adalah suatu penyakit kulit yang ditandai dengan adanya urtika berbatas tegas,
dikelilingi oleh daerah berwarna kemerahan, dan terasa gatal. Urtikaria dapat terjadi dengan
atau tanpa angioedema. Sedangkan angioedema adalah edema mendadak pada dermis bagian
bawah dan subkutis dengan manifestasi edema sewarna kulit atau eritema pada area predileksi,
yang sering disertai keterlibatan lapisan submukosa. Kadang-kadang disertai gejala subyektif

3
nyeri atau panas, rasa gatal jarang ada. Angioedema disebut akut jika berlangsung kurang dari
6 minggu.5

EPIDEMIOLOGI

Frekuensi urtikaria diperkirakan sebesar 20% dari seluruh populasi, dapat terjadi pada
semua umur dan semua jenis kelamin. Namun orang dewasa lebih banyak mengalami
urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON (1951), menyatakan bahwa umur rata-
rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau
lebih dari 60 tahun. Secara keseluruhan, urtikaria lebih sering terjadi pada wanita (60%) dan
pada kelompok usia 30-40 tahun.6

Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti. Dari data pasien Poli Rawat
Jalan Departemen Dermatologi dan Venerologi Divisi Alergi-Imunologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2018, didapatkan prevalensi urtikaria akut sebesar 3,0%
dan urtikaria kronik sebesar 11,4%.4
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan
angioedema, dan 11% angioedema saja. Lama serangan berlangsung bervariasi, ada yang
lebih dari satu tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun. Berdasarkan data kepustakaan,
kisaran 15-20% populasi akan mengalami episode urtikaria paling tidak satu kali dalam
hidupnya, dan diperkirakan 25% dari mereka akan menderita urtikaria kronik.6

Angioedema idiopatik lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan pria.


Angioedema tipe lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara insidensi
angioedema dengan jenis kelamin. Pada HAE (hereditary angioedema), estrogen berpengaruh
terhadap frekuensi serangan dan derajat keparahan gejala yang ditimbulkan. Angioedema
dapat terjadi pada segala tingkatan usia. Orang-orang dengan predisposisi untuk terjadinya
angioedema mengalami peningkatan frekuensi serangan setelah dewasa dan insidensi
puncaknya terjadi pada dekade ketiga. Angioedema idiopatik paling sering terjadi pada usia
30-50 tahun dibandingkan grup usia lainnya Pasien dengan HAE, onset gejala sering kali
terjadi di usia pubertas. Usia rata-rata pada pasien dengan angioedema karena induksi oleh
ACE-inhibitor adalah 60 tahun. Sedangkan reaksi alergi terhadap makanan paling sering pada
anak-anak. 6

4
ETIOLOGI

Pada penyelidikan ternyata hampir 80% urtikaria tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:1,5

1. Obat
Bermacam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-
imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria, contohnya ialah aspirin,
obat anti inflamasi non steroid, penisilin, sepalosporin, diuretik, dan alkohol. Sedangkan
obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan
histamin, misalnya opium dan zat kontras.

2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut. Umumnya akibat reaksi
imunologik, pada beberapa kasus urtikaria terjadi setelah beberapa jam atau beberapa
hari setelah mengkonsumsi makanan tersebut. Makanan berupa protein atau bahan yang
dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering
menimbulkan urtikaria alergika. Makanan yang paling sering menimbulkan urtikaria
pada orang dewasa yaitu, ikan, kerang, udang, telur, kacang, buah beri, coklat, arbei, keju.
Sedangkan pada bayi yang paling sering yaitu, susu dan produk susu, telur, tepung, dan
buah-buah sitrus (jeruk).

3. Gigitan atau sengatan serangga


Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, dimana hal ini lebih
banyak diperantarai oleh IgE (tipe I). Selain itu, venom dan toksin bakteri, biasanya dapat
juga mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan serangga lainnya menimbulkan
urtika bentuk papular di sekitar tempat gigitan yang biasanya sembuh sendiri setelah
beberapa hari, minggu, atau bulan.

4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseovulfin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan
sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.

5
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan
aerosol dapat menimbulkan urtikaria alergik.

6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent
(penangkis serangga), dan bahan kosmetik.

7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh:
 Faktor dingin, yakni berenang atau memegang benda dingin.

 Faktor panas, misalnya sinar matahari, radiasi, dan panas pembakaran.

 Faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau
semprotan air. Fenomena ini disebut dermografisme.

8. Infeksi dan infestasi


Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus,
jamur, maupun infeksi parasit.
 Infeksi oleh bakteri contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi dan sinusitis.

 Infeksi virus hepatitis, mononukleosis dan infeksi virus coxsackie pernah dilaporkan
sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan
kemungkinan infeksi virus subklinis.

 Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab urtikaria.
Infeksi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang juga Schistosoma atau
Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria. Infeksi parasit seperti ini umumnya
paling sering pada daerah beriklim tropis.

9. Psikis
Tekanan psikis dapat menimbulkan urtikaria dengan memicu sel mast atau langsung
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Di sisi lain,
penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis menghambat eritema dan urtika.
6
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria dan angioedema, walaupun jarang
namun dapat menunjukkan penurunan autosomal dominan.

11. Penyakt sistemik


Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih
sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Contoh penyakit sistemik yang
sering menyebabkan urtikaria yaitu, sistemik lupus eritematosa (SLE), penyakit serum,
hipetiroid, penyakit tiroid autoimun, karsinoma, limfoma, penyakit rheumatoid arthritis,
leukositoklast vaskulitis, polisitemia vera (urtikaria akne-urtikaria papul melebihi
vesikel), demam reumatik, dan reaksi transfusi darah.

Angioedema terjadi pada lebih dari setengah pasien urtikaria spontan dan sekitar 10-
20% pasien angioedema tanpa disertai urtikaria terjadi karena obat-obatan seperti aspirin,
golongan ACE inhibitor dan AINS. Obat-obat ini mencegah degradasi bradikinin yaitu
komponen peptida yang berfungsi sebagai vasodilator yang poten sehingga terjadi akumulasi
cairan di daerah interstitium terutama pada area wajah.5
Angioedema juga dapat terjadi karena defisiensi atau disfungsi C1INH (C1-esterase
inhibitor). Defisiensi C1INH bisa bersifat herediter atau dapatan. Defisiensi C1INH dapatan
jarang ditemukan dan berhubungan dengan penyakit autoimun atau limfoma. Defisiensi
C1INH herediter bisa dikarenakan produksinya yang menurun (angioedema herediter/AEH
tipe I) akibat mutasi gen SERPIN1 atau fungsi inhibitornya yang terganggu (AEH tipe II)
sedangkan pada AEH tipe III terjadi mutasi gen FXII yang berfungsi mengontrol faktor
pembekuan XII. AEH tipe III sering pada wanita dan dapat dieksaserbasi oleh kehamilan dan
penggunaan kontrasepsi hormonal.5

PATOGENESIS
Berdasarkan etiologi urtikaria dapat terjadi secara imunologik, nonimunologik dan
idiopatik Tabel 1. Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel
mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Sel mast adalah sel efektor yang paling
berperan pada urtikaria dan angioedema, walaupun keterlibatan sel lain juga tidak dapat
dipungkiri. Secara imunologik, reaksi alergi paling sering menyebabkan urtikaria yaitu
melalui reaksi hipersensitivitas tipe I (anafilaksis) yang ditimbulkan melalui alergen misalnya

7
pada alergi obat dan makanan. Imunoglobulin E (IgE) spesifik berikatan dengan high-affinity
IgE receptor pada permukaan sel mast jaringan (Gambar 1) yang menyebabkan degranulasi
sel mast dan mengeluarkan histamin dan mediator lainnya. Pada urtikaria non imunologik,
beberapa bahan kimia (golongan amin dan derivat amidin) dan obat seperti morfin, kodein,
polimiksin (Gambar 1) dapat langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin.
Bahan kolinergik seperti asetilkolin yang dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit, faktor fisik
berupa panas, dingin, stres dan sinar matahari juga dapat secara langsung merangsang
pelepasan beberapa mediator. Pada urtikaria idiopatik, etiologinya belum banyak diketahui
namun diduga sebagian besar berhubungan dengan penyakit autoimun.7
Pada faktor non imunologik, siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang
peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan
derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik
berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf
kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast
untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan
pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas,
emosi, dan alkohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.1,5
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc
bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga
mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis),
misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen
secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang
mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks
imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga
terjadi misalnya setelah pemakaian bahan pengusir serangga, bahan kosmetik, dan
sefalosporin.1,5
Pada angioedema herediter terjadi defisiensi C1 esterase inhibitor (C1INH) yang
berfungsi menghambat pembentukan kinin, aktivasi komplemen yang menghasilkan
vasoactive kinin-like peptides dan pembentukan bradikinin. Kinin adalah peptida dengan berat
molekul rendah yang ikut berperan dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotelial

8
dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.
Angioedema yang rekuren dengan C1INH normal biasanya bersifat idiopatik, namun bisa
juga disebabkan oleh induksi obat- obatan seperti penghambat angiotensin- converting
enzyme (ACE), aspirin dan anti- inflamasi nonsteroid (AINS).5

Tabel 1. Etiologi dan patogenesis urtikaria7

Idiopatik

Imunologik

Autoimun (otoantibodi terhadap FcεRI atau IgE pada urtikaria otoimun)

IgE-dependent (reaksi hipersensitivitas tipe I)

Komplek imun (urtikaria vaskulitis, serum sickness)

Complement-dependent (defisiensi inhibitor C1 esterase)

Non-imunologik

Direct mast cell releasing agents (opiat, media kontras)

Aspirin, nonsteroidal anti-inflammatories (metabolisme asa, Arakidonat) dan pseudoalergen dalam diet

Angiotensin-converting enzyme inhibitors (peningkatan bradikinin)

Gambar 1. Stimulus degranulasi sel mast pada imunologik dan non-imunologik7

Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan


mediator histamin dan mediator pro-inflamasi lainnya pada venula post capilar dikulit. Sel
mast melepaskan histamin sebagai respon dari C5a, morfin, dan kodein. Neuropeptida seperti
substansi P (SP), vasoactive intestinal peptide (VIP), dan somatostatin (selain neurotensin,
neurokinin A dan B, bradikinin, atau peptida gen kalsitonin), dapat mengaktivasi sel mast
9
untuk melepaskan histamin. Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah
kulit sehingga kulit berwarna merah (eritem). Histamin juga menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan dan sel, terutama eosinofil, keluar dari
pembuluh darah dan mengakibatkan pembengkakan kulit lokal, cairan serta sel yang keluar
akan merangsang ujung saraf perifer kulit sehingga timbul rasa gatal, terbentuklah bentol
merah yang disertai sensasi gatal.5,7

FAKTOR NON IMUNOLOGIK FAKTOR IMUNOLOGIK

Bahan kimia pelepas Reaksi tipe I (IgE)


mediator (morfin,kodein) (inhalan, obat, makanan,
infeksi)

Faktor fisik (panas, dingin,


trauma, sinar X, cahaya) Pengaruh komplemen

SEL MAST Aktivasi komplemen


BASOFIL klasik – alternatif (Ag-Ab,
venom, toksin)

Efek kolinergik Reaksi tipe II

Reaksi tipe III

Faktor genetik (defisiensi C1


esterase inhibitor)

PELEPASAN MEDIATOR
(histamin, SRSA, serotonin, kinin, PEG,
PAF)

Alkohol
Emosi VASODILATASI &
Demam PERMEABILITAS KAPILER ↑

URTIKARIA &
Idiopatik ANGIOEDEMA

Gambar 2. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menyebabkan Urtikaria dan
Angioedema1,5

10
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan terjadinya pengumpulan cairan
setempat, sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Sedangkan,
pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari peningkatan permeabilitas
vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan subkutaneus.5

KLASIFIKASI

Urtikaria dibagi berdasarkan durasi, frekuensi dan faktor pencetus. Klasifikasi dan
karakteristik urtikaria berdasarkan subtipe dapat dilihat pada Tabel 2.8 Berdasarkan etiologi
klasifikasi urtikaria dibagi menjadi imunologik, non-imunologik, dan idiopatik Tabel 1.7

Tabel 2. Klasifikasi dan karakteristik urtikaria berdasarkan subtipe.8


Tipe Subtipe Trigger Karakteristik
Urtikaria Urtikaria spontan akut (<6 - Infeksi bakteri/virus akut Sembuh sendiri, hanya 1-2
Spontan minggu) (saluran pernapasam, saluran minggu. Jika >6 minggu
pencernaan dan traktus akan terlihat angioedema.
urinarius)
- Obat (NSAID)
- Dimediasi IgE, alergi
(makanan, sengatan lebah)
Urtikaria spontan kronis (>6 - Infeksi kronis persisten Kronik sampai bertahun-
minggu) (helicobacter, streptococci, tahun, 40-50% juga
parasit) angioedema
- Autoreaktifiti (tiroid
autoantibodi, skin tes serum
positif , anti-Fc€Rla)
- Pseudoalergen
Urtikaria Urtikaria dermografik/ Tekanan yang kuat Sering terjadi pada urtiakria
fisik Urticaria factitia fisik, kemungkinan
berhubungan dengan
kronik urtikaria. Durasi 6,5
tahun
Urtikaria kontak dingin Benda yang dingin/udara/ Membahayakan hidup,
cairan/angin sering berhubungan dengan
kolinergik urtikaria, durasi
5-10 tahun
Urtikaria kontak panas Panas yang terlokalisir Sangat jarang

Urtikaria solar Sinar UV dan/atau visible light Jarang


Delayed pressure urticaria Tekanan vertikal (timbul setelah Terjadi pada urtikaria
3-6 jam) kronik, gejala sistemik
seperti fatigue, demam,
artalgia. Durasi 6-9 tahun
Urtikaria Aquagenik Kontak dengan air (penurunan Sangat jarang
suhu)

Urtikaria Urtikaria kolinergik Peningkatan suhu tubuh akibat Khususnya usia muda,
tipe lain kegiatan fisik atau mental urtikaria bentuknya seperti

11
kepala jarum pentul, terjadi
pada urtikaria kontak
dingin. Durasi 7,5 tahun
Urtikaria kontak - Alergi: alergen binatan Khusus bentuk: oral
dan tumbuhan, bahan allergy syndrome
kimia, dan obat
- Non-alergi: tumbuhan,
makanan, binatang, atau
iritan

Angioedema dapat dibedakan menjadi angioedema yang disertai urtika dan tanpa urtika.
Berdasarkan penyebabnya angioedema tanpa urtika dibagi menjadi:

1) Angioedema defisiensi C1INH herediter


2) Angioedema defisiensi C1INH dapatan
3) Angioedema karena obat-obatan
4) Angioedema berhubungan dengan delayed pressure
5) Angioedema idiopatik.9

MANIFESTASI KLINIS
Urtikaria atau hives adalah reaksi vaskular pada kulit yang ditandai edema setempat
yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, umumnya dikelilingi halo eritem (flare)
disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk dan akan kembali normal umumnya
1-24 jam. Angioedema adalah eriema atau perubahan warna kulit dan pembengkan karena
terjadi pada lapisan dibawah dermis dan subkutis. Rasa nyeri lebih dominan dari pada rasa
gatal dan akan membaik setalah 72 jam. Angioedema mengenai wajah dan membran mukosa
seperti bibir, laring dan genitalia seperti pada Gambar 3.1
Lesi urtikaria bersifat sementara, lesi awal berupa edema setempat, tegang, berbentuk
datar berwarna merah muda sampai merah terang dengan keluhan sangat gatal. Lesi dapat
berukuran milimeter sampai sentimeter, dan lesi tersebut bisa bergabung menjadi satu dan
membentuk plak urtikaria yang besar. Manifestasi klinis yang timbul dapat pula tergantung
pada tipe urtikaria.5

Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau berlangsung
selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari. Lesi individu biasanya hilang dalam <24 jam,

12
terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar 20%-30%
pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.5

Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu, pengembangan
urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6 minggu dengan setiap
lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait
dengan kualitas hidup.5

a b
Gambar 3. Manifestasi klinis: (a) urtikaria, (b) angioedema1

Cold Urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter).
Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan dalam
temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Ice cube test (aplikasi es
batu dikulit beberapa menit) untuk menetapkan diagnosis Gambar 4.5

Gambar 4. Ice cube test positif pada cold urticaria.5

13
Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering disertai
nyeri, yang timbul dalam 3-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit. Episode spontan
terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah
berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.1
Local heat urticaria
Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang terjadi dalam beberapa menit setelah
paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul lima menit setelah kulit terpapar panas
diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti terbakar, tersengat, dan menjadi merah,
bengkak dan indurasi.1

Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai eritem dengan pruritus, dan kadang-kadang angioedema
dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar matahari atau sumber cahaya
buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam
darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang
terlihat.1

Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan merupakan suatu
edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier dengan flare yang muncul
beberapa detik setelah kulit digores seperti Gambar 5. Transient wheal muncul sementara
secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit, akan tetapi, kulit biasanya mengalami
pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.5

Gambar 5. Respon defmografisme topikal pada goresan kulit5

14
Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat berhubungan
dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena paparan vibrasi okupasional
seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria
ini dapat sebagai kelainan autosomal dominan yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk
keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah.1

Aquagenic urticaria
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria dan atau
pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa antigen-antigen
epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari eritem kecil yang mirip dengan cholinergic
urticaria.5

Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic urticaria
terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan biduran bentuk
papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritem sedikit atau
luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.1

Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari pruritus,
urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang berbeda dari
cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sebagai
stimulusnya.1

Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak terjadi setelah kontak langsung dengan berbagai substansi, dapat
dimediasi oleh IgE (imunologik) atau non-imunologik. Erupsi transien dapat timbul setelah
beberapa menit. Protein lateks dimediasi oleh IgE imunologik dan penyebab paling banyak
berasal dari bahan lateks, selain itu protein lateks dapat menjadi alergen airbone misal pada
airbone glove powder.5

15
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai dengan gejala dan keluhan yang
menyertainya. Pemeriksaan yang tidak berhubungan dengan riwayat klinis atau anamnesis
tertentu tidak efektif secara financial. Evaluasi secara praktis biasanya terbatas pada riwayat
yang detail (mengenai makanan, obat-obatan termasuk aspirin penyebab fisik lain) dan
pemeriksaan fisik. Angioedema tanpa urtikaria biasanya berhubungan dengan angioedema
herediter atau kelainan dari angiotensin-converting-enzyme (ACE) inhibitor. Defisiensi C1
esterase tidak menyebabkan urtikaria, hanya angioedema. Apabila ada riwayat kelainan sinus,
terutama bila ada nyeri yang dipalpasi pada sinus maxillaris atau ethmoidalis, evaluasi
radiologi terhadap sinus direkomendasikan. Di tempat yang rawan terhadap penyakit parasit,
tes darah lengka untuk mendeteksi eosinofilia adalah uji skrining yang murah dan
memberikan hasil memuaskan. Namun hasil tes hitung darah bisa meragukan bila pasien
mengkonsumsi kortikosteroid sistemik.1,3
Pada urtikaria akut infeksi saluran pernapasan dan virus sering terjadi pada anak-anak.
Makanan dan obat seperti NSAIDs sering terjadi pada anak dan dewasa. Pada urtikaria kronik,
riwayat pengobatan termasuk obat generik, suplemen, aspirin dan golongan NSAID
(nonsteroid anti-inflammatory drug) lainnya harus ditanyakan. Apabila dari riwayat
ditemukan urtikaria, maka tes uji yang sesuai harus dilakukan untuk konfirmasi diagnosis.
Lesi yang memberikan sensasi terbakar bukan gatal, menjadi purpura, atau menetal lebih dari
24 jam harus dilakukan biopsy untuk mengeksklusi vaskulitis urtikaria.1
Tujuan pemeriksaan penunjang pada urtikaria untuk mencari penyebab atau pemicu
urtikaria. Pemeriksaan darah rutin, urin, fases rutin, pemeriksaan kadar IgE total dan eosinofil,
uji tusuk kulit, uji serum autolog, uji dermografisme dan pemeriksaan histopatologis. Pada
pasien dengan angioedema kronis, tanpa gambaran wheal atau gejala pruritus, riwayat obat-
obatan dan evaluasi kadar C4 disarankan untuk dilakukan. Bila C4 rendah maka evaluasi
inhibitor C1 esterase disarankan.1,10

DIAGNOSIS
Diagnosis urtikaria dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes
diagnostik rutin,dan tes diagnostik lanjutan jika perlu (Tabel 3). Tujuan diagnosis adalah
menentukan tipe dan subtipe urtikaria serta mengidentifikasi etiologi. Pada urtikaria akut
infeksi saluran pernapasan dan virus sering terjadi pada anak-anak. Makanan dan obat seperti
NSAIDs sering terjadi pada anak dan dewasa. Pada urtikaria kronik, riwayat pengobatan

16
termasuk obat generik, suplemen, aspirin dan golongan NSAID (nonsteroid anti-inflammatory
drug) lainnya harus ditanyakan.1,3
Tes manual untuk dermografisme dapat dilakukan dengan alat standar
(dermographometer). Alat diset pada tekanan 25 g/mm2, digoreskan pada punggung, dan weal
and flare akan timbul setelah 10 menit. Bila ditempat goresan tidak muncul lesi linier putih
maka disebut White dermographism. Tes untuk urtikaria delayed pressure menggunakan
batang besi berdiameter 15 mm dan berat 2.5 dan 3.5 kg. Beban diletakkan pada paha selama
20 menit, dalam 4 – 6 jam setelah beban diangkat akan timbul palpable swelling. Untuk
mengetahui urtikria kontak dingin bisa dilakukan tes ice tube dengan cara menempelkan es
batu pada kulit dan ditunggu selama 5 menit kemudian akan muncul lesi, tes menggunakan
stimulus hangat air hangat pada urtikaria kontak panas. Skin prick testing digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya hipersensitivitas dengan cara malakukan tusukan intraepidermal
melalui setiap tetesan alergen dengan jarum (satu jarum untuk satu alergen/kontrol positif
histamin da kontrol negatif NaCl), hasil akan dibaca setelah 15-20 menit dengan cara
mengukur diameter lesi >3mm tes positif. Autologous Serum Skin Test (ASST) merupakan tes
in vivo untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin sel basofil yang dideteksi melalui
pemeriksaan in vitro Histamin Release Assay (HRA). ASST berfungsi menilai autoreaktivitas
dalam serum.10

Tabel 3. Tes diagnostik yang direkomendasikan menurut tipe urtikaria9


Tipe Subtipe Tes diagnostik rutin Tes diagnostik lanjutan
Urtikaria Spontan Urtikaria spontan Tidak ada Tidak ada
akut
Urtikaria spontan Darah lengkap, LED/CRP Tes untuk: (i) penyakit infeksi
kronis (misalnya Helicobacter pylori);
(ii) alergi tipe I; (iii)
autoantibodi fungsional; (iv)
hormon tiroid & autoantibodi;
(v) skin tests termasuk tes fisik;
(vi) diet bebas pseudoalergen
selama 3 minggu & triptase;
(vii) biopsi lesi kulit dan skin
test serum autologous
Urtikaria fisik Urtikaria kontak Tes provokasi terhadap dingin Darah lengkap, LED atau CRP
dingin & tes ambang batas untuk menyingkirkan penyakit
lain, terutama infeksi
Urtikaria kontak Tes provokasi terhadap panas Tidak ada
panas & tes ambang batas
Urtikaria Tes dermografisme Darah lengkap, LED/CRP
dermografik/
Urticaria factitia
Urtikaria solar Sinar UV atau visible light Bedakan dengan dermatosis
dengan panjang gelombang akibat cahaya yang lain
yang berbeda

17
Delayed pressure Pressure test (0,2-1,5kg/cm2 Tidak ada
urticaria selama 10-20 menit
Urtikaria tipe lain Urtikaria akuagenik Tempelkan kain basah dengan Tidak ada
suhu sesuai suhu badan
selama 20 menit
Urtikaria kolinergik Olahraga dan provokasi Tidak ada
dengan mandi air panas
Urtikaria kontak Uji tusuk atau tempel yang Tidak ada
dibaca setelah 20 menit
Urtikaria yang Berdasarkan adanya riwayat Tidak ada
diinduksi olahraga olahraga, bisa disertai tidak
dengan makan sebelumnya,
tetapi tidak setelah mandi air
panas

Gambar 6. Pendekatan diagnosis pasien dengan urtikaria/angioedema7

18
Gambar 7. Algoritme dalam mendiagnosis angioedema5

DIAGNOSIS BANDING
Urtikaria perlu dipertimbangkan dengan penyakit lain sebagai diagnosis banding karena
memiliki gejala yang mirip dengan urtikaria seperti vaskulitis, mastositosis, pemfigoid bulosa,
eritema multiform, lupus eritematosus kutan, anafilaktoid purpura, dan pitriasis rosea pada
Tabel 4.11

Tabel 4. Diagnosis banding urtikaria11


Vaskulitis Lesi umumnya nyeri (lebih dari prturitus) >48 jam dan
perubahan warna pada kulit
Mastositosis Jarang dan melibatkan organ (hati,limpa, kelenjar
getah bening, dan sumsum tulang) selain kulit
Pemfigoid bulosa Kronik, autoimun, blistering skin desease
Eritema multiform Lesi yang parah pada hari terakhir, papul iris-shaped,
lesi target, umumnya demam
Lupus ertitematosa kutan Potosensitifitas, terjadi pada SLE
Anafilaktoid purpura Distribusi ekstremitas bawah, lesi purpura, gejala
sistemik
Pitiriasis rosea Hederal patch, “christmas tree”

19
TATALAKSANA
Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari identifikasi dan eliminasi
faktor penyebab atau pencetus dan dengan terapi simptomatis. Di Indonesia, sampai saat ini
belum ada pedoman terapi untuk urtikaria. Sebagian besar institusi menganut pedoman terapi
EEACI (European Academy of Allergy and Clinical Immunology), GA2LEN (The Global
Allergy and Asthma European Network), EDF (The European Dermatology Forum), WAO
(World Allergy Organization) yang diadopsi oleh AADV (Asian Academy of Dermatology
and Venereology) untuk urtikaria (Gambar 8).12

Gambar 8. Algoritma terapi urtikaria12

Antihistamin digunakan secara luas oleh ahli dermatologi terutama untuk mengobati
urtikaria, angioedema dan pruritus. Antihistamin menjadi terapi lini pertama dalam mengobati
urtikaria. Antihistamin digolongkan menjadi tiga kategori yaitu antihistamin penghambat
reseptor H1 (AH1), antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2) dan antihistamin
penghambat reseptor H3 (AH3).1 Reseptor histamin yang banyak terekspresi di tubuh adalah
reseptor H1 dan H2. Reseptor H1 ditemukan di neuron, otot polos, epitel, endotel, dan
beberapa tipe sel lainnya. Reseptor H2 berada pada sel parietal mukosa gaster, otot polos,
20
epitel, endotel, jantung, dan sel-sel lainnya. Kerja AH1 akan menurunkan produksi sitokin
pro-inflamasi, ekspresi molekul adhesi, kemotaksis eosinofil dan pelepasan mediator dari sel
mast dan basofil melalui inhibisi kanal ion kalsium. Antihistamin H1 dibagi menjadi dua
golongan, yaitu AH1 generasi pertama dan generasi kedua. Selain memiliki efek antihistamin,
AH1 generasi pertama juga dapat bekerja pada reseptor muskarinik, α-adrenergik dan
serotonik serta kanal ion jantung. Efek samping AH1 generasi pertama adalah retensi urin,
hipotensi dan aritmia jantung yang dimediasi oleh reseptor ini. Antihistamin H1 generasi
pertama dibagi mejadi enam kelompok berdasarkan struktur kimianya yaitu: etilendiamin,
etanolamin, alkilamin, fenotiazin, piperazin dan piperidin. Antihistamin H1 generasi kedua
berikatan non kompetitif dengan reseptor H1. Oleh karena AH1 generasi kedua memiliki
selektivitas tinggi dan sifat yang kurang lipofilik maka AH1 generasi kedua memiliki efek
sedasi yang jauh lebih rendah dan keamanan yang berbeda dibandingkan dengan obat
generasi pertama. Obat yang termasuk AH generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol,
setirizin, loratadin, fexofenadin, desloratadin, akrivastin, mizolastin, azelastin, ebastin, dan
oxatomid.13
Pengobatan urtikaria terdiri dari non-medikamentosa dan medikamentosa.
Berdasarkan non-medikamentosa identifikasi dan menghindari kemungkinan penyebab.
Medikamentosa terbagi secara topikal dan sistemik. Secara topik bisa diberikan bedak kocok
antipruritus mentol dan kamfer. Secara sistemik untuk urtikaria akut bisa diberikan AH1
nonsedatif, bila AH1 nonsedatif tidak berhasil dapat digunakan hydroxyzine atau
diphenhydramine 25-50mg/hari. Untuk angioedema disertai obstruksi saluran pernapasan
dapat diberikan epineprin dan kortikosteroid prednison 50mg/hari selama tiga hari dosis
diturunkan 5-10mg/hari.14 Untuk dosis dari AH1 nonsedatif Tabel 5.8

Tabel 5. Dosis AH1 generasi kedua nonsedatif.8


Agent Standard dose per day (adults) Youngest approved age
Cetirizine 10 mg 2 years (drop preparation)
Bilastine 20 mg 12 years (tablets)
Desloratadine 5 mg 1 year (syrup)
Ebastine 10 mg 18 years (tablets)
Fexofenadine 180 mg 12 years (tablets)
Levocetirizine 5 mg 2 years (drop preparation, liquid)
Loratadine 10 mg 2 years (tablets)
Mizolastine 10 mg 12 years (tablets)
Rupatadine 10 mg 6 years (solution)

21
PENATALAKSANAAN URTIKARIA15
Umum:

Edukasi: Identifikasi dan menghindari kemungkinan penyebab.

Khusus:

1. Prinsip

Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran
napas. Dapat dilakukan di unit gawat darurat bersama-sama dengan/atau dikonsulkan ke
Spesialis THT.

2. Topikal

Bedak kocok dibubuhi antipruritus mentol dan kamfer.

3. Sistemik

Urtikaria akut

a. Antihistamin (AH-1) generasi dua (non-sedatif).

b. Bila dengan AH nonsedatif tidak berhasil maka diberikan AH-1 generasi satu
(sedatif).

Urtikaria kronik

a. Terapi lini pertama: Antihistamin H1 generasi kedua (non-sedatif).

b. Terapi lini kedua: Jika gejala menetap setelah 2 minggu, antihistamin H1 generasi
kedua (non sedatif) dapat dinaikkan dosisnya 2-4 kali.

c. Terapi lini ketiga: Bila gejala masih menetap sampai 1-4 minggu, ditambahkan:

 Antagonis leukotrien (montelukast) atau siklosporin atau omalizumab.

 Jika terjadi eksaserbasi gejala dapat diberikan kortikosteroid sistemik dengan


dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari, tidak boleh lebih dari 10 hari.

22
PENATALAKSANAAN ANGIOEDEMA15
Umum:

Edukasi: menghindari kemungkinan pencetus

Khusus:

Non Medikamentosa

1. Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor penyebab endogen dan eksogen.

2. Apabila didapatkan sesak nafas, suara serak atau odinofagia dikonsulkan ke spesialis THT
untuk dilakukan nasopharyngolaryngoscopy (NPL) dengan terlebih dahulu diatasi keadaan
darurat di Unit Gawat Darurat.

3. Apabila didapatkan edema laring berdasarkan hasil NPL maka dirawat di ICU untuk
monitor jalan nafas.

4. Pasien dengan edema terbatas pada kulit dapat diobservasi di unit gawat darurat dalam 6
jam, dan diperbolehkan rawat jalan.

Medikamentosa

1. Prinsip

Mengurangi pelepasan mediator oleh sel mast dan/atau efek mediator tersebut pada organ
target, serta menginduksi toleransi. Pada angioedema akut pengobatan difokuskan untuk
mengurangi gejala.

2. Topikal

Tidak ada terapi khusus

3. Sistemik

Apabila ada gangguan nafas: epinefrin atau adrenalin (1:1000) dosis 0,3 ml subkutan atau
intramuskular, diulangi setiap 10 menit. Pengobatan selanjutnya:

 Lini pertama:

o Antihistamin H-1 generasi ke-2 seperti loratadin, cetirizin, desloratadin, atau


feksofenadin, dapat diberikan pada pasien rawat jalan
23
o Atau antihistamin H-1 generasi ke-1

o Apabila gejala menetap setelah 2 minggu pengobatan, maka diberikan pengobatan


lini kedua.

 Lini kedua:

o Dosis antihistamin H-1 generasi kedua ditingkatkan 2-4 kali lipat.

o Apabila gejala menetap setelah 1-4 minggu berikutnya diberikan pengobatan lini
ketiga.

 Lini ketiga:

o Kortikosteroid diindikasikan pada pasien dengan syok anafilaksis, edema laring,


dan gejala yang berat yang tidak berespons dengan pemberian antihistamin. Dosis
0,5-1 mg/kgBB/hari dengan atau tanpa tappering.

o Kortikosteroid jangka pendek (maksimal 10 hari) dapat juga digunakan apabila


terjadi eksaserbasi.

o Dapat ditambahkan omalizumab atau siklosporin A.

KOMPLIKASI
Normalnya, urtikaria tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa gatal yang
ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan menyebabkan depresi.
Angioedema yang mengenai traktus respiratorius sering menyebabkan pasien sesak
nafas dan menyebabkan pasien dibawa ke ruang gawat darurat. Pada edema angioneurotik
kematian hampir 30% disebabkan karena obstruksi saluran nafas. Jika melibatkan
gastrointestinal dapat mengakibatkan kram abdominal, muntah, dan diare.1

PROGNOSIS
Prognosis urtikaria akut umumnya baik, bisa hilang dalam 24 jam. Urtikaria akut
hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila disertai angioedema saluran napas
bagian atas. Pada anak-anak, 20-30% urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronis
dan angka hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun. Prognosis urtikaria kronis

24
lebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan 20% akan
menetap setelah 5 tahun.3

RINGKASAN
Urtikaria adalah edema setempat yang tiba-tiba dan hilang secara mendadak dengan
halo eritem ditandai rasa gatal dan panas yang akan hilang <24 jam. Angioedema adalah
edema yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam seperti lapisan bawah dermis atau subkutis.
Urtikaria diklasifikasi menurut durasi terdiri dari akut yaitu <6 minggu dan kronik >6 minggu.
Selain itu berdasarkan faktor pencetus urtikaria dibagi menjadi urtikaria spontan, urtikaria
yang disebabkan agen fisik, dan urtikaria tipe lain. Sel mast adalah sel utama yang mendasari
terjadinya urtikaria dan angioedema. Menegakkan diagnosis urtikaria dapat dilakukan dengan
cara anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik rutin, dan tes diagnostik lanjutan apabila
diperlukan. Tatalaksana meliputi identifikasi serta eliminasi faktor penyebab dan terapi
simptomatis. Prognosis urtikaria akut pada umumnya baik, sedangkan urtikaria kronis
prognosisnya bervariasi.

25
DAFTAR PUSTAKA

1.James, WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Disease of the Skin Clinical Dermatology
11th Ed. Elsevier inc. 2011; p. 147-154.

2.Grattan, CEH., Kobza Black A. Rook’s Textbook of Dermatology 8th Ed. Blackwell. 2010;
p. 949-978.

3.Borges, MS et al. Diagnosis and Treatment of Urticaria and Angioedema: A Worldwide


Perspective. WAO Journal. 2012; 5: 125-147.

4.Data Pasien Poli Rawat Jalan Departemen Dermatologi dan Venerologi Divisi Alergo-
Imunologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2018.

5. Kaplan, AP. Fitzpatrick’s Dermatology In Genereal Medicine 8th ed: Urticaria and
Angioedema. McGraw-Hill Inc. 2012; p. 330-343.

6. Li, HH. Angioedema. [online] available at http://medscape.com. Accessed on April 29,


2019. 2019.

7. Bolognia, JL, Joseph LJ, Julie VS. Dermatology 3th Ed. Elsevier inc. 2012; p. 291-305.

8.Wedi, B et al. Urticaria. Journal of the German Society of Dermatology. 2012; p.12 (10): 1-
13

9. Zuberbier, T et al. EAACI/GA2LEN/EDF Guideline for the definition, classification,


diagnosis, and management of urticaria: the 2013 revision and update. Berlin. 2013; 64:321-
331.

10. Aisah S, Effendi EH. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ketujuh: Urtikaria dan
Angioedema. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016; hal. 311-314.

11. Kanani, A, Schellenberg R, Warrington R. Urticaria and Angioedema. BioMed Central


Ltd. 2011; 7 (1): 1-10.

12. Asian Academy of Dermatology and Venerology. AADV Asian Consensus Guideline for
management of chronic urticaria: Special Proceedings from the 19th RCD. 2010.

13.Wisesa TW. Penggunaan Antihistamin Dalam Bidang Dermatologi. In: Menaldi SL,
Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015; hal.411-416.

14.Kelompok Studi Dermato-Alergo-Imunologi Indonesia PERDOSKI. Urtikaria. Jakarta:


Centra Communications. 2014.

15. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. 2017.

26

Anda mungkin juga menyukai