Anda di halaman 1dari 5

I.

Krisis 1997 dan Krisis 2008


Pengertian krisis diartikan sebagai kondisi memperburuk perekonomian nasional akibat tidak
seimbangnya instrumen moneter dan fiskal. Jenis-jenis krisis dibedakan menjadi tiga
yaitu Currency Crisis, Banking Crisis danDebt Crisis. Currency Crisis disebabkan karena mata
uang domestik mengalami pelemahan yang sangat tajam terhadap mata uang luar negeri-harga
domestik lebih mahal jika dibandingkan luar negeri sehingga ekspor menurun sedangkan impor
akan naik-net expor akan mengalami defisit. Banking Crisis disebabkan karena bank
melakukanBank Run. Tindakan ini merupakan bagian dari ketidakpercayaan investor terhadap
mata uang domestik sehingga menarik simpanan di bank domestik. Debt Crisis adalah krisis yang
terjadi karena negara tidak mampu membayar utang domestik maupun luar negeri ditandai dengan
pendapatan nasional lebih kecil daripada debt budgettingmaupun government expenditure-
seharusnya pengelolaan debt budgetting kurang dari tiga persen dari total GDP dangovernment
expenditure tidak lebih besar dari 60 persen total GDP.

II.1 Krisis 1997


Krisis Asia 1997/1998 menyerang negara Thailand yang kemudian menyebar ke negara Malaysia,
Korea dan Indonesia (contaigon effect) berawal ketika Thailand krisis yang disertai dengan
melemahnya mata uang Bath.Indonesia diantara negara yang terkena dampak krisis Asia termasuk
negara yang paling parah terkena dampak. Secara garis besar terdapat empat masalah mendasar
yang membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk. Permasalahan tersebut berkaitan dengan (i)
kondisi mikro sektor perbankan dan dunia usaha serta dampaknya terhadap kondisi
makroekonomi, (ii) tingkat kompleksitas dan skala permasalahan yang dihadapi serta dampaknya
terhadap implementasi kebijakan ekonomi, (iii) kondisi sosial politik dan keamanan serta
kaitannya dengan risiko usaha, dan (iv) kondisi ekonomi global.
Pertama, masalah ketidakseimbangan kondisi neraca memperburuk kondisi perbankan dan
aktivitas kegiatan dunia usaha. Tidak hanya itu saja, kondisi ketidakseimbangan ini juga
menimbulkan tidak sinkronisasi antara neraca sektor moneter dan sektor fiskal yang ini merusak
keseimbangan tatanan makroekonomi. Ketidakseimbangan yang terjadi ini lebih banyak
disebabkan oleh adanya mismatch yaitu antara sumberdana dan alokasi dana terjadi
ketidakseimbangan. Sebagai contohnya utang jangka pendek (commercial paper ) yang jatuh
tempo dipakai untuk membiayai utang jangka panjang ( maturity paper), sedangkan utang luar
negeri dipakai untuk membiayai proyek yang justru tidak menghasilkan devisa (currency
mismatch), akibatnya utang luar negeri lebih besar daripada cadangan yang dimiliki. Dampak yang
ditimbulkan dari adanya krisis ini adalah kurs rupiah merosot tajam (grafik 1), sektor usaha dan
perbankan mengalami lonjakan dalam pembayaran utang dalam jangka pendek dan pada waktu itu
debitur dalam negeri tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan restruksi akibatnya dunia
bisnis mengalami kebangkrutan dan Rupiah mengalami kemerosotan yang paling parah.
Masalah kedua bersangkutan dengan kompleksitas masalah dalam pemerintahan.
Kelemahan fundamental mikroekonomi dan kelembagaan Indonesia masih tergantung terhadap
bantuan utang luar negeri. Pemerintah tidak transparan dalam pengelolaan negara. Hal ini
berimplementasi lemahnya kebijakan yang akan diambil ketika ada krisis, susah
membedakan antara kebijakan moneter dan fiskal.
Masalah ketiga berkaitan dengan tingginya risiko untuk melakukan usaha dalam negeri.
Kurang adanya kepercayaan untuk berinvestasi dalam negeri mengakibatkan perekonomian
berjalan lambat. Perkembangan di dalam negeri yang masih rawan terhadap gejolak sosial, politik,
dan keamanan turut pula meningkatkan risiko usaha di Indonesia. Akibatnya investasi melemah,
kapasitas produksi dan tenaga kerja menurun drastis. Hal ini berakibatnya barang yang diproduksi
semakin menurun dan berdampak pada nilai ekspor Indonesia yang semakin menurun.
Masalah keempat berkaitan dengan perkembangan yang kurang kondusif yang terjadi dari
pihak eksternal Indonesia. Ketika pangsa ekspor Indonesia turun dan membutuhkan bantuan dana
dari pihak asing, justru perekonomian luar negeri sedang mengalami kesuraman. Semakin
anjloknya harga barang komoditas di pasar internasional semakin memperburuk kondisi investor
asing untuk mereformasi dan memulihkan kondisi perekonomian negara yang mengalami krisis
seperti Indonesia.

II.2 Krisis 2008


Gejolak krisis keuangan global yang berasal dari Amerika Serikat pada 2007 mulai dirasakan
dampaknya di seluruh dunia, termasuk negara berkembang tidak kecuali Indonesia pada 2008.
Imbas krisis mulai dirasakan Indonesia pada kuartal III 2008. Perekonomian Indonesia mulai
tertekan dan hal ini ditandai dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, turun di level
6 persen. Suprime Mortgage Crisis atau lebih dikenal sebagai krisis global 2008 berpusat di New
York, Amerika Serikat. Krisis ini terjadi karena adanya greedy di pasar
modal yang menyebabkanEconomic Bubble-kenaikan harga tidak sebanding dengan
euforia. Harga mengalami kenaikan yang kemudian diikuti inflasi yang tinggi yang berdampak
suku bunga kredit naik. Pada waktu itu, Amerika Serikat mengalami peningkatan kredit akan
barang properti, khususnya kredit perumahan. Tingginya suku bunga kredit menyebabkan gagal
bayar sehingga timbul non-performing loan yang sangat buruk sehingga menyebabkan kredit
terhadapSuprime Mortgage turun. Imbasnya hal ini mempengaruhi harga saham yang semakin
anjlok. Dampak terburuk yang dialami adanya fenomena ini adalah tutupnya Lehman Brother.
Meluasnya permasalahan ini menimbulkan intensitas gejolak yang makin tinggi di pasar keuangan
global. Ketidakstabilan pasar keuangan internasional ini juga menyebabkan investor
memunculkan perubahan tren dominan dalam fortofolio global. Investor terdorong untuk menarik
asetnya dari emerging market termasuk Indonesia-Financial Engineering Indonesia paling
merasakan dampak krisis 2008.

II.3 Dampak Krisis


Krisis yang melanda Indonesia 1997 tidak hanya krisis keuangan Asia, akan tetapi Indonesia juga
dilanda currency crisis dan banking crisis(
twin crisis). Dampak currency crisis yaitu melemahnya mata uang Indonesia terhadap mata uang
negara lain. Penurunan nilai tukar rupiah yang semakin tajam ini juga disertai dengan pemutusan
akses peminjaman modal dari luar negeri menyebabkan komoditas produksi dan semakin sedikit
kesempatan kerja akibat semakin terdepresiasi Rupiah maka barang domestik lebih mahal daripada
barang luar negeri, akibatnya masyarakat cenderung bergantung terhadap barang impor. Pada saat
yang sama, laju inflasi 1997 mencapai 45,5 persen dari tahun sebelumnya. Tekanan inflasi ini
akibat dari dampak lanjutan dari melemahnya nilai tukar rupiah yang kemudian disusul dengan
kenaikan harga dalam negeri yang kemudian menimbulkan panic buying-ekspektasi masyarakat
terhadap kenaikan harga.
Dampak adanya banking crisis yang melanda Indonesia adalah adanya krisis mempengaruhi
kinerja perbankan akibatnya bank mengalami ketidakseimbangan dalam fungsi intermediasi.
Dalam satu sisi, perbankan sukses dalam mengumpulkan dana masyarakat namun di sisi lain
penyaluran kredit ke masyarakat mengalami penurunan. Akibatnya bank tidak cukup kredibel dari
segi profitabilitas, hal ini berdampak pada kelangsungan modal perbankan. Kerugian yang dialami
bank ini semakin terasa mengakibatkan kebankrutan.

Tabel 1: Kondisi Makroekonomi Indonesia, 1997 dan 2008


Indikator 1997(%) 2008(%)
Pertumbuhan Ekonomi 4,7 6,1
Inflasi 45,5 11,06
Eksternal
-Transaksi Berjalan(%PDB) -2,3 0,1
-Utang Luar Negeri(%PDB) 62,2 29,0
Fiskal
-Fiskal Balance(%PDB) 2,2 0,1
-Public Debt(%PDB) 62,2 32
Perbankan
-CAR(%) 9,19 16,2
-NPL(%) 8,15 3,8

Sumber: Laporan Bank Indonesia 2008, diolah

Pada 1997, produk domestik bruto lebih mengalami kontraksi yang dalam dengan tingkat transaksi
berjalan yang negatif (tabel 1) kondisi Indonesia semakin terpuruk dalam perdagangan
Internasional. Indonesia mengalami dampak lebih besar dibandingkan negara Asia lainnya karena
transaksi produk lebih pada ekspor manufaktur sedangkan di Indonesia manufaktur belum
berkembang, komoditas ekspor Indonesia masih pada sektor pertanian.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 masih di atas 6 persen. Indonesia sedikit
mendapatkan tekan pada triwulan ke empat akibat anjloknya kinerja ekspor yang disebabkan
adanya kenaikan pada pasar minyak dunia. Di sisi eksternal, neraca pembayaran mengalami
peningkatan defisit signifikan, akibat adanya risk spread yang mengalami peningkatan sehingga
mendorong arus modal keluar dari bursa saham Indonesia (grafik 4).
Secara relatif, posisi Indonesia pada 2008 tidak seburuk pada tahun 1997. Dampak krisis
keuangan global masih menahan Indonesia pada tingkat perekonomian 6,1 persen. Indonesia tidak
terkena dampak parah karena kondisi fundamental dari sektor ekternal, fiskal dan perbankan
Indonesia cukup kuat. Faktor lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah
tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat yang ikut menopang melalui tingkat daya beli
masyarakat. Daya beli masyarakat meningkat disebabkan adanya peningkatan pendapatan
masyarakat akibat kenaikan komoditas pangsa ekspor Indonesia (grafik 3), kenaikan tingkat
pendapatan pekerja kelas menengah ke atas dengan kebijakan pemerintah kenaikan gaji pegawai
negeri dalam bentuk sertifikasi, dan kebijakan Jaring Pengaman Pemerintah-Bantuan Langsung
Tunai untuk mengkompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak. Namun, krisis 2008
menimbulkan dampak sistemik pada sektor perbankan, meskipun dari sisi CAR dan NPL
menunjukkan performa yang baik, dampak krisis ini dialami oleh bank kecil dengan nasabah yang
besar. Tingkat CAR yang tinggi didukung dengan non-performing loan yang rendah, mendorong
para pelaku perbankkan untuk melakukan moral hazard-mengambil dan memanipulasi asset
perbankan akibatnya sektor perbankan mengalami kejenuhan dan mengidentifikasi adanya kolaps
sektor yang mendorong pengambil kebijakan menyuntik dana talangan untuk menutup likuiditas.

III. Kebijakan Pemerintah


Dalam memulihkan kondisi perekonomian akibat krisis 1997 dan krisis 2008, pengaruh kebijakan
didasarkan pada kondisi makroekonomi Indonesia dan dampak sistemik yang ditimbulkan. Peran
pemerintah dalam mengatasi dampak krisis Asia 1997 melakukan stimulus dengan meningkatkan
tingkat suku bunga. Kenaikan pada tingkat suku bunga tabungan menaikkan tabungan masyarakat
sehingga akan mengurangi jumlah uang beredar sekaligus menjadi pengontrol harga jangka
panjang. Untuk menjaga kestabilan moneter, Bank Indonesia melakukan ekspansi BLBI, mulai
memulihkan akses ke sumber pembiayaan luar negeri, dan mengubah sistem lelang SBI pada
pelaksanaan operasi pasar terbuka. Rekontruksi pada sektor perbankan dilakukan untuk
mengembalikan kepercayaan sektor keuangan melalui penutupan (14 bank, 1997,November dan
33 bank 1998, Maret) dan penggabungan bank serta melikuidasi 16 bank. Penyehatan perbankan
dilakukan program rekapitalisasi, memperbaiki kondisi internal perbankan dan lebih menekankan
pada fungsi pengawasan bank. Mencegah terulangnya krisis, pemerintah meneruskan kembali
program penjamin tabungan nasabah (tabungan maksimal Rp200 juta dijamin tahun 1998,
sekarang Rp2milyar) dan membentuk BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Pemulihan
akibat krisis 1997, lag kebijakan moneter membutuhkan waktu yang lama. Kemudian pemerintah
melakukan pembatasan terhadap kebijakan fiskal. Pembatasan ini dimaksudkan memberikan
stimulus fiskal melalui pembatasan APBN (tightAPBN).
Sementara respon pemerintah bersama Bank Indonesia terhadap dampak krisis 2008
menyepakati akan diperlakukannya kebijakan tight money. Sejak Januari 2009, Bank Indonesia
mulai mengurangi tingkat suku bunga. Dengan tingkat bunga turun akan meningkatkan konsumsi
dan investasi sehingga agregat output akan naik, namun kebijakan ini akan menimbulkan
spekulatif terjadinya depresiasi nilai tukar akibat menurunnya likuiditas bank akibat penurunan
interest rate. Kebijakan melakukan recovery terhadap perbankan juga dilakukan pada periode
krisis tahun 2008. Untuk menghindari dampak sistemik akibat bank sakit yang bisa menimbulkan
efek domino seperti tahun 1997, BI menginjeksi modal baru pada bank besar yang sakit sedangkan
bank kecil ditutup. Namun, kebijakan ini tidak efektif karena tidak didukung dengan kebijakan
fiskal yang kuat. Pemerintah menunjukkan manajemen fiskal yang lemah yaitu 80 persen
kebijakan fiskal dialokasikan sebagai tax saving dan subsidi, bukan untuk pengeluaran langsung.
Dengan tingkat defisit yang meningkat dari 1 persen (51triliun) menjadi 2,6 persen (137triliun).
Pemerintah Indonesia kemudian mengubah kembali kebijakan pada sektor riil dengan lebih
menekankan pada penambahan value added hal ini terbukti dengan kelanjutan pemerintah
terhadap Konsensus Washington dan mulai terbuka dalam Free Trade Area strategi.

Anda mungkin juga menyukai