Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PROGRAM KEGIATAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Kebencanaan

Kelompok 4
Heri Purnomo (15/380191/SV/07998)
Lubby Salim M S (15/384743/SV/09100)
Fenni Nursita Sari (15/386732/SV/10118)

Judul :

Kapabilitas Pemerintah Daerah Dalam Pengurangan


Risiko Bencana Tsunami Di Wilayah Pesisir Kulonprogo

DIV TEKNIK PENGELOLAAN DAN PEMELIHARAAN


INFRASRTRUKTUR SIPIL

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

SEKOLAH VOKASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dan bencana merupakan dua hal yang seolah tidak dapat

dipisah. Fenomena alam yang lumrah terjadi ini, pada awalnya adalah bahaya dan

akan berubah menjadi bencana bila terdapat aktivitas kehidupan manusia yang

berada di sekitarnya. Masalah pun akan menjadi kompleks jika bertemu dengan

kerentanan dan tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas (Kusumasari,2014).

Keadaan setelah bencana selalu berimplikasi negatif di segala bidang. Rusaknya

infrastruktur fisik, hilangnya mata pencahariaan masyarakat, kestabilan ekonomi

terhambat, kondisi psikologis juga ikut terganggu, perasaan putus asa korban

bencana menyebabkan peningkatan angka depresi dan berkurangnya motivasi untuk

membangun. Akibatnya suatu wilayah yang terkena bencana akan semakin

terpuruk, tanpa terkecuali stabilitas pemerintahannya.

Persoalan bencana sendiri bukanlah semata-mata persoalan fisik namun juga

persoalan administrasi publik dan kebijakan publik, karena menyangkut isu- isu

berikut : siapa korbannya?, berapa banyak anggaran yang harus dikeluarkan?, siapa

yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi persoalan?, bagaimana mekanisme

organisasi penanggulangan bencana?, siapa dan bagaimana melakukan

monitoring kegiatan? (Pramusinto, 2009).

Bencana dapat menciptakan kondisi kritis bagi pemerintah daerah karena

harus menghadapi ketidakpastian (Kusumasari, 2014). Perlunya antisipasi awal

atas terhambatnya penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagai akibat dari


dampak bencana salah satunya dengan mengedepankan penanggulangan bencana

yang berbasis pengurangan risiko. Dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan

daerah, upaya pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Ini

relevan, apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintah yaitu memberikan

perlindungan kepada masyarakat, termasuk didalamnya melakukan upaya dampak

terhadap risiko bencana (Roem, 2013). Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam

amanat 2 aturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Kondisi Indonesia yang rawan bencana menuntut adanya pengembangan

sistem manajemen bencana yang efektif, efisien, berkelanjutan, dan responsif

melalui kelembagaan. Kapabilitas pemerintah daerah dalam hal ini sangat

diperlukan. Kapabilitas lembaga mengacu pada kemampuan organisasi untuk

melakukan serangkaian tugas secara terkoordinasi, memanfaatkan sumber daya

organisasi dengan tujuan untuk mencapai hasil akhir tertentu (Helfat & Peteraf,

2003).

Negara melalui peran kelembagaannya mempunyai tanggung jawab

melindungi masyarakat dari setiap bahaya yang mengganggu kehidupan normal

mereka, sebagaimana yang tertuang dalam amanat konstitusi Indonesia. Jika

negara sendiri lalai dari tanggung jawabnya, maka akan terjadi problematika yang

lebih besar lagi, tentunya berdampak di segala sektor dan berpengaruh pada

stabilitas penyelenggaraan urusan negara (pemerintahan) itu sendiri. Pentingnya


kapabilitas kelembagaan pemerintah dikarenakan peredaman risiko bencana

merupakan sebuah prioritas nasional dan lokal harus dilaksanakan dengan dasar

kelembagaan yang kuat, sebagaimana yang termaktub dalam Perka BNPB Nomor

3 Tahun 2012 bahwa kapabilitas daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan

bencana merupakan parameter penting untuk menentukan keberhasilan dalam

pengurangan risiko bencana.

Peran kelembagaan dalam PRB dimaknai sebagai integrasi secara efektif

pertimbangan pengurangan risiko bencana kedalam kebijakan, perencanaan, dan

program pembangunan berkelanjutan di semua tingkat, dengan penekanan khusus

pada pencegahan, mitigasi, serta peredaman kerentanan terhadap bencana.

Mengelola bencana alam merupakan inti dari kebijakan nasional, oleh karena itu,

semua level pemerintahan harus memiliki peran dan kebijakan yang jelas untuk

penanggulangan dan pengurangan risiko bencana alam (Kusumasari, 2014).

Berdasarkan pengalaman dalam penanganan kebencanaan di Indonesia,

kelembagaan dalam hal ini belum memiliki kapabilitas yang memadai, karena

masih terlihat dari semrawutnya tata kelola (manajemen) bencana mulai dari fase

mitigasi, tanggap darurat, dan pascabencana. Sebagaimana yang dipaparkan

Kusumasari (2014) bahwa pembelajaran dari pemerintah daerah di Indonesia dalam

mengelola bencana telah menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki

keterbatasan pengetahuan pada setiap tahap manajemen bencana yang berpotensi

mengakibatkan lebih banyak korban selama bencana. Rinciannya dapat dilihat

pada Tabel 1.1


Tabel 1. 1 Permasalahan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan
Manajemen Bencana
Tahap Masalah
Mitigasi Kesadaran masyarakat rendah karena bencana dipandang
sebagai kehendak Tuhan (pandangan fatalistik pasif);
Rendahnya komitmen pemerintah (misalnya : rendahnya
prioritas dan rendahnya visibilitas dari tujuan pemerintah
dalam menangani tugas-tugas rutin dan menolak inovasi),
tekanan politik, kepemimpinan, organisasi, dan keuangan
yang tidak efektif.
Kesiapsiagaan Sistem peringatan dini tidak memadai;
Keuangan.
Respon Komunikasi, terutama arus informasi antardinas/lembaga;
Sering ditemui kesulitan dalam koordinasi, baik secara
horizontal dan vertical;
Informasi publik, seperti sistem peringatan dini bencana
terbukti tidak memadai, laporan awal yang dikeluarkan
media sering melebih-lebihkan tingkat bencana,
meningkatkan isi pertanyaan tentang kesejahteraan
penduduk setempat, dan beberapa korban melaporkan
kesulitan yang dialami dalam menemukan anggota
keluarga selama masa tanggap darurat;
Bantuan relawan, mereka yang tidak tergabung dalam
lembaga bantuan yang terorganisasi dapat menerima
arahan yang lebih baik dan terintegrasi secara lebih efektif
dengan seluruh jaringan yang ada.
Pemulihan 1. Kendala anggaran;
2. Kurangnya keahlian;
3. Perintah dan kontrol dari pemerintah pusat.
Sumber:Dynes,et.al.,1972a;Labadie,1984b;Wolensky&Wolensky,1990;
Wyner&Mann,1983 dalam Kusumasari, 2014.

Milen (2001) mengemukakan kapabilitas organisasi akan dipengaruhi

(produk dari) tiga hal pokok yaitu : struktur organisasi, sumberdaya manusia dan

finansial. Kapabilitas dinilai berhasil jika suatu fungsi atau tugas-tugas pokok

yang telah ditetapkan dari pekerjaan tim organisasi atau sistem dianggap telah

sesuai atau dijalankan apabila turut menyumbang tercapainya misi dan tujuan

yang strategis secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Dalam ilmu manajemen,
kapabilitas organisasi dinyatakan sebagai faktor penentu keberhasilan program

(Kusumasari, 2014). Kapabilitas kelembagaan pemerintah daerah dapat dilihat

dari perannya dalam implementasi program. Hal ini sebagaimana dalam Riawan et

al. (2005) menurutnya kapabilitas organisasi dapat memberi kontribusi pada

keberhasilan implementasi.

Salah satu negara yang sering dijadikan contoh dalam manajemen bencana

adalah Jepang. Jepang terletak di sabuk Sirkum-Pasifik sehingga rentan terhadap

gempabumi dan tsunami, sama halnya dengan Indonesia (Pratama, 2014). Jepang

memiliki sistem peringatan dini yang paling baik di dunia. Pemerintahan yang

baik dan penegakan hukum juga menjadi faktor krusial yang menyelamatkan jiwa

masyarakat Jepang. Hal ini yang menghasilkan gedung-gedung sekolah atau

rumah sakit tidak ada yang rubuh saat terjadi gempa, sebab fasilitas publik dibangun

tanpa pungli dan korupsi dari penyelenggara negarannya. Bukti lain dari tanggung

jawab dan kesiapsiagaan Pemerintah Jepang secara cepat dan tepat adalah

pengumuman keadaan darurat nasional hanya dua jam setelah gempa terjadi.

Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Jepang,

sebagaimana yang terjadi pada peristiwa tsunami di 11 Maret 2011 silam (Azhari,

2011). Jepang telah menunjukan bahwa dengan adanya kapabilitas yang baik dari

pemerintah dalam penanggulangan bencana maka hasilnya masyarakat memiliki

kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dalam melindungi dan melayani

rakyatnya, sehingga proses penanggulangan bencana dapat berjalan dengan

efektif.
Ketika bencana mulai menjadi ancaman serius, orang semakin sadar,

bahwa investasi pembangunan akan dinihilkan karena bencana akan menegasikan

seluruh proses dan hasil pembangunan yang sudah dilakukan, oleh karena itu,

pembangunan tidak dapat dipisahkan dari bencana sebab “Kita Hidup Akrab dengan

Bencana” (Pramusinto, 2009). Berdasarkan pemaparan uraian tersebut maka

penelitian mengenai kapabilitas pemerintah daerah sangat diperlukan, mengingat

keberhasilan pembangunan berkelanjutan sangat bergantung pada kapabilitasnya

dalam mengurangi risiko bencana.

1.2 Perumusan Masalah

Pada umumnya setiap daerah mempunyai kerawanan terjadi bencana,

namun berbagai kejadian bencana alam yang ada di Indonesia secara umum

banyak terjadi di kawasan pesisir. Risiko bencana yang terjadi di kawasan pesisir

meningkat seiring dengan padatnya mobilitas aktivitas disana. Kawasan pesisir

merupakan kawasan yang sangat kompleks dan mempunyai dinamika tinggi.

Kawasan pesisir mengalami tekanan yang besar baik dari segi proses fisik maupun

aktivitas manusia (Marfai & Khasanah, 2012). Padahal menurut Diposaptono

(2003) wilayah pesisir Indonesia sangat kaya akan sumberdaya alam yang

berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional

untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan

penduduk, disisi lain juga rentan terhadap tekanan lingkungan dan bencana alam.

Kondisi tersebut sama halnya dengan kawasan pesisir Kulonprogo.

Kabupaten Kulonprogo memiliki wilayah yang terletak di kawasan Pesisir Selatan


Pulau Jawa yang berpotensi rentan terhadap bencana tsunami karena letak

geografisnya yang berhadapan langsung dengan Samudra India dan merupakan

tempat pertemuan dua lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia dan Lempeng

Indo-Australia yang secara tektonik sangat aktif dan dapat menjadi sumber

bencana tsunami (Widyawati et al., 2013). BNPB membuat peringkat untuk

Kabupaten Kulonprogo adalah 17 dari 173 kabupaten/kota yang memiliki pantai

dengan kategori ancaman tinggi, diperkirakan jika tsunami terjadi akan

mempunyai tinggi maksimum 11 meter dengan kedatangan gelombang setelah

gempa, 29 menit kemudian tsunami. Luas lahan terpapar 37.722 ha dengan jumlah

korban 72.871 jiwa (RPB BPBD Kulonprogo, 2014).

Disisi lain, meskipun berada dalam zona bahaya tsunami, kawasan pesisir

Kulonprogo menyimpan potensi sumber daya alam yang memiliki kontribusi

besar dalam pendapatan daerah. Berbagai pembangunan mega proyek seperti

pelabuhan perikanan, bandara, dan tambang pasir besi akan dibangun di sepanjang

pesisir dan dipastikan akan menjadi tumpuan pendapatan daerah sebagaimana

yang tercantum dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)

Kabupaten Kulonprogo tahun 2014-2018. Disamping itu, potensi objek wisata

kawasan pesisir juga memainkan peran penting dalam perekonomian daerah,

gambarannya sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 1.2.


Tabel 1. 2 Jumlah Pengunjung dan Realisasi Pendapatan Retribusi Tempat
Rekreasi Berdasarkan Tahun Anggaran 2014 di Kabupaten Kulonprogo
Obyek Wisata Jumlah Wisatawan Pendapatan
(000 Rp)
Pantai Glagah 282.639 1.051.791
Pantai Congot 37.201 136.453
Pantai Trisik 18.802 55.255
Waduk Sermo 38.657 119.926
Puncak Suroloyo 10.943 23.382
Gua Kiskendo 26.814 76.156
Sumber : Kabupaten Kulonprogo dalam Angka, 2015

Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1.2 tersebut, dapat disimpulkan

bahwa jumlah kunjungan wisatawan sebagian besar terkonsentrasi pada objek

wisata pantai yakni sebanyak 338.642 orang dengan persentase 82% dibanding

dengan objek wisata lainnya. Total pendapatan bersih daerah terbanyak juga berasal

dari objek wisata pantai sebesar Rp1.243.499.000 yakni menyumbang

85% pemasukan dibandingkan objek wisata lainnya.

Pada sektor pertanian, kawasan pesisir Kulonprogo juga menyumbang

pemasukan daerah yang cukup besar. Total lahan di sepanjang pesisir Kulonprogo

seluas 2.927 ha, dari luasan itu, 80% atau sekitar 2.066 ha potensial untuk usaha

pertanian antara lain untuk budidaya cabai. Tahun 2013 produktivitas cabai di lahan

pesisir jauh lebih tinggi dibanding lahan lain. Produktivitas cabai di lahan pesisir

mencapai 14-15 ton/ha, sedangkan di lahan selain pesisir rata-rata hanya mencapai

9 ton/ha (Wardoyo, 2013).

Melihat potensi wilayah pesisir Kulonprogo yang juga berdampingan

dengan potensi ancaman tsunami, maka sangat diperlukan upaya penanggulangan

bencana yang berbasis pengurangan risiko dengan mengintegrasikannya ke dalam


platform perencanaan dan kebijakan pembangunan daerah. Dalam hal ini

diperlukan kapabilitas kelembagaan dalam strategi mengelola risiko dengan acuan

Kerangka Kerja Sendai 2015-2030. Penelitian ini akan terfokus pada kapabilitas

kelembagaan pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana tsunami yang

mengancam wilayah pesisir Kulonprogo serta faktor-faktor yang memengaruhi

kapabilitas, maka disusunlah pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. bagaimana tingkat kapabilitas pemerintah daerah dalam pengurangan

risiko bencana tsunami di wilayah pesisir Kulonprogo?

2. faktor-faktor yang memengaruhi kapabilitas Pemerintah Daerah

Kabupaten Kulonprogo dalam pengurangan risiko bencana tsunami :

a) apa saja faktor pendukung kapabilitas?

b) apa saja faktor penghambat kapabilitas?

1.3 Tujuan Penelitian


1. mengkaji sejauh mana tingkat kapabilitas pemerintah daerah dalam

pengurangan risiko bencana tsunami di Kulonprogo;

2. identifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat kapabilitas

pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana tsunami di

Kulonprogo.

1.4 Manfaat Penelitian

1. penelitian ini dapat memberikan wawasan tentang gambaran kapabilitas

pemerintah daerah beserta faktor-faktor yang memengaruhinya untuk


dijadikan masukan perihal kebijakan pemerintah daerah di masa yang akan

datang dalam pengurangan risiko bencana di wilayah pesisir;

2. memberikan manfaat bagi lembaga pemerintah daerah dalam penyelenggaraan

pengurangan risiko bencana sebagai pertimbangan dalam penyusunan

perencanaan kebijakan penanggulangan bencana tsunami di daerah pesisir dan

pengoptimalan kapabilitas instansi yang bersangkutan.

1.5 Keaslian Penelitian

Topik kajian mengenai kapabilitas dalam konteks penanggulangan

bencana beberapa telah dilakukan, namun belum ada yang membahas secara khusus

kapabilitas pemerintah daerah dalam PRB tsunami dengan acuan Kerangka

Kerja Sendai 2015-2030. McEntire (2012) memandang kapabilitas dari sudut

kapabilitas individu dan komunitas dalam mengantisipasi, mengatasi, menolak, dan

memulihkan dari dampak bahaya alam. Ia menilai kapabilitas tersebut akan timbul

jika komponen kerentanan diatasi terlebih dahulu. Dalam prespektif McEntire

(2012) prioritas terhadap pengurangan kerentanan lebih penting daripada prioritas

terhadap bahaya, ia merekomendasikan pergeseran pemikiran ke arah konsep

kerentanan. Sementara itu, Paton dan Jackson (2012) berpendapat bahwa

kapabilitas akan lebih maksimal jika perencanaan dalam manajemen bencana

didasarkan pada analisis rinci dan komprehensif dalam operasional (program

pelatihan, alokasi sumber daya, latihan simulasi) dan ditinjau secara teratur. Jika

McEntire (2012) menyarankan agar kapabilitas dibangun dengan perbaikan

kualitas kehidupan individu dan masyarakat, maka


Paton dan Jackson (2012) hanya berfokus pada kesiapsiagaan dalam respon

tanggap darurat dan ditujukan kepada para praktisi.

Penelitian lain yang mengkaji kapabilitas yang berhubungan dengan

kelembagaan pemerintah daerah dalam pengelolaan bencana antara lain

sebagaimana dalam penelitian Kusumasari dan Siddiqui (2010) kapabilitas dinilai

akan menjadi tolak ukur keberhasilan jika pemerintah daerah memiliki struktur

yang jelas, peran, tanggung jawab, dan hubungan dengan semua tingkatan

pemerintahan lainnya, sumber daya serta keuangan yang cukup untuk mendukung

kegiatan di semua tahapan penanggulangan bencana. Senada dengan Zendrato

(2014) indikator kapasitas dilihat dari aspek kelembagaan, SDM, dan keuangan.

Penelitian Triawan dan Suroso (2012) juga terdapat kesamaan dalam menentukan

analisis indikator kapasitas yang meliputi regulasi, komitmen organisasi, aparatur,

pembiayaan dan daya dukung organisasi. Terkait dengan pengukuran kapabilitas,

dalam hal ini penelitian Fathoni (2013) sedikit berbeda, karena pengukuran

mengacu pada Hyogo Framework for Action. Penelitian tersebut menekankan

penguatan kapasitas pemerintah melalui strategi-strategi tertentu.

Penjabaran secara lebih detail terkait dengan hasil-hasil penelitian

sebelumnya mengenai topik kajian kapabilitas atau kapasitas dalam

penanggulangan bencana akan ditampilkan dalam bentuk matriks seperti pada

Tabel 1.3 berikut ini.


Tabel 1. 3 Keaslian Penelitian

No. Judul Penelitian Tujuan Metode Temuan


1. Resource Capability for Local 1. Menyempurnakan persyaratan Studi literatur serta 1. Studi general di negara-negara berkembang dalam
Government in Managing kapabilitas lembaga-lembaga merangkum pandangan penanganan bencana (tidak disebutkan secara
Disaster (Kusumasari, B. & pemerintah daerah pada kegiatan peneliti, akademisi, dan spesifik negara tertentu), dilakukan disemua tahapan
Siddiqui, Q.A.K.,2010) pra bencana, tanggap darurat, dan badan-badan pemerintah. dalam manajemen bencana, ancamannya adalah
pasca bencana; bencana alam secara umum;
2. Pedoman untuk para peneliti, 2. Perencanaan penanggulangan bencana perlu disertai
birokrat, dan lembaga independen dengan restrukturisasi fungsi pemerintah, dan,
dalam menangani/manajemen sebagai bagian dari strategi perencanaan sosial,
bencana alam. semua stakeholder harus terlibat dalam bekerja
secara kolaboratif.

2. Developing Disaster 1. Memberikan sebuah kerangka kerja Penelitian kualitatif. 1. Mengkaji kapabilitas dalam manajemen bencana,
Management Capability: An untuk pengembangan dan evaluasi fokus pada perencanaan kesiapsiagaan dalam respon
Assessment Centre Approach, hasil simulasi secara kritis; tanggap darurat dikhususkan bagi para praktisi;
(Paton & Jackson, 2012) 2. Meningkatkan kompetisi kognitif 2. Rancangan kerangka kerja untuk pengembangan
yang mendasar untuk komunikasi dan evaluasi kritis dari hasil simulasi.
dan pembuatan keputusan dalam
tanggap darurat.

3. Understanding and Reducing 1. Memperluas pemahaman konsep Studi literatur. 1. Merekomendasikan pergeseran pemikiran ke arah
Vulnerability: from The kerentanan; konsep kerentanan dari pada prioritas terhadap
Approach of Liabilities and 2. Memberikan panduan kebijakan bahaya;
Capabilities (McEntire, 2012) bagi para praktisi. 2. Kerentanan diatasi dengan mengurangi risiko,
meningkatkan ketahanan (infrastruktur),
meningkatkan daya tahan (manusia).

4. Studi Kapasitas Pemerintah 1. Mengetahui tingkat kapasitas yang Deskriptif kualitatif dengan Kota Pariaman memiliki kapasitas regulasi, aparatur
Daerah dalam Pengurangan dimiliki Pemerintah Kota Pariaman metode desk study dan dan pembiayaan yang masih lemah. Faktor-faktor
Risiko Bencana Gempabumi. dalam pengurangan risiko survey research. yang dinilai sangat mempengaruhi tingkat kapasitas
Studi Kasus: Kota Pariaman, gempabumi; ini adalah terbatasnya regulasi, minimnya SDM
Sumatera Barat (Triawan & 2. Melihat faktor yang mempengaruhi aparatur dan pembiayaan.
Suroso, 2012) kapasitas.
Tabel 1.3 Lanjutan
No. Judul Penelitian Tujuan Metode Temuan

5. Studi Kapasitas Pemerintah 1. Mempelajari kapasitas Pemerintah Mix method. 1. Kapasitas Pemda dalam PRB PI rendah;
Daerah Dalam Pengurangan Daerah; 2. Terdapat 4 SKPD yang berperan dalam PI yaitu
Risiko Bencana Akibat 2. Menganalisis pembagian; BPBD,DKP,BLH, dan PU sedangkan SKPD lain
3. Merumuskan strategi penguatan belum memasukan PRB PI dalam rencana kerjanya;
Perubahan Iklim di Pulau-pulau
kapasitas Pemda. 3. Strategi penguatan kapasitas yang dapat dilaksanakan
Kecil : Kasus di Kabupaten Alor yaitu memperkuat kelembagaan dan regulasi,
Provinsi Nusa Tenggara Timur membentuk forum PRB yang mempertemukan
(Fathoni, 2013) seluruh pemangku kepentingan secara teratur, serta
melakukan PRB berbasis masyarakat melalui
pelatihan dan simulasi.

6. Analisis Kapasitas dalam 1. Kajian kapasitas kelembagaan, Kuantitatif deskriptif. 1. Spesialisasi tugas dan kompetensi personil yang
Tanggap Darurat SDM, dan Keuangan dalam mengisi peran dalam struktur organisasi belum
Penanggulangan Bencana Banjir tanggap darurat; memadai dan merata, hubungan antara dinas terkait
2. Menemu kenali kapasitas yang tanggap darurat penanggulangan bencana banjir
: Studi Kasus Penanggulangan
paling berpengaruh. belum ada;
Bencana Banjir di Kabupaten 2. SDM masih rendah, pengetahuan dan pelatihan yang
Nias Utara (Zendrato, 2014) belum merata;
3. Ketersediaan dana cadangan tanggap darurat tidak
rutin dianggarkan;
4. Kapasitas kelembagaan memiliki pengaruh lebih
besar daripada kapasitas SDM dan keuangan dalam
tanggap darurat penanggulangan bencana banjir.
KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan memaparkan kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah

dan tujuan penelitian. Bab ini juga memuat saran yang merupakan sumbangsih

penulis bagi pemerintah daerah berbasis hasil penelitian tentang kapabilitas

pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana tsunami di wilayah pesisir

Kulonprogo.

KESIMPULAN

1. Tingkat kapabilitas pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana

tsunami di Kulonprogo

Variabel kapabilitas ditentukan berdasarkan 4 tindakan prioritas yang

tertuang dalam Kerangka Kerja Sendai untuk pengurangan risiko bencana 2015-

2030 yang terdiri dari : prioritas 1 tentang memahami risiko bencana, prioritas 2

tentang penguatan tata kelola risiko bencana, prioritas 3 tentang investasi dalam

PRB untuk ketangguhan, dan prioritas 4 tentang meningkatkan manajemen risiko.

Masing-masing prioritas tersebut diambil 2 indikator untuk dinilai tingkat

kapabilitasnya. Hasilnya, indikator-indikator yang berada pada prioritas 1 yaitu

internalisasi pengetahuan kebencanaan di tingkat pemerintahan terkait berada

pada level 5, sedangkan kesiapan kajian risiko bencana daerah di level 4. Prioritas

2 terdiri dari indikator peran partisipatif dari komunitas lokal dalam PRB berada

pada level 4 dan indikator prosedur untuk menilai dampak risiko bencana dari

proyek pembangunan besar khususnya infrastruktur di level 5. Prioritas 3 yaitu

indikator sumber daya finansial di tingkat pemerintahan untuk PRB di level 4 dan

indikator kesiapan pembangunan sosial di daerah rawan bencana juga berada pada
level yang sama. Prioritas 4 terdiri dari indikator kesiapan sistem peringatan dini

tsunami daerah berada pada level 5 dan indikator kapasitas teknis operasional untuk

kesiapan tanggap darurat bencana di level 5.

2. Faktor pendukung dan faktor penghambat kapabilitas pemerintah daerah

dalam pengurangan risiko bencana tsunami di Kulonprogo

Faktor pendukung kapabilitas diantaranya adalah adanya kesamaan

presepsi dan kehendak terhadap tujuan yang ingin dicapai, regulasi yang

mendukung, dan terjalinnya koordinasi yang efektif. Faktor penghambat

kapabilitas adalah keterbatasan anggaran dan dinamika konflik lokal.

SARAN

Bagi Pemerintah
Dibutuhkan komitmen politik yang t inggi dari pemerintah daerah yang

diterjemahkan ke dalam penyediaan sumber anggaran yang memadai untuk

mendukung program pengurangan risiko bencana. Prinsip prioritas kiranya perlu

diterapkan dalam praktek PRB, karena dengan menginvestasikan anggaran pada

program-program PRB, secara tidak langsung berefek pada penekanan risiko

apabila terjadi bencana. Hal-hal seperti biaya atau jumlah, urgensi atau waktu,

kegawatan atau akibat buruk, dan perkiraan hasil dapat menjadi pertimbangan

dalam menentukan dasar prioritas dan masalah bencana termasuk salah satu yang

utama.

Prinsip yang mendasar dari desentralisasi dan otonomi daerah yang luas,

salah satunya adalah akuntabilitas. Kebijaksanaan pembangunan hendaknya lebih

ditekankan pada strategi dalam hal distribusi dana bantuan pembangunan itu

sendiri kepada daerah secara proporsional menurut kriteria yang rasional, sesuai
kondisi, potensi serta problem khusus di daerah yang bersangkutan dan

memberikan keleluasan ruang gerak bagi pemerintah daerah dalam mengambil

keputusan untuk merencanakan penggunaan dana bantuan pembangunan yang

telah dialokasikan kepada daerah menurut prioritas dan kebutuhan daerah.

Semakin luas kekuasaan dan kewenangan pemerintah daerah untuk

mengelola wilayahnya, maka akan semakin berpeluang besar terjadinya konflik

kepentingan. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya memiliki kemampuan dan

strategi yang efektif untuk mengintegrasikan manajemen konflik ke dalam setiap

kebijakan yang hendak diambil. Kemampuan dalam pengelolaan konflik

bermanfaat untuk meningkatkan kepekaan pemerintah daerah dalam merespon

aspirasi publik terhadap kinerja pemerintah.

Bagi Penelitian Selanjutnya

Fokus penelitian ini hanya mengkaji kapabilitas yang dimiliki oleh

pemerintah daerah, tidak melibatkan kapabilitas stakeholder lain seperti

masyarakat, LSM, dan swasta. Penelit ian ini juga hanya terbatas dalam lingkup

kabupaten (lokal). Sementara itu, pada Kerangka Kerja Sendai tidak hanya

membahas peran PRB lingkup lokal saja, namun juga pada aksi lintas sektor

lainnya yang meliputi tingkat nasional, regional, dan global. Kapabilitas kinerja

pemerintah dalam pandangan dan penilaian publik juga tidak dibahas secara detail

di sini, padahal menurut teori administrasi hal ini sangat berpengaruh terhadap

kualitas pelayanan publik. Oleh karena itu, diharapkan bagi penelitian selanjut nya

agar dapat menyempurnakan keterbatasan penelitian ini serta mengkaji secara

lebih mendalam terhadap komponen kapabilitas yang penerapannya tidak hanya

terbatas pada bencana tsunami saja, melainkan juga pada bencana lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail
&act=view&typ=html&buku_id=98010&obyek_id=4

Arif, A. (2014). Mitigasi Tsunami : Dilema di Selatan Jawa.


http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/.html (diunduh 03 oktober
2015).

Angkasa Pura. (2015). Kasasi Dikabulkan Pembangunan Bandara Baru


Yogyakarta Dilanjutkan. http://www.angkasapura1.co.id/detail/berita/html
(diunduh 11 Januari 2015).

Astuti, E. Z.L. (2012). Konflik Pasir Besi: Pro dan Kontra Rencana Penambangan
Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
16(1), 62-74.

Azhari, A.A. (2011). Ganbate! Meneladani Karakter Tangguh Bangsa Jepang.


Bandung : Grafindo.

Bakosurtanal. (2000). Rapid Integrated Survey : Coastal Resources Inventory.


Research Report. Jakarta.

Benson, C., et al. (2007). Perangkat untuk Mengarusutamakan Pengurangan


Risiko Bencana: Catatan Panduan bagi Lembaga-Lembaga yang
Bergerak dalam Bidang Pembangunan. Yogyakarta : Jaran Productions.

BNPB. (2012). Pengenalan Karateristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di


Indonesia Edisi II. Jakarta : BNPB.

. (2012). Rencana Induk Pengurangan Risiko Gempabumi dan Tsunami


2012–2019. Jakarta : BNPB.

. (2015). Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-


2030. Jakarta : BNPB.
BMKG. (2012). Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami InaTEWS – Edisi
Kedua. Jakarta : Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Kedeputian Bidang
Geofisika BMKG.

. (2015). Indonesia Rawan Gempabumi & Tsunami.


https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=3 (diakses 24
Maret 2015).

BPBD Bantul. (2014). BPBD DIY Tingkatkan Kapasitas Staf dan Operator
Pusdalops PB. https://bpbd.bantulkab.go.id/ (diunduh pada 10 Februari
2016.

BPBD Kulonprogo. (2014). Pembentukan/Penguatan Desa Tangguh Bencana di


Kabupaten Kulonprogo. http://bpbd.kulonprogokab.go.id/article-30-.html.
(diakses 19 Maret 2015).
Daftar Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana.

Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan


BPBD.
Peraturan Kepala BNPB Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Operasi Darurat Bencana.
Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang tentang Pedoman Umum
Desa/Kelurahan Tangguh.
Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana.

Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Penilaian


Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan Bencana.

Peraturan Kepala BNPB Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Pusat


Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana.

Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 11 Tahun 2010 tentang


Pembentukan BPBD.

Anda mungkin juga menyukai