Anda di halaman 1dari 44

ASUHAN KEPERAWATAN SYOK KARDIOGONIK,

ANAFILATIK, SEPTIC, HIPOVOLEMIK

DI SUSUN
OLEH KELOMPOK 2 :
1. AGITA SUKMALINDA
2. ANGGA YUDA PRATAMA
3. H. MAKKI SYAMSUDIN
4. IKA WAHYUNI
5. JELI MARTIN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG S.1
MATARAM
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah


memberikan rahmat, hidayah, serta nikmat yang telah diberikan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan syok”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari
semua pihak penulisan makalah ini tidak akan berjalan dengan baik. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan hingga terselesainya askep ini,
khususnya kepada ibu dosen atas bimbingannya.
Penulis berusaha semampunya untuk menyelesaikan askep ini
semaksimal mungkin, akan tetapi penulis juga tidak mengelak bahwa masih
terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak senantiasa
penulis harapkan untuk menyempurnakan pembuatan makalah ini dimasa
mendatang. Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan
ridho’Nya sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan yang
menulis khususnya.

Mataram, 7 april 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok yaitu hambatan di dalam peredaran darah perifer yang menyebabkan perfusi
jaringan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sel akan zat makanan dan membuang sisa
metabolisme (theodore, 93), atau suatu perfusi jaringan yang kurang sempurna. Perfusi
organ secara langsung berhubungan dengan MAP yang ditentukan oleh volume darah,
curah jantung dan ukuran vaskuler.
Syok dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan tidak adekuatnya ferfusi jaringan,
keadaan akut yang menyebar secara luas dimana terjadi penurunan perfusi jaringan dan
tidak adekuatnya sirkulasi volume darah intravaskuler yang efektif, suatu bentuk sindroma
dinamik yang akibat akhirnya berupa kerusakan jaringan sebab subtrat yang diperlukan
untuk metabolisme aerob pada tingkat mikroselurer dilepas dalam kecepatan yang tidak
adekuat oleh aliran darah yang sangat sedikit atau aliran maldistribusi (candido, 1996).
Jumlah insiden syok semakin meningkat diindonesia. Tidak jarang kita temui insiden
seperti ini. Mahasiswa keperawatan harus mampu mengenal tanda dan gejala syok dan
melaksanakan penatalaksanaan pada pasien syok. Sehingga kita menemukan kasus syok
mahasiswa mampu memberikan pertoongan pertama pada klien. Oleh karena itu,
mahasiswa perlu mempelajari tentang syok dan pelaksanaannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka kami merumuskan masalah pada askep ini
adalah bagaimana pelaksanaan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien dengan
kasus syok.
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan Pengertian Syok Kardiogenik
2. Menjelaskan Pengertian Syok Anafilaksis
3. Menjelaskan Pengertian Syok Septic
4. Menjelaskan Pengertian Syok Hivopolemik
BAB 2
KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1 LAPORAN PENDAHULUAN SYOK KARDIOGENIK


A. Pengertian
Defenisi Syok merupakan sindrom gangguan patofisiologik berat
yang berhubungan dengan metabolisme seluler yang abnormal, yang
umumnya disebabkan oleh perfusi jaringan yang buruk. Disebut juga
kegagalan sirkulasi perifer yang menyeluruh dengan perfusi jaringan
yang tidak adekuat (Tjokronegoro, A., dkk, 2003).
Kardiogenik syok adalah keadaan menurunnya cardiac output dan
terjadinya hipoksia jaringan sebagai akibat dari tidak adekuatnya volume
intravaskular. Kriteria hemodiamik hipotensi terus menerus (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg lebih dari 90 menit) dan bekurangnya cardiac
index (<2,2/menit per m2) dan meningginya tekanan kapiler paru (>15
mmHg). Sebagian besar disebabkan oleh infark miokardial akut
(Hollenberg, 2004).
B. Anatomi Fisisiologi
1. Suplai arteri pada Jantung
Arteri koronaria adalah yang bertanggungjawab untuk
mensuplai jantung itu sendiri dengan darah yang kaya oksigen.
Arteri koronaria adalah end-arteries yang diujung dan bila terjadi
penyumbatan, maka suplai darah ke otot miokardium akan terhambat
(infark miokard). Bila lumen pembuluh darah menyempit karena
perubahan atheromatous pada dinding pembuluh darah, pasien akan
mengeluh nyeri dada yang meningkat secara bertahap pada aktivitas
berat (angina). Kondisi ini tidak memungkinkan otot miokardium
meningkatkan kontraksi untuk memenuhi kebutuhan suplai darah,
akibat berkurangnya suplai darah arteri.
Terdapat variasi ukuran dan letak dari arteri koronaria. Sebagai
contoh, pada sebagian orang, cabang posterior interventikular dari
arteri koronaria kanannya lebih besar dan menyuplai darah ke
sebagian besar bagian ventrikel kiri sedangkan pada kebanyakan
orang tempat ini disuplai oleh cabang anterior interventrikular dari
arteri koronaria kiri. Contoh lain, nodus sino-atrial umumnya
disuplai oleh cabang nodus dari arteri koronaria kanan, akan tetapi
pada 30-40% populasi menerima suplai dari arteri koronaria kiri.
Saluran darah vena jantung Sistem aliran darah vena pada
jantung sebagai berikut: Vena-vena dan arteri-arteri koronaria
mengalir ke dalam atrium kanan melalui sinus koronaria. Sinus
koronaria mengalir ke dalam atrium kanan ke arah kiri dari dan
superior ke pembukaan dari vena cava inferior. Great Cardiac Vein
mengikuti cabang anterior interventrikular dari koronaria kiri dan
kemudian menjalar ke arah belakang kiri pada cabang-cabang
atrioventrikular. Pembuluh darah vena sedang mengikuti arteri
interventrikular posterior dan bersamaan dengan pembuluh darah
vena kecil yang mengikuti arteri marginalis, mengalir ke dalam sinus
koronaria. Sinus koronaria mengalir ke pembuluh darah vena pada
jantung.
Sistem konduksi jantungekg Terdapat 3 jenis sel dalam jantung
yang berperan dalam proses impuls normal di dalam jantung, yaitu:
a. Sel perintis (pacemaker cells) listrik jantung. Nodus sino- atrial
(SA) adalah pacemaker jantung. Ia terletak di atas krista
terminalis, dibawah pembukaan vena cava superior di dalam
atrium kanan.
b. Sel konduksi listrik jantung. Impuls yang dihasilkan oleh nodus
SA diantar melalui otot-otot atrial untuk menyebabkan
sinkronisasi kontraksi atrial. Impuls tiba ke nodus
atrioventrikular (AV) yang terletak di septum interatrial dibawah
pembukaan sinus koronaria. Dari sini impuls diantar ke ventrikel
melalui serabut atrioventrikular (His) yang turun ke dalam
septum interventrikular. Serabut His terbagi menjadi 2 cabang
kanan dan kiri. Cabang-cabang ini akan berakhir pada serabut-
serabut Purkinje dalam subendokardium dari ventrikel.
c. Sel miokardium kontraksi jantung. Jika sebuah gelombang
depolarisasi mencapai sebuah sel jantung, kalsium akan
dilepaskan ke dalam sel sehingga sel tersebut berkontraksi. Sel
jantung memiliki banyak sekali protein kontraktil, yaitu aktin dan
miosin.
C. Etiologi
1. Gangguan fungsi miokard :
Infark miokard akut yang cukup jelas (>40%), infark ventrikel
kanan.
Penyakit jantung arteriosklerotik.
Miokardiopati : Kardiomiopati restriktif kongestif atau
kardiomiopati hipertropik.
2. Mekanis :
Regurgitasi mitral/aorta
Ruptur septum interventrikel
Aneurisma ventrikel masif
3. Obstruksi :
Pada aliran keluar (outflow) : stenosis atrium
Pada aliran masuk (inflow) : stenosis mitral, miksoma atrium
kiri/thrombus, perikarditis/efusi perikardium.
Syok kardiogenik biasanya disebabkan oleh karena gangguan
mendadak fungsi jantung atau akibat penurunan fungsi kontraktil jantung
kronik. Secara praktis syok kardiogenik timbul karena gangguan mekanik
atau miopatik, bukan akibat gangguan elektrik primer. Etiologi syok
kardiogenik adalah:
a. Gangguan kontraktilitas miokardium.
b. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti
paru dan/atau hipoperfusi iskemik.
c. Infark miokard akut ( AMI),
d. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary,
ruptur septum, atau infark ventrikel kanan, dapat mempresipitasi
(menimbulkan/mempercepat) syok kardiogenik pada pasien dengan
infark-infark yang lebih kecil.
e. Valvular stenosis.
f. Myocarditis ( inflamasi miokardium, peradangan otot jantung).
g. Cardiomyopathy ( myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak
diketahui penyebabnya ).
h. Acute mitral regurgitation.
i. Valvular heart disease.
j. Hypertrophic obstructive cardiomyopathy.
D. Patofisiologi
Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi
patofisiologi gagal jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan
penurunan curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan
darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner
berkurang, sehingga asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada
gilirannya meningkatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan
jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan.
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi
cepat dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya
konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan
lembab. Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke
jantung.seperti pada gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal
untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting
untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan
yang telah dilakukan. Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
yang berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure)
menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang
efektif.
LV = left ventricle.
SVR = systemic vascular resistance.
Respon neurohormonal dan reflek adanya hipoksia akan menaikkan
denyut nadi, tekanan darah, serta kontraktilitas miokard. Dengan
meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kontraktilitas miokard,
akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, yang pada kondisi
kardiogenik syok perfusi miokard telah menurun, hal ini akan
memperburuk keadaan. Akibatnya, fungsi penurunan curah jantung,
tekanan darah menurun, dan apabila "Cardiac Index" kurang dari 1,8
ltr/menit/m2, maka keadaan kardiogenik syok semakin nyata
(Shoemaker, 1989; Mustafa, I, 1994).
Hipoperfusi miokard, diperburuk oleh keadaan dekompensasi, akan
menyebabkan semakin memperjelek keadaan, kerusakan miokard
ditandai dengan kenaikan ensim kardial, serta peningkatan asam laktat.
Kondisi ini akan menyebabkan; konsumsi oksigen (O2) tergantung pada
transport oksigen (Supply dependent), hutang oksigen semakin besar
(oxygen debt), asidosis jaringan. Melihat kondisi tersebut, obyektif
resusitasi bertujuan menghilangan VO2 yang "supplay-dependent",
"oxygen debt" dan asidosis.
Di sisi lain dengan kegagalan fungsi ventrikel, akan meningkatkan
tekanan kapiler pulmoral, selanjutnya diikuti dengan meningkatnya
tekanan hidrostatis untuk tercetusnya edema paru, disertai dengan
kenaikan "Pulmonary capilary wedge pressure" (PCWP), serta penurunan
isi sekuncup yang akan menyebabkan hipotensi. Respon terhadap
hipotensi adalah vasokontriksi sistimik yang akan meninggikan SVR
("Sistimik Vaskuler Resistan") dan meninggikan "After load" (Raharjo,
S., 1997). Gambar akhir hemodinamik, penurunan isi sekuncup,
peninggian SVR, LVEDP dan LVEDV.
E. Manifestasi Klinis
1. Nyeri dada yang berkelanjutan (continuing chest pain), dyspnea
(sesak/sulit bernafas), tampak pucat (appear pale), dan apprehensive
(= anxious, discerning, gelisah, takut, cemas)
2. Hipoperfusi jaringan.
3. Keadaan mental tertekan/depresi (depressed mental status).
4. Anggota gerak teraba dingin (cool extremities).
5. Keluaran (output) urin kurang dari 30 mL/jam (oliguria).
6. Tachycardia/takikardi (detak jantung yang cepat, yakni >
100x/menit).
7. Nadi teraba lemah dan cepat, berkisar antara 90–110 kali/menit, atau
bradikardi berat (severe bradycardia) karena terdapat high-grade heart
block.
8. Tachypnea, Cheyne-Stokes respirations.
9. Hipotensi: tekanan darah sistol kurang dari 80 mmHg.
10. Diaphoresis (= diaforesis, diaphoretic, berkeringat, mandi keringat,
hidrosis, perspiration/perspirasi, sudation, sweating).
11. Poor capillary refill.
12. Distensi vena jugularis (jugular vena distention, JVD).
13. Indeks jantung kurang dari 2,2 L/menit/m2.
14. Tekanan pulmonary artery wedge lebih dari 18 mmHg.
15. Suara nafas dapat terdengar jelas (clear) pada mulanya, atau rales (=
rattles, rattlings) dari edem paru akut (acute pulmonary edema).
16. S1 terdengar lembut (soft). Dapat juga terdengar suara jantung
abnormal (abnormal heart sounds), misalnya: S3 gallop, S4, atau
murmur dari ruptured papillary muscle, regurgitasi mitral akut, atau
septal rupture.
17. Pulmonary edema pada setting hipotensi merupakan highly
suggestive untuk cardiogenic shock. Edema permukaan (peripheral
edema) dapat mensugesti gagal jantung kanan (right-sided heart
failure).
Keluhan Utama Syok Kardiogenik :
1. Oliguri (urin < 20 mL/jam).
2. Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut).
3. Nyeri substernal seperti IMA.
Tanda Penting Syok Kardiogenik :
1. Tensi turun < 80-90 mmHg.
2. Takipneu dan dalam.
3. Takikardi.
4. Nadi cepat, kecuali ada blok A-V.
5. Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru.
6. Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar.
7. Sianosis.
8. Diaforesis (mandi keringat).
9. Ekstremitas dingin.
10. Perubahan mental.
Kriteria:
1. Adanya disfungsi miokard disertai:
2. Tekanan darah sistolis arteri <80 mmHg
3. Produksi urin <20 ml/jam
4. Tekanan v ena sentral > 10 mmH2O
5. Ada tanda-tanda gelisah, keringat dingin, akral dingin, takikardi.
F. Komplikasi
1. Cardiopulmonary arrest
2. Disritmia
3. Gagal multisistem organ
4. Stroke
5. Tromboemboli
G. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG : mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan
aksis, iskemia dan kerusakan pola.
2. ECG : mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark/fibrilasi
atrium, ventrikel hipertrofi, disfungsi pentyakit katub jantung.
3. Rontgen dada : Menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam
pembuluh darah atau peningkatan tekanan pulmonal.
4. Scan Jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan
gerakan jantung.
5. Kateterisasi jantung : Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan
membantu membedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri, stenosis
katub atau insufisiensi serta mengkaji potensi arteri koroner.
6. Elektrolit : mungkin berubah karena perpindahan cairan atau
penurunan fungsi ginjal, terapi diuretic.
7. Oksimetri nadi : Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika
CHF memperburuk PPOM.
8. AGD : Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau
hipoksemia dengan peningkatan tekanan karbondioksida.
9. Enzim jantung : meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan
jantung,missal infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim
CPK dan Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH).
H. Penatalaksanaan
1. Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya
dilakukan intubasi.
2. Berikan oksigen 8 - 15 liter/menit dengan menggunakan masker
untuk mempertahankan PO2 70 - 120 mmHg
3. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang
ada harus diatasi dengan pemberian morfin.
4. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa
yang terjadi.
5. Bila mungkin pasang CVP.
6. Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.
7. Medikamentosa :
8. Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri.
9. Anti ansietas, bila cemas.
10. Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi.
11. Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit.
12. Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi
jantung tidak adekuat. Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m.
13. Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m: bila ada dapat juga diberikan
amrinon IV.
14. Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m.
15. Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi
jaringan.
16. Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.
17. Obat alternatif:
Menurut Dean AJ, Beaver KM (2007):
1). Emergent therapy
Terapi ini bertujuan untuk menstabilkan hemodinamik pasien
dengan oksigen, pengaturan jalan nafas (airway control), dan akses
intravena. Diperlukan usaha untuk memaksimalkan fungsi ventrikel
kiri.
2). Volume expansion
Jika tidak ada tanda volume overload atau edema paru, volume
expansion dengan 100mL bolus dari normal saline setiap 3 menit
sebaiknya dicoba; hingga, baik perfusi yang cukup maupun terjadi
kongesti paru. Pasien dengan infark ventrikel kanan memerlukan
peningkatan tekanan untuk mempertahankan atau menjaga kardiak
output.
3). Inotropic support
a) Pasien dengan hipotensi ringan (tekanan darah sistolik 80-90
mmHg) dan kongesti pulmoner, untuk hasil terbaik dirawat dengan
dobutamine (2,5 mikrogram/kg berat badan/menit, pada interval 10
menit). Dobutamine menyediakan dukungan inotropik saat
permintaan oksigen miokardium meningkat secara minimal.
b) Pasien dengan hipotensi berat (tekanan darah sistolik kurang dari
75-80 mmHg) sebaiknya dirawat dengan dopamine. Pada dosis
lebih besar dari 5,0 mikrogram/kg berat badan/menit, stimulasi
alfa-adrenergik secara bertahap meningkat, menyebabkan
vasokonstriksi perifer. Pada dosis lebih besar dari 20 mikrogram/kg
berat badan/menit, dopamine meningkatkan ventricular irritability
tanpa keuntungan tambahan.
c) Kombinasi dopamine dan dobutamine merupakan strategi
terapeutik yang efektif untuk syok kardiogenik, meminimalkan
berbagai efek samping dopamine dosis tinggi yang tidak diinginkan
dan menyediakan bantuan/dukungan inotropik.
d) Jika dukungan tambahan untuk tekanan darah diperlukan, maka
dapat dicoba norepinephrine, yang berefek alfa-adrenergik yang
lebih kuat. Dosis awal : 0,5-1 mikrogram/menit.
4) Terapi reperfusi
Reperfusi miokardium iskemik merupakan terapi yang efektif
untuk pasien dengan infark miokard akut dan syok kardiogenik.
2.2 LAPORAN PENDAHULUAN SYOK ANAFILAKSIS
A. Definisi
Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa
sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro
intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului dengan
terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi. Syok
anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau
tanpa penurunan kesadaran. (Cicilia Bangeud, 2012)
Syok anafilaktik merupakan suatu resiko pemberian obat, baik
melalui suntikan ataupun dengan cara lain. Reaksi dapat berkembang
menjadi suatu kegawatan berupa syok, gagal napas, henti jantung, dan
kematian mendadak. (Alirifan, 2007)
Syok anafilaksis merupakan jenis syok distributif adalah hasil
dari reaksi hipersensitivitas segera. Ini adalah peristiwa hidup yang
mengancam yang memerlukan intervensi secepatnya. Respon antibodi
antigen yang parah menyebabkan penurunan perfusi jaringan dan inisiasi
respon syok umum. (Critical care nursing, 2007).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang
diperantarai olehImmunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai
dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.
B. Etiologi
Syok anafilaktik disebabkan oleh respon antigen antibodi.
Hampir semua zat apapun dapat menyebabkan reaksi hypersensivitas. Zat
ini, dikenal sebagai antigen, dapat diperkenalkan dengan injeksi atau
konsumsi atau melalui kulit atau saluran pernapasan. Sejumlah antigen
telah diidentifikasi yang dapat menyebabkan seseorang mengalami rekasi
hipersensitivitas.
Banyak bahan yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis dan
bahan-bahan tersebut terutama masuk ke dalam tubuh melalui parenteral,
walaupun ada pula bahan-bahan yang masuk melalui enteral yang dapat
menimbulkan reaksi anafilaksis. (Alirifan, 2011)
Bahan-bahan yang terlibat antara lain:

1. Antibiotika : penicillin dan derivatnya, sefalosporin, tetrasiklin,


eritromisin, streptomisin.
2. NSAID : salisilat, aminopirin.
3. Narkotik analgetik : morfin, kodein, meprobamat
4. Anestesi local : prokain, lidokain, kokain
5. Anestesi umum : thiopental, propofol
6. Produk darah dan antisera : eritrosit, lekosit, trombosit, gama -
globulin, antitoksin, anti difteri, anti rabies, anti tetanus, anti bias ular
dan laba-laba.
7. Bahan diagnostic : radiokontras yodium
8. Obat – obat lain : protamin, klorpropamid, besi, yodium, tiasid,
suksinilkolin.
9. Bisa hewan : lebah , lalat kerbau , ular , laba-laba, ubur-ubur.
10. Hormon : insulin, ACTH, ekstrak pituitaria.
11. Enzim dan biologis lain : asetil sistein , tambahan enzim pan- kreas.
12. Ekstra allergen potensial yang dipakai pada desensitisasi : tepung sari,
makanan, bisa hewan.
C. Patofisiologi
Bila suatu alergen spesifik disuntikkan langsung kedalam sirkulasi
darah maka alergen dapat bereaksi pada tempat yang luas diseluruh tubuh
dengan adanya basofil dalam darah dan sel mast yang segera berlokasi
diluar pembuluh darah kecil, jika telah disensitisasi oleh perlekatan
reagen Ig E menyebabkan terjadi anafilaksis.
Histamin yang dilepaskan dalam sirkulasi menimbulkan
vasodilatasi perifer menyeluruh, peningkatan permebilitas kapiler
menyebabkan terjadi kehilangan banyak plasma dari sirkulasi maka
dalam beberapa menit dapat meninggal akibat syoksirkulasi.
Histamin yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi yang
menginduksi timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan
permeabilitas kapiler setempat sehingga terjadi pembengkakan pada area
yang berbatas jelas (disebut hives). Urtikaria muncul akibat masuknya
antigen kearea kulit yang spesifik dan menimbulkan reaksi setempat.
Histamin yang dilepaskan sebagai respon terhadap reaksi
menyebabkan dilatasi pembuluh darah setempat terjadi peningkatan
tekanan kapiler dan peningkatan permeabilitas kapiler menimbulkan
kebocoran cairan yang cepat dalam hidung menyebabkan dinding mukosa
hidung bengkak dan bersekresi. (Gaura, 2011)
D. Klasifikasi
klasifikasi syok anafilaksis
RINGAN SEDANG BERAT
1. Rasa kesemutan dan hangat 1. Onset mendadak
di perifer 1. Kemerahan pada muka dan
2. Gejala = ringan hanya
2. Rasa penuh di mulut dan leher (sementara), rasa kejadian lebih cepat hingga
tenggorokan hangat, gatal-gatal terjadi bronkospasme, edema
3. Kongesti nasal pembengkakan
2. Reaksi serius disertai laring, dispnea berat serta
periorbital bronkospasme dan edema sianosis
4. Pruritus, bersin-bersin dan saluran nafas atau laring
3. Disfagia,kram
mata berair dengan dipsnea, mengi dan abdomen,vomitus, diare dan
batuk Kemerahan pada muka serangan kejang-kejang
5. Awitan gejala terjadi 2 jam dan leher (sementara),rasa
4. Kadang timbul henti jantung
setelah kontak hangat, gatal-gatal dan koma

E. Manifestasi Klinis
Syok anafilaktik adalah reaksi sistemik yang parah yang dapat
mempengaruhi beberapa sistem organ. Berbagai manifestasi klinis yang
terjadi pada pasien anafilaksis shock, tergantung pada tingkat keterlibatan
multisistem. Gejala biasanya mulai muncul dalam menit paparan antigen
tetapi mereka mungkin tidak terjadi untuk hingga 1 jam. Gejala mungkin
juga muncul setelah 1-72 jam setelah paparan. Fase akhir dari reaksi ini
akan mirip dengan respon awal anafilaksis, lebih ringan atau lebih parah.
Manifestasi klinis dari syok anafilaksis :
1. Kardiovaskular
a. Hipotensi
b. Takikardia
2. Pernapasan
a. Benjolan di tenggorokan
b. Batuk
c. Dyspnea
d. Dysphagia
e. Suara serak
f. Stridor
g. Wheezing
h. Rales and rhonchi
3. Cutaneous
a. Pruritus
b. Erythema
c. Uritacria
d. Angioedema
4. Neurologi
a. Kegelisahan
b. Ketakutan
c. Tingkat kecemasan
d. Pusing – sakit kepala
e. Menurun kesadaran
5. Gastrointestinal
a. Mual
b. Muntah
c. Diare
d. Sakit perut
6. Salurankemih dan genital
a. Inkontinensia
b. Keluhan pendarahan subjektif vagina
c. Sensasi kehangatan
d. Dyspnea
e. Perut kram dan nyeri
7. Parameter Hemodinamik
a. Penurunan jantung tekanaan out (CO)
b. Indeks jantung (CI)
c. Penurunan tekanan di atrium (RAP)
d. Penurunan paru oklusi (POAP)
e. Penurunan sistemik vaskular (SVR)
F. Komplikasi
1. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas
2. Bronkospasme persisten
3. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian)
4. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler)
5. Kerusakan otak permanen akibat syok
6. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
7. Dermatitis kontakta yang khas, reaksi anafilaktoid
8. Lain-lain syok hipovolemik, syok septik / kardiogenik, asma dan
reaksi histeri
G. Pemeriksaan Penunjang
Penunjang diagnostik EKG untuk mengetahui gambaran jantung
(biasanya pada gambar EKG gelombang T mendatar dan terbalik),
aritmia. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas, diagnosa
ditegakkan dengan adanya keluhan dan tanda anafilaktik dengan riwayat
sebelumnya memakai obat parenteral atau adanya gigitan serangga.
(Cicilia Bangeud, 2010)
H. Penatalaksanaan
Penanganan anafilaksis adalah sebagai berikut:

1. Oksigenasi
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan
nafas yang etrbuka dan bebas harus dijamin, kalau perlu lakukan
sesuai dengan ABC-nya resusitasi.Penderita harus mendapatkan
oksigenasi yang adekuat. Bila ada tanda-tanda pre syok/syok,
tempatkan penderita pada posisi syok yaitu tidur terlentang datar
dengan kaki ditinggikan 30o – 45º agar darah lebih banyak mengalir
ke organ-organ vital. Bebaskan jalan nafas dan berikan oksigen
dengan masker. Apabila terdapat obstruksi laring karena edema laring
atau angioneurotik, segera lakukan intubasi endotrakeal untuk fasilitas
ventilasi. Ventilator mekanik diindikasikan bila terdapat spasme
bronkus, apneu atau henti jantung mendadak.

2. Epinefrin

Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat


pelepasan histamine dan mediator lain yang poten. Mekanismenya
adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan
basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan
histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh
darah perifer dan otot polos bronkus. Dosis yang dianjurkan
adalah 0,25 mg sub kutan setiap 15 menit sesuai berat gejalanya. Bila
penderita mengalami presyok atau syok dapat diberikan dengan
dosis 0,3 – 0,5 mg (dewasa) dan 0,01 mg/ KgBB (anak) secara intra
muskuler dan dapat diulang tiap 15 menit samapi tekanan darah
sistolik mencapai 90-100 mmHg. Cara lain adalah dengan
memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml garam fisiologis secara
intravena, dilakukan bila perfusi otot jelek karena syok dan
pemberiannya dengan monitoring EKG. Pada penderita tanpa
kelainan jantung, adrenalin dapat diberikan dalam larutan 1 : 100.000
yaitu melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9 ml NaCl 0,9% dan
diberikan sebanyak 10 ml secara intravena pelan-pelan dalam 5 – 10
menit. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang
mendapat anestesi volatile untuk menghindari terjadinya aritmia
ventrikuler.

3. Pemberian cairan intravena

Pemberian cairan infuse dilakukan bila tekanan sistolik belum


mencapai 100 mmHg (dewasa) dan 50 mmHg (anak). Cairan yang
dapat diberikan adalah RL/NaCl, Dextran/ Plasma. Pada dewasa
sering dibutuhkan cairan sampai 2000ml dalam jam pertama dan
selanjutnya diberikan 2000 – 3000 ml/m² LPB/ 24 jam. Plasma /
plasma ekspander dapat diberikan segera untuk mengatasi hipovolemi
intravaskuler akibat vasodilatasi akut dan kebocoran cairan
intravaskuler ke interstitial karena plasma / plasma ekspander lebih
lama berada di dalam intravaskuler dibandingkan kristaloid. Karena
cukup banyak cairan yang diberikan, pemantauan CVP dan
hematokrit secara serial sangat membantu.

4. Obat – obat vasopressor

Bila pemberian adrenalin dan cairan infuse yang dirasakan


cukup adekwat tetapi tekanan sistolik tetap belum mencapai 90
mmHg atau syok belum teratasi, dapat diberikan vasopressor.
Dopamin dapat diberikan secara infus dengan dosis
awal 0,3mg/KgBB/jamdan dapat ditingkatkan secara bertahap
1,2mg/KgBB/jam untuk mempertahankan tekanan darah yang
membaik. Noradrenalin dapat diberikan untuk hipotensi yang tetap
membandel.

5. Aminofilin

Sama seperti adrenalin, aminofillin menghambat pelepasan


histamine dan mediator lain dengan meningkatkan c-AMP sel mast
dan basofil. Jadi kerjanya memperkuat kerja adrenalin. Dosis yang
diberikan 5mg/kg i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit untuk mencegah
terjadinya hipotensi dan diencerkan dengan 10 ml D5%. Aminofillin
ini diberikan bila spasme bronkus yang terjadi tidak teratasi dengan
adrenalin. Bila perlu aminofillin dapat diteruskan secara infuse
kontinyu dengan dosis 0,2 -1,2 mg/kg/jam.

6. Kortikosteroid

Berperan sebagai penghambat mitosis sel precursor IgE dan


juga menghambat pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat
pada fase lambat. Kortikosteroid digunakan untuk mengatasi spasme
bronkus yang tidak dapat diatasi dengan adrenalin dan mencegah
terjadinya reaksi lambat dari anafilaksis. Dosis yang dapat diberikan
adalah 7-10 mg/kg i.vprednisolon dilanjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6
jam atau dengan deksametason 40-50 mg i.v. Kortisol dapat diberikan
secara i.v dengan dosis 100 -200 mg dalam interval 24 jam dan
selanjutnya diturunkan secara bertahap.

7. Antihistamin

Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh histamine


terhadap sel target. Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang
memanjang atau bila terjadi edema angioneurotik dan urtikaria.
Difenhidramin dapat diberikan dengan dosis 1-2mg/kg sampai 50
mg dosis tunggal i.m. Untuk anak-anak dosisnya 1mg/kg tiap 4 -6
jam.

8. Resusitasi jantung paru

Resusitasi jantung paru (RJP) dilakukan apabila terdapat


tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan pernafasan. Untuk itu tindakan
RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya.
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang
lebih baik fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam keadaan
stabil terlebih dahulu. Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita
syok anafilaksis yang belum stabil penderita akan dengan mudah
jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan fatal. Saat evakuasi,
sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat yang menguasai
penanganan kasus gawat darurat.
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat
dipulangkan karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis.
Sebaiknya penderita tetap dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam.
Untuk keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini sebaiknya
penderita dirawat di Unit Perwatan Intensif. (Alirifan, 2011).

2.3 LAPORAN PENDAHULUAN SYOK SEPTIK


A. Definisi
Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme menginvasi
tubuh dan menyebabkan respon inflamasi sitemik. Respon yang
ditimbulkan sering menyebabkan penurunan perfusi organ dan
disfungsi organ. Jika disertai dengan hipotensi maka dinamakan Syok
sepsis. ( Linda D.U, 2006)
Syok septik adalah syok yang disebabkan oleh infeksi yang
menyebar luas yang merupakan bentuk paling umum syok distributif.
Pada kasus trauma, syok septik dapat terjadi bila pasien datang
terlambat beberapa jam ke rumah sakit. Syok septik terutama terjadi
pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan kontaminasi
rongga peritonium dengan isi usus.
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi
yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga
mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok septik merupakan keadaan
dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau
penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan
sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu
vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ
(Chen dan Pohan, 2007).
Syok septik merupakan syok yang disertai adanya infeksi
(sumber infeksi). Pada pasien trauma, syok septik bisa terjadi bila
pasien datang terlambat beberapa jam ke rumah sakit. Syok septik
terutama terjadi pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan
kontaminasi rongga peritonium dengan isi usus.
Syok septik adalah penurunan tekanan darah yang berpotensi
mematikan karena adanya bakteri dalam darah.Syok merupakan
keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi
jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme
sel/jaringan. Syok septikmerupakan keadaan dimana terjadi penurunan
tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah
sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah
dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan,
2007).
B. Etiologi
Mikroorganisme penyebab syok septik adalah bakteri gram
negatif. Ketika mikroorganisme menyerang jaringan tubuh, pasien akan
menunjukkan suatu respon imun. Respon imun ini membangkitkan
aktivasi berbagai mediator kimiawi yang mempunyai berbagai efek
yang mengarah pada syok, yaitu peningkatan permeabilitas kapiler,
yang mengarah pada perembesan cairan dari kapiler dan vasodilatasi.
Bakteri gram negatif menyebabkan infeksi sistemik yang
mengakibatkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil gram negatif
ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas
arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer
menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke
intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel
yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan
melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen
karena toksin kuman. Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia
sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi
perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam, tekanan darah sistolik turun dan
menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume
intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia,
kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang
melebar.Sepsis bisa disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat
bervariasi, meliputi bakteri aerobik, anareobik, gram positif, gram
negatif, jamur, dan virus (Linda D.U, 2006)
Selain itu syok juga dapat diakibatkan karena :
1. Perdarahan (syok hipovolemik)
2. Dehidrasi (syok hipovolemik)
3. Gagal jantung (syok kardiogenik)
4. Trauma atau cedera berat
5. Serangan jantung (syok kardiogenik)
6. Cedera tulang belakang (syok neurogenik)
7. Infeksi (syok septik)
8. Reaksi alergi (syok anafilaktik)
9. Sindroma syok toksik.

C. Patofisiologi Syok Septik


Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan
proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu
sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses
inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi
keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi
melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang
maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif,
kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai
organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang
menyebabkan maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi
jaringan dan syok. Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi
miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi
berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel
(MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan pada tingkat seluler
(termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia
reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan
turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi
(myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi
toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi
yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).
D. Tanda Dan Gejala
1. Demam tinggi > 38,9 ̊C, sering diawali dengan menggigil kemudian
suhu turun dalam beberapa jam (jarang hipotermi).
2. Takikardia (denyut jantung cepat) lebih cepat dari 100 denyut /
menit.
3. Hipotensi (sistolik < 90 mmHg)
4. Petekia, leukositosis atau leokopenia yang bergeser ke kiri,
trombositopenia
5. Hiperventilasi dengan hipokapnia
6. Gejala lokal misalnya nyeri tekan didaerah abdomen, periektal
7. Syok septik harus dicurigai pada pasien dengan demam, hipotensi,
trombositopenia atau koagulasi intravaskuler yang tidak dapat
diterangkan penyebabnya.
E. Prognosa
Syok septik dapat menyebabkan kegagalan organ multipel
termasuk kegagalan pernapasan dan dapat menyebabkan kematian
cepat.
F. Indikasi
1. Apabila pasien dalam keadaan Demam tinggi > 38,9 ̊C, sering
diawali dengan menggigil kemudian suhu turun dalam beberapa jam
(jarang hipotermi).
2. Apabila pasien dalam keadaan nyeri tekan didaerah abdomen,
periektal.
3. Apabila pasien dalam keadaan Hipotensi (sistolik < 90 mmHg).
G. Tindakan Syok Septik
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan
resusitasi yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan
secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit
gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b) circulation;
c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila
diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan
untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri
rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai
akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan
ventilasi maupun perfusi.Transpor oksigen ke jaringan juga dapat
terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard
menyebabkan penurunan curah jantung.Kadar hemoglobin yang
rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit
menurun.Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh
gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan
gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami
iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya
meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor
oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan
pemberian cairan baik kristaloid maupun koloid.Volume cairan yang
diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun
berlebih.Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat
terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi
jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi
urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan
tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular,
ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai
tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi
albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan
pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada
keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik.
Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10
g/dl.
3. Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik
teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih
mengalami hipotensi.Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah
secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik
90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis
>8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin
0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik
yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit,
dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau
inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau
serum bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk
memperbaiki keadaan hemodinamik.
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous
hemofiltration).Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan
osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi
digunakan gradien tekanan hidrostatik.Hemofiltrasi dilakukan
kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat
dilakukan hemodialisis.
6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam
lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin,
diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan
beru diberikan secara parenteral.
7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi
insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat
dugaan keadaan tersebut.Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus
intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.
H. Penanganan Syok
Secara umum yaitu sebagai penolong yang berada di tempat
kejadian, hal yang pertama-tama dapat dilakukan apabila melihat ada
korban dalam keadaan syok adalah :
1. Melihat keadaan sekitar apakah berbahaya (danger) , baik untuk
penolong maupun yang ditolong (contoh keadaan berbahaya : di
tengah kobaran api)
2. Buka jalan napas korban, dan pertahankan kepatenan jalan nafas
(Airway)
3. Periksa pernafasan korban (Breathing)
4. Periksa nadi dan Cegah perdarahan yang berlanjut (Circulation)
5. Peninggian tungkai sekitar 8-12 inchi jika ABC clear
6. Cegah hipotermi dengan menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat
(misal dengan selimut)
7. Lakukan penanganan cedera pasien secara khusus selama menunggu
bantuan medis tiba.
8. Periksa kembali pernafasan, denyut jantung suhu tubuh korban (dari
hipotermi) setiap 5 menit.
I. Pengobatan

1. Penderita dijaga agar tetap merasa hangat dan kaki sedikit dinaikkan
untuk mempermudah kembalinya darah ke jantung.
2. Setiap perdarahan segera dihentikan dan pernafasan penderita
diperiksa.
3. Jika muntah, kepala dimiringkan ke satu sisi untuk mencegah
terhirupnya muntahan.
4. Jangan diberikan apapun melalui mulut.
5. Tenaga kesehatan bisa memberikan bantuan pernafasan mekanis.
6. Obat-obatan diberikan secara intravena.
7. Obat bius (narkotik), obat tidur dan obat penenang biasanya tidak
diberikan karena cenderung menurunkan tekanan darah.
8. Cairan diberikan melalui infus. Bila perlu, diberikan transfusi darah.
9. Cairan intravena dan transfusi darah mungkin tidak mempu
mengatasi syok jika perdarahan atau hilangnya cairan terus berlanjut
atau jika syok disebabkan oleh serangan jantung atau keadaan
lainnya yang tidak berhubungan dengan volume darah.
10. Untuk menambah aliran darah ke otak atau jantung bisa diberikan
obat yang mengkerutkan pembuluh darah.

J. Komplikasi

1. Sindrom distress pernapasan pada dewasa


2. Koagulasi intravaskular
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian
2.4 LAPORAN PENDAHULUANSYOK HIPOVOLEMIK

A. Pengertian

Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditamdai dengan


menurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok
hipovolemik juga bisa terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain.
Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume
intraventrikel kiri pada akhir distol yang akibatnya juga menyebabkan
menurunnya curah jantung (cardiac output). Keadaan ini juga
menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari pembuluh darah
dimana terjadi vasokonstriksi oleh katekolamin sehingga perfusi makin
memburuk. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui
permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau
diare juga dapat mengakibatkan kehilangan cairan intravaskuler. Pada
obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus.

Pada diabetes atau penggunaan diuretic kuat dapat terjadi


kehilangan cairan karena dieresis yang berlebihan. Kehilangan cairan
juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pancreatitis akut, atau peritonitis
purulenta difus. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan
kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang
sangat berkurang. Respon tubuh terhadap perdarahan tergantung pada
volume, kecepatan dan lama perdarahan. Bila volume intravaskuler
berkurang, tubuh akan selalu berusaha mempertahankan perfusi organ-
organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ yang
lain seperti ginjal, hati dan kulit akan terjadi perubahan-perubahan
hormonal melalui system rennin-angiotensin-aldosteron, system ADH,
dan system saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam
pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravascular, dengan
akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan
dehidrasi interstitial.
Dengan demikian tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan
adalah menormalkan kembali volume intravascular dan interstitial. Bila
deficit volume intravascular hanya dikoreksi dengan memberikan darah
maka masih tetap terjadi deficit interstistial, dengan akibatnya tanda-
tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang berkurang.
Pengambilan volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila
diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dan
sebagainya) dan cairan garam seimbang.

B. Derajat Syok

1. Syok Ringan

Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti
kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup
lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan
yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin
normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau
ringan.

2. Syok Sedang

Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus,
ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih
lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat
oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan
tetapi kesadaran relatif masih baik.

3. Syok Berat

Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme


kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua
organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh
darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan
tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung
menurun).

C. Etiologi

Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah


efektif. Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya
akan menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik; sedangkan deficit
volume darah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok setelah trauma
biasanya jenis hipovolemik, yang disebabkan oleh perdarahan (internal
atau eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam jaringan kontusio
atau usus yang mengembang kerusakan jantung dan paru-paru dapat juga
menyokong masalah ini secara bermakna. Syok akibat kehilangan cairan
berlebihan bias juga timbul pada pasien luka bakar yang luas (john
a.boswick,1998:44).

Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan


intravaskuler, misalnya terjadi pada:

1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang


mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan
kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung
kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus
menghasilkan 500–1000 ml perdarahan atau fraktur femur
menampung 1000–1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
4. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
5. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
6. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat


berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau
berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan
oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan
metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman
jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam
lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik
adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik
yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki
serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan
penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan
prioritas utama.

D. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok


neurogenik) yang meliputi :

1. Sistim pernafasan : nafas cepat dan dangkal


2. Sistim sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin,
na-
di cepat dan lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah
menca-
pai 30%.
3. Sistim saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita
bervariasi
tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai
keadaan
tidak sadar.
4. Sistim pencernaan : mual, muntah
5. Sistim ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1
cc/kgBB/jam)
6. Sistim kulit/otot : turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah
kering.
Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan
denyut jantung yang normal atau melambat, tetapi akan hangat dan
kering apabila kulitnya diraba. (www.medicastore.com)

Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti


berikut:

1) Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan


arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih

2) Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.

Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut


serta pengisian kapiler yang jelek. Gejala syok hipovolemik cukup
bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya
volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan
kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons
kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi
kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan
takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam waktu
lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat
ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau
singkat.

E. Patofisiologi

Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :

1. Fase Kompensasi

Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian


rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup
untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi
dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke
jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat
yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan
vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air.
Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen
di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan
detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung
dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar.
Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai
cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan
tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga
menurun.

2. Fase Progresif

Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu


mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan
adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi
gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri
menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,
gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme
menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh
darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi
bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi
sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak
dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis
kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas
(DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran
darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi
di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan
anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari
jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok
(vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia
usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan
toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan
penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat
timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim
retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak.
Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari
aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,
terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam
karbonat di jaringan.

3. Fase Irevesibel

Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga


tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya
ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak
mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul
edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan
hiperkapnea.

F. Komplikasi

1. Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia


jaringan yang berkepanjangan.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan
alveolus kapiler karena hipoksia.
3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan
kematian jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan
jenjang koagulasi.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pada anamnesis Pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga


riwayat sakit mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat
atau orang yang mengetahui kejadiannya, cari : Riwayat trauma
(banyak perdarahan atau perdarahan dalam perut), Riwayat penyakit
jantung (sesak nafas), Riwayat infeksi (suhu tinggi), Riwayat
pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan obat)
2. Pemeriksaan fisik Kulit

Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat


sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia). Warna
pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik
dan syok hemoragi terminal)
Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).

3. Tekanan darah

Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada


penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau
meninggi pada awal syok septic)

4. Status jantung

Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba.

5. Status respirasi

Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi)


kemudian menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika
kondisi menjelek)

6. Status Mental

Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan


orientasi menurun, sopor sampai koma. Fungsi Ginjal Oliguria, anuria
(curah urin < 30 ml/jam, kritis)

7. Fungsi Metabolik

Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal


syok septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui).
Alkalosis respirasi akibat takipnea. Sirkulasi Tekanan vena sentral
menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada syok kardiogenik.
Keseimbangan Asam Basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena
takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru).
Pemeriksaan Penunjang Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah),
kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah. Analisa gas
darah, EKG.

H. Penatalaksanaan

1. Pastikan jalan nafas pasien dan nafas dan sirkulasi dipertahankan.


Beri bantuan ventilator tambahan sesuai kebutuhan.
2. Perbaiki volume darah sirkulasi dengan penggantian cairan dan
darah cepat sesuai ketentuan untuk mengoptimalkan preload jantung,
memperbaiki hipotensi, dan mempertahankan perfusi jaringan.
3. Kateter tekan vena sentra dimasukkan dalam atau didekat atrium
kanan untuk bertindak sebagai petunjuk penggantian cairan.
Pembacaan tekanan vena sentral kontinu (CVP) memberi petunjuk
dan derajat perubahan dari pembacaan data dasar; kateter juga
sebagai alat untuk penggantian volume cairan darurat.
4. Jarum atau kateter IV diameter besar dimasukkan kedalam vena
perifer. Dua atau lebih kateter mungkin perlu untuk penggantikan
cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan hemodinamik;
penekanan pada penggantian volume.
5. Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penangana karena
cairan ini mendekati komposisi elektrolit plasma, begitu juga dengan
osmolalitasnya, sediakan waktu untuk pemeriksaan golongan darah
dan pencocokkan silang, perbaiki sirkulasi, dan bertindak sebagai
tambahan terapi komponen darah.
6. Mulai tranfusi terapi komponen darah sesuai program, khususnya
saat kehilangan darah telah parah atau pasien terus mengalami
hemoragi.
7. Kontrol hemoragi; hemoragi menyertai status syok. Lakukan
pemeriksaan hematokrit sering bila dicurigai berlanjutnya
perdarahan
8. Pertahankan tekanan darah sistolik pada tingkat yang memuaskan
dengan memberi cairan dan darah sesuai ketentuan.
9. Pasang kateter urine tidak menetap: catat haluaran urine setiap 15-30
menit, volume urine menunjukkan keadekuatan perfusi ginjal.
10. Lakukan pemeriksaan fisik cepat untuk menentukan penyebab syok.
11. Pertahankan surveilens keperawatan terus menerus terhadap pasien
total-tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, suhu kulit, warna,
CVP, EKG, hematokrit, Hb, gambaran koagulasi, elektrolit, haluaran
urine-untuk mengkaji respon pasien terhadap tindakan. Pertahankan
lembar alur tentang parameter ini; analisis kecenderungan
menyatakan perbaikan atau pentimpangan pasien.
12. Tinggikan kaki sedikit untuk memperbaiki sirkulasi serebral lebih
baik dan mendorong aliran darah vena kembali kejantung (posisi ini
kontraindikasi pada pasien dengan cidera kepala). Hindarkan gejala
yang tidak perlu.
13. Berikan obat khusus yang telah diresepkan (misalnya inotropik
seperti dopamen) untuk meningkatkan kerja kardiovaskuler.
14. Dukung mekanisme devensif tubuh
15. Tenangkan dan nyamankan pasien: sedasi mungkin perlu untuk
menghilangkan rasa khawatir.
16. Hilangkan nyeri dengan kewaspadaan penggunaan analgesik atau
narkotik.
17. Pertahankan suhu tubuh.
a. Terlalu panas menimbulkan vasodilatasi yang merupakan
mekanisme kompensasi tubuh dari vasokontriksi dan
meningkatnya hilangnya caiiran karena perspirasi.
b. Pasien yang mengalami septik harus dijaga tetap dingin: demam
tinggi meningkatkan efek metabolik selular terhadap syok.
BAB 3

KONSEP DASAR ASKEP

A. Asuhan Keperawatan Syok Kardiogenik


1. PENGKAJIAN
a. Pengkajian primer

Airway : penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan


mengenai adanya obstruksi jalan napas, adanya benda asing. Pada
klien yang dapat berbicara dapat dianggap jalan napas bersih.
Dilakukan pula pengkajian adanya suara napas tambahan seperti
snoring.

Breathing : frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu


pernapasan, retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi
pengembangan paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara napas
tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma pada dada.

Circulation : dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac


output serta adanya perdarahan. Pengkajian juga meliputi status
hemodinamik, warna kulit, nadi.

Disability : nilai tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil.

b. Pengkajian sekunder

Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Anamnesis dapat menggunakan format AMPLE (alergi,
medikasi, past illness, last meal, dan environment). Pemeriksaan fisik
dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan
pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti foto thoraks,dll.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan pertukaran gas
ditandai dengan sesak nafas, peningkatan frekuensi pernafasan, batuk-
batuk.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
gangguan aliran darah sekunder akibat gangguan vaskuler ditandai
dengan nyeri, cardiac out put menurun, sianosis, edema (vena).
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan
spasme reflek otot sekunder akibat gangguan viseral jantung ditandai
dengan nyeri dada, dispnea, gelisah, meringis.
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supley
oksigen dan kebutuhan (penurunan / terbatasnya curah jantung)
ditandai dengan kelelahan, kelemahan, pucat.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas ditandai
dengan sesak nafas, gangguan frekwensi pernafasan, batuk-batuk

Tujuan : Setelah diberikan askep selama 3x 24 jam diharapkan pola


nafas efektif

Kriteria hasil :

• Klien tidak sesak nafas

• Frekwensi pernafasan normal

• Tidak ada batuk-batuk

Intervensi :

1) Evaluasi frekwensi pernafasan dan kedalaman. Catat upaya


pernafasan, contoh adannya dispnea, penggunaan obat bantu nafas,
pelebaran nasal
R/ Respon pasien berfariasi. Kecepatan dan upaya mungkin
meningkat karena nyeri, takut, demam, penurunan volume sikulasi
(kehilangan darah atau cairan), akumulasi secret, hipoksia atau
distensi gaster. Penekanan pernapasan (penurunan kecepatan)
dapat terjadi dari pengunaan analgesik berlebihan. Pengenalan
disini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah
komplikasi
2) Auskultasi bunyi nafas. Catat area yang menurun atau tidak
adannya bunyi nafas dan adannya bunyi nafas tambahan, contoh
krekels atau ronki
R/ Auskultasi bunyi napas ditujukan untuk mengetahui adanya
bunyi napas tambahan
3) Kolaborasi dengan beriakan tambahan oksigen dengan kanula atau
masker sesuai indikasi
R/ Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru-paru untuk
kebutuhan sirkulasi, khususnya adanya penurunan/ gangguan
ventilasi
b. Ketidakefektifan ferfusi jaringan perifer berhubungan dengan
gangguan aliran darah sekunder akibat gangguan vaskuler ditandai
dengan nyeri, cardiac out put menurun, sianosis, edema (vena)

Tujuan : Setelah diberikan askep 3x24 jam diharapkan perfusi jaringan


perifer efektif

Kriteria hasil :

• Klien tidak nyeri

• Cardiac out put normal

• Tidak terdapat sianosi

• Tidak ada edema (vena)

Intervensi :

1) Lihat pucat, sianosis, belang, kulit dingin, atau lembab. Catat


kekuatan nadi perifer.
R/ Vasokontriksi sistemik diakibatkan karena penurunan curah
jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan
penurunan nadi.
2) Dorong latihan kaki aktif atau pasif, hindari latihan isometrik.
R/ Menurunkan statis vena, meningkatkan aliran balik vena dan
menurunkan resiko tromboflebis.
3) Kalaborasi
i. Pantau data laboratorium,contoh : GBA, BUN, creatinin,
dan elektrolit
R/ Indikator perfusi atau fungsi organ
ii. Beri obat sesuai indikasi: heparin atau natrium warfarin
(coumadin)
R/ Dosis rendah heparin mungkin diberika secara
profilaksis pada pasien resiko tinggi dapat untuk
menurunkan resiko trombofleblitis atau pembentukan
trombusmural. Coumadin obat pilihan untuk terapi anti
koangulan jangka panjang/pasca pulang
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan
spasme refleks otot sekunder akibat gangguan viseral jantung ditandai
dengan nyeri dada, dispnea, gelisah, meringis

Tujuan : Setelah diberikan askep selama 3x24 jam, diharapkan pasien


merasa nyaman

Criteria hasil :

• Tidak ada nyeri

• Tidak ada dispnea

• Klien tidak gelisah

• Klien tidak meringis

Intervensi :

1) Pantau atau catat karekteristik nyeri, catat laporan verbal, petunjuk


non verbal dan repon hemodinamik ( contoh: meringis, menangis,
gelisah, berkeringat, mengcengkram dada, napas cepat,
TD/frekwensi jantung berubah)
R/ Mengetahui tingkat nyeri agar dapat mengetahui perencanaan
selanjutnya
2) Bantu melakukan teknik relaksasi, misalnya napas dalam perlahan,
perilaku diskraksi, visualisasi, bimbingan imajinasi
R/ Membantu dalam menurunan persepsi atau respon nyeri.
Memberikan kontrol situasi, meningkatkan perilaku positif.
3) Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi, contoh: analgesik, misalnya morfin,
meperidin (demerol)
R/ meskipun morfin IV adalah pilihan, suntikan narkotik lain dapat
dipakai fase akut atau nyeri dada beulang yang tidak hilang dengan
nitrogliserin untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi,
dan mengurangi kerja miokard. Hindari suntikan IM dapat
menganggu indikator diagnostik dan tidak diabsorsi baik oleh
jaringan kurang perfusi
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan suplay
oksigen dengan kebutuhan (penurunan atau terbatasnya curah jantung)
ditandai dengan kelelahan, kelemahan, pucat)

Tujuan : Setelah diberikan askep selama 3x24 jam, diharapkan pasien


dapat melakukan aktifitas dengan mandiri

Criteria hasil :

• Klien tidak mudah lelah

• Klien tidak lemas

• Klien tidak pucat


Intervensi :

1) Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya


bila pasien menggunakan vasolidator, diuretik, penyekat beta
R/ Hipertensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek
obat (vasodilatasi), perpindahan cairan, (diuretik) atau pengaruh
fungsi jantung
2) Catat respon kardio pulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi,
disritmia, dispnea, berkeringat, pucat
R/ Penurunan atau ketidakmampuan miokardium untuk
meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas, dapat
menyebabkan peningkatan segera pada frekwensi jantung dan
kebutuhan oksigen, juga meningkatkan kelelahan dan kelemahan
3) Kaji presipitator atau penyebab kelemahan, contoh pengobatan,
nyeri, obat
R/ Kelemahan adalah efek samping dari beberapah obat (beta
bloker, Trakuiliser dan sedatif). Nyeri dan program penuh stress
juga memerlukan energi dan menyebabkan kelemahan
4) Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas
R/ Dapat menunjukkan meningkatan dekompensasi jantung dari
pada kelebihan aktivitas
5) Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi,
selingi periode aktivitas dengan periode istirahat
R/ Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa
mempengaruhi stress miokard atau kebutuhan oksigen berlebihan
6) Kalaborasi
Impelementasikan program rehabilitasi jantung atau aktivitas
R/ Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung
atau komsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan
fungsi jantung dibawah stress, bila disfusi jantung tidak dapat
membaik kembali

Anda mungkin juga menyukai