Anda di halaman 1dari 41

CASE REPORT SESSION

LAPORAN KASUS
*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A218032 /2019
** Pembimbing dr. vivi, Sp.A

SINDROMA NEFROTIK KASUS RELAPS

Oleh
Robiatul Adawiyah / G1A218032

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

SINDROMA NEFROTIK KASUS RELAPS


Oleh:

Robiatul Adawiyah, S.Ked

G1A218032

Sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik senior

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi

2019

Jambi, April 2019

Pembimbing,

dr. Vivi, Sp.A

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia–Nya, penulis dapat menyelesaikan Clinical Report Session (CRS) yang
berjudul “Sindroma Nefrotik Kasus Relaps” sebagai kelengkapan persyaratan
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr vivi, Sp.A yang telah bersedia
meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum
Daerah H. Abdul Manap Kota Jambi.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna
kesempurnaan laporan CRS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.

Jambi, April 2019

Robiatul adawiyah

3
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
masif, hipoalbuminemia, hiperkolestrolemia serta edem. Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg
berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga
kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis diatas, kadang-kadang
dijumpai pula hipertensi , hematuria, bahkan kadang-kadang azotemia.

Kelainan primernya berupa peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap


protein yang mengakibatkan kehilangannya muatan negatif membran basal.
Peningkatan permeabilitas inilah yang menyebabkan proteinuria masif yang
disertai dengan hipoproteinemia sekunder. Tekanan onkotik plasma menurun,
yang menyebabkan pergeseran cairan dari kompartemen vaskular ke intestisial.
Edem merupakan sifat khusus penyakit ini adalah yang sering kambuh, sering
gagalnya pengobatan dan timbul penyulit baik akibat penyakitnya sendiri maupun
oleh karena akibat pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada sindrom
nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi, gangguan
pertumbuhan, hiperlipidemia, anemia.

Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat
dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,dengan prevalensi
berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak.Di negara berkembang insidensinya lebih
tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang
dari 14 tahun.Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik dan sekunder


mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),
purpura Henoch Schonlein dan lain lain.

Sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital,


sindrom nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder. Pada umumnya sebagian
besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi respon yang baik terhadap
pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps dan
sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan pengobatan steroid.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
1. Identitas penderita
Nama penderita : An. Dika Al Ajar
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 6 Oktober 2017
Umur : 1 Tahun 6 bulan
MRS tanggal : 15 April 2019
2. Identitas orang tua/wali
Ayah : Nama : Tn. Sukarmin
Umur : 36 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Blok C Tri Mulia Rantau Rasau

2.2 Anamnesis/Alloanamnesis
Alloanamnesis dilakukan dengan Ayah penderita, pada hari Senin, tanggal 15
April 2019.
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan bengkak seluruh tubuh sejak ± 1 bulan yan lalu,
Awalnya Kedua kelopak mata bengkak. Bak (+) keluar sedikit-sdikit dan
sering.Anak juga mengeluhkan sesak di dada serta batuk berdahak berwarna
bening. Mual (-), muntah (-), diare (-), pilek (-)

Riwayat penyakit dahulu :


Tidak ada keluhan serupa (-)

Riwayat penyakit keluarga :

5
Riwayat keluarga mengalami keluhan yang sama disangkal.

2.3 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


 Riwayat kehamilan ibu dan kelahiran pasien
Masa kehamilan : Aterm
Partus : Normal
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 6 Oktober 2017
Berat badan lahir : 3400 gram
Panjang badan : ayah lupa
 Riwayat makanan dan kebiasaan
Sejak lahir hingga usia 1 tahun pasien mendapatkan ASI eksklusif
 Riwayat imunisasi
BCG : 1 kali
DPT : 3 kali
Polio : 3 kali
Campak : 1 kali
Hepatitis B : 3 kali
Kesan : imunisasi dasar lengkap.
 Riwayat pertumbuhan
Berat badan lahir : 3400 gram
Panjang badan lahir : Ayah lupa
Lingkar kepala lahir :-
Lingkar perut lahir :-
Berat badan : 14 kg
Tinggi badan : 88 cm
Lingkar kepala : 47 cm
 Riwayat perkembangan
Gigi pertama :-
Tengkurap :-
Merangkak : -
Duduk : -
Berdiri : -
Berjalan : -
Berbicara : -
Sering mimpi :-
Aktifitas :-
Membangkang :-
Ketakutan :-
 Status gizi
Usia 1 tahun dengan tinggi badan 88 cm.
Status Gizi menurut kurva WHO yang mana anak termasuk gizi Baik.

6
 Riwayat penyakit yang pernah diderita
Parotitis :- Muntah berak : -
Pertusis :- Asma :-
Difteri :- Cacingan :-
Tetanus :- Patah tulang : -
Campak :- Jantung :-
Varicella :- Sendi bengkak: -
Thypoid :- Kecelakaan : -
Malaria :- Operasi :-
DBD :- Keracunan :-
Demam menahun : - Sakit kencing : -
Radang paru :- Sakit ginjal : -
TBC :- Alergi :-
Kejang :- Perut kembung: -
Lumpuh :- Otitis Media : -
Batuk/pilek :+ Ikterik :-

2.4 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5 = 15
b. Pengukuran
Tanda vital  Nadi : 105x/menit
RR : 44 x/menit
Suhu : 37,9°C
SpO2 : 98 %
Berat badan : 14 kg
Tinggi badan : 88cm
c. Kulit
Warna : sawo matang
Sianosis : -
Hemangioma : -
Turgor : Baik
Kelembaban :
Pucat : -
Lain-lain : edem palpebra (+) wajah (+) abdomen (+)
d. Kepala
Bentuk : Normochepal
Rambut
Warna : Hitam, merata, tidak mudah dicabut
Tebal / tipis : Tipis
Jarang / tidak (distribusi): Terdistribusi baik
Alopesia : -
Lain-lain : -

7
 Mata
Palpebra : Edema (+/+), cekung (-/-)
Alis dan bulu mata : hitam, merata, tidak mudah dicabut
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Isokor, refleks cahaya (+/+), papil edema (-/-)
Kornea : Keruh (-)
Lain-lain : Air mata (-)
 Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : (-/-)
Nyeri : (-)
 Hidung
Bentuk : Simetris
Pernapasan cuping hidung : -/-
Sekret : -/-
Epistaksis : - /-
Lain-lain :-
 Mulut
Bentuk : Simetris, bibir kering (-)
Bibir : Mukosa kering (-), Sianosis (-)
Gusi : Hiperemis (-)
 Lidah
Bentuk : dalam batas normal
Pucat :-
Tremor :-
Kotor :-
Warna : merah muda
 Faring
Hiperemis :-
Edema :-
Membran / pseudomembran : -
 Tonsil
Warna : merah
Pembesaran :-
Abses / tidak :-
Membran / pseudomembran : -
e. Leher
Pembesaran kelenjar leher : -
Kaku kuduk :-
Massa :-
Tortikolis :-
Parotitis :-
f. Thoraks
 Jantung

8
Inspeksi  Iktus cordis : Tidak terlihat
Palpasi  Iktus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi  Batas Jantung : dalam batas normal
Auskultasi  Suara dasar : S1-S2 reguler
Bising : gallop (-), murmur (-)
 Paru
Inspeksi  Bentuk : Simetris
Retraksi : ada
Pernapasan : thoraks
Bendungan vena :-
Sternum : Ditengah
Palpasi  Vokal fremitus : simetris
Perkusi  sonor
Auskultasi  Suara nafas dasar : Vesikuler normal (+/+)

Suara nafas tambahan : Rhonki (-/-) , wheezing (-/-)


g. Abdomen
Inspeksi  Bentuk : Cembung
Umbilikus :-
Petekie :-
Spider nervi :-
Turgor : baik
Lain-lain :-
Palpasi  Nyeri tekan :-
Nyeri lepas :-
Defans muskular : -
Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa :-
Ascites :+
Perkusi  Timpani / pekak : timpani
Ascites :-
Auskultasi : Bising usus menurun
h. Ekstremitas :
superior inferior
Edema -/- +/+

9
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill < 2 “ <2“
Eritema -/- -/-
i. Genitalia : dalam batas normal
j. Kelainan lain : (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Berikut ini adalah beberapa hasil pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan
pasien saat di rawat di RS Mattaher Jambi (15 April 2019):
Tabel 1.Hasil pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Pemeriksaan Normal
Darah Rutin
WBC 19,21 109/mm 4– 10
3
RBC 5,53 3.50 – 5.50
HGB 13,6 1012/l 11.0 – 16.0
HCT 43,2 g/dl 35.0 – 50.0
PLT 589 % 100-300
PCT 0,465 103/mm3 0,1-0,28
MCV 78,1 % 80 – 100
MCH 24,6 L fl 27-34
MCHC 315 L pg 320-360
RDW 15,4 g/dl 11-16
MPV 7,9 % 7-13
PDW 9,5 fl 15 – 18
%

10
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Analisa Urin
HASIL PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS HASIL PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS
Warna : Kuning muda Leukosit : 0-1/LPB
Kejernihan : Agak keruh Eritrosit : 0-1 /LPB
Reaksi/pH :7 Sel epitel : 1-2 /LPB
Berat Jenis : 1,015 Selinder: S. Granuler : -
Protein : +2 S. Hialin : +
Glukosa/reduksi : - S. Eritrosit : -
Blood/darah :- S. Leukosit : -
Bilirubin :- S. Epiteit : -
Urobilin :- Kristal :-
Urobilinogen :-
Nitrit :-

Tabel 3.Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik


NILAI NILAI
PARAMETER HASIL PARAMETER HASIL
NORMAL NORMAL
Profil Lipid Faal Hati
Cholesterol Total 598 <200 mg/dl Protein Total 3,8 6,4-8,4 mg/l
Albumin 1,0 3,5-5,0 mg/l
Faal Ginjal Globulin 2,8 3,0-3,6 mg/l
Ureum 13 15-39 mg/L
L: 0,9 – 1,3mg/l
Kreatinin 0,5 Elektrolit
P: 0,6-1,1 mg/l
Natrium 142,55 133-150mmol/l
Kalium 4,09 3,6-5,5mmol/l
Klorida 106,21 95-110mmol/l
Kalsium 1,43 1,10-1,40mmol/L

2.5 Diagnosis
Sindroma Nefrotik kasus relaps

11
2.6 Diagnosis Banding
Sindroma nefrotik kasus resisten steroid
Glomerulonefritis

2.7 Planning
Adapun terapi yang diberikan adalah sebagai berikut:
1. IVFD Kaen 3B 8 tpm

2.O2 Nrm 5 L/menit

3.Lasix 2x10 mg

4. Albumin 25 % 50 cc

5.inj.Methylprednisolon 3x35 mg + Ns 2 cc

6. inj. Ceftriaxone 1 amp+ D5 50 cc/18 jam

7. Ranitidin 2x15 mg

8.Nebu ventolin ½ amp+ Nacl 2 cc

9.Balance cairan, Tb, Lp

FOLLOW UP

Tanggal S O A P

Senin, Bengkak pada Kesadaran : cm Sindrom 1. IVFD Kaen 3B 8 tpm


15-04- perut (+), nefritik
T : 36,4 oC 2.O2 Nrm 5 L/menit
2019 bengkak pada relaps+edem
kelopak mata HR : 105 x/i 3.Lasix 2x10 mg
↓, bengkak RR : 44 x/i
4. Albumin 25 % 50 cc
pada
Kepala:
ekstremitas 5.inj.Methylprednisolon
normocephali
(+), sesak (+)

12
Mata: CA+/ 3x35 mg + Ns 2 cc
+,SI-/-,RC+/+,
LP : 55 cm 6. inj. Ceftriaxone 1
edem palpebra -/-
amp+ D5 50 cc/18 jam
BB : 14 kg THT:DBN
7. Ranitidin 2x15 mg
Leher:
pembesaran KGB 8.Nebu ventolin ½
(-) amp+ Nacl 2 cc

Thorax : simetris, 9.Balance cairan, Tb,


retraksi dada (+) Lp

Paru : Ves.+/+,
Wh -/-, Rh+/+

Cor: BJ I,II
regular, M(-) G
(-)

Abdomen:
cembung, hernia
umbilikalis (-),
tegang, BU (+)
menurun, asites

Genitalia:
skrotum edem (-)

Ekstremitas:
akral hangat,
eritema (-),
edema (+),

Selasa, Bengkak pada Kesadaran : cm Sindrom 1. IVFD Kaen 3B 8 tpm


16-04- perut (+), nefrotik
T : 36,2 oC 2.O2 Nrm 5 L/menit
2019 bengkak pada

13
ekstremitas(+), HR : 77 x/i relaps 3.Lasix 2x10 mg
sesak ↓
RR : 25 x/i 4. Albumin 25 % 50 cc

Kepala: 5.inj.Methylprednisolon
normocephali
BB : 13,85 kg 3x35 mg + Ns 2 cc
Mata: CA+/
LP : 55 cm 6. inj. Ceftriaxone 1
+,SI-/-,RC+/+,
amp+ D5 50 cc/18 jam
edem palpebra -/-
7. Ranitidin 2x15 mg
THT:DBN

Leher:
8.Nebu ventolin ½

pembesaran KGB amp+ Nacl 2 cc


(-)
9.Balance cairan, Tb,
Thorax : simetris, Lp
retraksi dada (↓)

Paru : Ves.+/+,
Wh -/-, Rh+/+

Cor: BJ I,II
regular, M(-) G
(-)

Abdomen:
cembung, hernia
umbilikalis (-),
tegang, BU (+)
menurun, asites

Genitalia:
skrotum edem (-)

Ekstremitas:
akral hangat,
eritema (-),

14
edema (+),

Jumaat, Bengkak pada Kesadaran : cm Sindrom 1. IVFD Kaen 3B 8 tpm


17-04- perut (+), nefritik
T : 36,2 oC 2.O2 Nrm 5 L/menit
2019 bengkak pada relaps
ekstremitas(+), HR : 95 x/i 3.Lasix 2x10 mg
sesak ↓ RR : 32 x/i
4. Albumin 25 % 50 cc
TD:100/60
5.inj.Methylprednisolon
mmHg
BB : 13,80 kg 3x35 mg + Ns 2 cc
Kepala:
LP : 55 cm 6. inj. Ceftriaxone 1
normocephali
amp+ D5 50 cc/18 jam
Mata: CA+/
+,SI-/-,RC+/+, 7. Ranitidin 2x15 mg
edem palpebra -/-
8.Nebu ventolin ½
THT:DBN amp+ Nacl 2 cc

Leher: 9.Balance cairan, Tb,


pembesaran KGB Lp
(-)

Thorax : simetris,
retraksi dada (↓)

Paru : Ves.+/+,
Wh -/-, Rh+/+

Cor: BJ I,II
regular, M(-) G
(-)

Abdomen:
cembung, hernia
umbilikalis (-),

15
tegang, BU (+)
menurun, asites

Genitalia:
skrotum edem (-)

Ekstremitas:
akral hangat,
eritema (-),
edema (+),

Kamis, Bengkak pada Kesadaran : cm Sindrom 1. IVFD Kaen 3B 8 tpm


perut (+), nefritik
18-04- T : 36,2 oC 2.O2 Nrm 5 L/menit
bengkak pada relaps
2019
ekstremitas(+), HR : 118 x/i 3.Lasix 2x10 mg
sesak ↓ RR : 32 x/i
4. Albumin 25 % 50 cc
Kepala:
5.inj.Methylprednisolon
normocephali
BB : 13 kg 3x35 mg + Ns 2 cc
Mata:
LP : 51 cm 6. inj. Ceftriaxone 1
CA-/-,SI-/-,RC+/
+, edem palpebra
amp+ D5 50 cc/18 jam

-/-
7. Ranitidin 2x15 mg
THT:DBN
8.Nebu ventolin ½
Leher: amp+ Nacl 2 cc
pembesaran KGB
9.Balance cairan, Tb,
(-)
Lp
Thorax : simetris,
retraksi dada (↓)

Paru : Ves.+/+,
Wh -/-, Rh+/+

16
Cor: BJ I,II
regular, M(-) G
(-)

Abdomen:
cembung, hernia
umbilikalis (-),
tegang, BU (+)
menurun, asites

Genitalia:
skrotum edem (-)

Ekstremitas:
akral hangat,
eritema (-),
edema (+),

Jumat, Bengkak pada Kesadaran : cm Sindrom 1. IVFD Kaen 3B 8 tpm


19-04- perut (+), nefritik
T : 36,5 oC 2.O2 Nrm 5 L/menit
2019 bengkak pada relaps
ekstremitas(↓), HR : 99 x/i 3.Lasix 2x10 mg
sesak (-) RR : 28 x/i
4. Albumin 25 % 50 cc
Kepala:
5.inj.Methylprednisolon
normocephali
BB : 12 kg 3x35 mg + Ns 2 cc
Mata:
LP : 48 cm 6. inj. Ceftriaxone 1
CA-/-,SI-/-,RC+/
+, edem palpebra
amp+ D5 50 cc/18 jam

-/-
7. Ranitidin 2x15 mg
THT:DBN
8.Nebu ventolin ½
Leher: amp+ Nacl 2 cc
pembesaran KGB

17
(-) 9.Balance cairan, Tb,
Lp
Thorax : simetris,
retraksi dada (-)

Paru : Ves.+/+,
Wh -/-, Rh-/-

Cor: BJ I,II
regular, M(-) G
(-)

Abdomen:
cembung, hernia
umbilikalis (-),
tegang, BU (+)
menurun, asites

Genitalia:
skrotum edem (-)

Ekstremitas:
akral hangat,
eritema (-),
edema (↓),

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ANATOMI GINJAL

Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting dalam
mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan mempertahankan
keseimbangan asam basa dalam darah. Produk sisa berupa urin akan
meninggalkan ginjal menuju saluran kemih untuk dikeluarkan dari tubuh. Ginjal
terletak di belakang peritoneum sehingga disebut organ retroperitoneal. 11 Ginjal

18
berwarna coklat kemerahan dan berada di sisi kanan dan kiri kolumna vertebralis
setinggi vertebra T12 sampai vertebra L3. Ginjal dextra terletak sedikit lebih
rendah dari pada sinistra karena adanya lobus hepatis yang besar. Masing-masing
ginjal memiliki fasies anterior, fasies inferior, margolateralis, margo medialis,
ekstremitas superior dan ekstremitas inferior. Bagian luar ginjal dilapisi oleh
capsula fibrosa, capsula adiposa, fasia renalis dan corpusadiposum pararenal.
Masing masing ginjal memiliki bagian yang berwarna coklat gelap di bagian luar
yang disebut korteks dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat
lebih terang. Medulla renalis terdiri dari kira-kira12 piramis renalis yang masing-
masing memiliki papilla renalis di bagian apeksnya. Di antara piramis renalis
terdapat kolumna renalis yang memisahkan setiap piramis renalis.11

Gambar 3.1 Anatomi Ginjal

3.2 FISIOLOGI GINJAL

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volum dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan
air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang
sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin.11

19
Ginjal memiliki fungsi yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.

Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian
akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari
darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpul kan dan dialirkan
keureter. Setelah ureter,urin akan ditampung terlebih dahulu dikandung kemih.
Bila orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan,
maka urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra.

Tiga proses utama akan terjadi dinefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi,dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah
besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula
Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas
sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir
sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler
glomerulus tetapi tidak difiltrasi, kemudian direabsorpsi parsial, reabsorpsi
lengkap dan kemudian akan dieksresi.

3.2. Sindroma nefrotik


3.2.1. Definisi sindroma nefrotik

Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan


oleh kelainan glomerular dengan gejala edema, proteinuria masif (lebih dari 50
mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml), dan
hiperkolesterolemia melebihi 250mg/dl. Tanda – tanda tersebut dijumpai pada

20
kondisi rusaknya membran kapiler glomerulus yang signifikan dan
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap
protein.4,5
Penyakit ini berlaku secara tiba -tiba justru berlanjut secara progresif
dan tersering pada anak-anak dengan insiden tertinggi ditemukan pada anak
berusia 3-4 tahun dengan rasio lelaki dan perempuan 2:1. Biasanya
dijumpai oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental
akibat proteinuria berat (Mansjoer et al. 1999). Kadang -kadang terdapat
juga hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Sedimen urin bisa
juga normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (> 20 eritrosit per
lapangan pandang besar) dicurigai adanya lesi glomerular misalnya sklerosis
glomerulus fokal.6,7
Umumnya sindrom nefrotik diklasifikasikan menjadi sindrom
nefrotik primer dan sindrom nefrotik sekunder. Pada sindrom nefrotik
primer terjadi kelainan pada glomerulus itu sendiri di mana faktor
etiologinya tidak diketahui. Penyakit ini 90% ditemukan pada kasus anak.
Pasien sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi lagi menjadi tiga
kelompok yaitu sindrom nefrotik kongenital, responsif steroid dan resisten
steroid. Sindrom nefrotik primer yang biasanya paling banyak menyerang
anak berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal dan majoriti dari mereka
berumur antara 1-6 tahun dan 90-95% dari mereka memberi respon yang
baik kepada terapi kortikosteroid. Pada dewasa pula, prevalensi sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit kasusnya berbanding
pada anak-anak.1,2,8

Sindrom nefrotik bawaan diturunkan sebagai resesif autosomal atau


karena reaksi maternofetal dan resisten terhadap semua pengobatan.
Prognosisnya buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya atau pada umur 1 hingga 5 tahun. Faktor predisposisi
kematian sering oleh karena infeksi, malnutrisi atau gagal ginjal. Pasien bisa
diselamatkan dengan terapi agresif atau transplantasi ginjal yang dini.2,9
Sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut International Study of

21
Kidney Disease in Children, ISKDC berdasarkan kelainan histopatologik
glomerulus. Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi (Noer 1997).3
Berikut adalah tabel klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik
primer pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi
International Study of Kidney Disease in Children, ISKDC pada tahun 1978 serta
Habib dan Kleinknecht pada tahun 1971.1

22
Tabel 3.1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik
primer

Kelainan minimal (KM)


Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

(dikutip dari Buku Ajar Nefrologi Anak, Wirya 2002)

Sindrom nefrotik sekunder timbul menyertai suatu penyakit yang


telah diketahui etiologinya. Penyebab yang sering dijumpai adalah
penyakit metabolik atau kongenital, infeksi, paparan toksin dan alergen,
penyakit sistemik bermediasi imunologik, neoplasma.1

23
3.2.2. Epidemiologi

Kasus sindrom nefrotik ini paling banyak ditemukan pada anak


berumur 3-4 tahun. Tetapi berdasarkan penelitian yang dijalankan di
RSCM Jakarta oleh Wila Wirya I.G.N. dari tahun 1970-1979, didapati
sindrom nefrotik pada umumnya mengenai anak umur 6-7
tahun. Penyakit sindrom nefrotik dijumpai pada anak mulai umur
kurang dari 1 tahun sampai umur 14 tahun. Di Indonesia gambaran
histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data -data
di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi,
sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal
dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.1,2

3.2.3. Manifestasi klinik

1. Gejala utama yang ditemukan adalah :4,5

a. Edema anasarka. Pada awalnya dijumpai edema


terutamanya jelas pada kaki, namun dapat juga pada daerah
periorbital, skrotum atau labia. Bisa juga terjadi asites dan efusi
pleura. Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif
(anasarka).
b. Proteinuria > 0,05 g/kg BB/hari pada anak – anak.
c. Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL.
d. Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia > 250mg/dl

2. Pada sebagian pasien dapat ditemukan gejala lain yang jarang:


a. Hipertensi
b. Hematuria
c. Diare
d. Anorexia

24
e. Fatigue atau malaise ringan

f. Nyeri abdomen atau nyeri perut


g. Berat badan meningkat
h. Hiperkoagulabilitas

3.2.4. Patofisiologi sindrom nefrotik

Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama


adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi
sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait
dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler.
Akibatnya fungsi mekanisme penghalang yang dimiliki oleh
membran basal glomerulus untuk mencegah kebocoran atau
lolosnya protein terganggu. Mekanisme penghalang tersebut
berkerja berdasarkan ukuran molekul dan muatan listrik. Pada
sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin
dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus
terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya
diekskresikan dalam urin.10,11
Pada sindrom nefrotik, protein hilang lebih dari 2
g/kgbb/hari yang terutama terdiri dari albumin yang
mengakibatkan hipoalbuminemia. Pada umumnya, edema muncul
bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme
edema belum diketahui secara fisiologi s tetapi kemungkinan edema
terjadi karena penurunan tekanan onkotik atau osmotik intravaskuler yang
memungkinkan cairan menembus ke ruangan interstisial, hal ini
disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan ke ruang
interstisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan.10

25
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan
volume darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi
efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler
yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi aliran darah ke
ginjal. Hal ini dideteksi lalu mengaktifkan sistem rennin-
angiotensin-aldosteron (RAAS) yang akan meningkatkan
vasokonstriksi dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada
reseptor volume intravaskular yang akan merangsang peningkatan
aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal dan
merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang meningkatkan
reabsorbsi air dalam duktus kolektifus.
Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena
onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan
memperberat edema .10

Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan hormon


antidiuretik akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom
nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat
disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang
menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini
kalau berkepanjangan dapat menyebabkan arteriosclerosis.10

3.2.5. Pemeriksaan diagnostik

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan yang menandakan hematuria.

26
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,
tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum atau labia. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi.

3. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis menggunakan dipstik ditemukan proteinuria masif (3+
sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah
didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju
endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum
dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila
ditemukan hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya
lesi glomerular contohnya pada sklerosis glomerulus fokal.10

2.1.6. Terapi secara suportif, dietetik dan medikamentosa bagi


sindrom nefrotik.

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya


j angan tergesa- gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi
spontan dapat terjadi pada 5 -10% kasus. Terapi kortikoteroid dimulai
apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti pada tabel 2
berikut:

27
Tabel 3.2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik

Remisi Proteinuria negatif atau proteinuria


< 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut

Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40


mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana
sebelumnya
pernah mengalami remisi

Kambuh tidak Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan,


sering atau < 4 kali dalam periode 12 bulan

Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons


awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12
bulan

Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja


Dependen- Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering
steroid terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi
steroid
dihentikan

Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan


terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu

Responder Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison


lambat 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain

Nonresponder Resisten-steroid sejak terapi awal


awal
Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang
lambat sebelumnya responsif-steroid
(dikutip dari Patofisiologi Kedokteran, Noer 1997)

28
3.2.6.1. Protokol pengobatan menurut International Study of Kidney
Disease in Children (ISKDC)

1) Terapi inisial
Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC),
terapi inisial untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid adalah prednison dosis 60mg/m atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80
mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4
minggu. Apabila dalam empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2 LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari,
diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan pagi.
Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka
pasien dinyatakan resisten steroid. 2 LPB/hari

2) Pen gobatan sindrom nefrotik relaps


Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis
penuh hingga terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan
pemberian dosis alternating selama 4 minggu. Apabila pasien terjadi remisi tetapi
terjadi proteinuria lebih dari sama dengan positif 2 dan tanpa edema, terlebih
dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria, yang biasanya disebabkan oleh
karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan prednison. Apabila ditemukan
infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian protenuria menghilang
maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria
sejak awal yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan
diberikan prednison pada pasien.
3) Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid :
a. Pemberian steroid jangka panjang
b. Pemberian levamisol
c. Pengobatan dengan sitostatika
d. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi
terakhir)
Perlu dicari pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah atau kecacingan.
Penjelasan mengenai empat opsi di atas adalah sebagai berikut :
a. Steroid jangka panjang
Untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid pada
anak, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, pengobatan dilanjutkan
dengan pemberian steroid dosis 1,5 mg/kgBB secara alternating. Dosis lalu
diturunkan perlahan atau secara bertahap 0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu hingga
dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB
alternating. Dosis tersebut merupakan dosis threshold dan dapat dipertahankan
selama 6-12 bulan. Setelah pemberian 6-12 bulan, lalu dicoba untuk dihentikan.
Pada anak usia sekolah umumnya dapat menoleransi prednison dengan dosis 0,5
mg/kgBB dan pada anak usia pra sekolah dapat menoleransi hingga dosis 1
mg/kgBB secara alternating.
Apabila pada prednison dosis 0,1-0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps,
terapi diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi diberikan setiap hari
hingga remisi. Apabila telah remisi dosis prednison diturunkan menjadi 0,8
mg/kgBB secara alternating. Setiap 2 minggu diturunkan 0,2 mg/kgBB hingga
satu tahap (0,2 mg/kgBB) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang
sebelumnya.
Apabila pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating terjadi
relaps tetapi pada dosis < 1,0 mg/kgBB alternating tidak menimbulkan efek
samping yang berat maka dapat diikombinasikan dengan levamisol dengan selang
satu hari 2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan atau dapat langsung diberikan
siklofosfamid.
Pemberian siklofosamid (2-3 mg/kgBB/hari) selama 8-12 minggu,apabila pada
keadaan berikut :
- Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB alternating, atau
- dosis rumat < 1 mg/kgBB tetapi disertai efek samping steroid yang berat atau
pernah relaps dengan gejala yang berat, yaitu hipovolemia, trombosis, dan sepsis.
b. Levamisol
Peran levamisol sebagai steroid sparing agent terbukti efektif. Dosis yang
diberikan yaitu 2,5 mg/kgBB dosis tunggal, dengan selang satu hari dalam waktu
4-12 bulan. Levamisol mempunyai efek samping antara lain mual, muntah,
hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.
c. Sitostatika
d. Siklosporin (CyA)
e. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

4) Pengobatan sindrom nefrotik dengan kontraindikasi steroid


Apabila terdapat geajala atau tanda yang menjadi kontraindikasisteroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum, dan atau kreatinin, infeksi berat,
dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Pemberian siklofosfamid
per oral diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal. Untuk
pemberian CPA puls dosisnya adalah 500-750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam
250 ml larutan NaCl 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan dalam 7
dosis dengan interval 1 bulan.
5) Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan SN resisten steroid yang
memuaskan. Sebelum dimulai pengobatan pada SN resisten steroid sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi. Hal ini karena
gambaran patologi anatomi akan mempengaruhi prognosis. Pengobatan pada
SNRS adalah:
a. Siklofosfamid (CPA)
b. Siklosporin (CyA)
c. Metilprednisolon puls
3.2.6.2. Terapi suportif
Terapi suportif yang dapat diberikan sebagai berikut:
a. Istirahat sampai edema berkurang
(pembatasan aktivitas). Pembatasan asupan cairan terutama pada
penderita rawat inap ± 900 sampai 1200 ml/ hari.
b. Diet makanan dan minuman tinggi
protein yang mengandung protein 2-5 gram/kgbb/hari, rendah lemak
dan tinggi kalori.
c. Pembatasan garam atau asupan natrium
sampai 1 – 2 gram/hari jika anak hipertensi. Menggunakan garam
secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan.
d. Terapi diuretik sesuai indikasi.
Pemberian ACE-inhibitors misalnya : enalpril, captopril atau
lisinopril untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih
dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada
penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai
berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi
ginjal.
e. Terapi albumin jika intake anak dan
output urin kurang.
f. Antibiotik hanya diberikan bila ada
infeksi.

3.2.7. Komplikasi Sindrom Nefrotik

1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme


kelainan hemostasis pada sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
a. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di
dalam urin seperti antithrombin III (AT III), protein S
bebas, plasminogen dan α antiplasmin.
b. Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat
tromboksan A2.

c. Meningkatnya sintesis protein prokoagulan dan tertekannya


fibrinolisis.
2. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor
jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada
kapiler glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan
fibrin dan agregasi trombosit.
3. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus,
staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit
perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini
batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya
tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
4. Gangguan klirens renali pada pasien sindrom nefrotik mungkin
disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan
berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal.
Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan
menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.
5. Gagal ginjal akut terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi
filtrasi berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya
meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
6. Anemia yang disebabkan protein pengangkut Fe yaitu
transferin serum yang menurun akibat proteinuria. Anemia
hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun
resisten terhadap pengobatan preparat Fe.
7. Peritonitis karena adanya edema di mukosa usus membentuk media
yang baik untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus.
Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.

8. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral.


a. . Karena protein pengikat hormon hilang melalui urin .
Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada
beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi
globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
b. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang
rendah, dan berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi
fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu
pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi
normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium
yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses
lebih besar daripada pemasukan.

Hal-hal seperti di atas dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan


dan perkembangan serta mental anak pada fasa pertumbuhan. Hubungan
antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium
dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metaboli sme
vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita
sindrom nefrotik jarang ditemukan.12

3.2.8. Prognosis sindrom nefrotik berdasarkan gejala klinis

Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera.


Pengobatan segera dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih
lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun proses autoimun.
Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik
terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Pada umumnya
sebagian besar (+ 80%) pasien sindrom nefrotik memberi respons yang
baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira -kira
50% diantaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak
memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan
bertahun- tahun dengan kortikosteroid. Terapi antibakteri dapat
mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap
kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
a. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2
tahun atau di atas 6 tahun.
b. Disertai oleh hipertensi.
c. Disertai hematuria.
d. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
e. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
f. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari
timbulnya gambaran klinis penyakit.4
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan keluhan bengkak seluruh tubuh sejak ± 1 bulan yan lalu,
Awalnya Kedua kelopak mata bengkak. Bak (+) keluar sedikit-sdikit dan
sering.Anak juga mengeluhkan sesak di dada serta batuk berdahak berwarna
bening. Mual (-), muntah (-), diare (-), pilek (-) proteinuria +2
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik. Nadi 105 x/menit,
nafas 44 x/menit, suhu 36,4°C, saturasi O2 98%. Status generalisata dalam batas
normal. Pada pemeriksaan ditemukan bengkak pada kedua palpebra, pipi, perut
dan kedua kaki yang tidak disertai nyeri. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
mana anamnesis dan pemeriksaan merupakan hal yang sangat penting dilakukan
sebelum memutuskan untuk melakukan pemeriksaan penunjang lainnya.

Dari hasil pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan analisa urin didapatkan


hasil proteinuria sebesar +2. Dan dari hasil pemeriksaan kimia klinik didapatkan
kolesterol total 598 mg/dl dan kadar albumin 1,0 mg/L. Hal ini memperjelas
bahwa pasien menderita sindroma nefrotik akibat adanya proteinuria >+2,
hiperkolesterolemia (>250 mg/dl) dan hipoalbuminemia (<2,5 gram/100 ml).

Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik kambuh tidak


sering (sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau
<4 kali dalam masa 12 bulan)
i. Induksi
2
Prednison dengan dosis 60 mg/m /hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 4 minggu.
ii. Rumatan
2
Setelah 4 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m /48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah
4 minggu, prednison dihentikan.
Terapi suportif yang dapat diberikan sebagai berikut:
a. Istirahat sampai edema berkurang
(pembatasan aktivitas). Pembatasan asupan cairan terutama pada
penderita rawat inap ± 900 sampai 1200 ml/ hari.
b. Diet makanan dan minuman tinggi
protein yang mengandung protein 2-5 gram/kgbb/hari, rendah lemak
dan tinggi kalori.
c. Pembatasan garam atau asupan natrium
sampai 1 – 2 gram/hari jika anak hipertensi. Menggunakan garam
secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan.
d. Terapi diuretik sesuai indikasi.
Pemberian ACE-inhibitors misalnya : enalpril, captopril atau
lisinopril untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih
dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada
penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai
berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi
ginjal.
e. Terapi albumin jika intake anak dan
output urin kurang.
f. Antibiotik hanya diberikan bila ada
infeksi.
BAB V
KESIMPULAN

Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh


kelainan glomerular dengan gejala edema, proteinuria masif (lebih dari 50
mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml), dan
hiperkolesterolemia melebihi 250mg/dl. Tanda – tanda tersebut dijumpai pada
kondisi rusaknya membran kapiler glomerulus yang signifikan dan
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada urinalisis menggunakan dipstik ditemukan
proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan
darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju
endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan
kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila ditemukan
hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular.
DAFTAR PUSTAKA

1. Noer, M.S., 1997. Sindrom Nefrotik, In.Putra ST, Suharto, Soewandojo E,


editors, Patofisiologi Kedokteran, Surabaya : GRAMIL FK Universitas
Airlangga : 137- 46.
2. Wila Wirya I.G.N., 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi
Anatomis Sindrom Nefrotik Primer pada Anak di Jakarta. Disertasi.
Jakarta : Universitas Indonesia, 14 Oktober : 207.
3. International Study of Kidney Diseases in Children, Nephrotic syndrome
in children: prediction of histopathology from clinical and laboratory
characteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13, 1978: 159-165.
4. Donna L, W., 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa:
Monica Ester. Jakarta: EGC.
5. Chesney, R.W., 1999. The Idiopathic Nephrotic Syndrome. Curr Opin
Pediatrics 11 : 158-61.
6. Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1.
Media Aesculapius.
7. Suryadi dan Yuliani, Rita, 2001. Praktek klinik Asuhan Keperawatan Pada
Anak, Edisi 1, Fajar Interpratama Jakarta : Sagung Seto.
8. Abeyagunawardena A.S., 2005. Treatment of Steroid Sensitive Nephrotic
Syndrome, Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, University of
Peradeniya, Sri Lanka Indian Journal of Pediatrics, Volume 72(9), 763-
769.
9. "http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/s/diseases_and_conditions/C
ongenit al nephrotic syndrome", [last accessed: July 19, 2017]
10. Husein A Latas, 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.
11. Price A. & Wilson L., 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease
Process (Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa:
Dr. Peter Anugrah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai