Anda di halaman 1dari 16

BAB 6 SISTEM EKONOMI DAN MATA PENCAHARIAN

ORANG SUNDA

Penganut paham economic determinism memandang bahwa ekonomi atau materi


merupakan faktor penentu gerak sejarah. Bagi orang seperti itu, mengkaji sejarah
ekanami menjadi teramat penting, Akan tetapi sayangnya, sejarah Sunda hampir
tidak pernah meninggalkan jejak secara lengkap, lebih-lebih untuk periode yang
jaraknya dengan kehidupan kita sangat jauh.

A. SISTEM EKONOMI SUNDA ZAMAN KERAJAAN


Mengungkap sejarah ekonomi masyarakat Sunda pada periode
Kerajaan Tarumanagara yang eksis pada abad ke-5 amat sulit karena teramat
sedikitnya sumber. Begitu juga pada periode kerajaan Sunda setelahnya.
Padahal sejarah ekonomi hampir identik dengan sejarah kuantitatif,
menuntut banyak data angka; dan itu hampir mustahil diperoleh. Kenyataan
itu bisa dipahami karena budaya baca-tulis bagi masyarakat kita relatif
masih baru.
Kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan Sunda sedikit terkuak
dan dapat digambarkan dengan adanya berita yang diperoleh dari bangsa
Portugis. Menurut berita tersebut, ibu kota Kerajaan Sunda terletak di
pedalaman, sejauh dua perjalanan dari pesisir pantai utara. Para pedagang
dari kerajaan Sunda sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan
pedagang asing dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka Sumatra, Jawa
Tengah-Timur, dan Makassar. Kegiatan perdagangan antarpulau itu
didukung oleh pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda yaitu
Kelapa, Banten, Pontang, Cigede.
Dengan demikian, kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan di
Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang diperdagangkan antara lain:
lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung dan
'kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan
yang baik. Dalam hal transportasi air, selain melalui laut, dilakukan pula
melalui sungai-sungai besar seperi Citarum dan Cimanuk, sebagai jalur
perairan dalam negeri.
Pada zaman kerajaan Pajajaran, melalui pelabuhan-pelabuhan inilah
mereka melakukan aktifitas perdagangan dengan negara lain. Dalam
berbagai peninggalan sejarah diketahui, masyarakat Pajajaran telah berlayar
hingga ke Malaka bahkan ke Kepulauan Maladewa yang kecil di sebelah
selatan India. Barang-barang dagangan mereka umumnya bahan makanan
dan lada. Di samping itu, ada jenis bahan pakaian yang didatangkan dari
Kambay (India). Sementara mata uang yang dipakai sebagai alat tukar
adalah mata uang Cina.
Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan
sektor pertanian yaitu berladang. Dari bukti-bukti sejarah diketahui
umumnya masyarakat Pajajaran hidup dari hasil perladangan. Seperti
masyarakat Tarumanagara dan Galuh, mereka umumnya selalu berpindah-
pindah. Hal ini berpengaruh pada bentuk rumah tempat tinggal mereka yang
sederhana. Dalam hal tenaga kerja, yang menjadi anggota militer diambil
dari rakyat jelata dan sebagian anak bangsawan. Mereka dibiayai oleh
negara. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindah-pindah terlihat dari
kegiatan berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota Kerajaan Sunda sering
berpindah-pindah, hal itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakatnya
yang senang berpindah-pindah.
Berdasarkan naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan
masyarakat terbagi ke dalam berbagai kelompok ekonomi yaitu: pandai besi,
pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri, bhayangkara dan prajurit,
kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet.
Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang masyarakatnya hidup dari
pertanian, hasil pertaniannya menjadi pokok bagi pendapatan kerajaan.
Aneka hasil pertanian seperti lada, asam, beras, sayur mayur dan buah-
buahan banyak dihasilkan masyarakat kerajaan Sunda, selain itu, ada juga
golongan peternak Sapi, kambing, biri-biri dan babi adalah hewan yang
banyak diperjualbelikan di bandar-bandar pelabuhan kerajaan Sunda.
Menurut Tom Pires, kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan
penting yang masing-masing di kepalai oleh seorang Syahbandar. mereka
bertanggungjawab kepada raja dan bertindak atas nama raja di masing
masing pelabuhan, Banten, Pontang, Cigede, Tomgara, Kalapa dan Cimanuk
adalah pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda.

B. EKONOMI SUNDA PASCA KERAJAAN


Jika dilihat dari segi letak geografis, masyarakat Sunda pasca kerajaan lebih
banyak bermata pencaharian berkebun, karena banyak daerah yang berudara dingin
seperti Bandung dan Bogor. Salah satu contoh adalah masyarakat di daerah
Ciwidey, mereka lebih memilih untuk membuat kebun Strawberry sendiri di
halaman rumah mereka. Begitu juga di salah satu kota kecil di Bandung yaitu
Lembang, jika kita pergi kesana kita akan banyak menemukan banyak kebun teh
yang terbentang luas.
Meskipun masyarakat Sunda banyak yang bermata pencaharian berkebun,
tetapi ada juga yang bermata pencaharian bertani seperti di Karawang. Di daerah
tersebut masih banyak lahan pertanian yang luas dan sebagian besar masyarakat di
daerah karawang bekerja sebagai petani.
Sistem kemasyarakatan Suku Sunda sangat erat dengan kehidupan
ekonominya. Di sini ada 3 unit sosial yang menjadi pusat kehiduparn ekonomi,
yaitu : kota, desa dan daerah perkebunan. Struktur masyaraka kota dan
perekonomiannya tidak berbeda dengan kota-kota lain di pulau Jawa, yaitu
masyarakatnya Gesellschaft dengan mata pencaharian utama pada sektor:
perdagangan, industri, jasa, pertukangan dan buruh.
Kota menjadi pusat kegiatan politik, sosial, pendidikan dan seni budaya.
Setiap kegiatan mempunyai sifat interdependensi. Unit sosial ekonomi kedua ialah
daerah perkebunan. Sejak jaman pendudukan Belanda, Jawa Barat termasuk salah
satu daerah perkebunan terpenting di Indonesia, terutama daerah Priangan dan
Bogor, jenis perkebunannya teh, karet, kina, kopi dan kelapa sawit.
Lapisan masyarakat daerah perkebunan terbagi atas kelompok majikan
dengan tingkat perekonomian yang baik, dan kelompok buruh dengan tingkat
perekonomian yang rendah sampai sedang. Hubungan sosial antara kedua
kelompok itu biasanya kurang begitu akrab.
Unit sosial ekonomi ketiga dan yang terbesar adalah daerah pertanian yang
berbentuk desa-desa dengan cara pengerjaan yang masih tradisional. Ada sawah
irigasi, sawah tadah hujan (sawah guludug) dan ada tanah tegalan yang hanya bisa
ditanami palawija saja.
Pada sawah irigasi sering ditaburi benih-benih ikan (sistem minapadi).
Sebelum memotong padi, petani mengundang seorang dukun candoli atau wali
pukun untuk menentukan hari yang tepat dalam pemotongan padi dan memimpin
upacara selamatan pemotongan padi.
Di desa-desa Jawa Barat juga memiliki tanah, milik komunal yang disebut
tanah titisara atau kanomeran (di Ciamis), kacahcahan (di Majalengka) dan
kasikepan (di Cirebon). Kedudukan tanah ini sama dengan tanah lungguh atau
tanah bengkok. Kehidupan ekonomi para petani di Jawa Barat pada umumnya juga
tidak jauh berbeda dengan para petani di Jawa Tengeh atau Jawa Timur.
B. MATA PENCAHARIAN ORANG SUNDA
Daerah Jawa Barat dan Banten yang beriklim tropis, sekarang dikenal
sebagai daerah agraris yang subur. Di Jabar dan Banten di kenal 2 pola
pertanian, yaitu: ngahuma (berladang) dan sawah.
1. Ngahuma
Ngahuma, tampaknya di kenal manusia sejak zaman neolithicum (zaman
batu baru), suatu zaman tatkala manusia masih menggunakan alat perkakas hidup
yang terbuat dari batu yang telah diasah. Bagi masyarakat Baduy, ngahuma
bertujuan untuk memperoleh kehidupan yang hurip (layak, sehat lahir bathin).
Kegiatan ngahuma dilaksanakan dalam rangkaian upacara adat yang sakral, sebab
ngahuma bukan hanya sebagai mata pencaharian saja, tetapi juga melestarikan
kehidupan Nyi Pohaci Hyang Sri yang setiap tahun harus halimpu (kawin) dengan
bumi.
Nyi Pohaci adalah gambaran simbolis Dewi Padi yang berada di alam
Kahyangan (Buana Nyungcung). Pemujaan dan pengabdian masyarakat Baduy
tercermin pada kegiatan ngahuma. Sebagai kegiatan sakral, upacara ngahuma
dilaksanakan berdasarkan pikukuh dan buyut. Setiap tahapan upacara ngahuma
memerlukan media kesenian, baik musik pengiring (karawitan), gerak tari dan
perupaan.
Salah satu benda upacara yang diperlukan pada tahap awal adalah waroge,
waroge adalah jampi-jampi penolak bala (tutulak) yang digoreskan a bilahan
bambu, potongan kayu, batu atau pecahan gerabah. Waroge tempatkan di huma,
ditanam ditanah atau di saung di huma. Jampi-jampi pada waroge ini berisi motif-
motif perlambangan yang berujud abstraksi hluk hidup (binatang pengganggu
tanaman padi, hama), makhluk gaib tan, jurig, dedemit), dan bentuk abstrak
geometris yang bermakna jampi.
Hal yang patut dijadikan contoh dari sikap masyarakat Baduy terhadap alam
adalah, mereka hanya menebang pohon ketika mereka membutuhkannya, mereka
berusaha sebaik mungkin untuk menghargai dan menghormati alam, termasuk
dalam pengelolaan huma. Pada garis besarmya dapat di kemukakan bahwa cara-
cara bercocok tanam di ladang di kerjakan manusia sebagai berikut :
1. Suatu areal hutan yang akan di buka mulai di bersihkan dulu belukarnya;
2. Setelah areal dibersihkan, baru dilakukan penebangan pohon-pohon besar,
lalu di bakar;
3. Setelah dibakar, di biarkan dulu beberapa waktu sampai tanah tersebut
dingin;
4. Ditanami;
5. 3-4 bulan kemudian di panen.
Menurut naskah Carita Parahyangan, dalam kehidupan masyarakat Sunda masa
lalu, hanya di jumpai satu perkataan sawah, yaitu sawah tampian dalem, yaitu
tempat dipusarakannya Ratu Dewata. Selebihnya hanya melukiskan situasi
masyarakat ladang. Dalam cerita tersebut ada dikatakan Lima Titisan Pancakusika,
selain menjadi Raja dan pedagang, ketiga lainnya masing-masing menjadi pahuma
(peladang), panggerek (pemburu), dan panyadap (penyadap). Ketiga jenis
pekerjaan tersebut adalah merupakan jenis-jenis pekerjaan di ladang Dalam
wawacan Sulanjana, juga masih terlihat bahwa masyarakat Sunda sebagai
masyarakat peladang. Hal ini tampak dari ungkapan cerita yang mengemukakan
bahwa lambat laun pada tanah kuburan Pohatji ada pohon tumbuh:
o Di bagian kepalanya tumbuh pohon nyiur yang buahnya hijau dan kuning; .
o Di bagian telirnganya tumbuh berbagai jenis jamur; .
o Dibagian matanya tumbuh tanaman padi yang berbuah lima butir berlainan
warna (merah, kuning, hitam, putih, hijau). Padi putih: keluar dari bagian
putih matanya, padi hitam: keluar dari rambut.
o Dari jantungnya keluar padi ketan;
o Dari jari-jari tumbuh berbagai jenis bambu besar dan kecil serta berbagai
jenis kacang yang menjalar tumbuh keatas.
o Dari buah dada tumbuh buah-buahan. .
Mengolah huma pada masyarakat Sunda melalui tahap-tahap Nyacar, dengan
menggunakan alat patik dan beliung ; Ngaseuk,menggunalan kujang dan kored;
Panen. Pengaruh pola kehidupan ngahuma pada masyarakat Sunda:
1. Jarak rumah yang satu dengan aseuk (sekarang bisa dengan cangkul):
ngahum ainnya berjauhan;
2. Pola hubungan antar tetangga longgar,
3 royong hanya dilakukan pada peristiwa tertentu;
4. Tidak memiliki usuk basa.
Sebagai contoh keempat hal ini masih banyak di jumpai daerah Bogor dan
Banten. Pada masyarakat huma biasanya bentuk hak milik agak bersifat longgar,
tidak ada tradisi huma yang di wariskan Perubahan secara drastis dari sistem huma
menjadi sawah pada masyarakat Sunda terjadi sekitar abad 18, yaitu pada saat voc
menghendaki masyarakat Sunda tinggal di tempat tetap.
Sedangkan perkakas yang dipergunakan dalam proses ngahauma adalah sebagai
berikut:
a. Patik
Adalah perkakas tukang kayu yang bisa digonta-ganti menjadi patik
atau jadi rimbas. Digunakeun pikeun alat netak kayu jeung ngolah taneuh di
huma, mata patik dijieun tina wesi dicampur baja nu ditempa. Bentuk
persegi panjang jeung pipih, bagian pangkalna dilengkungkeun pikeun
ngarukkeun i cepengeun nu dijieun tina kayu.
b. Beliung
BALIUNG nyaeta besi nu dicampur baja nu geus ditempa digunakeun
pikeun netak kayu jeung macul taneuh nu heuras di huma.
Beliung adalah sejenis alat pertukangan kayu yang digunakan untuk
membentuk, menarah dan melicinkan kayu potong kasar dalam pertukangan
kayu menggunakan tangan. Kebiasaannya, pengguna akan berdiri
mengangkang kayu ataupun papan yang hendak ditarah ataupun dilicinkan
dan mengayun beliung ke bawah ke arah kaki mereka dan menyerpih sedikit
demi sedikit sambil bergerak ke belakang sedikit demi sedikit sambil mereka
menggunakan beliung untuk menarah kayu yang agak licin dan rata. Walau
bagaimanapun, beliung boleh digunakan untuk lain-lain kerja memotong
kayu. Hujung ataupun kepala beliung diorientasikan seperti kepala cangkul
dan bukan seperti sebilah kapak .
c. Aseuk
Aseuk nya éta alat tatanén anu dijeun tina dahan kai lurus, digunakeun
pikeun nyieun liang dina taneuh kebon atawa huma anu geus siap keur dipelakan
ku sisikian anu sakali panén saperti jagong, paré, jeung suuk. Melak siki tanaman
ka jero liang ku ngagunakeun aseuk disebut ngaseuk. Ngaseuk dilakukeun nalika
mimiti usum hujan. Anu gawé nyieun liang maké aseuk leumpangna mundur ngan
sagaris. Kagiatan ngaseuk beuki kadieunakeun beuki euweuh.
d. Pacul Bawak
Digunakeun pikeun mancul taneh di lading.
Pacul atau cangkul adalah salah satu alat yang merupakan senjata para
petani. Senjata ini digunakan para petani untuk mengolah lahan pertanian.
Tampaknya memang sederhana, Pacul. Tapi makna yang terkandung di dalamnya
sangatlah tinggi. Dari wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga terhadap Ki Ageng Sela,
Pacul atau cangkul itu terdiri dari 3 bagian. Ketiga bagian tersebut adalah: Pacul
(bagian yang tajam untuk mengolah lahan pertanian), Bawak (lingkaran tempat
batang doran), dan Doran (batang kayu untuk pegangan cangkul). Menurut
wejangan Kanjeng Sunan Kalijaga, sebuah pacul yang lengkap, tidak akan dapat
berdiri sendiri-sendiri. Ketiga bagian tersebut harus bersatu untuk dapat digunakan
oleh petani.
Pacul. Memiliki arti "ngipatake barang kang muncul" Artinya,
menyingkirkan bagian yang mendugul atau bagian yang tidak rata. Dari alat Pacul
tersebut setidaknya bisa diartikan bahwa kita manusia ini harus selalu berbuat baik
dengan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak rata, seperti ego yang berlebih, cepat
marah, mau menang sendiri dan sifat-sifat jelek kita lainnya yang dikatakan 'tidak
rata’.
Bawak. Memiliki arti "obahing awak". Arti obahing awak adalahkor gerak
tubuh. Maksudnya, kita manusia hidup ini diwajibkan untuk berikhtiar de mencari
rezeki dari GUSTI ALLAH guna memenuhi kebutuhan hidup. Disamping itu, arti
ikhtiar tersebut juga bukan hanya berarti mencari rezeki semata, tetapi juga ikhtiar
untuk senantiasa "manembah GUSTI ALLAH tan . kendhat Rino Kelawan Wengi"
(menyembah GUSTI ALLAH siang maupun malam)
Doran. Memiliki arti "Dongo marang Pengeran" ada juga yang mengartikan
"Ojo Adoh Marang Pengeran". Arti "Dongo Marang Pengeran" adalah doa yang
dipanjatkan pada GUSTI ALLAH. Pengeran berasal dari kata GUSTI ALLAH
kang dingengeri (GUSTI ALLAH yang diikuti). Sedangkan "Ojo Adoh Marang
Pengeran" memiliki arti janganlah kita manusia ini menjauhi GUSTI ALLAH.
Manusia harus senantiasa wajib ingat dan menyembah GUSTI ALLAH, bukan
menyembah yang lain.
e. Kudjang
Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai
dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor,
panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram. Kujang
merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam
kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan
kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang,
hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah
senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.
Kudjang mengandung nilai filosofis ajaran/ageman ketuhanan tentang asal
usul semesta yang dijadikan dasar Nagara Karta Gama. Bentuk Kudjang
merupakan manifestasi wujud manusia sebagai sebuah Penciptaan yang sempurna.
Wujud Kudjang merupakan manifestasi alam emesta yang nantinya dituliskan
dalam huruf Adjisaka Purwawisesa engan bahasa Sang Saka Kreta (Sankskrit).
Kujang berasal dari sebuah konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda purba sebagai
simbol ajaran. Maka dengan demikian kita harus mampu membaca melalui disiplin
ilmu yang berasal dari warisan leluhur.
F. Kored
Alat untuk membersihkan rumput, bentuknya seperti cangkul kecil Rumput
atau tanaman pengganggu cukup dicabuti dengan tangan atau dengan kored.

2. Sawah
Di Jabar dan Banten sistem pertanian sawah baru di kenal sekitar abad ke-
18AMasehi, yang di perkenalkan oleh orang-orang Mataram, sehubungan dengan rencana
Kompeni untuk membuka daerah baru yang menghasilkan pangan dan rencana perluasan
perkebunan dengan jenis tanaman ekspor. Berbeda dengan prinsip mengolah huma yang
pemeliharaan kesuburan tanahnya lebih di titikberatkan pada kesuburan secara alamiah,
pada pertanian sawah pemeliharaan kesuburan tanah lebih di titikberatkan pada usaha
manusia dalam intensifikasi pengolahan tanah macam tanaman, cara pemupukan tanah
dan pengaturan pengairan.
Proses Bersawah:
 Mencangkul kasar
 Dicangkul lagi sehingga rata;
 Ngangler, yaitu menghaluskan tanah untuk selanjutnya siap di tanami;
 Ditanami (tandur);
 Ngarambet/ngalodok;
 Nyiram, ada tanda padi berbuah;
 Nyuay .
 Panen.
Alat-alat Pertanian Tradisonal disawah, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kampak /Kampak
Digunakeun pikeun motong batang2 kayu nu geus di tebang dina ngabuka
tanah pikeun ngahuma. Kampak mangrupakeun alat kuno jeung ubiquitous nu geus
digunakeun mangrébu-rébu taun ka tukang keur nyeukeutan, meulah sarta motong
kai, harvest timber, minangka senjatap jeung simbul sérémonial atawa héraldik.
Kampak loba wangun tur kagunaan hususna tapi umumna miboga mata kampak
jeung gagang
b. Parang
Digunakeun pikeun motong rumput). Parang adalah senjata tajam yang
terbuat dari besi biasa. Bentuknya relatif sederhana tanpa pernak pernik.
Kegunaannya adalah sebagai alat potong atau alat tebas (terutama selak belukar)
kala penggunanya keluar masuk hutan. Parang juga digunakan untuk pertanian. Di
Kalimantan parang juga disebut sebagai ambeng. Parang juga merupakan senjata
khas orang Melayu di kampung- kampung pada zaman dahulu. Sedangkan
masyarakat Melayu di Jawa dan Sumatra menjadikan parang sebagai salah satu
senjata pertempuran.
Pada masyarakat melayu belitung di daerah belantu parang sebagai peralatan
potong sehari-hari sedangkan "sundang" adalah alat mirip parang dengan ukuran
yang lebih panjang dan lebih tipis sebagai senjata pertempuran tidak semua pandai
besi mempunyai keterampilan membuatnya dimana hanya pandai besi yang
mempunyai ilmu besi atau bahasa melayu belitungnya "mantera sendawe besi"
yang boleh membuatnya karena senjata ini adalah di buat untuk berperang maka
dalam proses pembuatanya pada setiap sepuhan di isilah dengan “mantara sendawe
besi” tadi, pada masa berburu mereka membekali diri dengan sendawe besi" tadi,
pada masa berburu mereka membekali diri dengan “parang Lading" dimana
bentuknya mirip dengan “pisau komando” namun berbentuk tipis dan lebih
panjang, di belitung pisau disebut juga sebagai “pisu”
c. Cangkul/Pacul
Cangkul adalah satu jenis alat tradisional yang digunakan dalam pertanian .
Cangkul digunakan untuk menggali ataupun untuk meratakan tanah. Cangkul
masih digunakan sehingga masa ini untuk menjalankan kerja-kerja menggali yang
ringan di kebun ataupun di sawah . Kerja-kerja yang lebih berat biasanya
dilakukan menggunakan jentera berat.
Bentuk mata cangkul seakan-akan bentuk mata beliung dengan pemegang
(hulu) yang diperbuat daripada kayu. Tetapi mata cangkul lebih lebar berbanding
dengan mata beliung. Biasanya hulu atau pemegang ini lurus, tetapi ada juga jenis
pemegang yang bengkok sedikit. Mata cangkul biasanya dibuat dari pada besi.
Jenis-jenis cangkul termasuklah cangkul betul (cangkul lurus) dan cangkul burung.
d. Singkal
Alat pikeun ngabalikeun tanah sawah supaya gembur. Bentukna hampir
segitiga, salah sahiji ujung nu runcing make lanjam nyaeta besi nu diruncingkeun
pikeun nyingkal taneuh. Bajak singkal termasuk bajak yang paling tua. Di
Indonesia bajak singkal inilah yang paling sering digunakan oleh petani untuk
melakukan pengolahan tanah, dengan tenaga ternak hela sapi atau kerbau sebagai
sumber daya penariknya.
Bajak singkal ini dapat digunakan untuk bermacam-macam jenis tanah dan
sangat baik untuk membalik tanah. Bagian dari bajak singkal yang memotong dan
membalik tanah disebut bottom . Suatu bajak dapat terdiri dari satu bottom atau
lebih. Bottom ini dibangun dari bagian - bagian utama, yaitu:
1) singkal (moldboard),
2) pisau (share), dan
3) penahan samping (landside).
Ketiga bagian utama tersebut diikat pada bagian yang disebut pernyatu (frog). Unit
ini dihubungkan dengan rangka (frame) melalui batang penarik (beam). Bagian-
bagian dari bajak singkal satu bottom secara terperinci .
Fungsi dari pisau bajak adalah untuk memotong tanah secara horisontal.
Biasanya alat ini terbuat dari logam yang berbentuk tajam. Singkal berfungsi untuk
menghancurkan dan membalik tanah, karena bentuknya yang melengkung maka
pada waktu bajak bergerak maju, tanah yang terpotong akan terangkat ke atas dan
kemudian dibalik dan dilemparkan sesuai dengan arah pembalikan bajak. Landside
berfungsi untuk mempertahankan gerak maju bajak agar tetap lurus, dengan cara
menahan atau mengimbangi gaya kesamping yang diterima bajak singkal pada
waktu bajak tersebut digunakan untuk memotong dan membalik tanah.
e. Garu
Digunakeun pikeun ngasubkeun taneuh nu saerusna dibalikeun make
singkal). Tanah setelah dibajak pada pengolahan tanah pertama pada umumnya
masih merupakan bongkah-bongkah tanah yang cukup besar, maka untuk lebih
menghancurkan dan meratakan permukaan tanah yang terolah dilakukan
pengolahan tanah kedua. Alat dan mesin pertanian yang digunakan untuk
melakukan pengolahan tanah kedua adalah alat pengolahán tanah jenis garu
(harrow). Penggunaan garu sebagai pengolath tanah kedua, selain bertujuan untuk
lebih meghancurkan dan meratakan permukaan tanah hingga lebih baik untuk
pertumbuhan benih maupun tanaman, juga bertujuan untuk mengawetkan lengas,
tanah dan meningkatkan kandungan unsur hara pada tanah dengan jalan lebi
menghancurkan sisa-sisa tanaman dan mencampurnya dengan tanah.
f. Garok atanapi Sorongsong
Nyaeta alat pikeun ngaratakeun taneuh sawah nu geus aya caina, terus diolah
ngagunakeun singkal sarta garu) Dijieuna tina kayu nu dibentuk saperti huruf T.
g. Bedog
Pungsi praktis leuwih nyoko kana harti ngadeudeul pagawéan,
nyindekelkeunt kagunaan bedog dina kahirupan sapopoé kayaning keur nuar awi,
meulah suluh, meulah awi, nyisit awi pibilikeun, kudak-kadék di kebon, keur
meuncit sasatoan, nyacag daging jrrd. hal ieu luyu jeung ngaran-ngaran bedog nu
aya pakaitna jeung pagawéan. Bedog gagaplok dipaké kudak-kadék di kebon,
bedog pameuncitan dipaké meuncit sasatoan, bedog jonggol atawa bedog
hambalan biasana dipké mesék kalapa kalawan misahkeun tapasna, bedog gula
sabeulah dipaké pikeun ngabutik. Dina pungsi praktis, bedog téh henteu
ngutamakeun wangun nu alus, tapi leuwih ngutamakeun kakuatan jeung seukeutna.
h. Etem
Etem atau ani-ani, digunakeun pikeun motong pare (sawah atanapi ladang).
Ani-ani atau juga ketam adalah sebuah pisau kecil yang dipakai untuk memanen
padi. Dengan ani-ani tangkai bulir padi dipotong satu-satu sehingga proses ini
memakan banyak pekerjaan dan waktu, namun keuntungannya ialah, berbeda
dengan penggunaan sebuah clurit atau arit, tidak semua batang ikut terpotong.
Dengan demikian, bulir yang belum masak tidak ikut terpotong.
i. Arit
Digunakeun pikeun nyabit jukut-jukutan) nanging arit digunakeun oge
pikeun motong pare, ngagentos Etem nu geus jarang di pake deui.
Arit atau sabit adalah satu alat bantu pertanian sejenis pisau berbentuk
melengkung yang digunakan untuk memotong berbagai jenis tumbuhan, rumput-
rumputan, padi, jagung bahkan alat ini biasa digunakan untuk memotong kayu.
Bagian dalam dari lengkungan berbentuk tajam, bentuk lengkung ini memudahkan
dalam proses memotong dengan cara mengiris bagian bawah tanaman yang
dipotong dengan cara mengayunkarn seperti gerakan memarang dengan satu
tangan, atau ketika untuk mengumpulkan rumput atau memanen tanaman padi
tangan yang lain biasanya memegang pokok tanaman yang akan di tebas. Alat
pertanian arit ini terbuat dari besi baja sehingga tidak akan peyok saat digunakan.
Pada bagian pegangan arit atau sabit ini terbuat dari kayu yang disebut garan.
Dengan di pasangnya garan ini akan memudahkan dalam penggunaannya sekaligus
lebih enak untuk dibawa.
j. Lisung dan Halu
Digunakeun pikeun numbuk pare. Bentukna sapertos parahu nu terdiri tina
tilu bagian yaeta bagian kahiji disebut "Sirah" ngabogaan permukaan buleud dina
ujungna lengkung nyarupai bentuk kepala /mastaka nuju nunduk. Bagian kadua
disebut "amburan" permukaanna ngabentuk persegi panjang. Bagian nu katilu di
sebut "beubeureuhan" ngabogaan permukaan buleud.
HALU dijieun tina kayu coklat tua kahideungan, bentukna buleud manjang,
kadua pangkalna di raut ngabentuk seauntik buleud. Digunakeun pikeun numbuk
pare sareng didasaran lengsung.
k. Nyiru
Digunakeun pikeun nampi beas utamana dina waktu numbuk. Bentukna
bulèud saeutik cekung, dijieun tina wai nu dianyam rapat berbentuk. fampah atau
Nyiru (bahasa sunda) digunakan sebagai alat untauk membersihkan beras yang
akan dimasak dari gabah atau bangsal padi yg belum terkelupas dari kulitnya,
memisahkan beras dari kerikil atau kotoran yang bercampur beras.

3. Urang Baduy Sebagai Masyarakat Peladang Terakhir


Ngahuma, tampaknya di kenal manusia sejak zaman neolithicum (zaman
batu baru), suatu zaman tatkala manusia masih menggunakan alat perkakas hidup
yang terbuat dari batu yang telah diasah. Ngahuma atau berladang adalah cara
bercocok tanam di lading, lading atau huma tanah yang diusahakan dan ditanami
(ubi, jagung, dsb) dengan tidak diairi, atau tegal. Sedangkan orang yang bercocok
tanam di lading adalah peladang mereka adalah petani yang hidup dari bercocok
tanam dengan cara berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang yang baru sebagai
mata pencaharian hidupnya.
Masyarakat Sunda lama dikenal sebagai masyarakat peladang, masyarakat
yang mengandalkan hidupnya dari hasil ladang. Masyarakat sunda lama bukanlah
petani di sawah, melainkan seorang pahuma atau peladang. Bercocok tanam di
sawah baru di kenal setelah berakulturasi dengan budaya Jawa (Mataraman).
Menurut naskah Carita Parahyangan, dalam kehidupan masyarakat Sunda
masa lalu, hanya di jumpai satu perkataan sawah, yaitu sawah tampian dalem, yaitu
tempat dipusarakannya Ratu Dewata. Selebihnya hanya melukiskan situasi
masyarakat ladang.
Dalam cerita tersebut ada dikatakan Lima Titisan Pancakusika, selain
menjadi Raja dan pedagang, ketiga lainnya masing-masing menj pahuma
(peladang), panggerek (pemburu), dan panyadap (penyadap) Ketiga jenis pekerjaan
tersebut adalah merupakan jenis-jenis pekerjaan di ladang.
Dalam wawacan Sulanjana, juga masih terlihat bahwa masyarakat Sunda
sebagai masyarakat peladang. Hal ini tampak dari ungkapan cerita yang
mengemukakan bahwa lambat laun pada tanah kuburan Pohatji ada pohon tumbuh:
Di bagian kepalanya tumbuh pohon nyiur yang buahnya hijau dan kuning; Di
bagian telinganya tumbuh berbagai jenis jamur Dibagian matanya tumbuh tanaman
padi yang berbuah lima butir berlainan warna (merah, kuning, hitam, putih, hijau).
Padi putih: keluar dari bagian outih matanya, padi hitam: keluar dari rambut. Dari
jantungnya keluar padi ketan; Dari jari-jari tumbuh berbagai jenis bambu besar dan
kecil serta berbagai jenis kacang yang menjalar tumbuh keatas, dan dari buah dada
tumbuh buah-buahan.
Dari cerita tersebut kita mengenali bahwa tanaman yang tumbuh adalah
tanaman-tanaman ladang, artinya biasa ditanam di ladang atau di temukan di
ladang-ladang. Pola kehidupan berhuma atau berladang, tentu saja akan
mempengaruhi pola hidup dan pola budaya masyarakatnya.
Pengaruh pola kehidupan ngahuma pada masyarakat Sunda: Jarak rumah
yang satu dengan lainnya berjauhan; Pola hubungan antar tetangga longgar;
Gotong royong hanya dilakukan pada peristiwa tertentu; Tidak memiliki undak
usuk basa
Sebagai contoh keempat hal ini masih banyak di jumpai di daerah Bogor dan
Banten. Pada masyarakat huma biasanya bentuk hak milik agak bersifat longgar,
tidak ada tradisi huma yang di wariskan. Perubahan secara drastis dari sistem huma
menjadi sawah pada masyarakat Sunda terjadi sekitar abad 18, yaitu pada saat
VOC menghendaki masyarakat Sunda tinggal di tempat tetap.
Pada gàris besarnya dapat di kemukakan bahwa cara-cara bercocok tanam di
ladang di kerjakan manusia sebagai berikut: Suatu areal hutan yang akan di buka
mulai di bersihkan dulu belukarnya; Setelah areal dibersihkan, baru dilakukan
penebangan pohon-pohon besar, lalu di bakar; Setelah dibakar, di biarkan dulu
beberapa waktu sampai tanah tersebut dingin; Ditanami; 3-4 bulan kemudian di
panen.
Mengolah huma pada masyarakat Sunda melalui tahap-tahap: Nyacar,
dengan menggunakan alat patik dan beliung; Ngaseuk, menggunakan aseuk
(sekarang bisa dengan cangkul); Ngoyos (menyiang), di pergunakan kujang dan
kored; Panen.
Bagi masyarakat Baduy, ngahuma bertujuan untuk memperoleh kehidupan
yang hurip (layak, sehat lahir bathin). Kegiatan ngahuma dilaksanakan dalam
rangkaian upacara adat yang sakral, sebab ngahuma bukan hanya sebagai mata
pencaharian saja, tetapi juga melestarikan kehidupan Nyi Pohaci Hyang Sri yang
setiap tahun harus halimpu (kawin) dengan bumi.
Nyi Pohaci adalah gambaran simbolis Dewi Padi yang berada di alam
Kahyangan (Buana Nyungcung). Pemujaan dan pengabdian masyarakat Baduy
tercermin pada kegiatan ngahuma.
Sebagai kegiatan sakral, upacara ngahuma dilaksanakan berdasarkan
pikukuh dan buyut. Setiap tahapan upacara ngahuma memerlukan media kesenian,
baik musik pengiring (karawitan), gerak tari dan perupaan.
Salah satu benda upacara yang diperlukan pada tahap awal adalah waroge,
waroge adalah jampi-jampi penolak bala (tutulak) yang digoreskan pada bilahan
bambu, potongan kayu, batu atau pecahan gerabah. Waroge ditempatkan di huma,
ditanam ditanah atau di saung di huma.
Jampi-jampi pada waroge ini berisi motif-motif perlambangan yang berujud
abstraksi makhluk hidup (binatang pengganggu tanaman padi, hama), makhluk
gaib (setan, jurig, dedemit), dan bentuk abstrak geometris yang bermakna jampi.
Hal yang patut dijadikan contoh dari sikap masyarakat Baduy terhadap alam
adalah, mereka hanya menebang pohon ketika mereka membutuhkannya, mereka
berusaha sebaik mungkin untuk menghargai dan menghormati alam, termasuk
dalam pengelolaan huma.
Urang Baduy memiliki pengetahuan yang mendalam tentang lingkungannya.
Berbagai pengetahuan lingkungan tersebut dapat dijadikan bahan analisis
kebijakan dan tindakan perilaku dalam mengelola lingkungannya secara tepat.
Tindakan tersebut antara lain dapat diwujudkan dalam penyusunan kalender
pertanian atau pranata mangsa sebagai pedoman ngahuma dan kegiatan sosial.
Seperti lazimnya kalender urang Baduy terdirí dari 12 bulan, yaitu:

Safar atau Kapat Kadalapan (Agustus- Hapit Kayu


(bertempatan dengan April- September) (Desember-Januari)
Mei)
Kalima (Mei-Juni) Kasalapan( Kasa (Januari-
September-Oktober) Februari)
Kanem (Juni-Juli) Kasapuluh (Oktober- Karo (Februari-
November) Maret)
Kapitu (Juli-Agustus) Hapit Lemah Katiga (Maret-
(November-Desember) April)

Dalam kondisi iklim normal, bulan pertama kalender Baduy Safar/Kapat)


biasanya bertepatan dengan bulan April-Mei. Namun apabila kondisi iklim tidak
normal, seperti terjadi musim kemarau panjang, bulan pertama kalender tersebut
(Safar/Kapat) mengalami perubahan. Hal itu terjadi bila bulan pertama itu tidak
jatuh tepat pada April-Mei. Meski demikian, pada tahun-tahun berikutnya dalam
kondisi iklim yang normal kembali biasanya kalender tersebut dapat dikoreksi dan
ditata kembali. Dengan demikian, bulan pertama kalender Baduy senantiasa
bertepatan dengan bulan April-Mei.
Tahun baru dalam kalender pertanian Baduy biasa dinamai tunggul tahun.
Tunggul tahun tersebut biasanya ditetapkan pimpinan adat (puun) dengan
menggunakan perhitungan tradisional disertai dengan hasi pengamatan berbagai
indikator alam, diantaranya: Kehadiran serangga dan sarang laba-laba (lancah
kidang); dan Perputaran rasi bintang, seperti bentang kidang (the belt of orion) dan
bentang Kartika (the Pleiades).
Kalender pertanian biasanya dijadikan sebagai indikator menuju musim
hujan yang diikuti dengan dimulainya persiapan ngahuma Sebaliknya, masa
tumbuhan buah kanyere matang dan tumbuhan gaharu berbunga biasanya dijadikan
indikator awal kemarau. Bentang Kidang khususnya, telah menjadi indikator utama
dalam penyusunan kalender rtanian Baduy. Urang Baduy senantiasa
menggambarkan tentang posisi entang kidang dialam dan pekerjaan ngahuma yang
harus dilakukan. Contohnya: Tanggal kidang turun kujang. Artinya, apabila
bentang kidang tampak terlihat di ufuk timur menjelang subuh, Urang Baduy harus
mulai menebang semak-semak belukar dengan kujang atau parang. Tanggal kijang
biasanya bertepatan dengan musim kemarau atau dalam kalender Baduy bulah
Safar dan Kalima.
Sebaliknya: Kidang marem turun kungkang, ulah melak pare Apabila
bentang kidang tidak menampakkan lagi, biasanya bertepatan dengan bulan
Kasalapan. Pada saat itu urang Baduy pantang menanam padi di huma karena
waktunya tidak sesuai lagi. Tanahnya dianggap telah "panas" dan banyak hama.
Sehabis panen, masyarakat Baduy biasa melakukan tradisi seba yang biasa mereka
lakukan setiap tahun. Biasanya mereka membawa beras huma, pisang, gula aren,
talas dan umbi-umbian. Beberapa tahun sekali mereka melakukan seba gede
(kunjungan besar), alah satu cirinya, mereka membawa peralatan dapur (dulang,
nyiru, hawu dsb) sebagai upeti untuk pimpinan Provinsi Banten.
Mereka biasanya menyampaikan harapannya kepada pemerintah yang
disampaikan oleh Tangtu tilu Jaro tujuh. Tangtu tilu adalah pimpinan Baduy
Dalam dari kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana. Sedangkarn Jaro tujuh
adalah pemimpin Baduy Luar yang meliputi Kampung Kadu Ketug, Cihulu,
Cisaban, Cibengking, Ompol, Nungkulan dan Kadu Ketug bagian Hulu.

D. SISTEM EKONOMI ADAT KASEPUHAN BANTEN KIDUL


Masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul merupakan salah satu dari sekian
banyak masyarakat adat bercorak agraris di tatar Sunda. Satu hal yang menjadi
keistimewaan masyarakat adat Ciptagelar (sebagaimana1 masyarakat adat lainnya
di tatar Sunda) adalah adanya ketahanan dan kemandirian pangan yang kuat karena
didukung juga oleh sistem logistik yang kuat.
Berbicara mengenai ketahanan pangan dalam masyarakat Kasepuhan tidak
bisa dilepaskan dari orientasi non-profit dalam sistem produksi pangan mereka.
Dan keseluruhan fakta ini juga tak dapat dipisankan dari sebuah gudang tempat
penyimpanan cadangan makanan yang menjadi ciri khas dalam sistem logistik
masyarakat Kasepuhan, yang dinamakan leuit.
Fungsi dari leuit (leuit induk dinamai si Jimat), tampak ketika warga
membutuhkan padi sebelum masa panen tiba.Terkadang memang masa panen
datang lebih lama karena berbagai faktor. Warga Ciptagelar pun memanfaatkan
padi yang ada dalam leuit Si Jimat. Istilahnya "meminjam padi". Mekanisme
peminjaman padi ini tidak rumit, hanya memohon kepada baris kolot" (wakil abah)
atau langsung kepada sang Abah selaku pimpinan at sebelum meminjam padi.
Setelah itu nama warga yang meminjam padi dan jumlah ikatan padi yang
dipinjam dicatat oleh pihak pimpinan adat. Ketika saat panen tiba, warga harus
mengembalikannya sesuai dengan banyaknya padi yang dipinjam.
Pengembalian padi oleh warga selalu terjadi dengan sukarela tanpa adanya
mekanisme pemaksaan oleh pimpinan adat. Hal ini terkait dengan perspektif atau
sudut pandang diantara warga kasepuhan yang telah terbentuk dalam memaknai
leuit si Jimat sebagai simbol kepentingan bersama.
Masyarakat adat kasepuhan Ciptagelar (dan Banten Kidul secara
keseluruhan) memang memiliki sistem produksi yang berorientasi subsisten dan
non-profit. Hasil produksi padi masyarakat Ciptagelar dilarang dijadikan komoditi
untuk dijual pada pihak luar. Surplus dari hasil produksi selalu disimpan dalam
leuit si Jimat yang telah bertahan selama ratusan tahun Selama itu pula tidak
pernah terdengar adanya bencana kelaparan di kasepuhan Ciptagelar, oleh karena
sistem logistik yang kuat tersebut. Hal i membentuk kesadaran sosial diantara
warga Ciptagelar mengenai leuit ebagai refleksi kepentingan kolektif mereka,
setelah mereka merasakan manfaat dari sistem leuit yang merupakan buah dari
orientasi produksi non- profit yang mereka jalankan selama ini.
Sistem leuit ini mengingatkan kita pada sistem koperasi, khususnya perasi
simpan pinjam dalam masyarakat industri modern, karena kesamaan pola diantara
keduanya. Koperasi sebagai suatu bentuk badan usaha yang berbasiskan pada
pengelolaan yang demokratis serta berorientasi pada kesejahteraan bersama
(kolektif) didirikan untuk menangkal pengaruh negatif kapitalisme liberal,
terutama di kalangan buruh dan rakyat kebanyakan di Eropa ketika Revolusi
Industri. Di Indonesia, koperasi diintrodusir oleh Bung Hatta, hingga akhimya
beliau dijuluki Bapak Koperasi Indonesia. Beliau juga memperkenalkan konsep
Demokrasi Ekonomi yang sebangun dengan spirit dan tujuan koperasi. Pasal 33
UUD 1945 (pra-amandemen) merupakan manifestasi dari pemikiran Bung Hatta
mengenai koperasi dan Demokrasi Ekonomi.
Sistem Leuit dalam masyarakat kasepuhan Ciptagelar ternyata telah
membuka mata kita, bahwa satu bentuk koperasi telah ada di negeri ini jauh
sebelum gejolak Revolusi Industri mengguncang Eropa. Sehingga pada
hakekatnya, konsep Demokrasi Ekonomi buah pemikiran Bung Hatta yang sejalan
dengan prinsip koperasi telah dikenal oleh masyarakat Ciptagelar yang merupakan
bagian dari masyarakat nusantara selama ratusan tahun.
Kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar juga dapat dijadikan
pelajaran bagi otoritas negara, bahwa hendaknya seluruh potensi sumber daya
ekonomi nasional perlu diprioritaskan bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Bukannya justru mengobralnya pada pihak asing, yang akhirnya membuat kita
terjerumus menjadi bangsa yang regresif dan tidak berdaulat.

Anda mungkin juga menyukai