(Ebook-Indonesia - Id) Teman Tapi Menikah PDF
(Ebook-Indonesia - Id) Teman Tapi Menikah PDF
“Gue kita lo nggak balik ke sini,” ujar Ayu begitu melihat sosok
Ditto.
Perhatian Ayu kembali kepada Ditto.
Saat kedua mata sahabatnya menatap tetap di manik
matanya, Ditto tertegun sesaat.
Kemudian, keberanian yang tak pernah terkumpul selama
bertahun-tahun mereka bersahabatan itu, akhirnya muncul.
Membuat Ditto akhirnya bertanya, “Cha, kalo gue suka
sama lo, gimana?”
Ayu terpaku di tempatnya.
***
Keping
PE R TAMA
SAT U
“Gadis Kesayangan”
Januari 2004
“Selamat ulang tahun, Ditto!”
Ucapan itulah yang membuatnya terjaga di tengah malam
seperti ini. Ditto tanpa sadar tersenyum, ada bagian hatinya yang
menghangat tiap mengingat tradisi kecil mereka seperti saat ini.
“Thanks, Cha—“
“Semoga lo panjang umur, sehat terus, makin keren, dan
semoga besok bisa traktir gue mi ayam.”
Ditto langsung tertawa begitu mendengar doa dari
sahabatnya melalui sambungan telepon ini. “Sialan lo, Cha.”
“Yee, gue kan doain yang baik buat elo,” sungut Ayu. Tak
lama, ia menguap pelan dan terengar jelas oleh Ditto. “Udah ah,
gue tidur dulu. Besok jangan lupa traktirannya.”
“Iya, bawel.”
“Dah, Ditto!”
Sambungan telepon tersebut langsung terputus begitu saja.
Namun, senyum yang sjeak tadi muncul sejak Ayu mengucapkan
selamat ulang tahun kepadanya tak juga hilang dari wajahnya.
Ini subuh ulang tahun kedua yang ia lalui dengan
menunggu telepon Ayu di pergantian hari. Dan rasanya, ritual
seperti inilah yang dinantikan olehnya ketimbang kejutan ulang
tahun dari orang lain.
Karena ia selalu merasa istimewa jika semua berhubungan
dengan Ayu.
***
***
DUA
Januari 2004
“Gimana si Damu?”
“Minta putus pas tahu hamsternya gue tinggalin di
sekolah.”
Jawaban Ditto sukses membuat Ayu tertawa. Ditto
menggeleng samar melihat ulah sahabtatnya. Beberapa hari yang
lalu ia memang sengaja meninggalkan hamster Damu di sekolah.
Toh ia juga tidak mungkin memelihara hewan tersebut.
Esoknya, saat Damu tahu bahwa hamster pemberiannya
ditinggalkan begitu saja di sekolah, cewek itu marah dan akhirnya
mereka pun putus. Katanya ia sudah tidak tahan lagi dengan
cueknya Ditto—yang awalnya dianggap keren, juga karena Ditto
tidak memiliki cukup banyak kasih sayang terhadap hamster yang
ia berikan.
“Ketawa aja, Cha. Sampe lo puas,” sindir Ditto sambil
bersandar di tembok studio seraya menunggu teman-temannya
yang lain datang.
“Oke, gue nggak ketawa lagi,” ucap Ayu setelah berhasil
meredakan tawanya. Ia melihat ke sekeliling, teman-teman satu
bandnya belum banyak yang datang. Baru Doni yang sedang
berkutat dengan buku yang berisi kumpulan lagu hits di tahun ini
dan Ivan yang sedang memainkan gitarnya di sudut lain studio.
“Anak-anak pada ke mana? Tumben telat.”
“Palingan sebentar lagi juga pada nongol,” komentar
Ditto. “Denger-denger, lo sekarang sama artis ya?”
Ayu mengangguk. “Gitu deh, udah hampir lima bulanan.”
Setelahnya pembicaraan mereka berbelok ke arah lain,
seperti kelas Ayu yang sering ribut di mata pelajaran tertentu
karena gurunya jarang masuk, atau tawuran minggu lalu yang
membuat jalanan di dekat sekolah mereka ditutup karena
banyaknya polisi dan masyarakat yang membubarkan tawuran
tersebut.
Namun di balik semua pembicaraan itu Ditto sadar, Ayu
tak pernah benar-benar membicarakan pacar barunya dengan
Ditto. Hanya sepintas lalu. Yang bahkan namanya saja kadang-
kadang Ditto lupakan.
Satu hal yang Ditto pelajari, umur hubungan Ayu
sepertinya takkan lama. Cewek itu saja tak pernah benar-benar
bercerita kepadanya.
Tak lama studio mulai ramai dengan teman-teman satu
band mereka. Saat ini mereka harus sering-sering latihan untuk
bersiap menghadapi turnamen band yang akan segera mereka
hadapi.
***
***
TIGA
“Nggak bakal bisa serius sama si kesayagnan.
Tetap menjadi teman terbaik ya, Cha.”
April 2004
Selain satu band, Ayu dan Ditto selalu hampir bersama
ketika mereka ada di lapangan sekolah mereka. Terutama kalau
sedang ada pertandingan futsal. Kalau di pertandingan futsal, Ayu
biasanya ada di barisan para supporter yang siap mendukung
Ditto kapan pun cowok itu turun ke lapangan.
Sebenrnaya bukan Ayu saja yang menjadi supporter untuk
Ditto. Banyak cewek di pinggir lapangan lainnya yang
meneriakkan nama Ditto dengan heboh. Namun mereka terlalu
takut untuk berada di dekat Ayu saat menjadi supporter.
Jangankan saat di lapangan, di mana pun area sekolah yang
terdapat Ayu, sebisa mungkin mereka akan jaga jarak.
Bagaimana tidak, cewek itu bisa dibilang memang seperti
‘preman’ sekolah. Bajunya yang selalu gombrong, rambut
panjangnya dikuncir kuda tanpa pernah digerai, teman-teman
bermainnya kebanyakan adalah cowok. Bahkan cara jalannya pun
seperti preman sungguhan, menurut beberapa orang.
Tapi Ayu sendiri cuek dengan hal itu. Buat apa peduli
kalau sahabatnya tak mempermasalahkan hal itu?
Saat ini kelas Ditto dan Ayu sedang bertanding futsal
sesuai jam sekolah. Sparing antar-kelas memang sudah biasa
dilakukan, pun dengan Ayu yang memilih untuk mendukung Ditto
darupada kelasnya sendiri, bagi kelas 2-2, itu sudah biasa.
Ayu melihat ke sekelilingnya, begitu banyak cewek-cewek
yang bukan berasal dari kelasnya atau kelas Ditto ikut menonton
di pinggir lapangan. Sesekali matanya menangkap tatapan
antusias mereka jatuh kepada Ditto.
Ayu akui, Ditto memang keren di kalangan mereka. Ketua
OSIS, pemain perkusi di band sekolah, jago di lapangan futsal,
dan juga pintar di kelas. Belum lagi sifat supelnya yang mampu
membuatnya mudah berbaur. Tak heran kalau bayak perempuan
yang kadang-kadang iri dengannya, karena ia bisa bersahabat
dengan Ditto.
Ada juga yang dengan sedikit keberaniannya, bertanya
kepada Ayu, bagaimana caranya bisa dekat dan bersahabat dengan
Ditto. Apakah harus jadi cewek tomboy? Atau mungkin harus bisa
bermain futsal kah?
Kadang Ayu kesal kalau sudah merasa jenuh dengan
keirian tak berdasar dari cewek-cewek itu. Tapi, jika ada yang
bertanya, ia sendiri pun bingung. Apa yang dilihat Ditto dari
dirinya?
Kalau Ayu sendiri, ia tak melihat kesupelan, kepintaran,
humoris, cuek, dan … pokoknya semua yang dimiliki Ditto. Ia
dekat dengan Ditto karena Ditto adalah dirinya sendiri. Cowok itu
tidak mendekatinya karena alasan-alasan konyol, tidak berusaha
mencari tahu tentang pekerjaannya seperti orang lain, obrolan
mereka menyambung, dan banyak hal lainnya yang pada akhirnya
mampu membuat Ayu merasa nyaman di dekatnya.
Saat ini, permainan sedang berjalan seru, kelasnya
beberapa kali kebobolan gol oleh Ditto, Igun, dan kemudian
Dwiki. Waktu tersisa kurang dari lima menit lagi, dan itu
menjadikan lapangan semakin riuh dengan dukungan yang tak
henti diteriakkan teman0temannya.
“Ayo dong, jangan kalah sama kelas 2-2!”
“Tendang aja si Ditto ke gawangnya!”
“Malu gue kalo kelas kita kebobolan lagi, Bro!”
Lima menit kemudian, tiupan panjang peluit wasit segera
mengakhiri jalannya pertandingan antara kelas 2-2 dan 2-3. Kelas
2-3 keluar sebagai pemenangnya, membuat penonoton yang
meyoritas cewe langsung hebih saat melihat Ditto keluar sebagai
anggota tim yang menang.
Cowok itu segera menghampiri Ayu yang sedari tadi
duduk sambil memangku tasnya. “Udah mau pulang?”
“Iya ada syuting satu jam lagi.”
Ditto meraih handuk kecil dari dalam tasnya dan berjalan
meninggalkan lapangan bersama Ayu. Kemudian, mereka berdua
mulai menunggu taksi kosong sebagai tumpangan Ayu untuk
pulang. “Gila, keren banget lo tadi!”
“Gue sih emang selalu keren,” kata Ditto menyetujui
ucapan Ayu. Yang langsung dibalas cibiran karena kenarsisannya.
Saat berjalan menuju gerbang utama, mereka berpapasan
dengan Damu yang sedang bersama teman-teman satu gengnya.
Damu melihat ke arah Ditto yang kebetulan juga sedang
menatapnya. Namun cewek itu segera mengalihkan tatapannya
dari Ditto.
“Mantan, mantan,” gumam Ayu sambil menyikut Ditto.
“Apaan sih, Cha.”
Ayu hanya tertawa. Kemudian suara klakson saat mereka
sampai di gerbang utama membuatnya segera pamit kepada Ditto.
Ayu pun masuk ke dalam taksi, kemudian melambai dari jendela
mobil kepada Ditto.
Ditto balas melambai, lalu saat taksi tersebut sudah
menjauh, ia kembali ke dalam sekolah untuk mengambil tasnya.
***
bgitu bel istirahat berbunyi, Ayu segera keluar dari kelasnya dan
beranjak menuju kelas sebelah.
“Dit, kantin yuk!” serunya begitu ia menemukan Ditto
yang masih duduk di tempatnya.
Ditto menyahut, mengiyakan dan segera keluar dari kelas.
Kelasnya yang bersebelahan dengan Ayu membuat mereka punya
kebiasaan untuk melongok ke dalam kelas hanya untuk
memanggil satu sama lain jika jam istirahat tiba.
Tak lama keduanyya sudah berjalan beriringan menuju
kantin, ada meja yang biasa mereka tempati bersama dengan
teman-teman satu band mereka.
Karena mereka sering latihan bersama untuk acara sekolah
atau turnamen band, mereka semua jadi sering bersama-sama di
luar kegiatan band. Selain Ayu dan Ditto, ada Ola si vokalis, Dana
yang bermain drum, Anka dan Ivan yang sama-sama bermain
gitar, Andini yang bermain keybord, dan ada Rendy yang bermain
bass.
Sudah ada Andini dan Dana yang menempati meja
mereka. Mereka berdua pun langsung bergabung dan larut dalam
obrolan yang seakan tanpa ujung.
“Inget, besok jangan sampe telat ketemu di sananya ya,”
ujar Andini saat mereka membahas turnamen band yang akan
mereka hadapi besok.”
“Iya, iya,” jawab Ayu sambil mengencangkan kuncir
rambutnya. Ia beralih pada Ditto. “Mana mi ayamnya, lama
banget.”
“Lo pikir gue yang jualan,” cibir Ditto, ia pun menoleh ke
penjual mi ayam yang sedang dipenuhi pembeli lainnya, “Gila,
rame bener.”
Ayu mendengus. Kemudian tanpa sengaja tatapannya jatuh
kepada Bobby, mantannya saat kelas satu dulu, yang sekarang
duduk tak jauh dari mereka.
“Ngeliatinnya biasa aja kali,” bisik Ditto saat sadar siapa
yang sedang dilihat Ayu.
Ayu pun mendelik ke arah Ditto. “Gue biasa aja.”
“Kangen mantan?” goda Ditto.
“Nggak.”
Baguslah, ucap Ditto dalam hati. Mana mungkin ia
menyarakannya keras-keras.
Bobby adalah kakak kelas mereka, satu tahun di atas
mereka tepatnya. Ayu pernah berpacaran dengannya saat kelas
satu, kurang lebih enam bulan seingat Ditto.
Kalau mau jujur, ia tak suka saat Ayu berpacaran dengan
Bobby. Bahkan sampai sekarang pun, sejujurnya ia tak pernah
suka dengan siapa pun yang berpacaran dengan Ayu. Tapi ia tak
bisa mengatakan hal itu secara gamblang kepada Ayu jika tak
ingin persahabatan mereka jadi aneh.
Jadi, Ditto hanya menyimpannya sendiri dan berusaha
untuk tidak menunjukkan sama sekali di depan siapa pun, terlebih
Ayu.
***
***
E M PAT
Agustus 2004
Hari itu adalah latihan pertama band mereka.
Dua jam yang benar-benar menyenangkan. Memainkan
lagu demi lagi untuk menemukan ritme yang pas bagi orang-
orang yang baru disatukan dalam sebuah band.
Doni, Pembina ekskul band mereka, memberikan setengah
jam untuk beristirahat. Mereka semua ngobrol ngalor ngidul.
Membicarakan kehidupan SMP yang sangat ‘baru’ daripada
kehidupan mereka selama enam tahun di SD.
Sambil memainkan botol air mineral di tangannya, pikiran
Ditto terpaku pada Ayu. Padahal saat ini cewek itu tidak ada di
studio. Ia hanya bertemu dengan Ayu di kelas dan saat main bola.
Atau saat coba-coba bolos di mata pelajaran terakhir.
Walaupun seharian sudah bersama Ayu, Ditto merasa tetap
saja kurang. Di sini tidak ada Ayu. Dan ia mau tetap bersama
dengan Ayu. Mengobrol selama mungkin dengan cewek itu.
Melihat kucir kudanya yang bergoyang mengikuti gerak
tubuhnya.
“Eh, masukin saja si Ayu ke sini,” celetuk Ditto denfan
setengah sadar.
“Ayu yang mana?”
“Yang temen sekelas gue,” jawab Ditto.
Kemudian ia mulai menjabarkan alasannya kepada teman-
temannya satu bandnya dan juga pembinanya, Doni. Mereka
semua terlihat berpikir sebentar, kemudian menyetujui usul Ditto.
Yah, dicoba saja dulu.
Dua hari kemudian, Ayu resmi menjadi vokalis band SMP
19.
***
Saat ini mereka sudah duduk di bangku kelas tiga SMP. Para guru
sudah mulai mencekoki mereka dengan materi UAN dan
mewanti-wanti agar segera memilih SMA yang ingin mereka tuju
setelah lulus nanti.
Di semester ini juga mereka harus mulai mundur dari
aktivitas eksul masing-masing. Di band sekolah, Ditto dan teman-
temannya hanya akan bertanggung jawab atas satu teman-
temannya hanya akan bertanggung jawab atas satu turnamen lagi
sebelum akhirnya konsentrasi belajar. Ayu sendiri sudah mulai
mengurangi aktivitasnya di dua ekskul lain, paduan suara dan
dance. Sedangkan Ditto, walaupun sudah harus lebih
berkonsentrasi dalam pelajaran, ia masih sering bermain futsal.
“Dit, lo mau masuk SMA mana?”
Saat ini mereka sedang menghabiskan jam istirahat di
kantin seperti biasa. Di samping Ayu, ada Dana dan Ola yang
sedang meributkan lagu apa yang akan mereka bawakan di
turnamen nanti. Sedangkan sisanya sedang asyik membicarakan
tentang junior yang bisa jadi incaran mereka selagi mereka sibuk
berkutat dengan materi ujian.
“Yang bisa bareng sama lo,” jawab Ditto langsung.
“Dih, pengen banget lo sama gue terus.”
“Emangnya lo nggak mau bareng sama gue lagi?” ejek
Ditto dengan senyum lebarnya. “Nanti kan bahaya kalo kangen
gue.”
“Tobat dong, Ditto,” gerutu Ayu saat mendengar betapa
bareng lagi sama gue emangnya?”
“Mau, sih.”
“Nah, ya udah. Kita satu SMA kalau gitu. Harus.”
Ayu memutar kedua bola matanya sambil menutup buku
tulis miliknya. “Lo pikir kita beneran bakal satu SMA?”
“Kalau mau, pasti bisa.”
“Oke.” Ayu mengeluarkan formulir yang tadi dibagikan
wali kelasnya dari dalam kantung seragamnya. “Kalau gitu, ayi
kita ngisi formulirnya bareng-bareng.”
Ditto mengeluarkan formulir yang sama dari kantungnya,
sengaja tadi ia bawa karena ia pun memang berencana membahas
hal ini dengan Ayu.
“Disuruh nulis tiga pilihan,” ujar AYu setelah siap dengan
formulir dan pensil masing-masing. “Pilihan pertama, mau di
mana?”
“SMA 70.”
Ayu hanya berdeham. Kemudian ganti Ditto yang
bertanya, “ Pilihan kedua?”
“SMA 6.”
“Pilihan ketiga?”
Keduanya terdiam beberapa saat. Memikirkan SMA mana
yang kira-kira bisa mereka tuliskan di formulir ini dan nantinya
akan menjadi tujuan mereka selepas lulus nanti. UAN belum
benar-benar di depan mata, tapi mereka memang sudah
dipersiapkan untuk menghadapinya dan juga sudah diminta
menetukan pilihan sekolah lanjutan mereka.
Hal inilah yang akhir-akhir ini jadi topic pembicaraan
paling hangat di angkatan mereka.
“SMA 82,” celetuk Ditto pada akhirnya, memecah
kesunyian. Di antara mereka. “Itu saja pilihan terakhirnya.”
“Nah, kalau udah tahu mau ke mana, kan enak
belajarnya,” ujar Ditto setelah mereka selesai menulis.
“Janji ya, bakalan bareng SMA-nya.” Ayu menatap Ditto
dengan serius. Ingin mempertegas janji Ditto.
“Janji,” jawab Ditto dengan mantap.
***
***
LIMA
“Nggak pernah tahu kalau dia jodoh gue.
Nggak pernah mikirin kalau dia bisa menemani
gue seumur hidup. Tapi gue yakin lo adalah teman
hidup terbaik gue”
September 2004
Ditto masih mengerjakan soal Matematika yang diberikan
sebagai PR oleh gurunya tadi di dalam kelas. Bel istirahat belum
berbunyi, namun kebanyakan teman sekelasnya sudah lari ke
kantin karena guru mereka keluar kelas lebih cepat dari biasanya.
Sambil menghitung di sebuah kertas coret-coretan, ingatan Ditto
kembali berputar kepada beberapa waktu yang lalu, saat Ayu
memberitahunya kalau ia sudah punya pacar baru.
“Anak band juga, tapi dari sekolah lain sih,” ujar Ayu kala
itu saat mereka sedang nongkrong di kantin sepulang sekolah.
Kebetulan hari itu Ayu sedang break syuting.
“Kok bisa anak sekolah lain?”
“Dikenalin temen gue, si Fina. Tahu ,kan?”
Ditto sekilas ingat dengan yang namanya Fina, kalau tidak
salah dia adalah teman satu kelas Ayu, yang berhasil cukup dekat
dengannya tanpa takut pada Ayu yang seperti preman tersebut.
“Semoga lebih awer daripada Bobby deh,” kata Ditto yang
langsung diamini oleh AYu. Walau Ditto selalu menyampaikan
doa “semoga awet”, tapi ia tak pernah sungguh-sungguh saat
berkata seperti itu.
“Ditto!”
Teriakan tersebut nyata, bukan dari kenangan yang tadi
diputar dalam benaknya. Ditto mendongak, mendapati Ayu yang
kini berjalan masuk ke dalam kelasnya.
“Kantin yuk!” ajaknya. Kemudian ia melihat buku-buku
Ditto yang bertebaran di atas meja. “Rajin bener tumben.”
Ditto nyengir seperti biasanya. Ia menaruh pensil dan
menutup bukunya. “Yuk.”
Sambil berjalan menuju kantin, Ayu memukul lengan atas
Ditto hingga cowok itu menoleh dengan kesal. “Apaan sih, Cha?”
“Lo apain si Milla sih?”
“Lha?” Raut wajah Ditto berubah jadi bingung saat
mendengar pertanyaan Ayu. “Nggak gue apa-apain lah, gila.”
“Kalo lo emang deket, udahlah jadiin aja,” ujar Ayu ketika
teringat curhatan Milla. Bukan sekali saja cewek itu curhat
padanya. Dan lama-lama ia gemas sendiri pada Ditto. “Dia tuh
curhat panjang lebar sama gue. kalo lo emang nggak mau sama
dia, bilang nggak mau. Kalau lo pepet terus anaknya, gimana
anaknya nggak ngarep jadian sama lo?”
Ditto menggaruk kepalanya yang tak benar-beanr gatal.
Astaga, apa aja sih yang cewek itu bilang ke Ayu?
“Ya udah, entar gue ngomong sama dia,” jawab Ditto,
hanya itu yang sementara ini bisa ia katakana sampai nanti ia
bertemu dengan Milla.
Di lain sisi, Ayu mengangguk puas. Semoga setelah ini
Milla tidak merecokinya dengan curhatan yang sangat panjang itu
selama ia menunggu kendaraan untuk pulang. Lagi pula, Milla
kan tipe cewek selera Ditto seperti selama ini, jadi pasti mereka
akan cocok kalau mereka benar-benar pacaran.
***
ENAM
November 2004
Cilandak Town Square terlihat lengang sore itu. Ayu dan
Ditto berjalan menuju salah satu gerai fast food dan segera
memesan makanan untuk mereka masing-maisng karena sudah
kelaparan. Setelah makanan mereka sudah tersaji dan sudah
menemukan tempat duduk, keduanya mulai melahap makanan
masing-masing.
Hari ini sepulang sekolah mereka memang sudah janjian
untuk hang out bersama ke mal yang biasa mereka datangi
tersebut. Karena bosan dengan pendalaman materi menjelang
UAN dan kebetulan Ayu sedang tidak ada jadwal syuting sore itu,
maka keduanya memutuskan untuk hang out bersama.
“Lo minum es padahal lusa mau tampil,” komentar Ditto
saat Ayu menyesap minumannya.
Ayu hanya nyengir lebar. “Sekali ini doang, kok.”
“Udah hafal lagunya?”
“Udahlah, kalau nggak, mana mungkin Ola ngizinin gue
keluar studio.”
Keduanya tertawa saat mendengar nama vokalis band
mereka disebut. Pembicaraan mereka mulai berkembang ke arah
band mereka. Bersama-sama selama tiga tahun di dalam dan di
luar kegiatan band membuat mereka merasa berat untuk nantinya
berpisah.
“Eh, si Milla cerita sama gue katanya lo cuek banget jadi
cowok,” ucap Ayu yang tiba-tiba teringat dengan adik kelasnya
tersebut. “Emangnya lo nggak pernah ngajak dia jalan atau apa
gitu?”
“Sesekali sih pernah.”
“Lo jarang ngehubungin dia pasti.”
“Ketemu ini di sekolah, ngapain jug ague dua puluh empat
jam mesti ngehubungin dia.”
“Ya nggak begitu jgua, Ditto,” sahut Ayu sambil menatap
Ditto dengan tajam. “Lo yang bener kek sama dia, biar gue nggak
dicurhatin hampir dua puluh empat jam.”
“Halah, mana mungkin.”
“Pokokmua, yang bener deh sama si Milla. Perhatian dikit
kek, apa kek.”
“Iye, iye,” sahut Ditto dengan malas.
Setelah membicarakan Millam Ditto sebisa mungkin
menghindari topic tersebut. Kemudian Ayu pun mulai curhat
tentang pacar terbarunya yang bernama Azhar.
“Tapi kok gue ngerasanya kayak nggak nyambung ya
sama dia, To?”
“Nggak nyambung gimana?”
“Iya, kalo ngobrol tuh nggak kayak yang kita gini. Kadang
lancar, kadang kagok—bingung apa yang mau diomongin. Ujung-
ujungnya banyakan diem-dieman.”
“Mungkin karena lo belum terlalu kenal sama dia. Kita
kan hampir tiga tahunan, lha lo sama dia? Baru berapa bulan
kan.”
“Iya juga sih ya.”
Sore itu mereka habiskan bersama. Mengobrolkan apa saja
yang terlintas di benak mereka masing-masing. Namun dalam hati
Ditto, masih teringat jelas bagaimana cara Ayu membicarakan
Azhar. Sepertinya kali ini Ayu memang benar-benar sayang
Azhar. Terlihat dari bagaimana Ayu meminta saran kepadanya.
Cewek itu tidak secuek saat ia berpacaran dengan temannya yang
sesame artis itu beberapa bulan lalu.
Ada beberapa emosi yang berkecambuk dalam diri Ditto.
Ia tidak tahu sejak kapan ia bisa merasakan hal seperti ini, sedikit
sebal kalau Ayu punya pacar. Kesal kalau pacar-pacar Ayu
bertingkah kurang ajar dan membuat Ayu sedih saat putus. Hal
yang paling menyenangkan bagi Ditto adalah kalau Ayu bisa
happy dengan dirinya tanpa harus terusik oleh laki-laki lain yang
berstatus pacar Ayu.
Tapi walaupun begitu, ia sangat berusaha memendam
perasaannya sendiri. Ayu tak boleh mengetahui apa saja yang ia
rasakan….Setidaknya, saat ini belum waktunya.
***
***
“Kak Ditto keren banget!” seru Milla saat Ditto sudah keluar dari
backstage sesuai penampilannya.
Teman-teman satu band Ditto hanya tertawa saat melihat
Milla sudah bersiap menyambut Ditto. Setelah menaruh
perkusinya ke dalam tas khusus, ia pun menggendong tas tersebut
dan menggiringi Milla agar sedikit menjauh dari area masuk
backstage.
“Sama siapa tadi ke sini?” tanya Ditto saat mereka sudah
bisa berbicara tanpa harus berteriak karena terlalu bising.
“Sama teman-temanku.”
Ditto mengangguk, ia terlampau bingung mau
menanyakan apa lagi. “Tungguin sampai pengumuman ya,” kata
Ditto pada akhirnya.
Milla mengangguk semangat. Kemudian keduanya
mencari tempat yang masih bisa mereka duduki namun tetap
menghadap ke arah panggung. Balkon lantai dua menjadi pilihan
mereka walau akhirnya harus berdiri supaya tetap bisa menatap ke
arah panggung.
Walaupun di bawah sana terdapat ratusan orang dengan
seragam putih biru yang hampir sama, entah bagaimana caranya
Ditto masiih bisa melihat yang mana Ayu di antara lautan
penonton.
Bersama Azhar.
Ditto berusaha utnuk mengalihkan pandangannya ke arah
lain, asalkan bukan terfokus kepada sahabatnya yang sedang
bersama pacarnya tersebut. Toh, sekarang pun ia sedang bersama
pacarnya sendiri.
Mereka sedang bersama pacar masing-masing, tapi kenapa
matanya tetap hanya terpake kepada Ayu?
***
TUJUH
“Akhirnya tahu kenapa wanita itu diciptakan.”
April 2005
Suasana sekolah masih ramai walaupun bel pulang
sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Lapangan sekolah pun sudah
dipenuhi beberapa anak yang langsung membagi diri menjadi dua
tim futsal. Ayu yang tadinya sedang bermain asal-asalan dengan
Ditto, langsung menyingkir ke pinggir lapangan untuk beralih
menjadi pendukung Ditto.
Di selasar, koridor kelas satu, Milla sedang duduk
sendirian menatap ke arah lapangan. Menatap Ditto, lebih
tepatnya.
Ditto, kakak kelasnya yang notabene juga pacarnya.
Tapi, pacar mana yang jarang menghubunginya? Mungkin
kalau Milla mau main curang, ia bisa saja berhubungan dengan
cowok lain di belakang Ditto dan sampai kapan pun Milla jamin
Ditto takkan tahu mengenai hal tersebut.
Kalau Milla mau menghitung total berapa kali ia jalan
bareng Ditto, mungkin tidak sampai menghabiskan kesepuluh
jemarinya. Ditto selalu punya alasan untuk menolak jalan
dengannya, atau untuk sekadar menghubunginya.
Teman-temannya mungkin sampai bosan mendengar
betapa cueknya Ditto selama delapan bulan ini. dari yang awalnya
mereka excited dengan hubungannya, sampai pada akhirnya
mereka bosan sendiri.
Milla pun bosan dengan ini semua. Kalau pada akhirnya
mereka memang tak cocok, mungkin lebih baik mereka berpisah
daripada hanya Milla yang bertahan dalam hubungan ini.
***
Juli 2005
Tahun ajaran baru ini adalah tahun ajaran baru yang Ayu
lewati lagi bersama Ditto. Ayu ingat, tiga tahun lalu ia bertemu
dengan Ditto di satu kelas dan kemudian benar-benar menjadi
sahabat selama tiga tahun. Saat ini, mereka seperti mengulangi
masa yang sama walaupun banyak hal yang berbeda.
Seperti senior yang lebih terlihat dewasa dibanding
mereka Atau kegiatan SMA yang terkesan ‘baru’ bagi mereka
yang baru saja lulus SMP.
Beruntungnya mereka karena mereka bisa satu sekolah.
Dari tiga pilihan SMA yang sejak awal kelas tiga sudah mereka
pilih, akhirnya mereka berdua berhasil masuk ke SMA 82 Jakarta.
Kalau dulu mereka bertemu di SMP karena satu kelompok
di MOS, saat MOS kali ini berlangsung mereka pun beda
kelompok. Jadi mereka hanya benar-benar bertemu lagi di saat
jam pulang sekolah. Karena di saat pergi sekolah mereka sudah
terlanjut pusing dengan kegiatan MOS yang kadang-kadang
menyebalkan.
“Akhirnya, selesai juga MOS itu,” gerutu Ayu saat
akhirnya mereka makan bersama di hari terakhir MOS. “Udah
resmi sekarang kita jadi anak SMA.”
“Akhirnya ya, gue nggak dikerjain lagi sama senior-senior
itu.” Ditto menggerutu sebal. “Eh, lo tadi udah liat pembagian
kelasnya kan?”
“Udah. Gue di kelas 1-3. Lo?”
“Ya elah, nggak sekelas,” sahut Ditto. “Gue di 1-5.”
“Semoga aja gue nggak nemu lagi anak setengil elo,” ucap
Ayu dibuat seserius mungkin. “Gue mau tobat ah di SMA ini.
Nggak mau sebandel dulu.”
“Oh, menurut lo, gue yang bikin lo jadi bandel?”
“Lha, yang sering ngajakin bolos siapa?” tuding Ayu.
“Heh, Jelek, dulu yang sering ngajak ngobrol pas di kelas sampe
ditegur guru siapa? Yak an elo.”
“Lo juga mau-mau aja diajak bolos.”
“Ya, kan diajak,” kilah Ayu tak mau kalah.
“Asem lo, Cha!”
Setelah saling tuduh dan tak jelas siapa yang salah, mereka
berdua hanya tertawa. Kembali mengenang bagaimana
persahabatan mereka di tiga tahun belakangan.
Duduk bersama Ditto selama tiga tahun membuat Ayu
telah terbiasa dengan kehadirannya. Ia selalu bersama Ditto di
kelas, di lapangan futsal, di studio band, di atas panggung
turnamen…. Semua itu sudah membuatnya terlanjur terbiasa
dengan kehadiran cowok tengil itu.
Saat mereka tahu bahwa mereka satu SMA, Ayu dan Ditto
senang bukan kepalang. Ditto sudah berencana akan mencoba
bolos dengan Ayu. Ayu sudah berencana akan selalu menonton
penampilan Ditto kalau cowok itu masuk ke dalam band sekolah.
Tapi saat keduanya tahu mereka berada di kelas yang
berbeda ada sedikit kekecewaan di sudut hati Ayu. Namun ia
berharap menyembunyikannya dengan baik. Ditto saja yang tak
tahu itu.
***
SMA jelas berbeda jauh dengan SMP. Baru kelas satu saja, mata
pelajarannya sudah lebih bikin pusing. Belum lagi dengan
penjurusan menjelang kelas dua nanti. Hal ini otomatis membuat
waktu Ayu dan Ditto lebih tersita banyak untuk urusan akademis.
Tak banyak yang berubah dari hubungan mereka sebagai
sepasang sahabat. Kedekatan keduanya pun langsung diketahui
oleh hampir seluruh teman-teman mereka.
Jelas saja, kalau ada waktu istirahat mereka yang tidak
disita untuk mengerjakan tugas, keduanya pasti langsung berjalan
bersama. Entah ikut main basket di lapangan atau sekadar makan
mi ayam di kantin.
“Lo udah tahu mau masuk ekskul apa?” Ditto bertanya
sambil mengaduk mi ayamnya yang baru datang.
“Nggak tahu nih, sekarang aja tiap pulang sekolah
langsung cabut.”
Ditto mengangguk paham. Jadwal Ayu semakin padat
setiap harinya. Hampir setiap pulang sekolah Ayu selalu langsung
pergi. Entah untuk syuting atau pemotretan.
“Lo pasti mau masuk band sekolah?” tebak Ayu.
“Iya, dong. Gue kan keren, makanya mereka langsung
nerima gue.”
“Narsis abis,” ledek Ayu sembari melempar tisu bekas
kepada Ditto. “Padahal belum tentu diterima. Anak band sekolah
sini kan udah yang senior semua.”
“Itu fakta, Cha.”
“Terserah lo deh, Jeleeek.”
“Nanti kalo gue manggung lo harus nonton ya,” celoteh
Ditto. “Selama ini kan lo satu panggung terus sama gue, belum
pernah liat pesona gue kalau lo ada di posisi penonton, kan?”
Ayu langsung berlagak ingin muntah dan Ditto tertawa
terbahak-bahak mengundang perhatian sebagian besar cewek-
cewek lain yang ada di kantin. Saat sadar bahwa ada yang benar-
benar menatapnya, Ditto pun melemparkan senyum andalannya.
Membuat cewek-cewek itu langsung membalas senyumnya
dengan semangat. Bahkan ada yang melambaikan tangan
kepadanya.
“Ampun deh, Ditto. Belum juga satu semester, udah tebar
pesona ke tiga angkatan sekaligus aja,” ejek Ayu saat melihat
kelakuan sahabatnya tersebut.
“Gue kan mencoba ramah,” bela Ditto. Ia mengacak
rambutnya yang sudah panjang, hampir mengenai telinga—batas
yang ditentukan pihak sekolah.
Kalau Ditto tetap memanjangkan rambutnya, sudah pasti
para guru akan berlomba untuk menggunting rambutnya atas
dasar kedisiplinan.
“Itu rambut lo potong, gih,” suruh Ayu saat menyadari
bahwa rambut Ditto hampir melewati batas yang ditentukan pihak
sekolah. “Dipotong BP mampus lo.”
Ditto melotot. Biasanya guru BP akan menggunting
rambut siswanya dengan tidak rapi dan cenderung berantakan
yang bisa bikin malu seharian. “Ahelah, rambut gue kan salah
satu faktor yang bikin cewek-cewek naksir gue.”
“Pala lo.”
Ditto ikut tertawa bersama Ayu. “Beneran. Lo nggak bisa
liat aja seberapa keren gue bagi cewek-cewek lain.”
Ayu hanya menggeleng sambil bergumam, “Dasar sableng
lo, To.”
***
SEMBILAN
“Lo emang paling konsisten bilang gue keren main
perkusi dari dulu. Dan gue juga konsisten buat
jadiin lo istri gue dari dulu.”
Agustus 2005
Setiap tanggal 17 Agustus, pihak sekolah pasti selalu
mengadakan upacara Hari Kemerdekaan dan setelahnya disusul
oleh penampilan khusus yang dipersembahkan oleh tiap kelas
atau ekskul. Untuk murid kelas satu, tidak banyak yang benar-
benar mengajukan diri untuk tampil di lapangan sekolah dan
dilihat oleh tiga angkatan. Malu, risi, dan merasa tidak bisa apa-
apa masih mendominasi mereka. Kalaupun ada yang maju,
kebanyakan perintah wali kelasnya.
Namun berbeda dengan Ditto. Ia dan beberapa temannya
yang bisa bermain alat musik sepakat untuk memberikan
pertunjukkan musik di tengah lapangan. Ditto tentu dengan alat
perkusinya. Yang membuatnya jadi sorotan sebagian besar muroid
SMA 82.
Peserta upacara yang tidak tampil diberi tempat di pinggir
lapangan dan koridor-koridor yang menghadap lapangan. Di
situlah Ayu duduk berkerumun bersama teman-teman sekelasnya
sambil menggunakan topi sebagai kipas. Matahari cukup terik
pagi itu, namun tak menyurutkan semangat pihak sekolah yang
ingin mendorong para muridnya untuk berani tampil di depan
umum.
Penam[pilan pertama dibuka oleh ekskul Saman. Minggu
lalu Ayu mendaftar sebagai anggota baru dan kini melihat
penampilan ekskulnya pertama kali di depan public. Kekompakan
Saman dan kombinasi gerakan yang begitu menyihir membuatnya
bersemangat untuk mengikuti ekskul tersebut.
“Lo jadi ikut ekskul Saman, kan?” tanya Icha teman
sekelasnya, yang duduk di sampingnya.
Ayu mengangguk seraya mengencangkan kuncir ekor
kudanya. Gaya rambutnya masih tetap sama dengan saat ia masih
SMP, walaupun gaya berpakaiannya saat ini sudah agak lebih baik
daripada SMP dulu. Setidaknya seragamnya kali ini tidak terlalu
gombrong.
“Eh, liat, liat. Itu temen lo yang anak kelas sebelah itu,
kan?”
Perhatian Ayu langsung tertuju ke tengah lapangan, ke
tempat Ditto dan teman-teman sekelasnya mulai unjuk kebolehan.
Kelas Ditto menampilkan band kelas untuk perayaan Hari
Kemerdekaan saat ini. Ayu bisa mendengar banyak perempuan
yang bersorak heboh ketika Ditto menabuh perkusinya dengan
mantap.
Ayu melihat pertunjukan tersebut dengan penuh minat. Ia
yakin, tidak akan sulit unutk Ditto ke dalam jajaran angota band
sekolah, seperti saat dulu SMP.
***
***
SEPULUH
“Tujuan hidup gue adalah lo. Menikahi lo adalah
anugerah buat gue.”
November 2005
“Lo nyari pacar apa kabel telepon, sih?”
Ayu ingin sekali menabok sahabatnya itu. Tapi yang ia
lakukan hanya menoyor kepala Ditto dengan sebal. “Heh, lo pikir
mana ada orang mau pacaran tapi kali ngobrol bener-bener nggak
nyambung? Sama aja kayak pacaran bareng tembok.”
Kantin saat itu tidak begitu ramai. Jelas, ini masih jam
pelajaran bagi sebagian kelas. Kecuali kelas Ayu dan Ditto,
kebetulan kedua guru yang seharusnya mengisi kelas mereka
tersebut sedang rapat dan hanya memberikan tugas.
Yang tidak dikerjakan oleh mereka yang memilih untuk
kabur ke kantin.
“Dari dulu juga seringnya lo gitu, ujung-ujungnya putus karena
‘nggak nyambung’.”
“Ngapain juga kalo udah nggak nyambung malah dilama-
lamain.”
“Ya udah, besok kalo lo ketemu sama cowok lo, putusin
aja langsung.”
Ayu tak menggubris ucapan Ditto. Ia memilih untuk
menyesap es tehnya selagi Ditto berceloteh tentang cowok-tuh-di
mana-mana-sama-semua, tatapannya justru terpaku pada
ponselnya. Ali, pacarnya selama kurang lebih lama bulan itu, baru
saja mengirimkan pesan. Ia dan Ali sudah berpadacaran kurang
lebih selama lima bulan. Cowok berkulit putih dan memiliki raut
wajah bernuansa Timur Tengah itu beda sekolah dengannya.
Mereka bertemu di lokasi syuting, cinta lokasi, kalau kata orang-
orang.
Setelah percakapannya dengan Ali selesai, ia mendapati
Icha sudah duduk di hadapannya, berdua dengan Ditto.
Sejak kapan Icha ada di sini?
Dan terlihat jelas kalau gelagat mereka bukan seperti
teman-antar-kelas biasa.
Mata Ayu menyipit dan ia memanggil temannya tersebut.
“Icha?”
“Apa, Yu?” tanya Icha yang segera menoleh. Cewek
rambut sebahu itu menatap Ayu dengan bingung karena nada
suara Ayu tidak seperti biasanya. Ayu seperti sedang memastikan
ia adalah Icha yang teman sekelasnya atau orang lain.
“Lo ngapain?”
“Abis beli es teh,” jawab Icha sambil mengangkat plastic
esnya. “Lo dari tadi asyik SMS-an sih makanya nggak liat gue di
sini.”
Bukan itu maksudnya, Ayu ingin membantah jawaban
Icha. Namun ia memilih diam. Icha pun tidak membaca raut
wajah Ayu yang bingung dan heran, ia kembali berpaling ke Ditto
dan tersenyum.
“Jadi kan malem Minggu nanti?”
“Jadi,” jawab Ditto sambil tersenyum. “Dandan yang
cakep, ya.”
Icha tertawa dan menonjok lengan atas Ditto dengan
pelan. “Iya, iya. Aku ke lapangan dulu, ya. Mau nonton anak
kelas dua lagi sparing basket.”
“Oke.”
“Gue duluan ya, Yu,” pamit Icha kepada Ayu, “Jangan
lupa masuk kelas lagi lo setengah jam lagi. Entar kebablasan
bolos.”
Ayu hanya nyengir sebagai jawaban, kemudian ia
membiarkan Icha ke lapangan. Setelah Icha tidak ada, baru ia
beralih ke Ditto. “Malem minggu? Beneran?”
“Apaan?”
“Lo jadian sama Icha?” todong Ayu. “Sejak kapan?”
“Ditto cengengesan. “Belum lama, elah.”
“Kok tiba-tiba sama Icha, sih?”
Ditto menyisir rambutnya yang mulai panjang dengan
jemarinya. “Lo aja kali yang nggak nyadar.”
“Masa?” Ayu masih sangsi, matanya tetap menyipit,
menatap Ditto dengan curiga. Namun yang diatap akhirnya hanya
tertawa.
“Kenapa sih emangnya?” Ditto malah balik bertanya.
“Ya nggak apa-apa. Gue cuma kaget aja, tiba-tiba lo sama
Icha duduk di depan gue kayak orang pacaran. Padahal Icha, kan,
teman sekelas gue sendiri, kok bisa gue nggak tahu?”
Untuk pertanyaan terakhir, Ditto mengedikkan bahunya
sebagai jawaban. Melihat jawaban itu Ayu pun tak mendorong
Ditto untuk menjawab lagi pertanyannya.
***
“Gue kira Ditto udah ngasih tahu lo sejak awal,” tutur Icha
sembari masih menyalin tulisan guru mereka yang terpampang di
papan tulis.
“Gue baru tahu pas waktu itu di kantin,” jawab Ayu,
tangannya terus bergerak menulis materi yang seabrek itu.
Hari ini guru Sejarah mereka sedang tidak menjelaskan
seperti biasa. Jadi ia menyalin materi yang harusnya hari ini ia
jelaskan ke papan tulis, kemudian menyuruh semua murid untuk
menyalin di buku tulis masing-masing. Suasana kelas sedikit
ramai walau tangan-tangan itu tetap harus menulis.
Ayu dan Icha duduk sebangku sejak pertama kali hari
masuk dengan seragam putih-abu di SMA 82. Selain Ditto, Icha
juga teman yang dekat dengannya di sekolah ini. Ayu sudah
sering bercerita mengenai persahabatannya dengan Ditto kepada
Icha. Tapi Ayu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kedua
orang itu akan…pacaran seperti sekarang.
“Kok bisa?”
“Ditto keren,” puji Icha terang-terangan. “Ya kali gue
nolak dia.”
“Ya kali lo nerima dia.”
Icha hanya tertawa. “Ngerestuin kan gue sama sahabat
lo?”
“Emang gue emaknya, ngasih restu segala?”
Ayu memang cenderung cuek, jadi jawabannya sama
sekali tidak dianggap sinis oleh Icha yang notabene sudah tahu
Ayu seperti apa. Icha tertawa, kemudian merangkul bahu Ayu
sambil berkata, “Thanks banget lho, Ca.”
Bisingnya jalan raya di depan SMA 82 hampir tidak terdengar
karena keriuhan siswa junior yang masih excited dengan kegiatan
ekskul. Sore hari di bulan November ini kebetulan tidak berhujan.
Menguntungkan ekskul yang bersifat outdoor karena tidak harus
menggeser jadwal kegiatan atau memindahkannya.
Hari ini ekskul futsal yang mendapat giliran latihan di
lapangan. Ekskul basker sendiri sedang ikut pertandingan dengan
sekolah lain di GOR. Ekskul futsal sore ini memutuskan untuk
latihan dua kali pertandingan di lapangan sekolah. Dua minggu
kemarin cuaca benar-benar tak bersahabat, sehingga mereka
memutuskan menyewa lapangan indoor tanpa merasakan sensasi
terik matahari.
Ditto mengelap peluh di keningnya ke lengan jersey saat
melihat Ayu yang keluar dari ruang seni, yang terletak tepat di
pinggir lapangan berdampingan degan ruangan ekskul PMR dan
Pramuka.
Ia melambaikan tangan dan berteriak, “Ucha!”
Ayu yang tadinya sedang mengobrol dengan temannya,
langsung menoleh ke lapangan. Ia balas melambaikan tangan,
kemudian lanjut mengobrol lagi sebelum akhirnya memisahkan
diri dari teman-temannya yang mau ke kantin.
Seminggu kemarin ia tidak benar-benar punya waktu
mengobrol dengan Ditto. Pulang sekolah langsung pergi ke lokasi
syuting. Tidak ada jadwal pelajaran yang gurunya absen, sehingga
ia bisa bolos bernama Ditto ke kantin seperti biasanya. Juga
waktu istirahat lebih banyak digunakan untuk makan bersama
temannya sambil membicarakan tugas.
“Ke Wartam, yuk,” ajak Ditto saat Ayu tiba di pinggir
lapangan. Pertandingan timnya sudah selesai dan giliran dua tim
lain yang akan bertanding. “Lo udah kelar, kan?”
“Udah, kok. Gue ambil tas dulu.”
Ditto mengangguk dan membiarkan Ayu kembali ke ruang
seni, sementara ia meraih handuk kecil dari dalam tas untuk
mengelap keringatnya dan mencangklong tasnya di satu bahu.
Pamit untuk pulang lebih dulu kepada pelatih dan seniornya yang
mengiyakan saja.
Ketika keluar dari lapangan, Ayu juga sudah siap dengan
tasnya. Berdua mereka menuju ke Wartam, sebuah warung kecil
yang ada di depan sekolahnya.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke Wartam. Mereka
duduk di bangku panjang yang berhadapan dengan meja kayu
yang sama panjangnya dengan kursi di antara mereka.
Di meja lain, banyak siswa SMA 82 yang juga sedang
nongkrong. Gosipnya, perencanaan tawuran sekolah sering
dilaksanakan di sini—walau kadang sering kena labrak guru
mereka.
“Icha mana, To?”
“Ikut ke GOR, jadi anggota cadangan tim yang lagi main.”
Ayu manggut-manggut, lalu tiba-tiba berkata, “Gue udah
putus sama Ali.”
“Akhirnya,” desah Ditto lega. Membuat Ayu mendelik ke
arahnya. “Kalo emang nggak begitu bahagia, ngapain
dipertahanin lagi lama-lama. Iya, nggak?” sahut Ditto saat melihat
Ayu yang mendelik ke arahnya dengan ganas.
“Ya iya, sih…,” gumam Ayu pelan.
“Lagian, ngapain sih pacaran?” tanya Ditto dengan nada
retorik. “Mendingan langsung nikah aja nanti.”
“Menurut lo gue mau nikah sekarang juga?” Ayu berdecak
sebal. “Lha, lo juga pacaran!”
Dengan spontan Ditto tertawa. “Tapi rekor gue nggak
kayak lo, Cha.”
Ayu sudah mengangkat tempat tisu plastic yang ada di
meja saat Ditto akhirnya berhenti tertawa.
“Lo kenal Arman, nggak? Nah, sekarang dia deketin gue,
To,” curhat Ayu, mencoba mengabaikan sisa kejengkelannya
karena kata-kata Ditto tadi.
“Buset, cepet amat lo dapet yang barunya,” gerutu Ditto.
Ia menatap sahabatnya yang masih menunggu mi rebus pesanan
mereka. “Udah lama?”
“Baru tiga hari sih sering SMS-an,” jawab Ayu sambil
nyengir lebar. “Lo pasti tahu Arman yang mana. Lo kan gaulnya
sama kakak kelas, pasti kenal sama Arman. Dia kan kelas tiga,
sekelas sama salah satu temen band lo deh kalo nggak salah.”
Ditto mengangguk perlahan. Ia tahu Arman mana yang
mendekati Ayu. Rasanya tidak ada siswa yang tidak ia kenal di
SMA 82 ini. sejak awal masa MOS, ia benar-benar mengetahui
siapa saja penghuni sekolah ini. Apalagi kalau kakak kelas, sudah
dipastikan ia kenal mereka semua.
Anjrit, baru putus udah dapet lagi nih si Ucha?
Berlawanan dengan apa yang terpikir di benaknya, Ditto
malah berkata, “Hati-hati lo, cowok kalo dari awal baik banget
bisa aja dia jadi jahat banget ke belakangnya.”
“Dan di sini ada cowok yang lagi nasehatin gue tentang
cowok,” sindir Ayu, namun Ditto hanya tersenyum dengan santai.
“Itu kan enaknya punya sahabat cowok, Cha. Lo bsia tahu
pikiran cowok lo dari gue.”
Ayu tak menanggapi lagi, ia hanya membuat bola matanya
dengan malas.
Kemudian keduanya menikmati suasana di sekitar mereka
sambil menunggu mi rebus masing-masing. Wartam hampir tak
pernah sepi dari murid SMA 82, kecuali saat larut dan saat jam
pelajaran berlangsung. Sesekali ada yang bolos dari sini, namun
ada saja yang tertangkap guru mereka.
Wartam merupakan warung kecil selayaknya warung
biasanya, menyediakan makanan ringan, mi instan, kopi, dan
sebagainya. Terletak di depan SMA 82, tepatnya di Taman
Mataram. Sejak awal sekolah, selain kantin dan lapangan, Ayu
dan Ditto sering sekali ke sini. Penjaga warung tersebut sudah
hafal dengan mereka.
“Cha, gue pengin punya mobil sendiri.”
“Ya belilah.”
“Tapi bokap-nyokap nggak mau beliin.” Ucapan Ditto kali
ini membuat Ayu kembali menoleh ke arahnya satu tangannya
menopang dagu. “Gue disuruh beli sendiri.”
“Belilah.”
Ditto memukul meja dengan kepalan tangannya. Tidak
terlalu keras hingga tidak menimbulkan perhatian “Gue masih
SMA, Cha, belum kerja. Duit dari mana?”
“Kerja, To. Jangan ngepet.”
Ditto menoyour Ayu dengan sebal. “gue lagi serius juga.”
“Gue juga serius,” kilah Ayu.
“Lo kan enak, udah kerja,” kata Ditto dengan wajah
muram. “Beli mobil sendiri pasti nggak susah buat lo.”
ayu menghela napas dalam-dalam. “To, lo tahu kan kenapa
gampang buat gue kalo gue mau beli mobil?”
Ditto mengangguk.
“Kenapa?”
“Karena lo udah kerja.”
“Kalo gitu lo kerja juga, kumpulin duit dari sekarang,”
ujar Ayu. Ketika Ditto sudah mau berkilah lagi, Ayu kembali
berkata, “Kerja dari sesuatu yang emang bener-bener lo suka, To.
Gue suka acting, gue kerja di sana. Lo suka main perkusi, lo bisa
kerja ngandelin perkusi lo itu.”
“Hm.”
“Lo kan anak band, mulai ngeband secara professional,
dong. Dapet bayaran, tabungan duitnya buat beli mobil,” tambah
Ayu. “Lo pasti bisa, lo kan berbakat.”
Setelah berpikir beberapa saat, Ditto akhirnya
mengangguk dengan senyum puas terkembang di wajahnya. “Gue
bakal nabung buat beli vespa.”
“Hah? Kok jadi vespa?”
“Setelah gue pikir-pikir, bakal lama nabung buat beli
mobil,” jawab Ditto. “Mendingan gue beli vespa. Keren, nggak
terlalu mahal, dan tetep bikin gue nggak harus naik angkutan
umum lagi atau nebeng elo kayak zaman SMP dulu.”
Ayu tertawa saat kembali diingatkan tentang hal tersebut.
Dulu, karena rumah Ayu jauh dari SMP, AYu dijemput dengan
mobil pribadi. Ditto pun yang rumahnya searah jadi penumpang
tambahan tetap di mobil itu. Diantar-jemput hampir setiap hari
oleh Ayu.
Bukan hal yang bisa dibanggakan, sebenarnya. Mana ada
cewek yang antar-jemput cowok?
“Nanti pokoknya harus gue yang jadi penumpang
pertama,” titah Ayu. “Nggak boleh ada orang lain—apalagi
cewek, yang duduk di boncengan lo buat pertama kalinya. Catet
tuh, ya!”
“Iya, Cha, iyaaa.”
***
SEBELAS
Januari 2006
Ayu menunggu jam dua belas malam dengan mata yang
hampir terkatup. Setiap kali matanya terpejam lebih dari satu
menit, ia akan berusaha untuk membuka matanya lagi.
Lima menit lagi. Lima menit lagi.
Ponsel di tangannya beberapa kali tergelincir ke ranjang
karena ia mulai tertidur. Saat matanya hampir terpejam untuk
kesekian kalinya, alarm di ponsel berbunyi nyaring. Membuat
Ayu terlonjak kaget, lalu dengan cepat menekan tombol hijau di
ponselnya pada kontak Ditto.
Di dering pertama telepon tersebut langsung diangkat. Ayu
langsung berseru, “Happy birthday, Ditto!”
Terdengar suara tawa dari sebrang telepon. “Thank you,
Cha.”
“Semoga panjang umur, makin pinter, makin keren tiap
kali manggung, terus tabungannya makin banyak buat beli
vespa,”
“Amin.”
“Jangan lupa traktiran pokoknya—tapi jangan di Wartam
doang, naik tingkat dikit, kek.”
“Ampun, deh. Yang ditraktir banyak maunya banget.”
Kali ini ganti Ayu yang tertawa. Setelah bicara beberapa
saat, Ayu memutuskan sambungan teleponnya. Besok masih hari
sekolah dan ia tidak ingin datang terlambat ke sekolah.
***
Pagi itu Ditto bangun pagi sambil tersenyum. Hari ini adalah hari
ulang tahunnya. Dan sejak bersahabat dengan Ayu, Ayu belum
pernah absen sama sekali untuk menjadi orang yang pertama
mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya.
Kecuali Ditto sendiri, sih. Ia kadang tertidur saat
menunggu jam dua belas dan ujung-ujungnya menelepon Ayu saat
hari sudah pagi. Membuat cewek itu mengomel karena ia kira
Ditto melupakan ulang tahunnya.
Setibanya di sekolah, Icha langsung menghampiri Ditto
yang baru saja meletakkan tas di atas meja.
“Happy birthday, Sayang!” seru Icha sambil menyodorkan
kado yang sudah ia siapkan dari jauh hari.
Beberapa teman sekelas Ditto langsung bersorak norak.
Ditto hanya nyengir lalu berkata, “Thank you.”
Icha baru saja ingin mengatakan sesuatu saat bel masuk
kelas sudah berbunyi nyaring. Jadi cewek berambut sebahu itu
melambaikan tangannya kepada Ditto dan segera berlalu ke
kelasnya di sebelah.
“Gile, pagi-pagi udah disamperin cewek aja,” ledek Tio,
teman sebangkunya di kelas.
“Makanya cari pacar,” sahut Ditto. “Biar nggak sirik lagi
kalo temennya disamperin pacar.”
Tio hanya berdecak sebal menanggapi ledekan Ditto.
Apalagi saat ia melihat Ditto dengan santainya menaruh kado dari
Icha du kolong meja tanpa berniat untuk membuka satu mengintip
isinya.
***
“Nanti malem kita jalan, yuk,” ragu Icha saat Ditto baru keluar
dari kelas untuk istirahat.
Ditto mengernyitkan kening. “Nanti malem? Tapi besok
masih sekolah, Cha.”
“Emangnya kamu nggak mau ngerayain ulang tahun kamu
sama aku?” Icha mengibaskan rambutnya ke belakang, kemudian
meraih tangan Ditto dan menggandengnya. “Aku udah bilang ke
tim basket kalo hari ini aku absen ikut sparing di GOR, lho.”
“Tapi nggak hari Rabu juga jalannya, Cha.”
Tapi mana enak kalo ngerayainnya nunggu hari Sabtu?”
gerutu Icha dengan bibir merengut.
“Udahlah, Cha, kalo mau jalan ya Sabtu aja.”
Mendengar ketegasan suara Ditto, Icha akhirnya memilih diam.
Setibanya di kantin, Ditto yang sudah ingin menghampiri Ayu
harus menahan langkahnya karena Icha telah mendahuluinya.
Icha menghampiri Ayu yang duduk di pojokan kantin, sepertinya
mau curhat. Maka dari itu Ditto memilih untuk bergabung dengan
teman sekelasnya yang lain, tidak menghiraukan atau membujuk
Icha yang kemungkinan sedang ngambek kepadanya.
Dari dulu ia selalu malas berurusan dengan cewek yang
merajuk.
***
***
***
DUA BELAS
“Jodoh itu nggak usah jauh nyarinya. Lihat di
sekeliling lo, siapa tahu salah satunya jadi jodoh lo.”
Februari 2006
Semester dua berlalu dengan cepat. Murid kelas satu
sudah diminta memikirkan mau ke jurusan apa mereka nanti di
kelas dua. Mau IPA atau IPS. Nilai rapor dua semester ini juga
akan menentukan ke mana mereka nantinya. Namun baik Ayu
maupun Ditto belum terlalu memikirkannya untuk saat ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, sekarang Ditto sudah
punya pacar baru. Icha sudah ia putuskan tepat tiga hari setelah ia
bicara dengan Ayu. Di hari Sabtu, saat mereka jalan bersama.
Yang langsung membuat Icha marah adalah karena ia merasa
tidak ada yang salah dengan hubungan mereka selama ini. jadi
kenapa putus?
Ayu harus rela waktu istirahatnya dijarah oleh Icha untuk
curhat selama seminggu penuh. Membuat waktunya bersama
Ditto semakin sedikit, karena tiap kali melihat cowok ia mampir
ke kelasnya untuk sekadar bolos satu mata pelajaran atau ke
kantin saat jam istirahat, Icha selalu terlihat seperti menahan
tangis.
Yah, lo bukan yang pertama kok, Cha, batin Ayu.
“Gimana pun, gue harus move on, Yu,” ujar Icha saat
mereka sedang berjalan ke kelas ketika lima menit lagi bel masuk
berbunyi.
Lorong-lorong terasa ramai karena mayoritas murid
berada di luar kelas saat jam istiharat. Beberapa kali mereka
berdua disenggol oleh siswa yang berdatangan dari arah
berlawanan. Namun walaupun begitu. Icha tetap melanjutkan
ceritanya.
“Toh si Ditto juga udah punya yang baru.”
Ayu terbelalak kaget. Jangan bilang si Asa! Batinnya.
“Siapa?” tanya Ayu.
“Tuh, liat aja.”
Di pinggir lapangan, Ayu mengenali beberapa teman Ditto
di ekskul futsal sedang duduk-duduk di atas lapangan yang tak
terkena sinar matahari sambil mengibaskan baju seragam mereka
untuk mengusir gerah. Dan di antara mereka, ada Ditto yang
sedang minum air mineral pemberian dari cewek di sebelahnya.
Cewek berambut agak ikal dengan kulit sawo matang dan
perawakannya yang tinggi. Itu Asa, murid kelas dua yang tempo
hari sempat disinggung oleh Ditto.
Mata Ayu sukses melotot ketika akhirnya benar-benar
menangkap kebersamaan Ditto dan—yang dugaan Ayu—cewek
barunya tersebut, Icha yang sudah tidak tahan melihat mantannya
tersebut dengan pacar barunya, langsung menggandeng Ayu dan
menyeretnya ke kelas.
Ditto berutang satu penjelasan kepada Ayu.
***
Di mata pelajaran terakhir, guru Fisika kelas Ayu tidak masuk dan
menitipkan tugas kepada guru piket untuk disampaikan kepada
ketua kelas. Setelah ketua kelasnya mengumumkan
ketidakhadiran guru tersebut dan tugas yang diberikan, Ayu
langsung meraih tasnya dan mengendap ke dekat pintu kelas
sebelah.
Kelas sebelah juga tak kalah ribut dari kelasnya. Ketika
Ayu melongok melalui pintu kelas yang terbuka lebar, di kelas
tersebut juga tidak ada gurunya. Entah ke mana. Jadilah Ayu
memutuskan untuk memanggil Ditto.
“To! Ditto!”
Yang dipanggil akhirnya menengok. Tadinya ia sedang
mengobrol dengan Tio, Fero, dan Bagus mengenai pertandingan
futsal yang sebentar lagi akan digelar. Juga tentang rencana
LDKS—Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa—yang diwajibkan
untuk anggota OSIS seperti mereka.
Ditto pun menghampiri Ayu yang berdiri di pintu
kelasnya.
“Kenapa?”
“Guru lo mana?”
“Ke ruang guru, cape katanya ngadepin kelas gue,” jawab
Ditto sambil tertawa. Kelasnya memang yang paling ribut
dibanding kelas lain. Sudah bukan hal baru lagi guru-guru
‘ngambek’ karena ulah mereka.
“Wartam, yuk.” Ayu mengedikkan bahunya. Tanpa
menunggu Ditto, ia segera berjalan mengendap-endap menuju ke
luar sekolah.
Ditto menggeleng pelan, kemudia segera meraih buku dan
peralatan tulisnya di meja lalu dimasukkan ke dalam tasnya.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, ia
meninggalkan kelas dan berjalan mengendap-endap di sepanjang
koridor kelas menuju pintu gerbang.
Bagaimanapun saat ini masih jam pelajaran dan ia sudah
membawa tas, kalau ada guru yang melihatnya, pasti ia akan
langsung ditangkap dan dibilang membolos.
Walaupun, memang benar ia membolos.
Sesampainya di Wartam, ia langsung menyusul Ayu untuk
duduk di tempat biasanya.
“Lo beneran jadian sama Asa?” todong Ayu begitu Ditto
duduk di hadapannya.
“Iya,” jawab Ditto. “Gue baru mau cerita sama lo. Abisnya
dari kemarin lo dibuntutin Icha atau nggak Arman.”
Ayu mengembuskan napasnya perlahan. “Ngapain sih
sama dia?” tanya Ayu sebal. Dan ini bukan pertama kalinya ia
bertanya hal tersebut pada Ditto. “Lo tuh nggak cocok sama dia,
tahu.”
“Nggak cocok dari mananya sih, Cha?”
“Ya…Nggak cocok aja. Emang lo nggak nyadar apa?”
“Nggak, tuh.”
“Haaah, dasar freak,” ledek Ayu. “Gila, ya, playboy banget
sih lo.”
Ditto hanya tertawa.
Ayu memilih diam kemudian beranjak berdiri, ingin
memesan segelas es teh manis. Saat ia kembali ke tempatnya
terdengar bunyi bel sekolah yang menandakan waktunya pulang.
Tak lama, seorang cowok bertubuh tinggi tegap dengan ransel
yang dicangklong di satu bahunya, mendatangi meja mereka dan
duduk di samping Ayu.
“Lho, kok kamu udah di sini aja, sih?” tanya Arman begitu
duduk di samping Ayu. “Tadi aku ke kelas kamu, tapi kelasnya
udah kosong.”
Ayu tertawa. “Iya, tadi gurunya nggak ada, langsung cabut
aja, deh.”
Arman hanya tertawa sambil menggeleng, kemudian
menoleh ke depan, mendapati Ditto sedang menatap mereka
berdua. “Hai, bro,” sapa Arman. Keduanya bersalaman ala
cowok-cowok kebanyakan. “Lo bolos juga?”
Ditto menuding Ayu. “Diajakin si Ucha.”
Ayu hanya mendelik kesal. Sebelu ia sempat bicara,
Arman sudah lebih dulu meraih tangannya dan bangkit berdiri.
“To, gue mau ngajak jalan Ayu. Sorry ya kita tinggal.”
“Oh, nggak apa-apa,” sahut Ditto. “Gue juga mau ngajak
Asa jalan.”
Jelas kata-kata itu membuat Ayu memutar bola matanya.
Kalau sudah jadian begini, tinggal tunggu saja kapan Ditto akan
bosan dengan Asa—seperti yang sudah-sudah. Ibarat makanan,
hubungan Ditto selalu punya tenggat waktunya. Hubungan Ditto
pasti akan kadaluarsa.
“Duluan, ya.”
Ditto mengangguk. Ayu pun tidak menolak saat Arman
membawanya pergi dari Wartam.
Ditto menatap kepergian Ayu dengan berbagai pikiran di
benaknya. Dari kejauhan seperti ini, ia masih bisa melihat Arman
yang menggenggam tangan Ayu.
Tangan sahabatnya itu.
Tangan itu sudah berkali-kali ia lihat menggandengan
cowok lainnya, tapi tidak pernah ada cowok yang membuatnya
tenang dan senang untuk bersama Ayu.
Ditto mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Sejak
kapan sih jadi begini terhadap sahabatanya sendiri? Dan sampai
kapan? Ia sudah berpacaran dengan beberapa cewek tapi tetap
saja, Ayu selalu menjadi sosok pertama yang melintas di
benaknya.
***
TIGA BELAS
Maret 2006
Kafe di kawasan Senopati tersebut sangat ramai di malam
Minggu seperti hari ini. Para pelayan hilir mudik mengantar dan
menanyakan pesanan para tamu. Sedangkan band yang hari ini
tampil sedang bersiap-siap untuk tampil sesaat lagi.
Ayu menatap Ditto yang sedang mencoba memainkan
perkusinya sebelum tampil. Malam ini ia datang ke kafe ini untuk
menyaksikan penampilan Ditto di luar acara-acara sekolah seperti
biasanya.
Sejak Ditto bergabung dengan band sekolahnya, selain
manggung di turnamen band antar SMA seperti waktu SMP, band
tersebut juga sudah manggung di pensi sekolah lain dan kafe-kafe
di sekitar Jakarta. Dari situlah Ditto mulai menabung untuk
membeli vespa.
Remasan di tangannya membuat Ayu menoleh ke
samping, Arman tengah tersenyum kepadanya dan mengedikkan
dagunya kea rah stage. “Tuh, Ditto udah mulai tampil.”
Suasana kafe jadi makin meriah ketika Ditto dan teman-
temannya mulai tampil. Ayu melihat Asa yang duduk di meja
khusus untuk personel band tersebut. Sejauh ini, akhirnya Ayu
bisa menerima Asa sebagai pacar Ditto. Yah, setidaknya ia tidak
lagi bertanya ‘kok bisa sih sama Asa?’ lagi untuk kesekian
kalinya.
Ayu pun kembali memusatkan perhatiannya ke atas stage.
Di mana Ditto sedang beraksi dengan perkusinya, mengiringi lagu
Maroon 5 yang dinyanyikan oleh sang vokalis.
Ayu tak menghitung berapa lama mereka tampil tanpa
henti. Selain mereka menyanyikan lagu yang sudah mereka
siapkan, mereka juga menerima request dari pengunjung kafe
yang dititipkan melalui para pelayan.
Sesekali Arman mengajaknya mengobrol, namun Arman
paham kalau Ayu lebih ingin menonton penampilan Ditto untuk
saat ini.
Tepuk tangan dari seisi kafe menandakan penampilan
mereka sudah selesai. Ayu mulai memakan makanan yang sejak
tadi ia diamkan karena terlalu berkonsentrasi menonton
penampilan Ditto. Alunan musik instrumental kini menggantikan
musik yang menemani pengunjung kafe saat itu.
Saat Ayu sudah memakan hampir separuh dari
makanannya, Ditto dan Asa tiba di mejanya dan duduk di dua
kursi yang tersedia tanpa izin terlebih dahulu.
“Gila, keren lo, To!” seru Ayu sesaat setelah sendok dan
garpunya ia letakkan. “Pokoknya gue nggak bakal berenti nonton
sampe tua nih kalo lo ngeband terus.”
Ditto tertawa senang sambil merangkul bahu Asa yang
duduk di sebelahnya. “Bener lo ya, gue pegang nih omongan lo.”
Armand an Asa bergantian memuji penampilan Ditto saat
ini. Arman sudah terbiasa jika kencannya dengan Ayu tiba-tiba
jadi double date seperti ini dengan Ditto dan Asa. Sering juga
ketika ia berdua dengan Ayu ditambah dengan Ditto. Pokoknya,
yang jadi pacar Ayu dan Ditto harus siap menerima persahabatan
dan berbagai bentuk komunikasi mereka.
***
EMPAT BELAS
April 2006
Beberapa hari ini Ditto terlihat lebih asyik dengan
ponselnya ketimbang dengan manusia. Jadwal manggung
bandnya memang lagi agak longgar, dikarenakan sedag adanya
UAN untuk seniornya yang sudah duduk di kelas tiga. Jadi
kegiatannya bersama ponsel ini tidak terlihat menagganggu
aktivitasnya di band.
Namun Ayu tentu saja melihat keanehan sahabatanya itu.
Karena hari ini adalah hari UAN untuk kelas tiga dan murid kelas
satu dan dua diliburkan, Ayu ikut dengan Ditto ke lapangan futsal
indoor yang disewa untuk latihan siang ini.
Setelah ditanya-tanya oleh Ayu, ternyata Ditto sedang
asyik dengan Friendster-nya. Jejaring sosial di mana ia banyak
berkenalan dengan banyak orang baru—cewek-cewek baru.
“Cantik, kan?” Ditto menyerahkan ponselnya kepada Ayu
ketika laman profil Friendster teman barunya sudah terbuka.
“Seangkatan sama kita, sekolahnya juga nggak jauh dari sini.”
“Kok lo udah tahu sekolahnya segala?”
“Kan udah sering nanya-nanya,” jawab Ditto. “Gue juga
udah punya nomor barunya.”
Ayu tertawa sambil menggeleng pelan. “Udah SMS-an?”
“Udahlah,” sahut Ditto dengan senyum jemawa.
“Udahlah, sikat, bro!”
Kali ini Ditto yang tertawa puas, kali ini Ayu
mendukungnya menggaet cewek baru. Saat itu pula ada dua SMS
masuk berbarengan.
Satu dari cewek kenalannya di Friendster, satu dari Asa.
“Lupa gue kalo udah punya cewek,” gumam Ditto sembari
mengetik pesan singjat dengan cepat kepada Asa.
Ayu sudah tahu benar tabiat Ditto. Cowok ini bisa
dipastikan sudah bosan dengan Asa. Ketika bertemu cewek baru,
langsung saja disikatnya—bahkan tanpa perlu Ayu
mengatakannya secara langsung seperti tadi, Ditto pasti akan
melakukan hal yang sama.
Bunyi peluit nyaring dari pelatih menandakan waktu
latihan dua tim kali ini sudah selesai. Ditto mendongak dari
ponselnya, untuk memastikan bahwa saat ini latian sudah selesai
dan tidak ada latihan tambahan seperti yang dibilang pelatihnya
tadi.
“Asa pasti nanyain lo, ya?” tebak Ayu tanpa perlu melihat
isi SMS Asa.
Ditto mengangguk. “Gue bilang aja lagi sibuk sama OSIS,
mau siapin acara perpisahan kelas tiga.”
“Jago bener ngibulnya,” ledek Ayu. Ditto hanya
menanggapinya dengan cengiran lebar.
“Apa gue putus aja ya dari Asa?” Ditto menaruh
ponselnya ke dalam ransel dan ganti meraih botol mineral yang ia
bawa dari rumah.
“Putusin aja, sih.” Ayu mengedikkan bahunya dengan
santai. “Tapi akhirnya kebukti kan omongan gue, lo tuh nggak
cocok sama dia.”
***
Setelah obrolan mereka siang itu, Ayu dan Ditto jarang bertemu
selama dua minggu. Ditto sibuk dengan kegiatan OSIS –nya
menyiapkan acara perpisahan kakak kelas, menyiapkan program
MOS untuk siswa baru nanti, juga persiapan pergantian pengurus
OSIS untuk tahun ini.
Sedangkan Ayu sedang sibuk dengan syuting dan Arman,
cowok itu saat ini sudah resmi lulus dari SMA 82. Sedang
menunggu periode masuk kampus, jadi pengangguran sementara
kalau kata Ayu. Makanya Arman selalu bersama Ayu jika ada
kesempatan di sela-sela kepadatan jadwal Ayu.
Walaupun jarang bertemu, komunikasi Ayu dan Ditto tidak
pernah terputus. Minimal satu kali sehari Ditto akan menelepon,
atau mereka SMS-an. Dari salah satu obrolan mereka via
teleponlah, Ditto memberi tahu kalau akhirnya ia sudah putus
dengan Asa.
Saat itu Ayu sedang di mobilnya, pulang dari lokasi
syuting. Ketika Ditto meneleponnya, Ayu langsung mengangkat
tanpa pikir panjang.
“Gue baru putus sama si Asa, Cha.”
“Gimana ceritanya?” tanya Ayu dengan antusias.
Kemudian cerita itu mengalir dari mulut Ditto. Tentang
bagaimana dia berkenalan dengan banyak cewek via Friendster.
Belum lagi sejak sering manggung di luar, koneksinya makin
bertambah banyak, kenalan ceweknya bukan lagi hanya dari SMA
82.
“Ada tuh, satu cewek yang emang gue lagi gencar-
gencarnya hubungin, Cha. Biasa deh, gue SMS-an terus kan. Nah,
gue jarang banget jadinya bales SMS Asa. Akhirnya pas waktu itu
ketemu, Asa ngambil HP gue terus dia ngeliat semua SMS gue
sama cewek lain.
“Pas tahu yang gue panggil ‘Sayang’ bukan dia doang, dia
ngamuk terus minta putus.”
Di mobilnya, Ayu tertawa terpingkal-pingkal.
“Malah ketawa,” gerutu Ditto.
“Kalo gue ucapin belasungkawa, emang lo beneran lagi
berduka? Pasti nggak juga, kan?” tebak Ayu dengan jitu.
Benar saja, Ditto langusng terkekeh. “Ya, akhirnya gue
free lagi. Ngapain juga gue sok-sok sedih?”
“Dasar playboy cap kucing garong.”
“Lo jgua yang ngajarin gue, Jelek!”
“Tapi lo emang udah ada bakat.”
“Sialan lo, Cha.”
Keduanya tertawa bersama. Setelahnya mereka hanya
bicara tak tentu arah. Kadang membicarakan mantan-mantan
mereka. Betapa konyolnya mereka bisa pacaran dengan berbagai
tipe manusia, kalau diingat lagi.
***
LIMA BELAS
“Saling mengerti, memahami, dan menguatkan.”
Juli 2006
Tahun ajaran baru resmi dimulai hari Senin ini. Seminggu
kemarin, SMA 82 mengadakan MOS untuk siswa baru sebelum
akhirnya bisa bergabung mengikuti upacara hari Senin bersama
kelas dua dan kelas tiga.
Hari ini, resmi sudah Ayu dan Ditto jadi anak kelas dua.
Seminggu kemarin Ditto sibuk menjadi salah satu panitia MOS
dengan anggota OSIS lainnya. Waktu MOS inilah yang juga jadi
ajang untuk Ditto lirik-lirik junior yang mungkin bida digebetnya
setelah mereka resmi memakai seragam putih-abu.
Ayu sendiri masih bertahan dengan Arman. Sejauh ini,
rasanya Arman adalah fase hubungan yang paling awet dan tidak
macam-macam. Dengan Arman, Ayu merasa nyambung, nyaman,
dan benar-benar menyenangkan. Sayangnya saat ini ia sudah tidak
satu sekolah lagi dengan Arman. Cowok itu sudah bersiap
mengikuti OSPEK kampusnya yang sebentar lagi akan dimulai.
Setelah upacara, murid kelas dua berebut melihat papan
pengumuman yang letaknya tak jauh dari pintu ruangan Tata
Usaha. Ayu menghampiri Ditto yang berdiri bersandar di pilar
ujung koridor. Menatap gerombolan murid kelas dua yang mulai
rusuhu untuk melihat pengumuman kelas.
“Nanti aja ya liatnya ,nyantai,” ujar Ditto saat Ayu tiba di
sampingnya. “Liat kelas udah kayak antre sembako.”
“Bilang aja lo maunya telat masuk kelas,” cibir Ayu. Yang
diiyakan oleh Ditto dengan cengiran lebarnya.
Saat keramaian tersebut mulai mereda, Ayu dan Ditto
beranjak untuk melihat kelas baru mereka. Keduanya mulai
mencari nama mereka dan akhirnya mendapati di mana kelas
mereka.
“Yes, gue IPS,” seru Ayu dengan senang.
“Lo IPS?” tanya Ditto tak percaya. “Gue IPA!”
“Lo kan pinter ngitung, wajarlah lo masuk IPA,” sahut
Ayu. “Nah, gue ke kelas dulu. Duluan, ya!”
Ditto tak berkata apa-apa, ia hanya memandangi kepergian
Ayu sambil berpikir keras. Lagi-lagi mereka tidak sekelas.
Parahnya, sekarang mereka beda jurusan. Dia IPA, Ayu IPS.
Dipandanginya lagi sosok Ayu yang mulai menjauh. Cewe
itu sebenarnya tidak banyak berubah di SMA ini. rambuntnya
sangat jarang digerai, seragamnya cenderung gombrong, ujung
lengannya dilipat dua kali, tas ranselnya dicangklong di satu bahu,
pokoknya tidak ada ‘cewek’-nya banget.
Ditto menyugar rambutnya. Rambutnya sudah pendek
karena keharusan OSIS. Bel masuk sudah berbunyi, namun ia
masih berdiri di depan papan pengumuman.
Setelah berpikir beberapa menit, akhirnya Ditto tidak
berjalan menuju kelas yang sudah tertulis di papan pengumuman
tersebut. Ia berjalan lurus melewati ruang Tata Usaha, menuju
ruang Bimbingan Konseling.
***
“Oke, cukup buat hari ini, ya.”
Ayu mengembuskan napas lega kemudian beranjak
menuju ruang gantinya. Rasanya langka sekali bisa selesai syuting
lebih cepat dari perkiraan jadwalnya. Setelah berganti pakaian,
Ayu pun meraih barang-barangnya dan bersiap pulang. Mamanya
yang ikut Ayu ke lokasi syuting untuk menemaninya, sudah
mewanti-wanti Ayu untuk istirahat di sepanjang perjalanan pulang
kalau besok mau sekolah.
Saat tiba di mobi;, ponselnya berbunyi nyaring. Ia kira
Ditto yang menelepon, namun ternyata ibunya Ditto. Sambil
mengertukan kening, Ayu pun memilih untuk menjawab
panggilan tersebut,
“Hallo, Ucha.”
“Hallo, Bu.”
“Duh, maaf ya, Ucha, Ibu ganggu malem-malem.”
“Nggak apa-apa kok, Bu. Nggak ganggu, kok,” jawab
Ayu.
“Ucha, kamu tahu nggak kenapa si Mas malah minta
pindah ke kelas IPS?”
Pertanyaan itu membuat Ayu terdiam beberapa saat. Ditto
pindah ke IPS?
“Ditto pindah ke IPS, Bu?” Justru Ayu yang bertanya
balik.
“Lho, Ucha nggak tahu?”
“Baru tahu dari Ibu malah.” Ayu menyender di jok
mobilnya. Mamanya menoleh dengan heran, namun ia
mengucapkan ‘ibunya Ditto’ tanpa suara untuk memberi tahu
siapa yang sedang bicara dengannya. “Beneran, Bu?”
“Iya, kirain Ibu, Ucha tahu kenapa.” Terdengar helaan
napas di seberang sana. “Pulang sekolah tadi, si Mas ngasih tahu
dia masuk IPA, tapi bilang lagi kalo dia lagi ngurusin mau pindah
ke IPS.”
Ayu tahu, orangtua Ditto pasti tidak suka dengan gagasan
tersebut. Bagaimanapun, jurusan IPA masih dipandang sebagai
jurusan yang ‘baik’ buat murid-murid. Sedangkan jurusan IPS
entah sejak kapan sudah terkenal sebagai jurusan buangan dari
anak-anak yang nilainya tidak memenuhi standar untuk masuk
IPA.
“Nanti aku coba ngomong sama Ditto, deh,” putus Ayu.
Setelah berbincang beberapa saat, sambungan telepon
tersbut berakhir. Ayu segera menelepon Ditto dan langsung
diangkat di dering pertama.
“Lo ngapain deh pindah jurusan?” seru Ayu sebelum Ditto
sempat mengucapkan sapaan atau apa. “Ibu tadi nelepon gue,
ngasih tahu lo pindah ke IPS. Ngapain sih? Ibu marah tahu sama
ide gila lo itu.”
“Ya, gue nggak mau masuk IPA,” jawab Ditto terdengar
agak lelah. Pasti sejak pulang sekolah ia terus berdebat dengan
ibunya. “Kalo dipaksain, nanti gue gila. Mau lo gue jadi gila?”
“Sekarang juga udah gila,” ceracau Ayu. “Emangnya bisa
pindah jurusan? Lo tuh aneh-aneh aja, sih.”
“Pasti bisa,” jawab Ditto dengan yakin. “Kalo belum ada
yang bisa pindah jurusan, gue nanti jadi orang pertama yang bisa
pindah ke IPS.”
Ayu menggeleng dan memutuskan untuk mengakhiri
sambungan telepon tersebut. Sekali ini ia benar-benar bingung
dengan apa yang ada di pikiran Ditto. Kenapa juga mesti pindah
jurusan? Bukannya memang nilai-nilai Ditto sangat bagus di mata
pelajaran IPA? Cowok itu walaupun badung dan sering bolos, tapi
pintar dalam pelajaran. Pasti ia bisa kok bertahan di jurusan IPA
yang njelimet itu pelajarannya.
Tapi, kenapa Ditto ngotot untuk pindah jurusan?
***
***
ENAM BELAS
“Tembaklah wanita yang tepat di waktu yang tepat.
Jangan hanya untuk dijadikan pacar.
Jadikan dia teman hidupmu sampai maut memisahkan.”
September 2006
“Gue nggak tahu harus seneng atau gimana pas tahu lo
jadi ketua OSIS tahun ini.”
Ditto tidak tersinggung dengan ucapan Ayu, justru ia
tertawa hingga memancing perhatian pengunjung lain di kafe
tersebut. “Sialan lo.”
Hari Senin kemarin, di upacara pagi itu, Ditto dinyatakan
sebagai ketua OSIS setelah melalui kampanye dan pemilihan
yang diadakan seminggu yang lalu.
Walaupun Ditto dikenal sebagai anak yang badung, tapi
kemampuannya memimpin dan mendapatkan respek dari warga
sekolah membuatnya cocok mendapatkan jabatan ketua OSIS.
Selain menjadi anggota band sekolah, menjadi ketua OSIS makin
membuat fansnya membeludak.
“Semoga 82 tawurannya makin berkurang kalo lo yang
jadi ketua OSIS,” kata Arman yang duduk di sebelah Ayu.
Ditto menggeleng. “Susah kayaknya, udah mendarah
daging gitu.”
Keempat orang di meja tersebut tertawa mengiyakan.
Malam Minggu ini Ayu dan Arman kembali menonton
penampilan Ditto dan band-nya. Setelah selesai tampil, Ditto dan
cewek-minggu-ini yang merupakan junior mereka di sekolah,
menghabiskan waktu bersama.
Setelah putus dari Asa, Ditto tidak pernah benar-benar
pacaran. Paling-paling hanya dekat dengan satu cewek kemudian
beberapa saat setelahnya bubar. Lalu berganti dengan cewek lain
dan begitu seterusnya. Dan yang banyak jadi korban Ditto adalah
junior mereka. Rupanya pesona ketua OSIS dan anak band benar-
benar besar di mata mereka.
Saat kedua pacar mereka sedang ke toilet, Ayu memajukan
tubuhnya dan bicara dengan suara yang pelan, “Gue ngerasa ada
yang beda sama Arman.”
“Beda apanya?”
“Ya…. Beda aja. Dia udah nggak kayak dulu lagi. Jarang
ngehubungin, jarang—“
“Namanya juga cowok,” sela Ditto cepat “Palingan udah
bosen sama lo. Atau udah punya cewek lain.”
“Anjrit, dasar cowok!” umpat Ayu saat mendengar
kemungkinan buruk tersebut dari mulut Ditto. “Ujung-ujungnya
nanti kayak lo, ya?”
Ditto tersenyum lebar. “Bisa jadi.”
Ayu melempar gumpalan tisu ke arah Ditto. Ketika
menoleh ke belakang Ditto, Arman sedang berjalan ke arahnya
sambil tersenyum. Ia pun memundurkan badannya hingga
kembali bersandar ke kursi.
Ditto mengamati interaksi Ayu dan Arman di depan
matanya saat ini.
Di depannya, ada sahabatnya yang sedang bertukar tawa
dengan Arman, pacarnya hampir satu tahun ini. Sahabatnya yang
sering kali semangat menyuruhnya melakukan hal-hal konyol
seperti menjadikan seorang cewek pacarnya, kemudian beberapa
bulan setelahnya menyemangatinya untuk memutuskan cewek
tersebut.
Berkali-kali ia melihat Ayu brganti pacar. Menyayangi
cowok-cowok itu kemudian ada masanya ketika Ayu sedih karena
hubungan mereka tidak berjalan baik. Ditto menahan diri sekali
untuk tidak berkata bahwa Ayu tidak cocok dengan mereka semua
dan mungkin bisa cocok hanya dengannya.
Tapi, kalau itu bisa merusak semua yang mereka punya
selama hampir lima tahun ini, buat apa ia katakan itu semua?
Jadi, Ditto hanya menoleh ke sampingnya dan tersenyum
kepada teman-tapi-mesranya minggu ini. mencoba meredam
semua pemikirannya terhadap Ayu saat ini.
***
TUJUH BELAS
Februaru 2007
“Lo di mana, Dittooo?”
“Kantor polisi.”
“Hah? Ngapain lo?”
Ditto melongok ke dalam, mendapati wakilnya saat ini
sedang bernegosiasi dengan pihak kepolisisan yang tadi
menangkap teman-teman sekolahnya di arena tawuran. “Biasa,
tawuran.”
Terdengar helaan napas di sambungan telepon tersebut.
“Gue mau cerita, entar aja deh berarti.”
“Nanti gue telepon kalo udah selesai di sini, deh.”
“Oke.”
Ditto kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku
celana lalu masuk kembali ke dalam. Saat ini ia sedang berada di
Polres bersama wakil ketua OSIS-nya, mengurusi teman-
temannya yang tertangkap sedang tawuran dengan salah satu
STM yang ‘berlangganan’ tawuran dengan SMA 82.
***
Hari itu mereka tak jadi bertemu. Keesokan harinya, Ditto
mengajak Ayu ke Pondok Indah Mall. kemarin tenaganya benar-
benar terkuras habis untuk bernegosiasi dengan pihak kepolisian.
Salah satu tugasnya menjadi ketua OSIS adalah mengurus teman-
temannya yang tertangkap saat tawuran.
SMA 82 memang terkenal dengan intensitas tawurannya
yang mungkin hampir sama dengan intensitas les bimbingan
belajar. Maka dari itu setiap ketua OSIS diharapkan mampu
mengurangi kegiatan tersebut dan mengurus teman-temannya
kalau pada akhirnya mereka tertangkap pihak yang berwajib.
Beruntung kemarin pihak kepolisian datang di saat
tawuran belum terlalu memanas. Tidak ada senjata yang
berbahaya atau korban yang terluka. Namun tetap saja, pelajar-
pelajar yang ikut tawuran harus diamankan oleh pihak yang
berwajib.
“Gue putus sama Arman, To.”
Ayu mengatakannya dengan raut wajah sedih yang sudah
lama tidak pernah dilihat Ditto sejak cewek itu pacaran dengan
Arman. Akhir-akhir ini ia memang jarang bertemu dengan Ayu,
Ayu sibuk dengan pekerjaannya, Ditto sibuk dengan kegiatan
OSIS dan futsal.
“Dasar cowok ,ya! Jahat banget? Dia ternyata udah jalan
sama cewek lain di kampusnya, To,” adu Ayu tanpa berminat
meminum minumannya yang baru saja datang di meja mereka.
“Kan gue bilang juga apa, Cha, cowok tuh kalo udah
mulai beda dari pas awal lo pacaran, patut dicurigain. Sekarang
jadi elo kan yang mewek-mewek abis putus sama Arman.”
“Sebenernya, gue udah tahu dia jalan sama cewek lain
sejak sebulan yang lalu,” jelas Ayum membuat Ditto kali ini
membelalakkan matanya karena ia tidak tahu tentang hal ini.
“Gue nggak mau ngomong apa-apa dulu ke dia, gue nggak mau
putus. Tapi dia malah minta putus kemarin.”
“Udahlah, Cha, masih banyak cowok yang mau sama lo,”
hibur Ditto. “Ngapain lo jadi cengeng karena cowok kayak dia
doang.”
Sore hingga malam itu Ditto sibuk menghibur Ayu,
ditraktirnya cewek itu ke berbagai tempat makan. Melupakan
fakta bahwa sebenarnya ia punya janji jalan dengan cewek lain
malam ini.
***
***
***
DELAPAN BELAS
“Kamu yang kutunggu.”
September 2007
Waktu berjalan dengan cepat bagi siapa pun yang
menikmatinya. Untuk orang yang merasa tidak menginginkan hal
yang ia miliki saat ini, mungkin waktu terasa berjalan sangat
lambat.
Bagi Ditto, waktu terasa sangat cepat. Rasanya seperti
baru kemarin ia dilantik menjadi ketua OSIS, tiga kali semingu
latihan futsal, merasakan sensasi membawa kendaraan yang ia
beli dengan uangnya sendiri…sekarang, ia sudah kelas tiga.
Sudah dihadapkan dengan apa yang namanya dunia perkuliahan
yang sudah di depan mata.
Ditto menatap materi Sejarah yang baru selesai ia tulis. Di
sekelilingnya, teman-temannya sudah mulai tidak melakukan apa
yang diperintah guru mereka. Sudah banyak yang main game
ngeloyor ke kantin padahal masih setengah jam lagi sebelum
istirahat. Ada juga yang mulai main kartu di sudut belakang kelas.
Benar-benar bisa dihitung dengan jari siapa saja yang
langsung mengerjakan soal latihan begitu selesai menulis
rangkuman materi bab ini.
Ditto menutup buku tulisnya dan beranjak keluar kelas.
Rasanya kepalanya sudah sangat penat karena sudah hampir dua
jam dicekoki teori terus-menerus. Jujur saja, Ditto lebih memilih
disodorkan soal-soal hitungan dibanding hafalan. Otaknya lebih
tertarik dengan hitungan dan ia sangat payah dalam hafalan
ataupun teori yang butuh pemahaman luar biasa.
Di koridor kelas 3 IPS, keadaan sebenarnya tak jauh
berbeda dengan di dalam kelas. Banyak murid yang keluar kelas,
sekadar mengobrol sambil bersandar pilar koridor atau lesehan di
lantainya. Ditto mengamati segerombolan cowok yang ada di
ujung koridor. Kalau dilihat-lihat siapa saja yang ada di sana,
Ditto yakin mereka sedang merencanakan tawuran untuk balas
dendam karena minggu lalu ada murid sekolahnya yang dihadang
di halte bus oleh satu geng dari SMA lain.
Bukan hanya dihadang, tapi juga dipalak dan diberi
beberapa pukulan sebelum akhirnya berhasil kabur begitu saja
karena waktu itu sudah sore dan sangat sedikit saksi mata di
tempat kejadian.
Hal itu tentu membuat pentolan sekolahnya geram dan
mulai merencanakan aksi balas dendam.
Ditto menghela napas, berharap semoga kali ini tidak
sampai berurusan dengan polisi lagi, untuk yang kesekian kalinya.
Seseorang menepuk bahu Ditto dan bertanya, “Lo lagi
nggak ada guru?”
Ditto berbalik, mendapati Ayu kini ada di hadapannya.
“Nggak ada.” Ditto menggeleng. “Lo bolos, ya?”
“Enak aja!” Ayu memukul lengan atas Ditto hingga cowok
itu meringis. “Abis dari toilet.”
“Kalo gitu sekalian bolos aja,” ujar Ditto tanpa
memberikan Ayu kesempatan untuk membantah.
Ditto langsung menyeret Ayu menjauhi kelasnya menuju
kantin sekolah yang masih sepi. Kalaupun terlihat ada murid-
murid yang sudah ada di sana, bisa dipastikan mereka sedang
membolos dari kelas—seperti yang Ditto dan Ayu lakukan.
“Eh, lo lagi deket sama Dika, ya?” todong Ditto saat
mereka sudah duduk berhadapan di kantin.
Ayu terperanjat kaget. “Hah?”
“Dika, temen sekelas gue.” Ditto memperjelas.
Cengirannya bertambah lebar ketika melihat Ayu kini tak bereaksi
apa pun. “Jadi, beneran? Gile….”
Ayu mengalihkan tatapannya ke arah lain—ke mana pun
asal bukan menatap Ditto. Akhir-akhir ini ia memang dekat
dengan Dika, nama cowok yang tadi disebut Ditto. Teman
sebangku Ditto sejak kelas tiga.
Tapi kedekatannya dengan Dika bukan suatu hal yang
akan berkembang lebih jauh. Hanya sering berkomunikasi,
beberapa kali jalan bareng, tapi selebihnya…tidak ada lagi. Ayu
sendiri yakin kalau mereka tidak akan menjadi pacar atau apa pun
itu namanya.
“Tahu dari mana sih lo?” tanya Ayu jutek. Seingatnya, ia
tidak membeberkan hal ini ke banyak orang. Dan ia tidak
memberi tahu Ditto tentang hal ini karena…bukan hal yang
penting baginya. Toh ia dan Dika hanya dekat.
“Mau tahu aja lo.” Ditto menjawab sambil terbahak-
bahak. “Gila, gila, gue nggak nyangka. Kok bisa sih lo sama
Dika?”
“Ya bisa ajalah,” tampik Ayu dengan kesal.
Bel istirahat tak lama kemudian berbunyi. Kantin langsung
diserbu murid-murid dari seluruh kelas. Membuat pembicaraan
mereka terhenti sejenak karena anggota band Ditto datang
menghampiri mejanya. Membicarakan gigs mereka minggu ini.
“Eh, masa si Dika deket sama si Ucha!”
Ayu langsung menoleh, di hadapannya, Ditto sedang
menceritakan tentang dirinya dan Dika kepada anggota band yang
kebetulan dulu pernah satu kelas dengan Ditto dan Dika.
“Beneran, Yu?” tanya cowok itu memastikan, tampangnya
tak jauh beda dengan Ditto. Ada senyum menyebalkan di
wajahnya. “Jadian atau TTM-an aja, nih?”
“Dasar cowok tukang gossip,” cemooh Ayu, menghindari
menjawab pertanyaan tersebut.
Melihat kelakuan teman sekelas Ditto ini, mungkin Ditto
tahu dari Dika sendiri. Cowok itu bercerita langsung ke
sahabatnya.
Astaga!
Cowok nggak beda jauh dengan cewek ternyata. Hanya
mungkin tak terlihat saja kebiasaan menggosip dan curhat
mereka.
“TTM-an doang palingan,” jawab Ditto dengan sok
tahunya. “Tapi udah deket banget kayaknya. Mereka kan punya
lagu sendiri tuh. Nanti nyanyiin aja I won’t Go Home Without
You-nya Maroon 5,” selorot Ditto.
Ayu menggebraak meja kantin dan berteriak dengan kesal.
“DITTO!”
“Hahaha.”
Dalam satu hari, Ditto berhasil menyebarkan berita tentang
kedekatannya dengan Dika ke semua murid SMA 82. Lengkap
dengan iringan lagu Maroon 5 tersebut.
Punya temen gini amat, siih, batin Ayu.
Sedangkan Dika sendiri tidak menanggapi apa-apa. tidak
terlihat terganggu malah. Hal ini tentu membuat Ayu semakin
kesal dengan Ditto karena ceritanya sudah jadi konsumsi publik
satu sekolah.
“I won’t go home without you,” gumam Ditto saat sedang
membonceng Ayu dengan vespanya keliling Wartam seperti
biasanya.
Ayu menoyor kepala Ditto yang mengenakan helm.
“Apaan sih lo, To!”
Ditto tertawa puas. Meledeki Ayu dengan hubugannya dan
Dika selalu membuatnya tertawa puas. “Lagu kesukaan lo, Jelek!”
“Lama-lama gue jadi nggak suka lagi sama tu lagu.”
Siang itu Ditto tertawa puas diiringi beberapa kali toyoran
di kepalanya karena berhasil menggoda Ayu. Baru kali ini ia
melakukan hal tersebut, menyebarkan cerita tentang Ayu dan
cowok yang dekat dengannya ke seluruh sekolah.
Entah apa yang ia pikirkan, namun satu fakta berhasil
membuatnya tenang saat mendengar cerita mereka.
Setidaknya, mereka tidak menjalin hubungan apa pun.
“Dasar ketua OSIS sableng,” umpat Ayu ketika Ditto
menghentikan vespanya di depan Wartam setelah beberapa kali
mereka keliling.
Cewek itu mengencangkan kuncir kudanya sambil melotot
kepada Ditto, bersiap memuntahkan semua omelannya. Namun
sebelum itu terjadi, seorang junior menghampiri mereka dan
menatap Ditto.
“Kak Ditto, dipanggil Bu Susi ke ruang OSIS.”
Ditto mengangguk dan junior tersebut langsung pergi dari
hadapan mereka, takut dengan wajah seram Ayu yang masih
bertahan.
“Ya elah, Cha, gitu aja marah lo.”
“Udah sana lo ke ruang OSIS.”
Ayu langsung berjalan meninggalkan Ditto yang tertawa
melihat tingkahnya. Setelah itu, Ditto kembali masuk ke sekolah
untuk memarkirkan motornya dan menuju ruang OSIS. Paling-
paling mereka hanya akan membicarakan masalah LDKS dan
pemilihan ketua OSIS baru.
***
***
SEMBILAN BELAS
Juni 2008
Ayu menatap Ditto untuk waktu yang cukup lama.
Rasanya sangat berat untuk melepas sahabatnya selama enam
tahun ini untuk pergi kuliah ke kota yang berbeda dengannya. Ia
benar-benar menatap sosok Ditto yang ada di hadapannya. Cowok
itu sudah jauh bertambah tinggi dari saat ia pertama kali bertemu
dengannya di SMP. Gaya rambutnya pun sudah berubah, berhasil
menunjang penampilannya tiap manggung bersama band-nya.
Jadi lebih keren—sedikit keren, ralat. Ia tak akan mengakui hal
ini di depan Ditto secara langsung. Bisa-bisa cowok itu nyengir
selama sebulan karena senang.
“Kehilangan gue banget ya, Cha?”
“Nggak juga,” tampik Ayu, berlawanan dengan ekspresi
yang ia tampilkan saat ini.
Ditto tertawa, kemudian berkata, “Tenang aja, sih. Tiap
minggu palingan gue pulang.”
Ayu hanya mengangguk. Ia menatap ke sekeliling SMA-
nya. Saat ini terhitung masih libur, namun khusus untuk anggota
OSIS yang menjadi panitia MOS diwajibkan datang untuk diberi
pengarahan.
Hari ini adalah hari terakhir Ditto berada di Jakarta, cowok
itu sore ini akan berangkat ke Bandung. Melanjutkan studinya ke
salah satu perguruan tinggi swasta yang ada di sana. Sedangkan
Ayu akhirnya memilih untuk kuliah di Jakarta sambil terus
bekerja di dunia entertainment.
Rentang waktu empat tahun bukan waktu yang sebentar
untuk mereka berdua. Walaupun Ditto berkata bahwa
kemungkinan besar ia akan pulang ke Jakarta tiap minggu karena
aktivitas band-nya, tetap saja intensitas komunikasi dan
pertemuan mereka akan sangat berkurang.
“Rajin pulang lo nanti,” celetuk Ayu.
Ditto tersenyum. “Iya, doain aja tiap minggu band gue
ngisi acara terus di Jakarta.”
Ayu hanya mengangguk. Ia sendiri tahu bahwa band SMA
yang diikuti Ditto sejak mereka kelas satu tersebut sudah
mengalami banyak kemajuan. Hampir setiap akhir minggu
mereka mendapatkan job untuk manggung di berbagai acara.
Membuat Ditto yakin kalau di Bandung ia akan benar-benar
kuliah hanya selama lima hari dalam seminggu, sisanya ia akan
habiskan weekend-nya untuk manggung bersama band-nya.
Ketua OSIS baru SMA 82 berjalan menghampiri Ditto.
Ketua OSIS saat ini sebenarnya benar-benar baru dilantik,
lantaran ketua OSIS sebelumnya tidak becus menjalankan
organisasi dan membuat Ditto sedikit memperpanjang masa
jabatannya dan akhirnya ada penggantian ketua OSIS angkatan
tahun ini.
Sembari menjawab pertanyaan juniornya, Ditto menatap
ke sekeliling SMA-nya, kemudian terpaku pada Ayu yang sedang
menatap ke arah lain. Lebih tepatnya ke arah lapangan basket.
Akan ada banyak hal yang akan ia rindukan dari masa-
masa SMA-nya.
Dan hal yang paling ia rindukan tentu saja sahabatnya ini.
***
Keping
KETIGA
DUA PULUH
“Investasi masa depan, diam-diam menghanyutkan.”
September 2008
“Akhirnya dateng juga!”
Ditto mencibir begitu mendapat senyum semringah Ayu
dan serunya saat ia muncul di depan wajah cewek itu.
Ayu segera menadahkan tangannya. “Mana? Mana? Gue
laper.”
“Nih.” Ditto menyerahkan kantung plastik yang sejak tadi
ia bawa. “Suruh kek pacar lo, kenapa jadi gue yang dijadiin
kurir?”
“Kalo ada lo, ngapain nyuruh yang lain,” sahut Ayu sambil
mulai menyantap roti bakar yang dibawakan Ditto.
Ditto menggeleng pelan, kemudian ikut duduk di sofa
bersama Ayu. Matanya memindai keramaian kru film yang hilir
mudik di luar ruangan yang ditempati Ayu. Satu setengah jam
yang lalu cewek di sebelahnya ini tiba-tiba meneleponnya saat ia
baru saja selesai manggung. Meminta dibelikan roti bakar dan
diantarkan ke lokasi syutingnya malam ini.
Malam ini seperti malam Minggu yang biasa dihabiskan
Ditto dan Ayu, masing-masing dari mereka sibuk dengan
pekerjaan. Sejak kuliah di Bandung, tiap akhir pekan Ditto pulang
ke Jakarta untuk manggung. Ayu masih sibuk dengan syutingnya.
Walaupun mereka berdua sering sama-sama berada di Jakarta,
intensitas pertemuan mereka tetaplah berkurang. Kesibukan jelas
menjadi penghalang nomor satu.
“Udah dua bulan kuliah, lo beneran nggak pernah di
Bandung ya kalo weekend?” Ayu menyodorkan roti bakarnya
kepada Ditto, yang langsung diambil sepotong oleh cowok
tersebut.
“Nggaklah, ada kerjaan terus.”
“Lha, cewek lo nggak marah?”
“Belum ada kali, Cha,” elak Ditto. “Cowok lo mana?”
“Cowok yang mana, sih?”
Ditto berdecak pelan. “Mulai deh ngelesnya kayak bajaj.”
“Siapa yang ngeles, sih?”
“Bukannya minggu kemarin lo cerita tentang temen
seangkatan lo itu. Siapa namanya dah?”
“Didi,” jawab Ayu dengan malas. “Belum jadian kali.”
“Halah.” Ditto mengibaskan tangannya di udara.
“Kelamaan PDKT lo.”
“Lama dari mana, sih? Belum setahun, kali.”
Ditto berdecak kesal. “Terserah lo, deh.”
Kemudian pembicaraan mereka berputar pada keseharian
mereka selama ini. Keduanya tetap menjaga komunikasi mereka
walaupun sekarang kuliah di kampus yang berbeda. Tidak heran
makanya ketika Ditto ingat siapa cowok yang sedang pendekatan
dengan Ayu.
Ketika Ayu sedang membuang sampah makanannya,
ponsel yang ada di satu Ditto bergetar. Ditto meraih ponselnya
untuk mendapati bahwa Lida mengiriminya pesan singkat.
Lida:
To, besok jalan, yuk.
Ditto:
Sori, gue sibuk.
***
***
***
DUA PULUH SATU
November 2008
Sudah dua minggu Ditto tidak berkomunikasi dengan Ayu,
baik di dunia maya, melalui telepon, atau SMS. Ujian tengah
semester baru saja lewat dan akhirnya membiarkan Ditto bernapas
lega. Kesibukan kuliah dan band-nya membuat ia belum sempat
menghubungi Ayu. Cewek itu juga jarang meneleponnya lebih
dulu.
Hari ini Ditto pulang ke rumah seperti akhir pekan
biasanya. Lida sedang ada kegiatan UKM di luar kota, setidaknya
saat ini ia bisa lepas sebentar dari cewek itu.
Sejak kejadian di kantin siang itu, Lida dan Ditto sudah
seperti ‘resmi’ menjadi satu paket. Pasangan. Atau apa pun
namanya.
Siang ini Ditto memutuskan untuk bersantai di ruang
keluarga rumahnya. Kedua orangtuanya sedang pergi ke acara
teman mereka. Sedangkan Andiko sedang bermain dengan teman-
teman sekolahnya. Ia sendiri, dan sedang jenuh dengan acara
televise yang ada.
Diraihnya ponsel yang terletak di atas meja, hanya ada dua
pesan dari Lida yang belum ia balas. Ia kembali mencoba
menghubungi Ayu untuk ketiga kalinya hari ini.
Dua minggu tidak berkomunikasi, dan cewek itu sudah
menghilang saja dari radarnya.
Sambil menunggu nada tunggu itu berubah menjadi suara
Ayu, mata Ditto menatap ke arah pigura yang terpajang di dinding
rumahnya. Ada fotonya dengan Ayu di saat acara kelulusan SMA-
nya kemarin, juga saat kelulusa SMP. Ada juga fotonya saat
manggung dari zaman SMP sampai SMA. Dan di sebagian besar
foto tersebut, selalu ada Ayu.
Sekarang, ke mana Ayu?
Panggilannya tak kunjung terjawab hingga akhirnya
tertuju ke mailbox lagi. Ditto kembali mencoba menghubungi
Ayu. Saat Ditto sudah ingin memutuskan telepon tersebut karena
tak kunjung diangkat, nada tunggunya berganti dengan suara Ayu
seperti yang diharapkannya.
“Anjir, ke mana aja sih, Cha? Ditelepon susah bener.”
Ayu terkekeh mendengar keluhan Ditto. “Lagi di Bali dan
nggak mau diganggu.”
“Kok lo nggak bilang mau ke Bali?” protes Ditto. “Sejak
kapan?”
“Besok pagi gue juga pulang,” jawab Ayu dengan santai.
“Kalo gue bilang, bukan healing namanya.”
“Lo udah mulai ketagihan healing ke Bali, ya?”
Terdengar suara tawa Ayu dari seberang sana. Ditto
mengenyakkan dirinya ke tumpukan cushion sofa, mencoba
mencari posisi yang nyaman sambil terus mengobrol dengan Ayu.
“Ada masalah apaan lo?”
“Nggak ada, kok.” Ayu menjawab pertanyaan Ditto masih
sama santainyaa. “Cuma lagi pengin aja.”
“Pengin aja,” ledek Ditto. “Cuma gue yang tahu bener
kalo Bali itu udah jadi tempat tujuan lo buat kabur dari
kenyataan.”
“Jijik ih omongan lo,” kelakar Ayu. “Eh, gue jadian tahu
sama si Didi minggu kemarin.”
“Terus lo nggak ke Bali sama dia?”
“Dia aja nggak tahu, kali. Ngapain gue bilang ke dia kalo
mau healing ke Bali.”
“Pasti tu cowok bermasalah sampe bikin lo healing setelah
jadian sama dia.”
“Sok tahu lo.”
Sejak mereka study tour ke Bali di kelas dua SMA
kemarin, Ditto tahu bahwa Ayu menobatkan Pulau Dewata
tersebut menjadi tempat healing-nya tiap kali ia merasa perlu
kabur sejenak dari kenyataan. Ayu suka sekali pergi ke Bali,
menghabiskan beberapa hari tanpa gangguan dari orang-orang
untuk menenangkan dirinya.
“Padahal hari ini gue mau ngajak lo jalan,” jelas Ditto.
“Telat sih lo ngasih tahunya.”
“Lo aja baru bisa dihubungin sekarang, Nyet,” gumam
Ditto setengah kesal.
Ayu tertawa ringan. Membuat Ditto mengembuskan napas
lega tanpa sadar karena sepertinya Ayu sudah baik-baik saja. Apa
pun yang mendorong Ayu untuk pergi ke Bali, pasti hal tersebut
sudah tidak membuat Ayu risau lagi. Terbukti dengan betapa
santainya Ayu saat ini.
“Minggu depan aja ke PIM, yuk.”
“Liat nanti deh, jadwal orang terkenal sibuk.”
“Belagu bener yang udah makin terkenal,” ledek Ayu.
“Oh, atau gue nonton lo manggung aja.”
“Gampanglah.”
“Eh, terus gimana cewek yang waktu itu lo ceritain?” Ayu
mulai teringat tentang cewek yang mengejar Ditto sejak mereka
bertemu dan selalu diceritakan Ditto. “Udah lo tolak? Atau
gimana?”
Ditto terdiam sesaat, satu tangannya yang bebas
menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Nggak ditolak, sih. Ya,
jalan bareng aja dulu.”
Sedetik kemudian Ayu tertawa puas, kemudian mulai
berceloteh bagaimana cepatnya Ditto menyerah menolak Lida dan
akhirnya berpacaran dengannya.
Siang hingga sore itu Ditto habiskan untuk mengobrol
bersama Ayu melalui sambungan telepon. Hanya di saat senggang
seperti inilah ia bisa benar-benar menikmati waktunya dengan
Ayu.
***
I asked her to stay but she wouldn’t listen
She left before I had the chance to say (Oh)
The words that would m end the things that were broken
But now it’s far too late, sh e’s gone away
Thinking; “ Why does this happen to m e?
Why does every m o m ent have to be so hard?
Hard to believe it
It’s not over tonight
I may not make it through the night
I won’t go ho m e without you
***
DUA PULUH DUA
“Dulu mana kepikiran bisa dicium doi. Sekarang, setiap hari,
buka mata dan tutup mata ada dia.”
Februari 2009
Hanya tinggal menghitung hari menuju liburan semester
gasal ini. Ujian akhir semester sudah berlalu tiga hari yang lalu
dan sudah tidak ada lagi kegiatan akademik. Semua murid
perantauan di kampus sudah bersiap untuk pulang kampung.
Libur selama kurang lebih satu bulan rasanya sangat cukup untuk
berlibur dengan keluarga.
Ditto benar-benar menunggu waktu libur ini. Band-nya
kemarin mendapat tawaran untuk rekaman, dan mereka semua
akan membahas hal ini dengan semua anggota band saat mereka
semua sudah libur semester.
“Lo putus sama si Lida?” tanya Gery, teman satu kosnya
yang kebetulan juga satu kelas dengannya.
Ditto yang baru saja tiba di teras kos mengernyit bingung.
Ia yang baru pulang sehabis menyelesaikan urusan administrasi
untuk semester depan di kampus, mengurungkan niatnya untuk
langsung masuk ke kamarnya.
Teras sore itu kebetulan sepi. Sebagian penghuni kosan
yang kebanyakan memilih jenjang D3 sudah libur lebih dulu sejak
seminggu yang lalu. Padahal biasanya teras itu tempat teman-
temannya mengerjakan tugas.
Ditto duduk di kursi rotan yang ada di sudut teras,
berhadapan dengan Gery yang mematikan rokoknya di dasar
asbak.
“Seinget gue nggak, sih,” jawab Ditto dengan senyum
konyolnya, walaupun ia mulai penasaran kenapa Gery bisa
bertanya seperti itu.
“Tadi si Lida ngomong ke gengnya kalo lo putus sama
dia,” terang Gery. “Ya, gue iseng doang nanya.”
“Lida sendiri yang ngomong?” Ditto terperanjat kaget.
Gery mengangguk. “Katanya dia sih.”
Ditto terenyak di kursinya. Menurutnya, selama ini
hubungannya dengan Lida cenderung baik-baik saja. Ke mana
Ditto pergi, Lida selalu mengikutinya. Ke mana Lida ingin pergi,
Ditto selalu ikut saja. Tidak banyak protes, bersikap sebagaimana
seorang pacar seharusnya. Dua hari ini Lida memang tak bisa
dihubungi, ia kira hanya sedang malas. Tapi, kenapa juga rumor
tentang putusnya mereka tersebar di antara teman-temannya?
Sedangkan ia sendiri merasa ‘belum’ memutuskan hubungan
mereka—atau diputuskan.
Ditto menggeleng sama. “Ah, namanya juga cewek, suka
ngomong seenaknya.”
***
***
***
DUA PULUH TIGA
Oktober 2009
Ayu menoleh ke arah pintu yang masih tertutup. Ia
meghela napas, kemudian melirik jam di pergelangan tangannya.
Ia masih menunggu Ditto untuk sampai di lokasi syutingnya.
Baru saja tangannya ingin meraih ponsel di atas meja,
pintu ruang gantinya terbuka dan sosok yang ia tunggu sejak satu
jam yang lalu akhirnya muncul juga.
“Akhirnya!” seru Ayu sambil meraih kantung plastic yang
dibawa Ditto dengan senyum lebarnya. “Udah nungguin dari tadi
gue.”
Ditto mendengus, ia duduk di kursi yang berhadapan
dengan Ayu. “Lagian pacar lo mana, sih? Gue terus yang lo suruh-
suruh.”
Ayu membuka kantung plastic tersebut dan mulai
membuka Styrofoam berisi siomay. “Halah, cuma diminta beliin
siomay aja, kok. Lagian, si Didi lagi sibuk hari ini.”
Ditto hanya menggeleng. Akhir pekan yang ia habiskan
untuk menerima pesanan Ayu dari lokasi syuting—seperti
biasanya.
“Lo kenapa akhir-akhir ini susah banget dihubungin?”
tanya Ditto, mengingat beberapa bulan terakhir Ayu sudah sangat
jarang membalas pesan atau mengangkat teleponnya.
“Lagi sibuk aja.”
Alasan basi. Ditto tahu itu. Sepertinya sampai kapan pun
Ayu tak akan pernah mengatakan bahwa alasannya karena ia
sedang sibuk bersama pacarnya, Didi.
Namun Ditto tak mendorong Ayu kembali dengan
pertanyaannya. Ia hanya menatap Ayu yang langsung asyik
dengan siomaynya.
Lima menit kemudian ponselnya berbunyi. Ditto segera
meraih ponselnya dan mengangkat panggilan dari Lida.
Selama beberapa saat Ditto sudah asyik dengan
teleponnya. Sesekali ia tertawa kecil, mengundang perhatian Ayu
yang kini jadi menaruh perhatian kepadanya.
Ayu memperhatikan ekspresi Ditto saat cowok itu sedang
menjawab pertanyaan-pertanyaan Lida. Cowok itu sudah mulai
nyaman dengan Lida sepertinya. Beberapa waktu yang lalu, saat
Ayu akhirnya bisa menerima telepon dari Ditto dalam waktu yang
cukup lama, Ditto bercerita bahwa ia dan Lida mulai benar-benar
menjadi sepasang kekasih. Lebih dekat dari saat di semester satu
dulu. Bahkan kini Lida mulai merangkap menjadi manajernya.
Membuat kegiatan Ditto lebih terorganisir.
“Lo mau ikut nggak besok ke PIM?”
Ayu sedikit tersentak saat menyadari bahwa Ditto sudah
menyelesaikan teleponnya dan kini berbicara padanya.
“Ngapain?”
“Ya, jalan aja. Kita kan udah lama nggak jalan,” jawab
Ditto. “Sekalian lo ajak Didi, gue bakal ajak Lida.”
“Double date?” tanya Ayu dengan geli. “Boleh, deh. Nanti
gue bilang ke Didi.”
***
***
DUA PULUH EMPAT
“Sekarang gue bisa buktiin, gue bisa setia sama lo, dan nggak
nanggung.”
April 2010
Sekarang Ditto mengerti, Ayu akan susah untuk dihubungi
jika sedang punya kekasih. Sekalipun bisa dihubungi, kans-nya
mungkin di bawah tiga puluh persen.
Ditto tidak tahu kenapa Ayu jadi begitu. Sejak SMP, kalau
cewek itu punya pacar, mereka masih bisa berkomunikasi seperti
biasanya. Tapi sekarang sangat berbeda. Cewek itu jarang
mengangkat teleponnya, jarang membalas SMS-nya. Namun
kalau Ditto mengintip sosial medianya, cewek itu masih aktif.
Dan Ditto sampai pada satu kesimpulan kalau Ayu
memang sedang tak bisa diganggu.
Akhir pekan ini seperti biasa Ditto akan pulang ke Jakarta.
Band-nya mengalami kemajuan yang sangat pesat dan ini
membuatnya makin mantap berkarier di dunia musik.
Lida sendiri sangat mendukungnya. Cewek itu benar-benar
pacar yang baik dan merangkap menjadi manajer yang baik pula
untuknya.
Saat sudah sampai di rumah, Ditto memilih untuk istirahat
di kamarnya sebelum jam tiga sore nanti berangkat lagi untuk
latihan bersama band-nya.
Cowok itu memainkan ponsel di tangannya. Menimang-
nimang barang itu sejenak, ada kebingungan antara ingin
menelepon Ayu atau tidak. Selama ini memang cewek itu jarang
menelepon Ditto duluan, lebih sering ia yang menelepon dan
menigiriminya SMS.
Dan walaupun ia pulang ke Jakarta di setiap akhir pekan,
tidak setiap ia pulang ia bisa bertemu dengan Ayu. Bahkan
pertemuannya dengan cewek itu sejak mereka double date bisa
dihitung dengan jari.
Akhirnya, keinginan untuk mendengar suara Ayu kembali
menang. Ia mulai menekan sederet angka yang sudah dihafal di
luar kepala dan mulai menanti dering panggilannya segera
dijawab.
Namun lagi-lagi panggilannya tak terjawab. Sampai tiga
kali menelepon, tidak ada jawaban dan berujung pada mailbox.
Ditto pun memilih untuk mengirim SMS kepada Ayu.
Ditto:
Ke mana lo, Jelek? Susah banget dihubungi. Nggak
kangen gue?
Ayu:
Sibuk , Mas.
Ditto terkejut begitu mendapati balasan dari Ayu. Dengan
cepat, ia segera mengetikkan balasan untuk sahabatnya itu.
Ditto:
Belagu, sibuk pacaran aja lo.
Ayu:
Gue sama Didi udah putus.
Ditto:
Gue kenalin sama temen gue deh, ada tuh yang ganteng,
tipe lo banget.
Ayu:
O GAH
Ditto:
Sok betah lo jadi jo mblo
Ayu:
Sori ye, udah ada yang baru. Nanti gue kenalin, kalo perlu
double date lagi.
Ditto menatap layar ponselnya untuk waktu yang cukup
lama. Ayu sudah punya pacar…lagi.
Hm, harusnya ia sudah terbiasa saat mendengar kabar
bahwa sahabatnya sudah punya pengganti Didi. Tapi entah
kenapa, sejak dulu ia tidak pernah terbiasa mendengar kabar
tersebut.
Satu hal yang menguntungkan dari jarak yang ada di
antara ia dan Ayu adalah, setidaknya saat ini ia tak perlu
memasang ekspresi senang atas kabar gembira yang Ayu
sampaikan tersebut.
Ditto tak tahu ia menghabiskan berapa lama untuk
merenung dan memikirkan semua yang ia rasakan sejak awal
kepada Ayu. Ia kira perasaan macam ini hanya bertahan saat
mereka masih sekolah. Hanya rasa suka yang … begitu saja. Suka
karena terbiasa.
Benarkah Ditto menyukai Ayu?
Ditto tak menemukan jawaban yang tepat. Sejak dulu ia
tak ingin persahabatannya dengan Ayu hancur begitu saja karena
ketidaksukaannya terhadap semua pacar Ayu, karena
keinginannya untuk terus bersama Ayu, karena kesukaannya
menatap Ayu yang bicara dengannya dan mata bulatnya yang
selalu terlihat senang ketika membicarakan hal-hal yang ia sukai.
Ia menyukai Ayu, menyukai semua yang ada di diri cewek
itu.
Ia menyukai sahabatnya.
Maka dari itu, sejak dulu bahkan sampai sekarang, ia tak
akan memberi tahu hal itu kepada Ayu.
Ditto:
Bolehlah kapan2 double date lagi.
***
DUA PULUH LIMA
Agustus 2010
Ayu:
Kete mu yuk , di PIM jam 3 hari Sabtu.
***
Ayu:
Apaan tuh tadi? Nyoba jadi mak c o m blang?
***
“Lo kan lagi putus sama Ibnu, ya siapa tahu bisa coba sama Rio.
Dia cakep, Cha. Bego lo kalo ngelewatin dia gitu aja,” cerocos
Ditto saat Ayu sudah selesai mengomel.
Cowok itu menjatuhkan dirinya di atas ranjang, ia baru
sampai di garasi rumahnya saat Ayu meneleponnya.
“Ya kan gue lagi nggak nyari cowok baru juga, To.”
“Lo masih ngarep balikan sama Ibnu?”
Ayu terdiam.
“Lo tuh kalo sekalinya sayang sama orang kebangetan,”
keluh Ditto. “Jangan bego dong, Cha. Lo bisa liat tingkah cowok
ya dari tingkah gue inilah.”
“Nggak semua cowok kayak lo kali.”
“Dangdut bener lo,” ejek Ditto. “Nanti gue SMS-in
nomornya si Rio.”
“Nggak butuh,” sahut Ayu dengan galak.
Walaupun reaksi Ayu sangat tidak bersahabat mengenai
hal ini, Ditto hanya tertawa. Karena capek mendengar omelan
Ayu, Ditto kemudian membelokkan percakapan mereka ke arah
lain. Tentang kuliah yang sedang mereka jalani. Tentang Andiko
yang sudah asyik dengan kegiatan-kegiatan sekolahnya. Tentang
kakak-kakak Ayu. Tentang band Ditto. Tentang Lida. Pokoknya
apa saja, selain Ibnu dan Rio.
Malam itu lelah yang dirasakannya setelah latihan berjam-
jam di studio seakan menghilang begitu saja. Mengobrol dengan
Ayu adalah distraksi bagus untuk rasa kelelahan yang ia rasakan.
Kemudian benaknya kembali mengulang kejadian yang
tadi diributkan Ayu. Ketika ia membawa serta Rio untuk bertemu
dengan Ayu.
Ditto hanya tidak ingin datang sendirian untuk bertemu
dengan Ayu.
Tahu bagaimana rasanya ketika kau menyukai sahabatmu
—padahal kau sudah punya orang lain di sisimu, dan tak ingin
persahabatan kalian hancur begitu saja ketika nantinya ia melihat
bahwa kau menyukainya?
Karena perasaan itulah, hari ini dan mungkin seterusnya—
apaladi ketika nantinya Ayu tak punya pacar—hal semacam ini
akan terus ia lakukan.
***
KEPING
KEEMPAT
DUA PULUH ENAM
“Cewek ini yang ngajarin gue untuk jadi playboy.
Dia selalu bilang: puas-puasin, jangan nanggung,
biar nanti pas nikah udah bosen jadi playboy.”
Mei 2012
Ditto masuk ke kamaranya dan beranjak duduk di tepi
ranjang. Kemudian matanya menatap ke meja belajarnya, di mana
ada figura berisi foto wisuda SMA-nya bersama Ayu. Melihat
sosok Ayu dalam foto tersebut, ia teringat bagaimana akhir-akhir
ini rasanya ia hampir gila mencari Ayu. Mencari kabar dari cewek
itu.
Beberapa bulan ini entah sudah berapa kali ia
menghubungi Ayu, tapi tidak pernah tersambung. Ia mengintip
sosial media Ayu, sesekali Ayu aktif. Tapi Ditto sudah
meneleponnya, mengirim SMS, dan entah cara apa lagi yang ia
coba, Ayu tak pernah meresponsnya.
Ditto menatap foto wisudanya saat SMA. Jemarinya
mengusap permukaan foto tersebut dengan pelan. Benaknya
kembali memutar bagaimana ia menghabiskan masa SMA
terbaiknya bersama Ayu dan semua kenangan yang mereka buat.
Hari pertama mereka memakai seragam putih abu, saat
Ditto direkrut secara eksklusif menjadi anggota band SMA-nya—
yang terus eksis sampai sekarang, saat Ayu selalu menjadi
penonton setia penampilannya dan selalu berkata bahwa
penampilannya keren—yang sampai sekarang terus dilakukan
oleh Ayu dan terus membuatnya bersemangat, saat mereka study
tour ke Bali dan hal itulah yang membuat Ayu mencintai pulau
eksotis tersebut lalu membuatnya menjadi destinasi saat healing,
sampai saat prom night SMA yang ia hadiri berpasangan dengan
Ayu. Bukan dengan pacar masing-masing.
Sebentar lagi ia akan menghadiri wisuda S1-nya.
Akhrinya, pendidikan yang ia tempuh selama empat tahun
berjalan lancar dan bisa sukses tepat waktu, sekalipun ia sambil
bekerja di setiap akhir pekannya.
Ditaruhnya kembali foto tersebut ke dalam album fotonya,
kemudian menyimpan album tersebut ke tempatnya semula.
Tinggal menunggu beberapa minggu lagi hingga hari
wisudanya tiba. Begitu juga dengan Ayu.
Bicara tentang Ayu, Ditto juga teringat dengan
komunikasinya dengan Ayu.
Ada masa-masa di mana ia dapat dengan mudah
menelepon dan menghabiskan waktu berjalan-jalan dengannya
melalui sambungan telepon tersebut. Tapi, lebih seringnya lagi
Ayu menghilang bagai ditelan bumi. Kejadiannya hampir serupa
seperti saat di masa awal-awal perkuliahan mereka.
Saat Ayu sedang menjalin hubungan dengan Ibnu.
Selain sulit dihubungi, jadwalnya yang masih tetap
disibukkan dengan kegiatan band-nya benar-benar tidak pernah
memungkinkannya untuk bertemu Ayu. Terakhir kali mengobrol
dengan Ayu, cewek itu memutuskan rehat sejenak dari dunia
hiburan di pertengahan masa-masa kuliahnya. Katanya, ia ingin
berkonsentrasi dengan pendidikannya. Baru setelah itu ia akan
bekerja yang sesuai dengan jurusan kuliahnya, namun tetap
berkontribusi dalam dunia hiburan.
Padahal, saat ini banyak hal yang ingin diceritakan Ditto
kepada Ayu.
Ditto meraih ponselnya dari atas ranjang dan menatap
kotak masuknya. Tidak ada SMS balasan dari Ayu.
Akhirnya ia mengetik pesan baru untuk sahabatnya
tersebut.
Ditto:
Anjir, ke mana aja sih lo, Cha? Gue mau c erita.
Ayu:
C eritalah.
“Ke mana aja sih lo, Jelek?” tanya Ditto begitu teleponnya
diangkat. “Ngilang aja lo kayak hantu.”
“Duh, lo masih aja nggak biasa ngadepin orang sibuk,”
kelakar Ayu. “Lagi ada masalah lo?”
“Saat pacar lo minta dinikahin begitu lulus kuliah, itu
beneran masalah, Cha.”
“Anjir!” Seruan Ayu membuat Ditto terlonjak kaget di
tempatnya. Cewek itu kembali berkata, “Lida minta dinikahin
sama lo? Emangnya dia siap mental punya suami kayak lo?”
“Sialan lo,” gerutu Ditto. “Iya, dari beberapa bulan yang
lalu pas skripsi gue udah beres, dia minta nikah, minta kepastian
dari hubungan ini. Ke jenjang yang lebih serius—apa pun deh
namanya itu.”
Selanjutnya, Ditto sudah bercerita panjang lebar mengenai
hal tersebut. Bagaimana selama empat tahun ini ia menjalin
hubungan dengan Lida dan pada akhirnya cewek itu merasa
bahwa mereka sudah siap untuk masuk ke dalam jenjang
pernikahan.
Pada akhirnya, Ditto pun mulai jalan dengan cewek lain di
belakang Lida. Jenuh dengan permintaan Lida yang cenderung
absurd baginya. Sekalipun ia memikirkan untuk menikah muda,
tapi…entah kenapa bukan Lida yang ia bayangkan untuk ada di
posisi itu.
“Terus, minggu kemarin gue kepergok jalan di PVJ sama
Lida. Pulangnya ya lo bisa tebaklah—berantem segala macem,
dari bahas awal hubungan kita, terus ngerembet ke hubungan gue
sama lo, sampe kelakuan gue akhir-akhir ini.”
“Akhirnya putus, tuh?”
“Iyalah!”
Ditto kembali mengingat kejadian yang cukup dramatis
dalam hidupnya tersebut. Ia masih mengingat jelas air mata Lida
saat akhirnya keputusan mengenai hubungan mereka sudah final.
Seakan-akan ada hakim di antara mereka yang mengetuk palu,
mengesahkan perpisahan mereka.
Ia masih mengingat jelas bagaimana Lida benar-benar
sakit hati saat mendengarnya mengatakan bahwa pernikahan
dengan Lida bukanlah hal yang ia impikan.
Tapi, ia tak bisa lagi menyenangkan Lida—apalagi dalam
status yang lebih complicated lagi seperti itu. Pada akhirnya,
perempuan yang bahkan tak meninggalkan kesan di benaknya,
menjadi bagian dari skenarionya untuk membuat dirinya dan Lida
putus.
Main dengan cewek lain. Ditangkap langsung oleh Lida.
Dihakimi selingkuh, tidak setia, dan semua kata-kata sejenis. Lalu
selesai.
Semuanya yang mereka jalani empat tahun ini selesai
sudah, seperti skripsinya saat ini.
Ayu mendecakkan lidah. “Gila ya lo, To. Bisa-bisanya jadi
sebrengsek ini.”
Ditto hanya tertawa kecil.
“To, berenti main-main.” Kali ini Ayu berbicara dengan
nada serius. “Lo nggak bisa kayak gini terus, masa dari SMP
sampe sekarang malah makin parah, sih?”
Ditto menatap ke luar jendela kamarnya. Di mana halaman
depan rumahnya begitu terawat. Tatapannya menerawang jauh
saat ia berkata, “Liatin ya, Cha, pas gue nikah nanti, gue bakal
setia abis-abisan sama istri gue. Sekarang emang brengsek, tapi
cowok kayak gue bakal setia sampe mati sama pasangan sehidup
sematinya nanti.”
***
***
Garing.
Bukan makanannya tadi. Tapi suasana di mobil saat ini.
Ibnu masih memegang kemudi dengan tatapan yang
terarah lurus ke jalanan. Ayu mendesah pelan. Malam ini sama
saja seperti hari-hari yang ia lalui bersama Ibnu akhir-akhir ini.
walaupun Ibnu ada di sampingnya, cowok itu terasa…jauh. Entah
di mana pikirannya saat ia bersama Ayu.
Keheningan mobil saat itu dipeahkan oleh dering
ponselnya. Tanpa melihat siapa peneleponnya, Ayu langsung
mengangkat telepon tersebut.
Kali ini pembicaraannuya dengan Ditto tak lama. Mungkin
Ditto bisa membaca keengganannya untuk mengobrol dari
jawabannya yang pendek-pendek. Lagi pula Ditto pasti langsung
mengerti begitu ia mejelaskan bahwa ia masih di perjalanan
pulang dengan Ibnu.
“Ngapain sih dia neleponin kamu terus?”
Ayu mendelik ke samping. Sekalinya bicara, Ibnu malah
memilih membahas hal sepele seperti ini. “Namanya juga sahabat,
pasti kan pengin tahu kabar sahabatnya,” jawab Ayu dengan sabar.
“Mana ada sih sahabatan cowok sama cewek yang
platonic kayak kalian?” Terdengar nada mencemooh dalam
suaranya. “Mau sampe kapan kamu bohongin aku kalo kamu suka
sama dia?”
“Dih? Apaan sih, Ibnu?” Ayu menggeleng tak percaya.
“Aku tuh sama Ditto beneran sahabatan doang. Kamu lagi
kenapa, sih?”
“Aku nggak suka kamu berhubungan terus sama Ditto.”
“Aku bahkan kenal dia sebelum kenal kamu, Ibnu.” Ayu
mendesar gusar. “Tolong dong, kamu jangan kekanak-kanakan
gini.”
Ibnu tak membalas lagi kata-kata Ayu. Perdebatan seperti
ini bukan yang pertama kalinya untuk mereka. Namun seperti
gulungan benang wol yang kusut, hal ini tak terurai dengan
mudah.
Sepanjang sisa perjalanan, mereka hanya diam.
***
KEPING
KELIMA
DUA PULUH TUJUH
“Makasih, Cha. Lo ngajarin gue banyak hal.
Tetap jadi teman terbaik gue selamanya.”
Agustus 2014
Dua tahun belakangan adalah tahun-tahun yang paling
miskin komunikasi antara ia dan Ayu. Pertemuan dan komunikasi
mereka bahkan bisa dihitung dengan jari.
Yang Ditto ketahui, Ayu sudah bekerja di bidang creative.
Sesuai dengan passion dan apa yang selama ini ia pelajari di
kuliahnya mengenai entrepreneur. Ditto sendiri selain dengan
band-nya, juga mulai menjadi pengiring untuk beberapa musisi
ternama.
Ditto mengingat lagi pertemuan terakhirnya dengan Ayu.
Saat itu ia sedang iseng jalan-jalan sendirian di sebuah mal. Ia
sudah menghabiskan waktu hampir setengah jam saat seseorang
menepuk bahunya dengan gerakan yang familier.
“Woy, ngapain lo?”
“Nyangkul,” jawab Ditto asal.
Ayu hanya tertawa, kemudian ia celingukan. Membuat
Ditto bingung namun akhirnya mengerti. “Sendirian gue,”
ucapnya. “Lo?”
Ditto bingung, kenapa saat ia tidak mencari Ayu, ia justru
bertemu dengan cewek itu semudah ini?
Namun Ditto tidak terlalu mempermasalahkannya. Ada
rasa senang yang menelusup ke dalam hatinya. Akhirnya ia
bertemu lagi dengan Ayu. Dan melihat bagaimana Ayu saat ini
sudah tak mengucir rambutnya lagi, membuat Ditto rindu melihat
kuciran kuda yang selalu bergoyang setiap Ayu bergerak.
Lalu semua kenangan dan semua perasaan yang selama ini
terpendam, membanjiri Ditto dengan cepat. Membuat Ditto sadar
bahwa orang yang selama ini ia rindukan, ada di depannya. Dan
sampai saat ini juga ia belum mengatakan bahwa ia menyukai
Ayu.
Ditto bahkan tak ingat sejak kapan ia menyukai Ayu.
Entah sejak kapan ia terpikir untuk menghabiskan waktu lebih
banyak dengan Ayu, atau bahkan sejak melihat mata bulat
besarnya itu saat Ayu bertanya tentang kursi di sebelahnya ketika
hari pengarahan MOS SMP dulu.
“Sama,” jawab Ayu. “Ya udah sih, bareng aja,” putusnya.
Keduanya kemudian mulai berjalan bersama sambil
bertukar cerita. Saat melewati sebuah outlet, Ayu langsung
menghentikan langkahnya.
“Eh, coba masuk dulu, yuk.”
Ditto mengiyakan saja. Ayu sudah asyik menghambur ke
arah deretan tas yang di-display. Ditto hanya berdiri
mengamatinya, kedua tangan masuk ke dalam saku celana
denimnya. Tanpa sadar ada senyum terbut di wajahnya saat
melihat Ayu yang asyik memilih-milih tas didampingi pegawai
toko yang menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayu.
“To, bayarin, ya,” ucap Ayu sambil mengangkat tas
pilihannya hingga sewajar dengan wajah Ditto. Tak lupa, ekspresi
memelas andalannya di wajah. “Ya, ya, ya?”
Ditto menghela napas. Ia menoyor Ayu saat berucap, “Ya
udah sana.”
Ayu tertawa penuh kemenangan dan langsung beranjak ke
kasir diikuti Ditto. Cewek itu dengan mudahnya meminta hal-hal
esensial kepada Ditto—baik sadar atau tidak. Seperti makanan,
tas, waktu, rasa nyaman, persahabatan….
Hal-hal yang juga diberikan Ayu kepadanya tanpa pamrih
dan tanpa batas. Dan bukan sesuatu yang ingin dirusak oleh Ditto
—persahabatan mereka.
Mereka sudah bersahabat lama sekali. Dari masing-masing
masih cupu sampai sudah tumbuh dewasa seperti ini. maka dari
itu Ditto lebih baik menyimpan sendiri perasaannya dibanding
membicarakannya dengan Ayu dan malah merusak semua yang
sudah mereka punya.
Ditto percaya, ketika kita mencintai seseorang, mengejar
hingga mendapatkannya terkadang tidak selalu jadi hal yang baik.
Ada kalanya kita hanya perlu tetap menjalani hidup dan biarkan
Tuhan yang ambil alih. Karena belum tentu seseorang yang kita
inginkan juga menginginkan kita.
Ayu dan pesan-pesannya sering datang tanpa bisa
diprediksi oleh Ditto. Oleh karena itu, ia pun tidak menyia-
nyiakan kesempatan ini.
Dito:
Yuk , yang dateng telat bayarin makan ya.
***
***
DUA PULUH DELAPAN
Januari 2015
“Hati-hati di jalan, ya.”
Ditto hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu
melajukan mobilnya menjauhi rumah ‘teman dekat’-nya saat ini.
Cewek ini pasti sebentar lagi akan mulai mengeluh kepada
teman-teman segengnya, yang sama-sama berprofesi sebagai
model tersebut, tentang sikap Ditto yang menyebalkan sepanjang
hari. Padahal ia sudah meluangkan satu hari penuh untuk
merayakan ulang tahun Ditto dan berusaha untuk membuat
mereka berdua senang.
Tapi Ditto seperti kucing yang habis diinjak ekornya.
Gelisah dan cenderung sering mengomel tak jelas.
Sambil melajukan kemudinya, Ditto menggapai music
player mobilnya dan membiarkan suara penyiar radio menemani
perjalanan pulangnya.
Setelah cuap-cuap penyiar radio, terdengar intro lagu yang
sangat dikenal Ditto. Suara khas Glenn Fredly yang menyanyikan
Kasih Putih memenuhi seisi mobil. Membuat Ditto tersenyum
ranpa sadar, karena lagu ini mengingatkannya dengan masa SMP-
nya yang masih satu band bersama Ayu.
Ke mana cewek ini? Hari ini adalah hari ulang tahun
Ditto, dan Ayu tidak menghubunginya sama sekali.
Hal itulah yang sepertinya membuat Ditto uring-uringan
sepanjang hari. Berubah menjadi orang yang menyebalkan.
Biasanya, Ayu takkan pernah lupa meneleponnya di
pergantian hari ulang tahunnya. Sekalipun besoknya mereka
ujian, sekalioun sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka
berkomunikasi, Ayu takkan pernah lupa tentang hal tersebut.
Berbanding terbalik dengan Ditto yang kadang-kadang masih
suka lupa.
Tapi, sepertinya tahun ini adalah pertama kalinya Ayu
meninggalkan tradisi mereka.
Hampir tengah malam ketika ia sampai di rumah. Anggota
keluarganya yang lain sudah tidur saat Ditto sudah sampai di
rumah dan langsung beranjak menuju kamarnya.
Saat sudah membersihkan dirinya dan berganti pakaian
tidur, ia menyalakan ponsl yang sejak tadi ia matikan dering
berdurasi pendek terdengar berkali-kali. Pasti itu notifikasi dari
teman-temannya yang mengucaokan selamat ulang tahun atau
pesan-pesan lainnya.
Karena kantuk belum menghampiri, Ditto memutuskan
duduk di ranjang dan bersandar di headboard sambil mengecek
ponselnya.
Benar saja, banyak temannya yang mengucapkan selamat
ulang tahun di sosial media. Ia berusaha membalas sekenanya.
Kemudian ketika notifikasi dari aplikasi Parh muncul di
notification bar-nya, nama Ayu muncul seketika. Membuatnya
segera mengecek akun Path-nya dan melihat apa yang
dikomentari Ayu.
Cewek itu mengomentari salah satu fotonya saat beberapa
waktu lalu ke Bali. Senyum terbit begitu saja di wajah Ditto.
Cewek itu masih saja mencintai Bali.
Ditto:
Udah lupa lo punya sahabat?
Ayu:
Kagaklah, gila
Ditto:
Teru? Asik banget tuh sama kerjaan?
Ayu:
Rajin kerja biar bisa terusterusan ke Bali
***
DUA PULUH SEMBILAN
“Bicara tentang kehidupan, terima kasih untuk
belasan tahun yang kita lewati dan yang akan kita
lewati bersama.”
April 2015
“To, lo bisa ke Potato Head nggak?”
“Hah? Ngapain?”
“Gue mau cerita.” Keriuhan yang menjadi backsound Ayu
saat bicara membuat cewek itu terdiam sebentar, sepertinya pergi
ke tempat yang agak sepi untuk kembali melanjutkan ucapannya.
“Buru sini, gue tunggu pokoknya.”
Hanya dengan ucapan Ayu yang tak sepenuhnya ia
pahami, malam ini Ditto menjalankan mobilnya menuju Potato
Head di bilangan Jakarta Selatan. Sesampainya di sana, ternyata
tak susah untuk menemukan Ayu. Cewek itu terlihat sedang
mengobrol dengan temannya, kemudian temannya langsung
meninggalkan meja ketika melihat Ditto berjalan ke arahnya.
Ditto duduk di sofa yang radi ditinggalkan teman Ayu.
“Temen lo kenapa—“
“Gue baru putus, To.”
“Hah?”
Rasanya hari ini Ayu selalu punya cara untuk membuat
Ditto terkejut.
“Putus?” Ditto bertanya dengan tak percaya. “Dari
Arman? Kapan jadiannya?”
Ayu menggeleng. “Gue sama Arman nggak balikan. Ini….
sama orang lain, lo nggak kenal dan gue juga males nyebut
namanya.”
Mengalirlah semua cerita Ayu tentang hubungan terakhir
yang ia jalani ini. Bagaimana ia dekat, memutuskan untuk
pacaran, kemudian dicampakkan begitu saja karena cowok itu
memilih cewek lain.
“Capek gue diselingkuhin mulu,” desah Ayu dengan sebal.
“Udahlah, setahun ini aja, gue pengen free kayak lo.”
“Free kayak gue?”
“Iya, jalan sama siapa aja tapi nggak ada status. Mau deket
sama satu orang atau lebih ya nggak masalah. Gue mau istirahat
dari yang namanya relationship.”
Ditto benar-benar terpana saat mendengar penuturan Ayu.
Ia kira sahabatnya bercanda, tapi ternyata cewek itu langsung
mengoceh tentang rencananya untuk menjadi tak terikat dalam
waktu satu tahun, guma untuk menyembuhkan perasaan sakitnya
yang berkali-kali dicampakkan.
***
Mobil Ditto sudah keluar dari pelataran parkir Potato Head.
Namun kata-kata Ayu terngiang di benaknya.
Setahun ini aja, gue pengen free kayak lo.
Ayu benar-benar gila.
Dan bagaimana bisa saat ini ia pulang begitu saja, setelah
mendengar ocehan Ayu panjang lebar mengenai rencanaya
menjadi perempuan single selama setahun itu?
Dering ponselnya membuat ia terlonjak. Ia meraih ponsel
yang ada di dashboard dan langsung menjawab panggilan yang
ternyata dari Ayu.
“Kenapa ,Cha?”
“Duh, To, temen gue muntah-muntah, nih.”
Ditto tak menjawab ucapan Ayu. Ia memutuskan
sambungan telepon tersebut kemudian mencari putaran arah
terdekat.
Ia putar balik, kembali ke Potato Head.
Saat ia tiba di pelataran parkir, Ditto menangkap sosok
Ayu sedang mengurut tengkuk temannya yang masih muntah-
muntah di sudut parkir yang gelap. Ditto menghampiri Ayu, yang
langsung menoleh begitu mendengar langkahnya.
“Gue kira lo nggak balik ke sini,” ujar Ayu begitu melihat
sosok Ditto. Temannya mulai menegakkan badan sambil
mengusap wajahnya dengan tisu basah yang diberika Ayu. Saat
melihat Ditto, cewek itu segera menyingkir ke sebuah mobil yang
Ditto kira adalah mobilnya.
Perhatian Ayu kembali kepada Ditto.
Saat kedua mata sahabatnya menatap tepat di manik
matanya, Ditto tertegun sesaat.
Kemudian, keberanian yang tak pernah terkumpul selama
bertahun-tahun mereka bersahabat itu, akhirnya muncul.
Membuat Ditto akhirnya bertanya, “Cha, kalo gue suka
sama lo, gimana?”
Ayu terpaku di tempatnya.
***
***
April 2015
Hari ini Ayu sudah berangkat ke Bali. Pagi tadi Ditto
mengantarnya ke airport. Kemudian…ya sudah.
Mereka kembali seperti biasa, ketika salah satunya pergi,
tak akan ada yang benar-benar merecoki dengan pesan-pesan
annoying seperti yang dilakukan banyak remaja zaman sekarang
saat pacaran.
Toh, ia dan Ayu juga bukan sepasang kekasih.
Namun perasaan galau itu ternyata benar-benar
melingkupi Ditto. Ayu akan pergi ke Bali selama…delapan hari.
Waktu yang cukup lama.
Selama makan siang Ditto hampir tidak merasakan
makanannya. Kepalanya sibuk berspekulasi. Apa yang akan
dilakukan Ayu selama di sana selain bekerja? Apa Ayu akan
memikirkan tentang hubungan mereka? Apa Ayu akan menyudahi
persahabatan mereka hanya karena perasaannya?
Beragam kemungkinan masuk dan keluar dari benaknya.
Dari yang terburuk hingga yang terbaik.
Hingga akhirnya siang tiu juga ia melihat jadwal kerjanya
minggu ini, juga jadwal penerbangan Jakarta-Bali dalam waktu
dekat, yang sekiranya cocok dengan waktu kosongnya di sela-sela
pekerjaannya.
Tangannya beberapa kali hampir memutuskan untuk tidak
jadi membeli tiket pesawar Jakarta-Bali PP yang sudah ia pilih.
Beberapa kali ia melihat kembali agendanya, memastikan jam dan
hari yang ia pilih memang tepat.
Tapi, apa pergi menyusul Ayu memang hal yang tepat?
Banyak kerguan yang mampir di dalam kepalanya. Namun
lebih banyak kerinduannnya kepada Ayu yang bertumpuk.
Jadi dengan pasti, walau ia tahu pasti ia akan kelelahan
dengan perjalanan singkat ini, Ditto memesan tiket tersebut.
Sore harinya, Ditto memutuskan untuk menelepon Ayu.
“Cha, gue ke Bali, gue udah beli tiket.”
***
“To, gue selesai, kok. Paling jam sepuluh, ya paling malem jam
dua belaslah.”
“Oh, ya udah,” jawab Ditto. “Pesawat gue nyampe jam
sepuluh, kok.”
Percakapan itu masih terngiang di benak Ayu ketika jam
lima pagi keesokan harinya, ia baru selesai syuting. Ia melihat
jam di ponselnya dengan cemas. Ia pikir ia masih punya waktu
dengan Ditto dari tadi malam hingga pagi ini. Flight cowok itu
pulang ke Jakarta adalah jam sepuluh pagi nanti. Ya, memang
hanya sehari waktu yang Ditto punya untuk bertemu dan melepas
rindunya kepada Ayu.
Dengan berusaha secepat mungkin, Ayu membersihkan
make up di wajahnya dan berganti pakaian. Setelah semuanya
selesai, ia pun pamit kepada kru yang ada di lokasi syuting dan
bergegas menuju pantai di mana Ditto menunggunya.
“Aduh, sorry banget ya, To,” ucap Ayu begitu ia tiba di
hadapan Ditto. “Sumpah, gue nggak nyangka bakal kelar jam
segini. Gue pikir kelar jam sepuluh.”
“Ya udahlah, nggak apa-apa,”
Jawaban singkat itu membuat Ayu mengamati ekspresi
wajah Ditto. Ada kekesalan yang terpendam cowok itu, mungkin
karena menunggu terlalu lama dan sendirian. Dan rasanya
kemarahan itu memang wajar.
Kemudian, pagi itu mereka menyambut sunrise bersama di
tepi pantai.
Namun Ayu merasa bahwa obrolannya dengan Ditto
selama berjam-jam ini … tidak nyambung. Membuatnya kadang
dongkol sendiri. Tumben banget sih nggak nyambung ngomong
sama ni anak.
Mungkin gejala PMS yang sedang dilaluinya. Mungkin
juga karena ia lelah sehabis syuting. Mungkin juga Ditto sudah
terlalu lelah menunggunya. Pokoknya bukan kondisi yang baik
untuk membahas soal perasaan.
Jam delapan pagi akhirnya Ditto pamit, bergegas menuju
bandara. Saat itulah Ayu berkata, “To, gue ke sini emang bener-
bener mau healing. Jadi, kalo bisa jangan hubungin gue dulu, ya.”
Ditto terpaku di tempatnya. Tapi ia tak membantah.
Menurutnya, ketika seorang cewek meminta hal tersebut, ia tak
berhak untuk melanggarnya. Ia tak akan bersikap annoying
dengan merecoki cewek itu selama dua puluh empat jam penuh
dalam sehari.
***
Ayu:
To, gue kangen
***
TIGA PULUH
SATU
“Janji gue pada Ibu, gue tak akan pernah
menyakiti istri gue.”
Mei 2015
Masih ada sisa beberapa hari lagi sebelum Ayu pulang ke
Jakarta, saat ia bertemu dengan ibu Ditto dan adiknya, Andiko, di
Bali.
Sebelumnya, Ayu yang tahu dari Ditto bahwa keluarga
cowok itu sedang ke Bali, menghubungi ibu Ditto. Kemudian
mereka membuat janji untuk jalan-jalan bersama.
“Kamu lagi deket ya sama si Mas?” tanya ibu Ditto setelah
beberapa saat mereka mengobrol.
“Nggak ah, Bu,” tampik Ayu dengan cepat. “Geli, ih.”
Ayu masih merasa gengsi, padahal dalam beberapa hari ini
ia sudah jadi sangat dekat dengan Ditto. Walaupun mereka
memang belum resmi pacaran atau status apa pun. Tapi, untuk
mengakui perasaan kangen di antara mereka, mereka sudah benar-
benar terbuka walau kadang sering meledek satu sama lain.
“To, gue kangen.”
“Cie, kangen.”
“Ya, apaan sih lo!”
“Iya, iya, gue juga kangen, Cha. Gimana healing lo?”
Dan…Ayu pun masih menyimpan keraguan dalam
hatinya.
Ibu Ditto hanya tersenyum melihat penyangkalan Ayu.
Kemudian ia memilih mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Ia
percaya, kalaupun mereka memang dekat, cepat atau lambat ia
pasti tahu.
***
***
***
***
“Ayo ke rumah.”
“Ngapain?”
“Ngasih tahu Ibu kalo kita sekarang pacaran.”
Karena hal itulah, akhirnya setelah mereka resmi pacaran,
mereka pergi menuju rumah Ditto terlebih dahulu. Saat keluar
dari mobil Ditto, debaran jantungnya terasa sedikit melonjak.
Bagaimanapun, saat ia berdiri di depan rumah Ditto untuk
memberi tahu ibunya Ditto bahwa mereka sekarang resmi
berpacaran.
Astaga. Dua belas tahun bersahabat, ujung-ujungnya
mereka pacaran juga.
Mungkin itu yang terlintas di benak ibunya Ditto nanti.
“Bu,” seru Ditto setelah mengucapkan salam dan masuk
ke dalam rumah bersama Ayu. “Ada Ucha, nih.”
Tak lama mamanya keluar dari kamar. Perempuan itu
menyambut Ayu seperti biasanya. Ia ingin meninggalkan Ayu
dengan Ditto saja di ruang keluarga ketika Ditto justru
melarangnya,
“Ada yang mau kita omongin,” ucap Ditto.
Ibunya pun mengiyakan. Ia duduk berhadapan dengan
Ditto dan Ayu yang duduk berdampingan.
“Bu, sekarang aku sama Ucha pacaran.”
Kalau diibaratkan, reaksi mamanya mungkin seperti
confetti yang ada di pesta ulang tahun. Meriah, menyenangkan,
dan benar-benar bisa diduga walaupun kaget juga saat melihatnya.
“Tuh, kan! Tuh kan, bener kan feeling Ibu. Dari dulu nih,
Ibu udah mikir pasti jadi nih ni anak berdua,” katanya dengan
semangat. “Yes! Udah ya, kamu nikah sama Ayu, ya. Mau tanggal
berapa?”
Ditto dan Ayu sama-sama tertawa mendengarnya. Namun,
ibunya tampaknya tidak peduli lagi. Perempuan itu langsung
bicara tanpa titik dan koma mengenai prediksi tentang hubungan
mereka.
Setelah merasa cukup, Ayu dan Ditto pun pamit. Kali ini
mereka akan mampir ke rumah Ayu untuk melakukan hal yang
sama.
Di sana, mereka disambut langsung oleh ibunya Ayu.
“Udah lama kalian berdua nggak main bareng ke sini,”
komentarnya.
“Iya, Ma,” balas Ayu. “Kita mau ngasih tahu, kalau kita
sekarang pacaran.
Reaksi mamanya Ayu jelas berbeda dengan reaksi
mamanya Ditto tadi. “Hah? Pacaran?”
“Iya, Tante,” kali ini Ditto yang menjawab.
“Kalian? Berdua?” Tangannya menuding keduanya yang
bergantian. Dua remaja yang dulu selalu ia ketahui bermain
bersama dan tak pernah bisa lepas itu, kini menjelma jadi dua
orang dewasa yang menghadap kepadanya dan mengatakan
bahwa mereka berpacaran.
Ayu yang dulu selalu membiacarakan kebiasaan Ditto
pacaran dan putus seenaknya dengan kakak-kakaknya.
Ditto yang selalu mau disuruh-suruh oleh AYu untuk
mengantarkan makanan ke lokasi syuting—dan sesekali
membawa teman cowoknya untuk dikenalkan kepada Ayu.
Ia sebagai seorang Ibu tentu menyadari sudah sedekat apa
anaknya dengan sahabatnya itu. Tapi…pacaran?
Ayu mencoba bersabar dan mengangguk. “Iya, Ma.”
“Kok bisa?”
Pada akhirnya pertanyaan, ‘Kok bisa?’ justru terdengar
aneh di antara mereka. “Ya….karena kita sahabatannya udah
lama.”
“Apaan sih kalian.” Mamanya justru menggeleng pelan.
“Sampe kalian nikah, baru Mama beneran percaya.”
Ditto dan Ayu hanya menahan senyum.
***
TIGA PULUH
DUA
tanganmu.
memilikimu selamanya.
Cinta Ucha.
Oktober 2015
“Rajin banget update Instagram-nya, Mas,” komentar Ayu
saat melihat suaminya sedang mengetik caption untuk foto yang
memperlihatkan cincin di jemarinya saat hari pernikahan mereka.
“Iseng doang,” jawabnya. Setelah foto tersebut sudah
terunggah, ia menaruh ponselnya di atas meja dan mulai melahap
sarapannya.
“Iseng, tapi tiap hari ada aja cerita yang kamu bagi lewat
caption-nya.” Ayu terkekeh pelan, mengingat sejak mereka resmi
jadi pasangan dan akhirnya mau untuk go public, suaminya itu
tidak segan untuk membagi ceritanya lewat sosial media tersebut.
Ditto mengecup pipi Ayu dengan sayang. “Biar orang-
orang di luar sana sadar, kalau jodoh mereka bisa saja sahabatnya
sendiri selama ini.”
Ayu menggeleng pelan namun tak urung senyum merekah di
wajahnya. Setelah belasan tahun bersahabat, mencari pasangan
dengan berbagai kriteria dan menjalin hubungan berkali-kali,
pada akhirnya mereka menemukan tempat untuk ‘pulang’ di diri
sahabat mereka masing-masing.
Ya, mungkin orang lain butuh untuk mengetahui kisah
mereka, agar bisa sedikit menyadari bahwa terdapat kemungkinan
jodoh mereka ada di diri sahabatnya sendiri.
***
***
TIGA PULUH
TIGA
“Ini tawa bahagia. Karena kita halal.
Kode lo berhasil, Cha. Sekarang gue buktiin
kalau setia gue sama lo nggak nanggung.”
November 2015
Rolling Stone malam itu tentu saja ramai.
Malam ini kebetulan Ayu mendapatkan pekerjaan untuk
nge-gigs di Rolling Stone, diirngi oleh perkusi yang dimainkan
Ditto.
Setelah selesai, keduanya memilih untuk duduk di tempat
yang sebelumnya memang mereka tempati.
“Udahlah, nyanyi aja. Suara lo tuh bagus, tahu,” komentar
Ditto saat mereka sudah duduk bersebelahan.
“Masa, sih?” tanya Ayu tak percaya. “Suara gue jelek,
tahu.”
Ditto meyakinkan Ayu bahwa suaranya mampu untuk
bernyanyi dengan merdu. Kemudian, pembahasan itu merembet
kepada kenangan mereka saat mereka masih menjadi satu band di
SMP dulu.
“Suara lo tuh sekarang bagus.”
“Emang dulu suara gue jelek, ya?”
“Iya,” jawab Ditto tanpa ragu, membuat Ayu terperangah.
“Hah? Maksud lo? Kan dulu gue satu band sama lo.”
“Iya, gue nyuruh lo aja masuk band sekolah, biar kita
menang terus. Lo kan artis,” terang Ditto dengan santai. “Dulu
kan suara lo jelek, makanya lo jadi backing vocal.”
“Dasar Ditto jelek!” maki Ayu kesal.
Ditto hanya tertawa terbahak-bahak.
Padahal dulu alasan itu hanyalah karangan kepada Doni
dan teman-teman satu band-nya yang lain.
Alasan sebenarnya adalah, hal itu salah satu cara yang
dipakai Ditto agar bisa lebih dekat dengan Ayu selain di kelas.
“Impaslah, dulu lo juga sok-sok tomboy biar bisa bareng
gue terus kan, Ncip?” goa Ditto dengan serangai jailnya.
Ayu merengut sebal. Menyesal juga membeberkan rahasia
kecilnya yang satu itu.
Tapi hal itu tak bertahan lama, karena Ditto sudah
membawanya menjelajah waktu kembali dengan membicarakan
kenangan-kenangan mereka dan rencana-rencana mereka untuk di
masa depan.
Mereka punya masa lalu bersama, masa kini bersama, dan
punya masa depan bersama.
***
TIGA PULUH
EMPAT
“Akhirnya hamilin teman sendiri dan teman gue
punya anak secara halal dari gue.
Dia ibu anak gue.”
Januari 2016
Kebiasaan tidur di antara mereka adalah, Ditto yang tidur
duluan dan Ditto juga yang bangun belakangan.
Ayu menatap jam di dinding sambil menyalakan lilin di
atas kue ulang tahun yang ia siapkan untuk suaminya. Setelah
lilinnya menyala, ia membawa kue tersebut sambil mulai
bernyanyi lagu ‘Happy Birthday’.
Ditto menggeram pelan, kemudian matanya mulai
membuka saat sadar bahwa Ayu sedang menyanyikan lagu
‘Happy Birthday’ sambil membawa kue.
“Selamat ulang tahun, Mas,” ucap Ayu ketika Ditto sudah
benar-benar terjaga. “Tiup dulu lilinnya.”
Senyum di wajah Ditto merekah, apalagi saat melihat lilin
angka yang ada di atas kue. Setelah meniup lilin tersebut, ia
berdiri dan mengecup kening Ayu. “Makasih ya, Ncip.”
Ayu balas tersenyum saat Ditto akhirnya memotong
kuenya dan menyuapkan potongan pertama untuknya. “Aku juga
punya kado buat Mas.”
Ayu pun menaruh kuenya di atas nakas, kemudian mencari
kado yang sempat ia sembunyikan dari Ditto seharian ini.
Alis Ditto terangkat melihat kado dari Ayu, penasaran
dengan isinya. Keduanya duduk di tepi ranjang saat Ditto
membuka kado dari Ayu.
Sebuah bingkau persegi, ada pas foto mereka yang mereka
gunakan di buku nikah mereka. Lalu ada foto Ditto saat masih
kanak-kanak. Kemudian ada dua kertas yang ditulis sendiri oleh
Ayu.
Yang satunya bertuliskan; Our friendship is my gift and
the other is still making.
Yang satunya lagi, cukup panjang. Seperti surat. Ditulis
Ayu sambil membayangkan apa yang selama ini sudah mereka
lalui bersama.
Lalu ada dua kertas kecil terpisah. Yang satu adalah cap
bibir Ayu. Yang satunya lagi bertuliskan; With love, Ncip & Anak
Bayi.
Yang paling mencolok dari itu semua adalah adanya
testpack bergaris dua.
Positif. Hamil.
Entah sejak kapan mata Ditto berkaca-kaca. Ia menoleh
kepada Ayu yang ternyata tak berbeda jauh dengannya. “Kamu
hamil, Ncip?”
Ayu mengangguk. Ia mengusap perutnya yang terlihat
masih rata, kemudian tersenyum sambil menatap Ditto. “Selamat
ulang tahun, Mas.”
Malam itu Ayu tak lagi mengucapkan selamat ulang tahun
untuk Ditto melalui telepon. Malam itu juga, keduanya tahu
bahwa aka nada kehidupan baru di antara mereka.
Buah hati yang akan sangat ditunggu-tunggu oleh mereka,
untuk bergabung dengan keluarga kecil mereka.
***
Epilog
“Bosan itu pasti, tapi kita jangan pernah saling pergi.
Selalu Sayang, Ya.”
It’s just magical to have you in my belly. You are the proof
of our genuine friendship and passionate love. We can’t wait to
get to know you better, masbayukakak. <3