PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia telah diterima
secara luas dan bersifat final. Namun, walau pancasila saat ini telah dihayati
sebagai filsafat hidup bangsa dan dasar negara yang merupakan perwujudan
dari jiwa bangsa, sikap mental, budaya dan karakteristik bangsa, hingga saat
ini asal-usul dan kapan dikeluarkan atau disampaikannya Pancasila masih
dijadikan kajian yang menimbulkan banyak sekali penafsiran dan konflik
yang belum selesai hingga saat ini.
Pancasila adalah lima dasar luhur yang ada dan berkembang bersama
dengan bangsa Indonesia sejak dulu. Pancasila sebagai fungsinya sebagai
dasar Negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-
unsurnya yaitu pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila sebagai
kedudukannya merupakan dasar pijakan penyelenggara negara Republik
Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana Pancasila dalam kajian sejarah Indonesia?
C. TUJUAN
BAB II
PEMBAHASAN
a. Sila Pertama
Simbol bintang yang memiliki lima sudut melambangkan sila pertama
Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Bintang melambangkan
sebuah cahaya, seperti cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan kepada
setiap manusia. Lambang bintang juga diartikan sebagai sebuah
cahaya untuk menerangi Dasar Negara yang lima (Pembukaan UUD
1945 alinea 4), sifat negara yang lima (Pembukaan UUD 1945 alinea
2), dan tujuan negara yang lima (Pembukaan UUD 1945 alinea 4).
Sedangkan latar berawarna hitam menunjukkan warna alam dan
mengandung arti bahwa berkat rahmat Allah adalah sumber dari
segalanya.
b. Sila Kedua
Rantai melambangkan sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab. Rantai tersebut terdiri atas mata rantai yang
berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkaitan membentuk
lingkaran. Mata rantau segi empat melambangkan laki-laki, sedangkan
yang lingkaran melambangkan bahwa setiap manusia, laki-laki dan
perempuan membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga
menjadi kuat seperti rantai.
c. Sila Ketiga
Pohon beringin melambangkan sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia.
Pohon beringin melambangkan pohon besar yang bisa digunakan oleh
banyak orang sebagai tempat berteduh dibawahnya. Hal ini mewakili
Negara Indonesia yang menjadi tempat berteduh semua rakyat
Indonesia. Pohon beringin juga memiliki sulur dan akar yang menjalar
ke segala arah. Hal ini mewakili keragaman suku bangsa yang
menyatu di Indonesia.
d. Sila Keempat
Kepala banteng melambangkan sila keempat Pamcasila, yaitu
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan. Kepala banteng melambangkan hewan
social yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah dimana
orang-orang harus berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu.
e. Sila Kelima
Padi dan kapas melambangkan sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Padi dan kapas dapat mewakili
sila kelima, karena padi dan kapas merupakan kebutuhan dasar setiap
manusia, yakni pangan dan sandang, sebagai syarat utama untuk
mencapai kemakmuran. Hal itu sesuai dengan tujuan utama dari sila
kelima.
D. Era Kemerdekaan
Dengan ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945 oleh PPKI merupakan
modal berharga bagi terselenggarakannya roda pemerintahan negara RI.
Paling tidak, bangsa Indonesia telah memiliki ketentuan-ketentuan yang pasti
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Namun, sebelum semua alat
perlengkapan negara tersusun, bangsa Indonesia dihadapkan persoalan
eksternal yaitu kehadiran tentara Sekutu dan NICA ke wilayah
Indonesia.sebagaimana kita ketahui bahwa pada tanggal 29 September 1945,
sekutu bersama orang-orang NICA dengan mengatasnamakan Palang Merah
Internasional mendarat di Surabaya untuk mengurus orang-orang Belanda
bekas tawanan tentara Jepang. Bagi bangsa dan Pemerintah Indonesia
kehadiran mereka sebenarnya bukan masalah. Artinya, bangsa dan Pemerintah
Indonesia dapat menerima, bahkan membantunya apabila diperlukan.
Namun dalam perkembangannya, orang-orang NICA terus
berusaha menguasai wilayah Indonesia (Nederlands Indies) secara de facto.
Itulah sebabnya Wolhoff dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara” mengatakan bahwa sejak 17 Agustus 1945 dalam sebagian wilayah
negara Koninkrijk de Nederlander (wilayah Hindia Belanda) berkembanglah
dua macam pemerintah, yaitu sentral dan lokal.
Pemerintah Republik Indonesia memprtahankan hak kedaulatannya
atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, baik tehdap dunia
internasionalberdasarka hak mutlak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya
sendiri. Pemerintah Nederlandshe, suatu persekutuan hukum otonom dalam
ikatan negara Koninkrijk der Nederlander yang kedaulatannya atas wilayah
Hindia Belanda diakui secara de jure dunia internasional berdasarkan traktat-
traktat dan perjanjian-perjanjian internasional yang lain berusaha menguasai
kembali. Begitulah Konstelasi politik sesudah ProklamasiKemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945, membawa konsekuensi bagi bangsa dan negara
Indonesia untuk berjuang dalam rangka mempertahankan dan menguasai
secara de facto atas seluruh wilayah Indonesia.
Bangsa Indonesia dengan segala kemampuan dan keyakinan yang ada
siap mengusir penjajah yang hendak kembali menginjak-injak kemerdekaan
itu. Dalam masa-masa 1945-1949 segala perhatian bangsa dan negara
Indonesia benar-benar tercurahkan untuk menuangkan perang kemerdekaan.
Oleh karena itu, sistem pemerintah dan kelembagaan sebagaimana ditentukan
dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan. Waktu itu masih terus
diberlakukan ketentuan. Aturan Peralihan pasal IV UUD 1945 yang
mengatakan bahwa: Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD
ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite
Nasional. Namun karena kuatnya tekanan yang dilakukan orang-orang NICA,
maka dalam rangka mengoptimalkan semua kekuatan bangsa Wakil Presiden
Drs. Mocammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X pada
tanggal 16 Oktober 1945. Maklumat ini pada dasarnya berisi perubahan
kedudukan Komite Nasional Indonesia sebagai pembantu Presiaden menjadi
lembaga legislatif. Perubahan ini sebenarnya bukan persoalan karena memiliki
tujuan yang baik. Apakah maklumat tersebut dapat dikatakan sebagai
penyimpangan UUD 1945? Inilah persoalan yang menarik untuk dikaji. Di
satu sisi, setiap orang berhak menyatakan bahwa Maklumat Wakil Presiden
No. X merupakan penyimpangan dan sisi lain, orang juga berhak menyatakan
sebagai bukan penyimpangan kaena bisa dianggap sebagai amandemen.
Lebih-lebih, jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa pada waktu itu belum ada
lembaga legislatif.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi, pemerintah mengeluarkan
Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang pembentukan partai-
partai politik. Maklumat ini dikeluarkan atas dasar semakin meluasnya
desakan dari masyarakat agar pemerintah memberi kebebasan masyarakat
untuk membentuk partai politik. Kebijaksanaan ini mengandung arti positif,
terutama dalam rangka memanfaatkan seluruh kekuatan bangsa. Bukan partai
politik merupakan organisasi yang paling mampu mengorganisasikan para
pengikutnya secara baik. Sejak saat itu, lahirlah partai-partai politik di
wilayah Indonesia dalam jumlah yang sangat besar. Lahirnya partai politik ini
membawa perkembangan baru yaitu munculnya desakan agar sistem
Presidentil Kabinet diganti dengan sistem Parlementer Kabinet. Untuk itu,
pemerintah akhirnya mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14
Nopember 1945 tentang perubahan sistem Kabinet Presidentil menjadi
Kabinet Parlementer. Perubahan ini berdasarkan usul Badan Pekerja Komite
Nasioanal Indonesia Pusat pada tanggal 11 Nopember 1945. Perubahan ini
nyata-nyata merupakan penyimpangan konstitusional. Sejak lahirnya
Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945, maka di Indonesia berlangsung
sistem pertanggungjawaban Menteri-Menteri kepada parlemen. Ini berarti
sejak saat itu kepala pemerintah (eksekutif) diegang oleh Perdana Menteri
sebagai pimpinan kabinet. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, Perdana
Menteri dan para Menteri bertanggungjawab kepada KNIP, tidak
bertanggungjawab kepada Presiden seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Sementara mengusir orang-orang NICA belum juga berhasil. Bagi
Bangsa Indonesia hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak yang
harus dibela dan dipertahankan, serta harus diperjuangkan dengan segala
konsekuensinya sebagai negara yang telah merdeka dan berdaulat. Sikap
seperti ini terbukti dengan munculnya perlawanan-perlawanan rakyat terhadap
tentara Inggris dan NICA di setiap daerah yang mereka datangi. Pertempuran
terjadi di mana-mana, seperti Ambarawa, Surabaya, Bndung, dan sebagainya.
Munculnya perlawanan yang sengit dari rakyat Indonesia, memaksa
Belanda untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah Indonesia.
Perundingan-perundingan yang dilakukan berhasil menghasilkan perjanjian-
perjanjian, meskipun oleh Belanda sering dilanggar dan dikhianati.
Sementara, pemerintah Indonesia (PM Syahrir maupun PM Amir Syarifuddin)
tidak mampu memaksakan isi perjanjian kepada Belanda sehingga akhirnya
kedua Kepala Pemerintahan tidak mendapat kepercayaan dari rakyat.
Akhirnya, Kepala Pemerintahan diambil alih oleh Wakil Presiden, Drs.
Mochammad Hatta. Dengan sendirinya, sistem kabinet Presidentil.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya Belanda mengakui
kedaulatan Indonesia, namun Bangsa Indonesia terpaksa harus menerima
berdirinya negara yang tidak sesuai dengan cita-cita Proklaamasi 17 Agustus
1945 dan tidak sesuai kehendak UUD 1945. Negara Kesatuan Republik
Indonesia terpaksa berubah menjadi Negara Indonesia Serikat (Republik
Indonesia Serikat) berdasarkan Konstitusi RIS.
E. Era Orde Lama
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma
yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik
ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh
kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari
masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama
adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem
kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda
pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang
berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-
1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi
masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila
sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan
di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan
dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika
menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di
bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai
mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang
mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab
demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden
hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang
oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas
pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah
Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan
system presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi
rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan
suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih
menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan
mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS,
PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang
politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang
dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak
dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis
politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah
mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD
1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik
dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan
sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin.
Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin
adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden
Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila
dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi
presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis,
Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya
kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan
nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan
ideologi lain. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan
pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi
terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi
kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi
Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta
semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah
Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak
member ruang pada demokrasi bagi rakyat.
Dinamika perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan
Pancasila adalah wajah dominan perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965.
Bahkan pertikaian itu dilanjutkan pada masa Orde Baru sampai Orde
Reformasi ini. Pada dasarnya hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan
kalangan Islam atas penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945,
apalagi ketika penguasa (negara) menggunakan Pancasila sebagai alat untuk
menekan kalangan Islam tersebut.
Hal ini tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah tidak lagi
merupakan kompromi atau titik pertemuan bagi semua ideologi sebagaimana
yang dimaksud Sukarno. Ini karena Pancasila telah dimanfaatkan sebagai
senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan
negara atas Islam. Bahkan secara terang-terangan Sukarno tahun 1953
mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif
terhadap kesatuan nasional jika orang-orang Islam Indonesia masih
memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam, atau untuk pasal-
pasal konstitusional atau legal, yang akan merupakan pengakuan formal atas
Islam oleh negara.
Kekhawatiran Sukarno memang beralasan, apalagi ketika rentang
tahun 1948 dan tahun 1962 terjadi pemberontakan Darul Islam melawan
pemerintah pusat. Serangan pemberontakan bersenjata yang berideologi Islam
di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh meski akhirnya dapat ditumpas
oleh Tentara Nasional Indonesia, tetap saja menjadi bukti kongkret dari
‘ancaman Islam’. Bahkan atas desakan AH. Nasution, kepala staf AD, tahun
1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD
1945 dan menjadikannya sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik
Indonesia. Perdebatan persoalan ideologi tahun-tahun 1959-an dianggap telah
menyita energi, sementara masalah lain belum dapat diselesaikan. Apalagi
periode 1959 sampai peristiwa 30 September 1965 merupakan masa paling
membingungkan pemerintah, dengan munculnya kekuatan PKI yang berusaha
menggulingkan pemerintahan.
Era ini disebut sebagai Demokrasi terpimpin, sebuah periode paling
labil dalam struktur politik yang justru diciptakan oleh Sukarno. Pada era ini
juga Sukarno membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh
terlibat dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam periode
Demokrasi Terpimpin ini, Sukarno juga mencoba membatasi kekuasaan
semua partai politik, bahkan pertengahan 1950-an, Sukarno mengusulkan agar
rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep
musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Dalam rangka
menyeimbangkan secara ideologis kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan
komunisme, Sukarno bukan saja menganjurkan Pancasila melainkan juga
sebuah konsep yang dikenal sebagai NASAKOM, yang berarti persatuan
antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan-kepentingan politis
dan ideologis yang saling berlawanan antara PKI, militer dan Sukarno serta
agama (Islam) menimbulkan struktur politik yang sangat labil pada awal
tahun 1960-an, sampai akhirnya melahirkan Gerakan 30 S/PKI yang berakhir
pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
https://guruppkn.com/hubungan-pancasila-dengan-uud
https://www.academia.edu/31811035/Pancasila_dalam_Kajian_Sejarah_Bangsa_Indo
nesia
http://sistempemerintahannegaraindonesia.blogspot.com/2015/12/lambang-pancasila-
dan-artinya.html
http://ikhsan_history-fib.web.unair.ac.id/artikel_detail-154306-Kuliah-
Pancasila%20dalam%20Kajian%20Sejarah%20Bangsa%20Indonesia.html
http://fah.uinsgd.ac.id/web/public/pdf/file_1510801002.pdf
https://www.academia.edu/29016296/Pancasila_dalam_kajian_sejarah_bangsa_indon
esia_pada_era_orde_baru_dan_reformasi
MKD IAIN Sunan Ampel surabaya, pendidikan pancasila. Surabaya, IAIN SA press,
2011.
Trianto dan Triwulan Tutik, falsafah negara dan pendidikan kewarganegaraan.
Jakarta: prestasi pustaka,2007.
Kaelan, pendidikan pancasila, yogyakarta: paradigma offset,2004.
Winarno Dwi, paradigma baru pendidikan kewarganegaraan, jakarta: bumi
aksara,2006.