Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN KULIAH LAPANGAN

GEOLOGI BATUBARA

Oleh

Kelas E
Kelompok 5

Astri Gloria Larwuy 270110167009


Ratna A. Rolobessy 270110167014
Imanuela N. Tandean 270110167022
Fikrah Attamimi 270110167023
Vesto J. Kaay 270110167028
Ivan J. Supusepa 270110167029

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
BAB 1
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Pengamatan


Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar yang terbentuk dari endapan organik,
utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan (coalification).
Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara juga adalah batuan
organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam
berbagai bentuk.
Cook (1999) menerangkan bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan yang terakumulasi
menjadi gambut yang kemudian tertimbun oleh sedimen, setelah pengendapan
terjadi peningkatan temperatur dan tekanan yang nantinya mengontrol kualitas batubara.
Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu tahap diagenesa
gambut (peatilification) dan tahap pembatubaraan (coalification).Tahap diagenesa gambut
disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan kimia dan mikroba, sedangkan
tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap geokimia atau tahap fisika-kimia yang
melibatkan perubahan kimia dan fisikaserta batubara dari lignit sampai antrasit (Cook, 1982).
Ditinjau dari cara terbentuknya, batubara dapat dibedakan menjadi batubara yang terbentuk
secara insitu dan batubara yang bersifat apungan (drift ). Batubara yang bersifat insitu terbentuk
di tempat tumbuhan asalnya berada, mengalami proses dekomposisi dan tertimbun dalam waktu
yang cepat, batubara ini dicirikan dengan adanya bekas – bekas akar pada seat earth serta
memiliki kandungan pengotor yang rendah, sedangkan batubara apungan terbentuk dari
timbunan material tanaman yang telah mengalami perpindahan selanjutnya terdekomposisi dan
tertimbun, pada batubara ini tidak dijumpai bekas-bekas akar pada seat earth dan memiliki
kandungan pengotoryang tinggi. Contoh material pengotor yang sering dijumpai di lapangan
adalah mineral sulfur.
Menurut Bend, 1992 dalam C. F. K. Diessel (1992), untuk dapat terbentuknya gambut, ada
beberapa faktor yang mepengaruhi yaitu :
1. Evolusi tumbuhan
2. Iklim
3. Geografi dan tektonik daerah

Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah kenaikan muka air tanah lambat,
perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan energi relief rendah. Jika muka air tanah
terlalu cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat) maka kondisi akan menadi limnic atau
bahkan akan terjadi endapan marine. Sebaliknya kalau lambat, maka sisa tumbuhan yang
terendapkan akan teroksidasi dan tererosi. Terjadinya kesetimbangan antara penurunan cekungan
/ land-subsidence dan kecepatan penumpukan sisa tumbuhan (kesetimbangan bioteknik) yang
stabil akan menghasilkan gambut yang tebal (C. F. K. Diessel, 1992).
Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan tempat yang
mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada penambahan material dari
luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah terus mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan
mempertahankan tingkat kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat mencapai 90% dan kandungan
air menurun drastis hingga 60% pada saat terbentuknya brown-coal. Sebagian besar lingkungan
yang memenuhi kondisi tersebut merupakan topogenic low moor.Hanya pada beberapa tempat
yang mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa gambut ombrogenik (high
moor) C. F. K. Diessel,1992).

Tabel 1.1. Klasifikasi tingkat pembatubaraan (Modifikasi dari M. Teichmüller dan R. Teichmüller
dalam E. Stach et al., 1982)

Tipe pengendapan dibedakan atas autochtonus dan allochtonus. Batubara autochtonus berkembang
dari tumbuhan yang ketika tumbang akan membentuk gambut ditempat dimana tumbuhan itu pernah
hidup tanpa adanya proses transportasi. Batubara allochtonus terendapkan secara detrital dimana sisa –
sisa tumbuhan hancur dan tertransportasi kemudian terendapkan di tempat lain. Batubara allochtonus
akan lebih banyak mengandung mineral oleh karena penambahan material lain selama transportasi.
1.2. Stratigrafi dan Tektonik
1.2.1. Stratigrafi
Daerah Penelitian terdiri dari satuan batuan Formasi Rajamandala, Anggota Batugamping
Formasi Rajamandala, Formasi Walat, serta Batuan Gunung Api Gunung Pangrango dengan
keterangan masing-masing sebagai berikut:

a. Formasi Rajamandala (Tomr): terdiri atas Napal tufan, lempung napalan, batupasir dan
lensa-lensa batugamping mengandung fosil yang memberikan kisaran umur oligosen
akhir sampai miosen awal dan menindih secara tak selaras Formasi Batuasih, tebal
formasi ini sekitar 1100m (Musper,1939)
b. Anggota Batugamping Formasi Rajamandala (Toml) : terdiri atas Batugamping terumbu
koral dengan sejumlah fosil dan biasanya terdolmitkan. Tersingkap baik di Pasir
Kutamaneuh, Pasir Aseupean di selatan Sukabumidan Liunggunung di selatan Cibadak.
c. Formasi Walat (Tow) : terdiri atas batupasir kuarsa yang berlapis silang, konglomerat
kerakal kuarsa, batulempung karbonan, lignit, dan lapisan-lapissan tipis batubara, ke atas
ukuran butir bertambah kasar,tersingkap di Gunung walat (dekat Cibadak) dan di daerah
sekitarnya. Umur satuan ini diduga Oligosen awal dan merupakan satuan tertua yang
dijumpai di daerah Lembar Tebalnya diperkirakan 1000-1373 m (Musper, 1939)
d. Batuan Gunung Api GunungPangrango (Qvpo) : terdiri atas endapan lebih tua, lahar, dan
lava, basal andesit dengan oligoklas-andesin, labradorit, olivine, piroksen, dan
horenblend.
Umur
Kuarter Holosen Qvpo Batuan Gunung Api Gunung Pangrango

Formasi Anggota Batugamping


Tersier Oligosen Tomr Toml
Rajamanda Formasi Rajamandala
Akhir la
Oligosen
Tow Formasi Walat
Awal

Gambar 1.1. Korelasi Stratigrafi Satuan Batuan di Daerah Sukabumi

Geologi Lokal
Menurut Effendi et.al (1998) dalam Praptisih et.al 2009 secara stratigrafis, batuan tertua di
daerah Sukabumi adalah Formasi Walat tersingkap di Gunung Walat dan sekitarnya. Umur
batuan ini diduga Oligosen Awal. Diatasnya secara selaras diendapkan Formasi Batuasih yang
terutama terdiri atas batu lempung napalan hijau dengan konkresi pirit.. Selanjutnya, diendapkan
Formasi Rajamandala yang disusun oleh napal tufan, lempung napalan, batupasir, dan lensa-
lensa batu gamping, kisaran umur Oligosen Akhir – Miosen Awal. Formasi ini menindih secara
tak selaras Formasi Batuasih dengan tebal sekitar 1.100 m. Anggota Batugamping Formasi
Rajamandala yang terdiri atas batu gamping terumbu koral dengan sejumlah fosil
Lithothamnium, Lepidocyclina sumatrensis, dan Lepidocyclina (Eulepidina) ephippiodes,
biasanya terdolomitkan. Selanjutnya, ke arah atas terdapat batuan Gunung Api Tua yang terdiri
atas: (1) Batuan Gunung Api Pangrango, endapan lebih tua, lahar, dan lava serta basal andesit,
dan (2) Breksi Gunung Api, breksi bersusunan andesit – basal, setempat aglomerat, lapuk.
1.2.2. Tektonik Formasi Walat
Formasi Walat disamping telah terlipat juga sudah mengalami proses pensesaran. Indikasi
pensesaran berupa cermin sesar ditemukan disejumlah lokasi, yang hasilnya menunjukan adanya
pengaruh sesar naik dan sesar mendatar. Jalur sesar naik utamanya berkembang di bagian utara
dengan arah barat-timur. Jalur sesar naik ini, disamping menyingkapkan batuan berumur
Paleogen juga menghasilkan perbedaan topografi yang kontras, yaitu antara perbukitan sedimen
Formasi Walat dengan morfologi pedataran vulkanik yang berada dibagian utaranya. Dari hasil
penelitian lapangan dan interpretasi kelurusan struktur, diketahui ada sejumlah jalur sesar naik
lainnya yang memotong tubuh batuan sedimen Tersier.

Gambar 1.2. Peta geologi Gunung Walat dan wilayah sekitarnya

Gambar 1.3. Penampang Struktur Geologi


BAB II
Pembahasan

2. Hasil pengamatan

Gambar 2.1. Kolom Stratigrafi berdasarkan pengamatan


BAB III
Penutup

3. Analisis dan kesimpulan


Pengamatan dilakukan pada tanggal 28 November 2018, pada pukul 10:14 WIB yang dimana
merupakan stasiun kedua yang berlokasi di Holcim Educational Forest, Sukabumi, Jawa Barat.
Cuaca pada saat itu adalah cerah berawan. Lokasi pengamatan terletak pada koordinat S -60 -55’
-3” dan E 1060 47’ 16”.
Batubara yang ditemukan di stasiun ini merupakan batubara pada Formasi Bayah yang
dijumpai sebagai sisipan, terutama pada bagian tengah dan atas pada susunan batuan dengan
ketebalan kurang dari 1 meter. Secara fisik umumnya batubara berwarna hitam, kilap terang
(bright) dan kusam (dull), beralapis tipis (banded), agak keras hingga rapuh, umumnya
beralaskan batulempung. Batubara pada formasi ini diendapkan pada lingkungan darat, pada
wilayah limpah banjir (floodplain) bagian dari sistem sungai berkelok hingga lingkungan transisi
(bisa di daerah delta).
Pada singkapan batubara ini terdapat 3 log stratigrafi diantaranya :

1. Pengukuran pada log A menunjukan tinggi 120cm dengan gradasi warna batulempung
berada paling bawah dan atas, sedangkan batubara sebagai sisipannya. Tingkat warna
pada batubara ini belum menunjukan batubara ini bernilai ekonomis karena masih masuk
dalam golongan batubara jenis lignit dengan kilap dark/dull. Batulempung sebagai batuan
penciri batubara yang bersisipan dengan batubara mempunyai warna abu terang dan
lunak. Pada log ini juga ditemukan adanya mineral lain seperi sulfur yang dimana
menunjukan batubara ini tidak bersifat insitu karena merupakan hasil transportasi
(allochtonus) dan menunjukan lingkungan pengendapannya transisi (ada kontaminasi
dengan air laut) ataupun juga mengindikasikan adanya pengaruh dari bakteri anaerob.
2. Pengukuran pada log B menunjukan tinggi 140cm dengan gradasi warna perselingan
antara batulempung dan batubara. Batubara pada log ini mempunyai kilap yang berbeda
dengan kilap pada log A yakni kilap yang didominasi adalah kilap terang (bright). Tidak
semua batubara pada perselingan ini mempunyai kilap yang sama dan ketebalan lapisan
yang sama. Batulempung sebagai batuan penciri batubara yang bersisipan dengan
batubara mempunyai warna abu terang dan lunak.
3. Pengukuran pada log C menunjukan tinggi 120cm dengan gradasi warna batulempung
kontak dengan batubara dimana lapisan batulempung lebih tebal dibandingkan dengan
batubara. Batubara pada log ini mempunyai kilap terang (bright). Batulempung sebagai
batuan penciri batubara yang bersisipan dengan batubara mempunyai warna abu terang
dan lunak

Jarak antara penampang A ke B 60cm, jadi pada jarak 60cm batubara yang tadinya sisipan
menjadi perselingan dan B ke C 80cm dari jarak 80cm batubara yang perselingan dengan
batulempung sudah berubah menjadi kontak. Dari hal tersebut mengindikasikan pada jarak 60
dan 80cm ada terjadi erosi atau perubahan tekanan yang mengakibatkan terjadi demikian.
LAMPIRAN

Tampak kenampakan batubara pada foto jauh dan foto dekat

Anda mungkin juga menyukai