PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Usaha pertanian, perikanan dan peternakan dikenakan ketentuan pajak yaitu PPh 22. Dengan
ketentuan sebagai berikut.
Beberapa peraturan / ketentuan yang mengatur kegiatan penangkapan ikan tersebut adalah
sebagai berikut :
Hukum yang mengatur mengenai usaha perikanan tangkap adalah mengacu pada Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.14/MEN/2011 tentang
Usaha Perikanan Tangkap.
Peraturan ini bertujuan untuk lebih meningkatkan pengendalian sumber daya ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) yang merupakan bagian dari
kekayaan bangsa Indonesia yang sudah semakin terbatas potensinya, dan sebagai anggota
Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (Regional Fisheries Management
Organization/RFMO) dalam memanfaatkan potensi di laut lepas perlu memperhatikan prinsip
kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta memperhatikan persyaratan, dan/atau
standar internasional.
Hal terpenting yang harus dipahami berkenaan dengan fasilitas PPN tersebut adalah bahwa
suatu transaksi yang sebenarnya merupakan objek PPN atau telah memenuhi syarat untuk
dikenakan PPN, karena sebab tertentu dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN nya tidak
dipungut dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, harus dibedakan dengan konsep
tidak dikenakan PPN, yaitu suatu transaksi yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
dikenakan PPN, misalnya barang yang diserahkan bukan BKP.
Tujuan dan maksud diberikannya fasilitas ini adalah untuk mendorong berhasilnya sektor-
sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong
perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional,
serta memperlancar pembangunan nasional.
Dasar hukum pembebasan PPN adalah Pasal 16B Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009. Pasal 16B
ini memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk memberikan fasilitas berupa PPN tidak
dipungut atau PPN dibebaskan untuk :
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 mengatur tentang impor dan atau penyerahan
barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak
pertambahan nilai. Berdasarkan peraturan tersebut, barang pertanian termasuk dalam barang
yang bersifat strategis. Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan
usaha di bidang:
Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
Peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
Perikanan baik dari penangkapan atau budidaya,
yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk,
yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah
proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah nomor 31
Tahun 2007.
Dampak dari putusan tersebut yaitu pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah)
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011, mengatur bahwa dalam
hal 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata
Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan
data pada Sistem Informasi Administrasi Perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 telah dikirim pada tanggal tanggal 23
April 2014. Dengan demikian apabila Pemerintah sampai dengan tanggal 21 Juli 2014 belum
mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal
2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, maka sejak tanggal 22 Juli
2014 ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Penutup
Dasar hukum pengenaan PPN pada barang hasil pertanian adalah putusan MA 70P/2013
dan bukan SE - 24/PJ/2014. Putusan tersebut mengubah ketentuan PPN atas barang
pertanian. Surat Edaran merupakan untuk menyampaikan putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia kepada petugas pajak di seluruh Kantor Wilayah DJP, dan SE tidak
dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
Referensi
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan
atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan
Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 24/PJ/2014 Tentang Pelaksanaan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013 Mengenai Pajak
Pertambahan Nilai Atas Barang Hasil Pertanian yang Dihasilkan Dari Kegiatan Usaha Di
Bidang Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Sebagaimana Diatur Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
5. Daftar Barang Hasil Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan yang ditetapkan dalam
Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dan Implikasi Perpajakannya
Berdasarkan Putusan MA No. 70P/HUM/2013,
http://www.ortax.org/files/downaturan/14PJ_SE24.pdf
makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan
ternak, unggas dan ikan.
air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum.
listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus)
watt; dan
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007, barang hasil pertanian adalah barang
yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Dengan
dikabulkannya barang hasil pertanian sebagai BUKAN BKP strategis, maka semua barang
yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan menjadi
BKP.
Apakah beras dan sayuran menjadi BKP? Menurut Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN bahwa
barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak bukan BKP atau sering
disebut non-BKP.
Bagian penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN merinci barang bukan BKP:
beras;
gabah;
jagung;
sagu;
kedelai;
garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih,
dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami,
dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau
dikemas;
susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas
atau tidak dikemas;
buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses
dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak
dikemas; dan
sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan
pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
IV. KESIMPULAN
Dasarnya Pasal 8 ayat 2 Peraturan MA Nomor 01 Tahun 2011: Dalam hal 90 hari setelah
putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Peraturan
Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan
kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Jadi, sejak 22 Juli 2014 Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007 menjadi tidak berlaku.
Putusan ini tidak berlaku surut. Artinya, terhadap transaksi tanggal 21 Juli 2014 dan
sebelumnya barang hasil pertanian tetap merupakan BKP Strategis.
DAFTAR PUSTAKA