Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN

“Silase”

Oleh :
Kelas F

Haifa Farras Izdihar 200110160155

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2018

i
DAFTAR ISI

Halaman

Cover ........................................................................................................................ i
Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................. iii
Daftar Tabel ............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1


1.2. Identifikasi Masalah ....................................................................... 2
1.3. Maksud dan Tujuan ........................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4

2.1. Limbah Peternakan......................................................................... 4


2.2.
BAB III ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA .................................. 8

3.1. Alat dan Bahan .............................................................................. 8


3.2. Prosedur Kerja ............................................................................... 8
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 1

4.1. Hasil Pengamatan .......................................................................... 10


4.2. Pembahasan ................................................................................... 11
4.2.1. Evaluasi Secara Fisik ............................................................ 12
4.2.2. Uji Invivo .............................................................................. 14

BAB V KESIMPULAN ................................................................................... 19

ii
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Tabel Hasil Pengamatan Evaluasi Silase................................................ 10

Tabel 4.2. Tabel Hasil Pengamatan Menggunakan Basa Kuat dan Basa Lemah ... 10

iv
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang

Faktor utama penentu keberhasilan dalam usaha peternakan adalah

penyediaan pakan. Salah satu penyediaan pakan bagi ternak ruminansia adalah

dengan pemanfaatan pakan asal sisa hasil pertanian, perkebunan maupun


agroindustri. Salah satu sisa tanaman pangan dan perkebunan yang mempunyai

potensi cukup besar adalah jagung. Apabila limbah yang banyak tersebut tidak

dimanfaatkan, maka akan memicu terjadinya pencemaran lingkungan. Pencemaran

lingkungan merupakan masalah kita bersama, yang semakin penting untuk

diselesaikan, karena menyangkut keselamatan, kesehatan, dan kehidupan kita.

Siapapun bisa berperan serta dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan

ini, termasuk kita. Dimulai dari lingkungan yang terkecil, diri kita sendiri, sampai ke

lingkungan yang lebih luas. Untuk itu, agar pencemaran limbah dapat diminimalisir

perlu adanya pemanfaatan limbah agar mempunyai daya guna.

Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman serelia yang tumbuh hampir
di seluruh dunia dan tergolong spesies dengan variabilitas genetic tebesar. Di

Indonesia jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah padi. Banyak

daerah di Indonesia yang berbudaya mengkonsumsi jagung, antara lain Madura,


Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dll.

1
Seiring dengan kebutuhan jagung yang cukup tinggi, maka akan bertambah pula

limbah yang dihasilkan dari industri pangan dan pakan berbahan baku jagung. Salah

satu contoh sampah organik adalah kulit jagung yang merupakan limbah sector

pertanian. Limbah kulit jagung yang sudah tak terpakai ini bisa dimanfaatkan sebagai

kerajinan tangan. Sehingga limbah kulit jagung ini tidak menjadi sampah yang

mencemari lingkungan. Kerajinan tangan dari kulit jagung bisa bernilai ekonomis.

Namun pada dasarnya limbah jagung berupa kulit jagung atau klobot jagung sampai
saat ini pemanfaatannya kurang maksimal, padahal jumlahnya sangat melimpah ruah.

Jika dibakar menimbulkan pencemaran udara, jika dibuang ke sungai menyebabkan

banjir, tumpukannya bisa menyebabkan sarang penyakit.

Limbah yang dihasilkan diantaranya adalah jerami, klobot, dan tongkol

jagung yang biasanya tidak dipergunakan lagi ataupun nilai ekonominya sangat

rendah dan jumlahnya sangat banyak sehingga ternak tidak dapat menghabiskannya

dalam satu waktu tertentu sehingga takutnya nanti terbuang percuma- Cuma atau

pakannya rusak,Oleh karena itu pada mata kulia tekhnik pengelolah limbah pertanian

ini diadakan praktikum tentang pembuatan silase terutama pembuatan silase pada

jerami jagung,agar jerami jagung yang banyak dan tidak dapat dihabiskan langsung
oleh ternak, dapat disimpan sebagai cadangan makanan pada saat pakan mulai

mengurang terutama pada musim kemarau dengan kandungan nutrisi dan palatabilitas

yang tinggi pula.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana kualitas silase yang telah dibuat berdasarkan uji fisik?

2
2. Bagaimana palatabilitas silase yang telah dibuat pada sapi berdasarkan uji
invivo?

1.3 Maksud dan Tujuan

1. Mengetahui kualitas silase berdasarkan uji fisik


2. Mengetahui palatabilitas silase yang telah dibuat pada sapi

3
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Silase

Silase adalah hijauan makanan ternak (HMT) yang diawetkan dengan proses

ensilasi. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan

kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar
bisa di disimpan dalam kurun waktu yang lama, untuk kemudian di berikan sebagai

pakan bagi ternak. Sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan

hijauan pada musim kemarau. Di banyak negara, hasil ensilasi hijauan segar memiliki

nilai ekonomi yang tinggi sebagai pakan ternak. Negara-negara eropa, seperti:

Belanda, Jerman dan Denmark memproses hampir 90% hijauan yang dihasilkan dari

lahan pertaniannya sebagai bahan makanan ternak dengan teknik ensilasi. (Wilkinson

et al., 1996).

Ensilasi adalah metode pengawetan hijauan berdasarkan pada proses

fermentasi asam laktat yang terjadi secara alami dalam kondisi anaerobik. Selama

berlangsungnya proses ensilasi, beberapa bakteri mampu memecah selulosa dan


hemiselulosa menjadi berbagai macam gula sederhana. Sedangkan bakteri lain

memecah gula sederhana tersebut menjadi produk akhir yang lebih kecil (asam asetat,

laktat dan butirat). Produk akhir yang paling diharapkan dari proses ensilasi adalah

asam asetat dan asam laktat. Produksi asam selama berlangsungnya proses fermentasi

akan menurunkan pH pada material hijauam sehingga dapat menghambat

pertumbuhan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan.Proses ensilasi dalam

4
silo/fermentor kedap udara terbagi dalam 4 tahap, yaitu (Weinberg and Muck, 1996;

Merry et al., 1997):

a. Tahap I – Fase aerobik.

Tahap ini pada umumnya hanya memerlukan waktu beberapa jam saja, fase

aerobik terjadi karena keberadaan oksigen di sela-sela partikel tanaman. Jumlah

oksigen yang ada akan berkurang seiring dengan terjadinya proses respirasi pada

material tanaman serta pertumbuhan mikroorganisme aerobik dan fakultatif


aerobik, seperti khamir dan enterobakteria. Selanjutnya, enzim pada tanaman

seperti protease dan carbohydrase akan teraktivasi, sehingga kondisi pH pada

tumpukan hijauan segar tetap dalam batas normal (pH 6.5-6,0).

b. Tahap II – Fase fermentasi

Tahap ini dimulai ketika kondisi pada tumpukan silase menjadi anaerobik,

kondisi tersebut akan berlanjut hingga beberapa minggu, tergantung pada jenis

dan kandungan hijauan yang digunakan serta kondisi proses ensilasi. Jika proses

fermentasi berlangsung dengan sempurna, bakteri asam laktat (BAL) akan

berkembang dan menjadi dominan, pH pada material silase akan turun hingga

3.8-5.0 karena adanya produksi asam laktat dan asam-asam lainnya.


c. Tahap III – Fase stabil.

Tahap ini akan berlangsung selama oksigen dari luar tidak masuk ke dalam

silo/fermentor. Sebagian besar jumlah mikroorganisme yang berkembang pada

fase fermentasi akan berkurang secara perlahan. Beberapa jenis mikroorganisme

toleran asam dapat bertahandalam kondisi stasioner (inactive) pada fase ini,

mikroorganisme lainnya seperti clostridia dan bacilli bertahan dengan

5
menghasilkan spora. Hanya beberapa jenis mikroorganisme penghasil enzim

protease dan carbohydrase toleran asam serta beberapa mikroorganisme khusus,

seperti Lactobacillus buchneri yang dapat tetap aktif pada level rendah.

d. Tahap IV – Fase pemanenan (feed-out/aerobic spoilage) .

Fase ini dimulai segera setelah silo/fermentor dibuka dan silase terekspose udara

luar. Hal tersebut tidak terhindarkan, bahkan dapat dimulai terlalu awal jika

penutup silase rusak sehingga terjadi kebocoran. Jika fase ini berlangsung terlalu
lama, maka silase akan mengalami deteriorasi atau penurunan kualitas silase

akibat terjadinya degradasi asam organik yang ada oleh khamir dan bakteri asam

asetat. Proses tersebut akan menaikkan pH pada tumpukan silase dan selanjutya

akan berlangsung tahap spoilage ke-2 yang mengakibatkan terjadinya kenaikan

suhu, dan peningkatan aktifitas mikroorganisme kontaminan, seperti bacilli,

moulds dan enterobacteria (Honig and Woolford, 1980).

Untuk menghindari terjadinya kegagalan dalam proses pembuatan silase,

maka perlu dilakukan pengontrolan dan optimalisasi pada setiap tahapan ensilasi.

Pada tahap I, dibutuhkan teknik filling material hijauan yang baik kedalam silo,

sehingga dapat meminimalisir jumlah oksigen yang ada di antara partikel tanaman.
Teknik pemanenan tanaman yang dikombinasikan dengan teknik filling yang baik

diharapkan dapat meminimalisir hilangnya karbohidat terlarut (water soluble

carbohydrates) akibat respirasi aerobik ketika hijauan berada di luar maupun di dalam

silo, sehingga terdapat lebih banyak gula sederhana yang tersisa untuk proses

fermentasi asam laktat pada tahap II. Proses ensilasi tidak dapat dikontrol secara aktif

ketika telah masuk pada tahap II dan III. Pada tahap IV, diperlukan silo/fermentor

6
yang benar-benar kedap udara untuk meminimalisir kontaminasi aerobik selama

penyimpanan. Segera setelah silo/fermentor dibuka, silase harus diberikan kepada

ternak hingga habis.

7
8

BAB III
ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

3.1 Alat dan Bahan

1. Silo

2. Plastik

3. Ember
4. Sekop

5. Chopper

6. Timbangan

7. Konsentrat

8. Hijauan

9. Air

10. Probiotik

3.2 Prosedur

1. Siapkan hijauan yang sudah dichopper sebanyak 15 kg dan konsentrat

sebanyak 10 kg.

2. Simpan konsentrat di atas plastik lalu ditambahkan probiotik 2 tutup botol


yang telah dicampur air.

3. Lalu diaduk konsentrat dengan larutan probiotik hingga homogen.

4. Lalu dimasukkan hijauan yang sudah dichopper kedalam konesntrat lalu aduk

hingga homogen.

5. Terakhir masukkan kepada silo, tutup rapat.

8
Simpan selama 21 hari.

9
10

BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Tabel Hasil Pengamatan Evaluasi Silase

Kelompok

Pengujian Kriteria
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Bau segar, manis, asam, dan √


Bau, Rasa (5) √ √ √ √ √ √ √
harum (5)

Bau manis dan asam (4) √

Manis dan asam, tapi baunya


sedikit merangsang, tidak √
segar (3)
Hampir bau amoniak disertai
bau jamur (2)
Bau amoniak disertai bau
jamur (0)
Sentuhan Kering agak lembab (5)
√ √ √ √ √ √ √ √ √
(sensasi) (5)

Kondisi antara 5 dan 3 (4) √

Sedikit lengket (3)

Kondisi diantara 3 dan 0 (2)

10
Lengket, panas,timbul jamur
(0)

Air (10) 64 – 60% (5) √


59 – 55% (4)
√ √ √ √

54 – 50% (3) √ √ √ √

49 – 45% (2)

< 44% (0) √

Warna (10) Hijau kekuningan terang (5) √

Hijau kekuningan (4) √

Hijau kekuningan sedikit



coklat (3)
Coklat kekuningan (2)
√ √ √ √ √ √

Coklat (0)
Wangi seperti buah-buahan,
Bau, citarasa sedikit asam, bila dicicipi √
enak rasanya (15) √ √ √ √ √ √ √ √
(15)

Dicicipi asam rasanya tetapi


wangi (11)
Baunya asam agak wangi,
tetapi tidak meninggalkan bau √
(7)
Hampir bau yang tak sedap
(3)
Bau amoniak disertai jamur
(0)

11
Manis dan asam seperti yakult
Rasa (5) √ √ √
(5)

Asam (3) √ √ √

Tidak berasa (2) √ √ √

Tidak enak (0)

Jumlah 33 34 30 35 37 31 34 35 24 27

Deskripsikan (4 kelompok) kualitas silase yang layak sebagai pakan ternak


Kelompok

Evaluasi
10 8 9 3

15
Wangi (Max 25) 15 15 13
10
Rasa (Max 25) 25 20 15
15
Warna (Max 25) 15 15 15

Sentuhan (Max 25) 20 20 20 20

4.2 Pembahasan

4.2.1 Evaluasi Silase Secara Fisik

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, pengujian kualitas silase secara

fisik (organoleptik), dilakukan dengan menggunakan kemampuan panca indra

12
manusia serta uji palatabilitas terhadap sapi. Dari hasil pengamatan yang telah

dilakukan, silase yang telah dibuat memiliki kualitas yang baik dari segi bau rasa,

warna, rasa, air, sentuhan (sensasi), dan bau cita rasa. Dari segi bau rasa, silase ini

memiliki bau segar, manis asam, dan harum. Silase ini memiliki sentuhan (sensasi)

yang kering dan agak lembab. Kandungan air pada silase ini diperkirakan berkisar

antara 59%-55%. Dari segi warna, silase ini memiliki warna hijau kekuningan. Hal

ini tidak sesuai dengan pendapat Umiyasih dan Elizabeth (2008), yang menyatakan
bahwa produk silase jagung yang baik atau sudah jadi ditandai dengan bau yang agak

asam karena pH silase biasanya rendah (sekitar 4) dan berwarna coklat muda karena

warna hijau daun dari khlorofil akan hancur sehingga limbah menjadi kecoklatan.

Bau cita rasa yang timbul dari silase yang dibuat ini yaitu memiliki wangi seperti

buah-buahan, sedikit asam, dan enak ketika dicicipi. Manis dan asam seperti yakult

merupakan rasa yang timbul dari silase ini. Hal ini sesuai dengan pendapat dari

Direktorat Pakan Ternak (2012) yang menyatakan bahwa silase dikatakan baik jika

pH 3.8- 4.2, kemudian memiliki bau seperti buah-buahan dan sedikit asam, sangat

wangi, sehingga terdorong untuk mencicipinya, kemudian apabila digigit terasa

manis dan terasa asam seperti yoghurt atau yakult, kemudian memiliki warna hijau
kekuning-kuningan.

Pada pengujian uji palatabilitas, silase yang telah dibuat terlihat kurang

disukai oleh sapi. Hal ini terlihat dari sapi yang hanya mengendus-endus silase dan

mencobanya sedikit. Pada saat pembuatan silase ini, ada penambahan molases dengan

salah satu tujuannya untuk meningkatkan palatabilitas. Hal ini tidak sesuai dengan

pernyataan Angga (2015), yang menyatakan bahwa silase dengan penambahan

13
molases mempunyai warna cokelat, dengan aroma seperti caramel dan memiliki rasa

yang manis, sehingga ternak lebih suka dengan silase dengan penambahan molases.

4.2.2 Uji Invivo

Pengujian invivo, yaitu diberikan langsung kepada ternak yaitu sapi perah.

Silase diambil sebanyak 500 gram dan dilihat reaksi ternaknya. Pada silase kelompok

5 dapat dikatakan palatabilitasnya cukup baik karena sapi mau memakan dan

menghabiskan silase yang diberikan pada detik ke-5 kemudian sapi memakan silase
kelompok 8 pada menit ke 02.09, kelompok 9 pada menit ke 03.12 kemudian kembali

lagi memakan silase kelompok 8 pada menit 03.21, kelompok 3 pada menit 06.45

sampai habis, kelompok 2 pada menit 11.23 dan terakhir kelompok 1 pada menit

14.40. Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan (fisik dan kimiawi yang

dicerminkan olehorganoleptiknya seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asam,

mani, pahit), tekstur, temperatur sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik

ternak untuk mengkonsumsinya. Kualitas silase yang baik memiliki warna yang

tidak jauh beda dengan warna bahan dasar itu sendiri, memiliki pH rendah dan

baunya asam, tidak berjamur, dan tidak berlendir (Widyastuti,2008). Berdasarkan hal

tersebut bisa dikatakan kelompok 5 mempunyai kualitas silase yang baik karena rasa,
bau , dan mungkin teksturnya disukai oleh ternak yaitu beraroma asam dan wangi dan

tekstur lembut dan tidak berlendir.

14
19

BAB V

KESIMPULAN

1. Hasil silase berdasarkan pengujian secara fisik, silase termasuk kedalam

kategori baik dari segi rasa, bau, warna, kadar air dan cita rasa.

2. Berdasarkan uji invivo silase yang diberikan pada sapi, silase kelompok kami

memiliki palatabilitas yang rendah karena sapi sama sekali tidak memakan

atau mengendus silase kelompok 4.

19
DAFTAR PUSTAKA

Angga Alvianto. 2015. Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Sumber Karbohidrat


Pada Silase Limbah Sayuran Terhadap Kualitas Fisik Dan Tingkat
Palatabilitas Silase. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(4): 196-200
Direktorat Pakan Ternak. 2012. Silase. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
Merry RJ, Lowes KF, Winters AL 1997. Current and future approaches to biocontrol
in silages. Forage conservation: 8th International Scientific Symposium,
Pohořelice: Research Institute of Animal Nutrition. Czech Republic, pp. 17-
27

Umiyasih, U. dan Y.N. Aggraeny. 2005. Evaluasi limbah dari beberapa varietas
jagung siap rilis sebagai pakan sapi potong. Pros. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005.
Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 125 – 130.

Weinberg, Z.G., & Muck, R.E. 1996. New Trends And Opportunities In The
Development And Use Of Inoculants For Silage. FEMS Microbiol. Rev., 19:
53-68.

Widyastuti Y. 2008. Fermentasi silase dan manfaat probiotik silase bagi ruminansia.
Media Peternakan. 31(3): 225-232.

Wilkinson, J.M., Wadephul, F., & Hill, J. 1996. Silage in Europe: a survey of 33
countries. Welton, UK: Chalcombe Publications.

20

Anda mungkin juga menyukai