Anda di halaman 1dari 19

MANDIRI TERSTRUKTUR 1

Leukemia pada anak dan dewasa

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2015

SKENARIO 1
Seorang anak laki-laki, berusia 11 tahun diantar orang tuanya ke poliklinik dengan
keluhan demam sejak 2 bulan yang lalu, demam tidak terlalu tinggi, keluhan
disertai dengan lemah badan, nyeri-nyeri tulang, pucat, napsu makan sangat
berkurang, sehingga berat badan anak turun sampai 3 kg. Dalam 3 minggu ini
keluhan bertambah parah, selain keluhan diatas penderita juga mengalami
perdarahan di gusi hampir setiap hari, benjolan di leher, dan ketiak yang makin
membesar dan bertambah banyak. Pada pemeriksaan fisik tampak palmar pucat,
hipertropi ginggiva dan perdarahan gusi, general limfadenopati,
hepatosplenomegali. Pemerksaan lboratorium didapatkan: Hb. 7 g/dl, leukosit.
150.000/mmk, trombosit. 70.000/mmk. Hitung jenis: 2/1/1/20/76/0, Morfologi
darah tepi: Eritrosit: jumlah kurang, mikrositik normokromik, normoblas (+),
Leukosit: jumlah lebih, segmen jarang, limfosit jarang, limfoblast (+), Trombosit:
jumlah kurang, giant trombosit (+).
Tugas:
1. Buatlah overview case berdasarkan skenario diatas!
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya penyakit dan kemungkinan komplikasi diatas
dikaitkan dengan ilmu kedokteran dasar?
3. Bagaimana penegakkan diagnosis dan klasifikasinya?
4. Bagaimana penatalaksanaan kasus diatas sesuai dengan kompetensi dokter primer?
5. Bagaimana prognosis, pencegahan dan edukasi terkait kasus diatas?
6. Bagaimana penatalaksanaan kasus ?

Skenario2:
Seorang laki-laki berusia 65 tahun datang ke poliklinik umum RS Dustira dengan
keluhan utama lemah badan. Keluhan dirasakan sejak sekitar 1 – 2 bulan lalu dan
semakin hari semakin dirasakan lemah. Keluhan disertai demam, banyak
berkeringat, penurunan berat badan, cepat kenyang dan perut terasa penuh.
Pemeriksaan Fisik:
KU: CM, T: 130/80mmHg, N: 105x/menit, Respirasi 30x/menit S; 37,8
Kepala: konjunctiva anemis +/+, sklera ikterik -/- gusi: hipertrofi (-) KGB: tdk
teraba membesar
Cor: BJ I-II murni reguler, Pulmo: VBS +/+, Rh-/- wh:-/-
Abdomen: hepar tidak teraba, Lien: Schuffner 4 ektremitas: purpura (+)

Pemeriksaan lab:
Hb: 8gr/dl Leukosit: 100.000/mm3 Trombosit: 100.000/mm3 LED:
30/40 mm/jam

Tugas:
1. Apa kemungkinan diagnosis banding pada keluhan di atas?
2. Pemeriksaan penunjang apa yang Anda usulkan? Bagaimana hasil yang diharapkan?
3. Bagaimanakah pendekatan diagnosis kasus di atas?
4. Buatlah overview case berdasarkan skenario di atas!
5. Bagaimana patofisiologi terjadinya penyakit dan kemungkinan komplikasi yang dapat
terjadi dikaitkan dengan ilmu kedokteran dasar?
6. Bagaimana penatalaksanaan kasus di atas sesuai dengan kompetensi dokter primer?
7. Bagaimana prognosis kasus di atas?

Skenario 1

1. Buatlah overview case berdasarkan skenario diatas!

Case Overview
Data keterangan

Seorang anak laki-laki, 11 thn

Keluhan utama : demam sejak 2 bulan Keganasan,infeksi


yang lalu yang tidak terlalu tinggi
keluhan penyerta :
lemah badan, pucat
Gejala anemi
nyeri-nyeri tulang,
Gejala leukemia
napsu makan sangat berkurang, Anoreksia
penurunan berat badan anak sampai 3 Curiga keganasan
kg. Dalam 3 minggu ini keluhan progresif
bertambah parah,
selain keluhan diatas penderita juga
mengalami perdarahan di gusi hampir Gejala klinis
setiap hari, Leukemia
benjolan di leher, dan ketiak yang
makin membesar dan bertambah
banyak.

pemeriksaan fisik :
tampak palmar pucat
hipertropi ginggiva
perdarahan gusi, Tanda klinis
general limfadenopati Leukemia
hepatosplenomegali

Pemerksaan lboratorium didapatkan:


Hb : 7 g/dl, Anemia
leukosit : 150.000/mmk Limfositosis
trombosit : 70.000/mmk.
Trombositopenia
Hitung jenis: 2/1/1/20/76/0,
Morfologi darah tepi: Eritrosit: jumlah Shift to the right  limfositosis
kurang, mikrositik normokromik,
normoblas (+), Leukosit: jumlah lebih, Gambaran SADT ALL
segmen jarang, limfosit jarang,
limfoblast (+),
Trombosit: jumlah kurang, giant Kompensasi trombositopenia
trombosit (+).

DD : LLA DK : LLA ( Leukemia Limfositik Akut


Anemia aplastik )

Definisi
Leukemi limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel precursor
limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya
merupkan leukemia sel T. Leukemi ini merupakan bentuk leukemia yang paling
banyak pada anak-anak. Walaupun demikian, 20% dari kasus LLA adalah dewasa.

Klasifikasi
1. Klasifikasi Imunologi
o Precursor B-acute lymphoblastic leukemia 70%: common ALL(50%), null
ALL, pre-B ALL
o T-ALL (25%)
o B-ALL(5%)
Definisi subtype imunologi ini berdasarkan atas ada atau tidak adanya
berbagai antigen permukaan sel. Subtype imunologi yang paling sering
ditemukan adalah common ALL. Null cell ALL berasal dari sel yang sangat
primitive dan lebih banyak pada dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang
jarang, dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai limfoma agresif.

2. Klasifikasi Morfologi the French-American-British (FAB):


o L1: sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan nucleoli
yang tidak jelas.
o L2: sel blas berukuran besar heterogen dengan nucleoli yang jelas dan rasio
inti-sitoplasma yang rendah
o L3: sel blas dengan sitoplsma bervakuola dan basofilik

Gambaran Klinis
 Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, esak, nyeri dada
 Anoreksia
 Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia)
 Demam, banyak berkeringat(gejala hipermetabolisme)
 Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis atau sepsis. Penyebab yang
paling sering adalah stafilokokus, streptokokus dan bakteri gram negatif usus, serta
berbagai spesies jamur.
 Perdarahan kulit (ptechie, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi, hematuria,
perdarahan saluran cerna, perdarahan otak)
 Hepatomegaly
 Splenomegaly
 Limfadenopati
 Massa di mediastinum (sering pada LLA selT)
 Leukemia system saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi
intracranial), perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama sarah
VI dan VII, kelainan neurologic fiokal.
 Keterlibatan organ lain: testis, retina,kulit, pleura, pericardium dan tonsil.

2. Bagaimana patofisiologi terjadinya penyakit dan kemungkinan komplikasi diatas


dikaitkan dengan ilmu kedokteran dasar?

A. Ilmu Kedokteran Dasar


Pada awalnya semua sum-sum tulang berperan dalam produksi sel darah namun sejak
usia lebihdari 5 tahun sum-sum tulang panjang hanya memproduksi sedikit sel darah dan
pada usia lebihdari 20 tahun sum-sum tulang panjang sudah tidak memproduksi sel darah
sama sekali kecuali bagian atas femus dan humerus, namun sum-sum tulang pipih seperti
costa, sternum, danvertebrata tetap berproduksi.Setelah hematopoiesis diambil alih oleh sum-
sum tulang semenjak trimester terakhir hingga postnatal, organ-organ tempat terjadinya
hematopoiesis yang sebelumnya seperti hati dan limfatidak berfungsi lagi untuk
memproduksi sel darah namun masih memiliki kemampuan untuk melakukan proses tersebut
dalam keadaan yang sangat dibutuhkan.Sel darah yang sudah matang akan keluar dari sum-
sum dengan mekanisme transeluler. Sel darahtersebut akan masuk ke lumen melalui pori
migrasi yang terbentuk akibat desakan sel-sel darahterhadap endotel sehingga abluminal dan
adluminal endotel menempel dan membentuk porisementara. Pori tersebut akan merapat lagi
seperti semula setelah proses migrasi sel darahmatang selesai.Yang memiliki peran utama
dalam hematopoiesis adalah sel induk. Sel tersebut ditemukan dalamsum-sum dalam keadaan
tidak aktif. Sel induk hemopoietik pluripotent ini memiliki kempapuanuntuk membelah diri
dalam interval tertentu untuk memperbanyak dirinya dan berdiferensiasimenjadi sel
progenitor. Perbedaan sel induk hemopoietik pluripotent dengan sel progenitor adalah, sel
induk hemopoietik pluripotent memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi bermacam-
macam jenis sel darah, sementara sel progenitor memiliki kemampuan yang lebihterbatas
yaitu hanya bisa berkembang menjadi satu jenis sel spesifik. Terdapat beberapa jenis
sel progenitor, yaitu :-

 CFU-GM (unit pembentuk granulosit dan monosit)



 CFU-G (unit pembentuk granulosit)

 CFU-M (unit pembentuk monosit)

 CFU-E (unit pembentuk eritrosit)

 CFU-Eo (unit pembentuk eosinophil)
 CFU-Meg (unit pembentuk megakariosit),

Faktor yang mempengaruhi hematopoiesis :


1. Faktor lingkungan mikro
Pembentukan sel darah memerlukan lingkungan yang kondusif. Lingkungan tersebut
dipengaruhi oleh sifat sel serta unsur ekstraseluler stroma sum-sum tulang. Perbedaan
lokasi pembentukan di dalam organ yang sama menentukan turunan dari sel darah yang
dibentuk.Selain itu lingkungan juga menyediakan faktor perangsang pertumbuhan
seperti GM-CSFdan faktor perangsang koloni yang merupakan glikoprotein.
2. Faktor pengaturan humoral
Pengaturan humoral mengontrol dan memantau jumlah setiap jenis sel darah yang
diproduksisehingga tidak terjadi kekurangan atau kelebihan. Selain itu, faktor humoral
mengontrolkecepatan dalam pembentukan dan pelepasan sel darah. Faktor humoral juga
akanmemberikan sinyal jika terdapat kondisi yang membutuhkan produksi sel darah lebih
banyak atau lebih sedikit dari produksi normal.

Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang
berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari
sistem kekebalan tubuh. Leukosit dibedakan menjadi
a. Granular
b. agranular
Seri granula umumnya diproduksi di sumsum tulang. Perkembangannya dimulai dari
mieloblas, promielosit, mielosit, metamielosit,batang dan segmen. Bail basofil,eusinofil,dan
netrofil. Sedangkan seri agranular ada 2 macam sel leukosit yakni monosit dan limfosit. Seri
ini umumnya di produksi jaringan limfoid.

Gambar hematopoiesis

1. sistem granulopoesis
a. mieloblast
ukuran 15-25 𝜇m,bentuk oval kadang kadang bulat, warna sitoplasma biru
tanpa halo perinuklear jelas atau dengan halo perinuklear melebar,
sitoplasma non granular atau sedikit granula azurofilik, dengan bentuk inti
biasanya oval kadang kadang tidak teratur jarang bulat, tipe kromatin halus
dan nukleus tampak dengan ukuran sedang atau besar 1-4 buah, lebih
terang dari kromatin. Tidak ditemukan di darah tepi, di sumsum tulang
hanya 5%.
b. Promielosit
Ukuran sel 15-30 𝜇m, bentu sel oval atay bulat dengan warna sitoplasma
biru muda dengan halo yang jelas, terdapat granula yang pekat,azurofilik
dan banyak. Bentuk inti oval dngan tipe kromatin awal kondensas.
Nukleus tampak ukuran sedang atau besar, lebih terang dari kromatin,1-2
tapi kadang tak terlhat. Tidak ditemukan didarah tepi, di sumsum tulang
keberadaannya < 5%.
c. Mielosit netrofil
Ukuran 15-25 𝜇m dengan bentuk sel oval kadang kadang bulat. Warna
sitoplasma biru tanpa halo perinuklear jelas atau dengan halo peribuklear
melebar, dalam sitoplasma bisa nongranular atau ditemukan sedikit
granula azurofilik. Bentuk inti biasanya oval, kadang kadang tidak teratur
jarang bulat dengan kroatn halus. Biasanya nukleus tidaka terlihat.
Keberadaan di darah tepi tidak ada, di sumsum tulang <5%
d. Metamielosit netrofil
Ukuran sel 14-20 𝜇m bentuk sel oval atau bulat dengan warna sitoplasma
pink. Bentuk inti elongated,semisircular dan tipe kromatin padat. Nukleus
biasnaya tidak terlihat. Keberadaan di darah tepi todak ada du sumsum
tulang 10-25%
e. Batang netrofil
Ukuran 14-20 𝜇m bentuk sel bulay atau oal dengan warna sitoplasma pink
bentuk inti semisircular tiper kromatin padat kebradaan di darah tepi <5%
di sumsum tulang 5-20%
f. Segmen netrofil
Ukuran 14-20 𝜇m bentuk sel oval atau bulat warna sitoplasma pink,
granula nya sedikit azurofilik d=dan netrofilik bentuk inti berlobus 2-5
buah tipe kromatin padat tidak ditemukan nukleus. Keberadaan di darah
tepi 40-75 % sumsum tulang 5-20%
g. Mielosit eusinofil
Ukuran sel 15-25 𝜇m bentuk oval atau bulat warna sitoplasma biru muda
yang di selubungu granul abundan eusinofilik dan biru gelap bentuk inti
oval atau bentuk ginjal, tipe kromatin sebagian padat nuklouluss tidak
terlihat, di darah tepi tidak ditemukanb dan d sumsum tulang <2%
h. Metamielosit eusinofil
Ukuran sel 15-25 𝜇m bentuk sel oval atau bulat warna sitoplasma biru
muda yang diselubungi granul. Bentuk inti oval atau bentuk ginjal, tipe
kromatin sebagian padat nukleus tidak terlihat, di darah tepi tidak
ditemukanb dan d sumsum tulang <2%
i. Segmen eusinofil
Ukuran 15-25 𝜇m bentuk sel bulat atau oval denga warna sitoplasma pale
dan diselubungi granul yang abundant eusonofilik(orange-red) bentuk
intberlobus semisircular dengan tipe kromatin padat . nukleolus tidak
terlihat. Keberadaan di darah tepi 2-4% dan di sumsum tukang <2%
j. Basofil di sumsum tulang
Ukuran sel 12-18 𝜇m bentuknya bulat atau oval warna sitoplasma pink
cerah kebanyakan di selubungi granula dan nukleus. Granula yang dimiliki
sangat gelap, kebiruan dengan ukuran yang bervariasi , kromatin padat
nukleolus tidak terlihat. Keberadaan didarah tepi <1 % dan di sumsum
tulang <1 %
k. Basofil di darah perifer
Ukuran sel 12-18 𝜇m bentuk sel bulat atau oval warna sitoplsama pink
cerah kebanyakan di selubungi granula dan nukleus. Bentuk inti oval pada
yang imatur dan lobular pada yang matur. Tipe kromatin padat nukleolus
tidak terlihat. Keberadaan didarah tepi <1 % dan di sumsum tulang <1 %
2. Sistem limfopoesis
a. Limfoblast
Ukuran 10-20 𝜇m bentuk bulat kadang kadang oval warna sitoplasma
biru biasnya gelap dan tidak diselnungi granula tipe kromatin homogen
dengan bentukinti bukat. Nukleoulus terlihat ukuran kecil atau sedang
dan lebi terang daripada kromatin berjumlah 1-2 buah. Keberadaan
didarah tepi tidak ada, susmsum tulang <1%.
b. Limfosit
Ukuran 10-15 𝜇m bentuk sel bulat kadang kadang ival dengan
sitoplasma biru dan tidak disertai granula. Bentuk inti bulat atau agak
oval tipe kromoatinhomogen,padat distribusi di sel darah tepi 25-4-%
dan di sumsum tulang 5-20%
3. Sistem monopoeisis
a. Monoblast
Ukuran 15-25 𝜇m bentuk sel oval kadang bulat dengan sitoplasma biru
tanpa granul bentuk inti bulat,oval kadang tidak teratur tipe kromain halus
atau berkelimpok, nukleolus sedang atau besar dengan warna lebih terang
dari kromatin dan berjumlah 1-3. Tidak ditemukan didarah tepi namun
disumsum tulang dustribusinya <1%.
b. Promonosit
Ukuran15-25 𝜇m dengan bentuk inti bulat atau kadang oval sitoplasma
biru,kelabu tanpa granul. Bentuk inti bisa tidak teratur dengan tipe
kromatin kasar atau berkelompok. Didarah tepi tidak ditemukam, di
sumsum tulang <1%
c. Monosit
Ukuran 15-25 𝜇m bentuk bulat,oval,tidak teratur warna sitoplasma biru
abu abu tanpa granul dan bentuk inti biasanya tidak teratur dengan tipe
kromatin kasar dan berkelompok. Distribusi di darah tepi 4-8% dan di
sumsum tulang <2%.

Etiologi dan Faktor resiko


Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Factor keturunan dan
sindroma predisposisi genetic lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada
anak-anak. Beberapa factor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan denga
LLA adalah:
1. Radiasi organic
Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom di hirosima dan Nagasaki
mempunyai relative keseluruhan 9,1 untuk berkembang jadi LLA.
2. Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum
tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia.
3. Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA pada usia diatas 60 tahun
4. Obat kemoterapi
5. Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3
6. Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai risik yang
meningkat untuk menjadi LLA.

B. Patofisiologi

Kasus LLA disubkalasifikasikan menurut gambaran morfologi dan imunologi,


dangenetik sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan pada
pemeriksaan aspirasi sum-sum tulang. Gambaran sitologi sel induk sangat
bervariasi walaupun dalam satu cuplikantunggal, sehingga tidak ada satu
klasifikasi yang memuaskan. Sistem Prancis-Amerika-Inggrismembedakan tiga
subtipe morfologi L1, L2 dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya kecil
dengansedikit sitoplasma, pada sel L2 lebih besar dan pleomorfik dengan
sitoplasma lebih banyak, bentuk inti ireguler, dan nukleoli nyata, dan sel L3
meampunyai kromatin inti homogen dan berbintik halus, nukleoli jelas, dan
sitoplasma biru tua dengan vakuolisasi nyata. Karena perbedaan yang subyektif
antara blas L1 dan L2 dan korelasi dengan penanda imunologik dangenetik yang
sedikit, hanya subtipe L3 yang mempunyai arti klinis.
Klasifikasi Leukemia limfositik Akut Menurut French-American-British
(FAB)
 L-1 : sel blas berukuran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan
nucleoli yang tidak jelas
 L-2 :sel blas berukuran besar heterogen dengan nucleoli yang jelas dan
rasio inti-sitoplasma yang rendah
 L-3 :sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik

Klasifikasi LLA bergantung pada kombinasi gambaran sitologik, imunologik


dan kariotip.Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen permukaan sel
yang terkait dengan galur sel dan antigen sitoplasma. Maka imunotipe dapat
ditentukan pada kebanyakan kasus. Umumnya berasal dari sel progenitor , lebih
kurang 15% berasal dari sel progenitor T, dan 1% berasal darisel B yang relatif
matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostik maupun terapeutik.
Kelainan kromosom dapat diidentifikasikan setidaknya 80-90% LLA anak.
Kariotip dari selleukemia mempunyai arti penting, prognostik, dan terapeutik.
Mereka menunjukan tepat sisi bagi penelitian molekuler untuk mendeteksi gen
yang mungkin terlibat pada transformasi leukemia.LLA anak dapat juga
diklasifikasikan atas dasar jumlah kromosom tiap sel leukemia (ploidy) danatas
penyusunan kembali (rearrangement ) kromosom struktural misalnya translokasi.
Penanda biologik lain yang potensial bermanfaat adalah aktivitas terminal
deoksinukleotidiltranferase (TdT), yang umumnya dapat diperlihatkan pada LLA
sel progenitor-B dan sel T.Karena enzim ini tidak terdapat pada limfoid normal, ia
dapat berguna untuk mengidentifikasikan sel leukemia pada situasi diagnostik
yang sulit. Misalnya, aktivitas TdT dalam sel dari cairan serebrospinal mungkin
menolontg untuk membedakan relaps susunan saraf sentral awal dengan
meningitis aseptik.
Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada waktu
diagnosis, denganketerlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blas
leukemia di sirkulasi darah. Limpa,hati, kelenjar limfe biasanya ikut terlibat.
Karena itu, tidak ada sistem pembagian stadium(staging ) untuk LLA.

Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap (complete blood count) dan apus darah tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat atau rendah pada saat diagnosis.
Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat
melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi
sel blas pada hitung jenis leukosit bervariasi daro 0 sampai 100%. Kira-kira sepertiga
pasien mempunyai hitung trombosit < dari 25.000/mm3.
2. Aspirasi dan Biopsi sumsum tulang
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga
semua pasien LLA harus menjalani proseduur ini. Specimen yang didapat harus
diperiksa untuk analisis histologi, sitogenik dan immunophenotyping. Apus sumsum
tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel
berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel
leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint
dari jaringan biopsy penting untuk evaluasi gambaran sitology.
3. Sitokimia
Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-
kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut. Pada LLA,
pewarnaan sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negative.
4. Imunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometri)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Pada sekitar 15-54%
LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen myeloid. Antigen myeloid yang biasa
dideteksi adalah CD13,CD15 dan CD33.
5. Sitogenik
Analisis sitogenik sangan berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan
dengan subtype LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostic.
6. Biologi molecular
Teknik molecular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk
mendeteksi t(12;12) yang tidak terdeteksi dengan sitogenik standar.

Epidemiologi
Insidensi LLA adalah 1/60.00 orang pertahun, dengan 75% pasien berusia kurang dari
15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria
daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih
besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot dari pasien LLA
mempunyai resiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.

C. Penatalaksanaan

1. Terapi spesifik: dalam bentuk kemoterapi


Kemoterapi memiliki tahapan pengobatan yaitu:
a.Induksi Remisi.
Banyak obat yang dapat membuat remisi pada leukemia limfositik akut. Pada
waktu remisi, penderita bebas dari symptom, darah tepi dan sumsum tulang normal
secara sitologis, dan pembesaran organ menghilang. Remisi dapat diinduksi dengan
obat-obatan yang efeknya hebat tetapi terbatas. Remisi dapat dipertahankan dengan
memberikan obat lain yang mempunyai kapasitas untuk tetap mempertahankan
penderita bebas dari penyakit ini.
Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu suatu keadaan di
mana gejala klinis menghilang, disertai blast sumsum tulang kurang dari 5%.
Dengan pemeriksaan morfolik tidak dapat dijumpai sel leukemia dalam sumsum
tulang dan darah tepi.
Biasanya 3 obat atau lebih diberikan pada pemberian secara berurutan yang
tergantung pada regimen atau protocol yang berlaku. Beberapa rencana induksi
meliputi: prednisone, vinkristin (Oncovin),daunorubisin (Daunomycin), dan L-
asparaginase (Elspar). Obat-obatan lain yang mungkin dimasukan pada pengobatan
awal adalah 6-merkaptopurin (Purinethol) dan Metotreksat (Mexate). Allopurinol
diberikan secara oral dalam dengan gabungan kemoterapi untuk mencegah
hiperurisemia dan potensial adanya kerusakan ginjal. Setelah 4 minggu pengobatan,
85-90% anak-anak dan lebih dari 50% orang dewasa dengan ALL dalam remisi
komplit. Teniposude (VM-26) dan sitosin arabinosid (Ara-C) mungkin di gunakan
untuk menginduksi remisi juka regimen awal gagal.
a.Obat yang dipakai terdiri atas:
-Vincristine (VCR) 1.5 mg/m2/minggu, i.v
-Predison (Pred) 6 mg/m2/hari, oral
-L Asparaginase (L asp) 10.000 U/m2
-Daunorubicin 25 mg/m2/minggu-4 minggu
b.Regimen yang dipakai untuk ALL dengan risiko standar terdiri atas:
- Pred + VCR
-Pred + VCR + L asp
c.Regimen untuk ALL denga risiko tinggi atau ALL pada orang dewasa antara lain:
- Pred + VCR + DNR dengan atau tanap L asp
-Kelompok G!MEMA dari Italia memberikan DNR+VCR+Pred+L asp dengan
atau tanpa siklofosfamid.
b. Fase postremisi
Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama mungkin yang pada
akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini dicapai dengan:
a.Kemoterapi lanjutan, terdiri atas:
-Terapi konsolidasi
-Terapi pemeliharaan (maintenance)
- Late intensification
b.Transplantasi sumsum tulang: merupakan terapi konsolidasi yang memberikan
penyembuhan permanen pada sebagaian penderita, terutama penderita yang berusia
di bawah 40 tahun.
Terapi postremisi
a.Terapi untuk sanctuary phase (membasmi sel leukemia yang bersembunyi dalam SSp
dan testis)
Triple IT yang terdiri atas : intrathecal methotrexate (MTX), Ara C (cytosine
arabinosid), dan dexamenthason
b.Terapi iontensifikasi/konsolidasi: pemberian regimen noncrossresistant terhadap
regimen induksi remisi.
c.Terapi pemeliharaan (maintenance): umumnya dipakai 6 mercaptopurine (6 MP)
peroral dan MTX tiap minggu. Di berikan selama 2-3 tahun denga diselingi terapi
konsolidasi atau intesifikasi.

2. Terapi suportif
Terapi ini bertujuan untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena
proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi.
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi
spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif
harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, kalu tidak maka penderita
dapat meninggal karena efek samping obat, suatu kematian iatrogenic. Terapi
suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penyakit
leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat. Terapi suportif
yang diberikan adalah;
1. Terapi untuk mengatasi anemia
Transfusi PRC untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10 g/dl. Untuk calon
transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari.
2. Terapi untuk mengatasi infeksi, sama seperti kasus anemia aplastik terdiri atas:
a. Antibiotika adekuat
b. Transfusi konsentrat granulosit
c. Perawatan khusus (isolasi)
d. Hemopoitic growth factor (G-CSF atau GM-CSF)
3. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas:
a. Transfuse konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit minimal 10 x
106/ml, idealnya diatas 20 x 106/ml
b. Pada M3 diberikan Heparin untuk mengatasi DIC
4. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain yaitu:
a. Pengelolaan leukostasis : dilakukan dengan hidrasi intravenous dan
leukapheresis. Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan jumlah leukosit
b. Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberiaan
alopurinol dan alkalinisasi urin.
Hasil pengobatan tergantung pada berikut ini:
1.Tipe leukemia : pada umumnya ALL mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan
dengan AML
2.Karakteristik faktor prognostik dari penderita
3.Jenis regimen obat yang diberikan

Prognosis
 Quo ad vitam: dubia
 Quo ad functionam: dubia

BHP
• Beneficience : Golden rule principle
Dokter mampu mendiagnosis leukemia limfoblastik akut melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan penunjang.
• Nonmaleficience : mencegah komplikasi
Dokter harus mempu menangani kasus ini dengan penatalaksanan yang sesuai dan
tepat agar dapat menekan tibulnya komplikasi yang lebih membahayakan nyawa
pasien
• Autonomy (Informed consent)
Dokter memberikan penjelasan mengenai keadaan pasien serta memberikan informed
consent terhadap tindakan yang akan dilakukan
• Justice : Edukasi
Dokter harus memperhatikan social ekonomi dan budaya dari pasien atau keluarga
pasien yang mempengaruhi keputusan pasien terhadap tindakan medis yang akan
dilakukan oleh dokter.
Skenario 2
Data Keterangan
Laki-laki 65 tahun Epidemiologi dari LGK
KU: lemah badan Gejala kelainan hematologi
Keluhan sejak 1-2 bulan lalu dan Progresifitas
semakin hari semakin dirasakan
lemah
KP:
 Demam
 Banyak berkeringat Kegananasan,infeksi (TB)
 Penurunan BB
 Cepat kenyang dan perut terasa Splenomegali pembesaran lien
penuh menekan gaser sehingga cepat kenyang
Pemeriksaan fisik :
 KU: compos mentis  Dbn
 TD: 130/80 mmHg  Prehipertensi (peningkatan sistol)

 Nadi: 105x/menit  Takikardi


 Respirasi: 30x/menit  Takipnea
 Suhu : 37,80c  Subfebris
 Kepala : konjungtiva anemis +/+,  Anemia
sclera ikterik -/-  Singkirkan kelainan hepar
Gusi hipertrofi –  Singkirkan LMA,ALL

 KGB : tidak teraba membesar  Tanda leukemia

 Cor: BJ I-II murni regular 

 Pulmo : VBS +/+ Rh-/- Wh-/-  Dbn

 Abdomen : hepar tidak teraba, lien


 Splenomegaly (fase kronik)
: schuffner 4
 Ekstremitas: purpura (+)
Ada perdarahan
Pemeriksaan Lab
 Hb : 8gr/dl  Anemia (N:13-17 g/dl)
 Leukosit : 100.000/mm3  Leukositosis(N: 4100-11.000/mm3)

 Trombosit : 100.000/mm3  Trombositopeni (N: 150.000-


400.000/mm3)
 LED: 30/40 mm/jam
 Meningkat N: 0-15
DD
1. leukemia granulositik kronik
fase kronik
2.leukemia mielomonositik kronik
DK
Leukemia granulositik kronik
Definisi
Lekemia granulositik kronik (LGK) adalah penyakit mieloproliferatif dengan ditandai
adanya proliferasi sel induk hematopoietik pada berbagai stadium diferensiasi

Klasifikasi leukemia
Lekemia dibagi berdasarkan kecepatan evolusi penyakit menjadi :
 Akut atau kronik.
Masing masing dibagi lagi kedalam
 mieloid atau lymfoid, sesuai denga tipe sel yang terkena

akut kronik

Leukemia Leukimia Limfoblastik


lymfoid Limfoblastik Akut Kronik ( LMK)
(AML)
mieloid Leukimia Mielositik Leukimia Mielositik
Akut (LMA) Cronik (CML)/ LGK
Definisi CML
Leukemi granulositik kronik merupakan penyakit mieloproliferatif dengan karakteristik
adanya peningkatan proliferasi sel induk hematopoietic seri myeloid pada berbagai
stadium diferensiasi.

Tanda dan gejala klinik


Leukemi granulositik kronik dibagi ke dalam 3 fase:
1) Fase kronik : umumnya pasien didiagnosis pada fase kronik dengan tanda dan gejalanya
pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cept kenyang akibat desakan limpa
terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan atas, ada keluhan lain
seperti: rasa cepat lelah, lemah
badan, demam yang tidak terlalu tinggi, keingat malam. Penurunan BB terjadi setelah
penyakit berlangsung lama
2) Fase akselerasi : leukositosis yang sulit di control oleh obat-obat mielosupresif, mieloblas di
perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%, dan trombosit <100.000/mm3. Fase ini dapat
diduga bila limpa yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kemudian kembali membesar,
keluhan anemia bertambah berat, timbul ptekie, ekimosis. Bila disertai demam biasanya
infeksi.
3) Fase krisis blas : gejala lebih hebat dari fase akselerasi bisa berupa limfoblas atau mieloblas.

Keluhan pasien berdasarkan frekuensi


Keluhan Frekuensi (%)

Splenomegali 95

Lemah badan 80

Penurunan berat badan 60

Hepatomegali 50

Keringat malam 45

Cepat kenyang 40

Perdarahan/purpura 53

Nyeri perut(infark limpa) 30

Demam 10

Etiologi
LGK merupakan leukemia pertamakali diketahui patogenesisnya. Penyakit ini disebabkan oleh
adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dengan lengan panjang kromosom
22. Gabungan antara gen ABL yang terdapat pada lengan panjangkromosom 9 dengan BCR yang
terdapat pada lengan panjang kromosom 22 (BCR-ABL) diduga kuat sebagai penyebab utama
terjadinya kelainan proliferasi pada penyakit ini.

Patogenesis dan Patofisiologi


Seperti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi
yang berlebihan sel induk pluripotent pada system hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasi nya
berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-ABL juga
bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal
yang akhirnya mendesak system hematopoiesis lainnya.
Pemahaman mekanisme kerja gen BCR-ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan
gen ini pada diagnostic, perjalanan penyakit, prognostic, serta implikasi terapeutiknya. Oleh karena
itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molecular.
Sitogenetik
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph
sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti.
Berdasarkan kejadian Nagasaki dan Hiroshima diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian
ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini
menyebabkan pembentukan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.
Gen hybrid BCR-ABL yang berada dLm kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis protein
201 Kd yang berperan dalam leukemogenesis, sedan perana gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui
(Ailver, 1990; Diamond, 1995; Melo, 1996; Verfaillie, 1998).
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph. Varian-varian ini dapat
terbetnuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain
juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11, akan tetapi dapat juga
di daerah q12 atau q13 (Heim dan Mitelman, 1987), dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga
berbeda brat molekulnya.
Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu terdapat pada semua pasien
LGK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK, tetapi gen rawan
terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang
mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomy 19, dan isokromosom lengan panjang
kromosom 17 i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-ge lain yang berpera
dalam patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16, dan
gen Rb.

Biologi Molekular pada Patogenesis LGK

Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di
daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudin gen
BCR-ABL nya akan mensintesis protein dengan berat molekul 210 Kd, selanjutnya ditulis p210 BCR-
ABL
. Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e1 yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr)
yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa p190 (Melo, 1996). Sagilo dkk pada tahun 1990
menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan
berbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro bcr (µ-bcr) (Melo, 1996). Melo
(1997) menemukan bahwa 3 variasi letak patahan pada gen BCR yaitu mayor (M-bcr), minor (m-bcr)
dan mikro (µ-bcr) ternyata berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien LGK yang
patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr
berhubungan dengan monositosis yang prominen, sedang patahan di µ-bcr berhubungan dengan
netrofilia dan/atau tromobositosis.
p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan cara sebagai berikut : gen BCR
beerfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi
kedua gen ii mempunyai kemampuan untuk oto-fosfolirasi yang akan mengaktivasi beberapa protein
di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi dari
proliferasi sel-sel, berkurangnya sidat aderen sel-sel terhdap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya
respons apoptosis.
Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam
sitoplasma sehingga terjadilah tranduksi sinyal yang bersifat onkogenik. Sinyal ini akan menyebabkan
aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses
proliferasi sel dan juga proses apoptosis.

Epidemiologi
Kejadian leukemi mielositik kronik mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa,
kedua terbanyak setelah leukemi limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun,
walaupun dapat menyerang atau dapat ditemukan di usia muda danbiasanya lebih progresif. Dijepang
kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan hirosima, demikian juga di rusia
setelah reactor atom chernobil meledak. Insidensinya mencapai 1,5/100.000 penduduk pertahun.
Lebih sering terjadi pada laki-laki disbanding pada perempuan.

Pemeriksaan penunjang
 Hematologi rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, leukosit antara
20.000-60.000/mm3. Presentasi eosinofil dan atau basophil meningkat. Trombosit
biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang tetapi pada
kasus dapat normal atau trombositopenia.
 Apus darah tepi
Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi
eritrobls asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi sel granulosit, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkta, demikian
juga presentasi eosinophil dan atau basophil.
 Apus sumsum tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga
rasio myeloid eritroid meningkat. Megakariosit juga tampak lebih banyak. Dengan
pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.
 Karyotipik
 Dulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-Banding technique), saat ini teknik ini
sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikn oleh metode FISH (fluorescen
Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering
ditemukan pada LGK, antara lain: +8,+9,+19,+21,i(17).

Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi
sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan
obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan
terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang:
1. Usia tidak lebih dari 60 tahun
2. Ada donor yang cocok
3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.

Obat-obat yang digunkan pada LGK adalah :


 Hydroxyurea (Hydrea)
- Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologic pada LGK.
- Lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan dan klorambusil.
- Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu seelah
pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemia
aplastic dan fibrosis paru.
- Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dsis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis.
Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2.5
gram/hari.
- Penggunaannya dihentikan dulu bial leukosit <8.000/mm3 atau trombosit
<100.000/mm3
- Interaksi obat dapat terjadi bila digunakan bersamaan dengan 5-FU, menyebabkan
neurotoksisitas.
- Selama menggunakan hydroxyurea harus dipantau Hb, leuksit, trombosit, fungsi
ginjal, fungsi hati.

 Busulfan (Myleran)
- Termasuk golongan alkil yang sangat kuat.
- Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sampai 12mg/hari. Harus dihentikan
bila lekosit antara 10-20.000/mm3, dan baru dimulai kembali setelah leukosit
>50.000/mm3
- Tidak boleh diberikan pada wanita hamil
- Interaksi obat : asetaminofe, siklofosfamid, dan intrakonazol akan meningkatkan
efek busulfan, sedangkan fenitonin akan menurunkan efeknya.
- Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian busulfan disertai denga alopurinol
dan hidrasi yang baik.
- Dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang
berkepanjangan.

 Imatinib mesylate (Gleevec = Glyvec)


- Tergolong antibody monoclonal yang dirancang khusus untuk menghambat
aktivitas tirosin kinase dari fusi gen BCR-ABL.
- Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per oral.
- Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah makan. Dosis dapat ditinggikan
sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respons hematologic setelah 3 bulan
pemberian , atau pernah mencapai respons yang baik tetapi terjadi perburukan
secara hematologic, yakni Hb menjadi rendah dan/atau lekosit meningkat
dengan/tanpa perubahan jumlh trombosit.
- Dosis harus diturunkan apabila terjadi netropeni berat (<500/mm3) atau
trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin.
- Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung 800mg/hari
(400mg b.i.d).
- Dapat tmbul reaksi hipersensitivitas, walaupu sangat jarang.

Prognosis
• Quo ad vitam : dubia ad malam
• Quo ad functionam : dubia ad malam

BHP
• Beneficience : Golden rule principle
Dokter mampu mendiagnosis pasien leukemia granulositik kronik melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan penunjang.
• Nonmaleficience : mencegah komplikasi
Dokter harus mempu menangani kasus ini dengan penatalaksanan yang sesuai dan tepat agar
dapat menekan tibulnya komplikasi yang lebih membahayakan nyawa pasien
• Autonomy (Informed consent)
Dokter memberikan penjelasan mengenai keadaan pasien serta memberikan informed consent
terhadap tindakan yang akan dilakukan
• Justice : Edukasi
Dokter harus memperhatikan social ekonomi dan budaya dari pasien atau keluarga pasien
yang mempengaruhi keputusan pasien terhadap tindakan medis yang akan dilakukan oleh
dokter.

Anda mungkin juga menyukai