Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontiunitas tulang

dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner dan Suddarth, 2005).

Menurut Price & Wilson (2006) faktur adalah patah tulang biasanya

disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga

tersebut, keadaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang

akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkapm atau tidak

lengkap

Menurut World Health Organization (WHO), kecelakaan lalu

lintas juga menyebabkan fraktur 1,25 juta tiap tahunnya (Merdekawati,

2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Depkes RI (2013) presentasi kecelakaan

di Indonesia paling tinggi berada di Bengkulu (56,4%) dan terendah di

Papua (19,4%). Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2013) juga

melaporkan presentase kecelakaan (40,1) dan trauma benda tumpul atau

tajam lebih rendah dari presentasi kecelakaan yaitu (6,7%). Dari

peristiwa tersebut trauma bend tumpul atau tajam di Jawa Tengah yang

mengalami patah tulang sebanyak (6,2%), anggota tubuh terputus


(0,2%), cidera mata (0,5%), gagar otak (0,4%), lain – lain (2,1%)

(Depkes RI, 2013)

Komplikasi fraktur terbagi menjadi dua tahap yaitu komplikasi

tahap awal dan komplikasi tahap lanjut. Adapun komplikasi tahap awal

sebagai berikut : Syok hipovolemik, tulang merupakan organ yang

sangat banyak pembuluh darah dalam jumlah besar dapat menyebabkan

terjadinya syok hipovolemik dan kehilangan cairan eksternal ke

jaringan yang rusak, sindrom emboli lemak, hal ini terjadi pada fraktur

tulang panjang, sindrom kompartemen, merupakan masalah yang

terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan jaringan

karena edema atau pendarahan (Mario, et al, 2014)

Sedangkan kompliksai lanjut yang mungkin terjadi adalah

malunion dan non union. Molunion dapat terjdi karena interaksi yang

terlalu berat sedangkan non unipn bisa terjadi karena pemaksaan

gerakan bahu dan siku sebelum waktunya sehinggga membuat refraktur

(Mario,et al 2014)

Upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan serta

menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik salah satunya dengan

cara membangun pelayanan keperawatan di masyarakat dan dapat

langsung diberikan pada semua tatanan kesehatan di masyarakat,yang

terdiri dari unit pelayanan kesehatan yang mempunyai layanan rawat

jalan dan inap (Rumah sakit,puskesmas),puskesmas keliling ,dan rumah

(homecare) dalam hal ini perawat mempunyai tugas untuk


meningkatkan fungsi keluarga dalam perawatan anggota keluarga yang

sakit ataupun beresiko (Depkes RI, 2006).

Pemasangan pen pada kasus patah tulang dilakukan oleh dokter

bedah tulang.pemasangan pen saat ini lebuh efektif karena pen terbuat

dari titanium.pen sebaiknya dilepas setelah tulang menyambung (rata-

rata 1 atau samapai 2 tahun).apalagi pada anak-anak harus dilepas

sesegera mungkin karena akan mengganggu pertumbuhan tulang

(Lukman, 2009).

Fraktur sangat memmbutuhkan penanganan segera dengan

mengobilisasi bagian fraktur, untuk mencegah komplikasi yang terjadi

perawat harus memberikan asuhan keperawatan langsung kepada klien

yang mengalami fraktur (Lukman, 2009). Berdasarkan hal tersebut

maka penulis tertarik untuk menyusun karaya tulis ilmiah tentang

asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk

memberikan gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada klien

dengan fraktur.

2. Tujuan Khusus

a) Melakukan pengkajian pada klien dengan fraktur.

b) Mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada klien dengan


fraktur

c) Merencanakan keperawatan untuk mengatasi masalah fraktur

d) Mengimplementasikam asuhan keperawatan pada klien

dengan fraktur.

e) Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan

fraktur.

C. Metode Penulisan

Dengan menulis karya tulis ilmiah ini penulis menggunakan

metode deskriptif dengan pendekatan proses keperawatan anak yang

terdiri dari : pengkajian, diagnosa keperawatan perencanaan

keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi keperawatan

sedangkan teknik penulisan yang digunakan sebagai berikut :

1. Observasi – Parsitipatif

Mengadakan pengawasan langsung terhadap keadaan umum

pasien serta melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan

permasalahan yang dihadapi dengan timbulnya perubahan klinis

serta observasi.

2. Wawancara

Mengadakan tanya jawab langsung dengan keluarga pasien,

perawat serta petugas kesehatan yang bersangkutan dengan pasien.


3. Studi Dokumentasi

Mempelajari buku-buku laporan dan cacatan medis serta

dokumen lainnya untuk membandingkan dengan data yang ada.

D. Manfaat penulisan

1. Bagi Profesi Keperawatan

Bagi profesi keperawatan diharapkan karya tulis ilmiah ini

dapat dijadikan bahan perbandingan dalam memberikan asuhan

keperawatan pada klien dengan fraktur dalam rangka meningkatkan

kualitas pembelian asuhan keperawatan.

2. Bagi Institut Rumah sakit

Dapat dijadikan bahan pembelajaran dalam meningkatkan

asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan sumber acuan dalam pembelajaran tentang

asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur.

4. Bagi Penulis

Bagi penulis dapat meningkatkan pengetahuan dan

menambah wawasan serta mengaplikasikan teori-teori yang telah

didapatkan dari perkuliahan dengan kenyataan dilapangan dan

kesenjangan yang muncul dilapangan, khususnya pada kasus fraktur.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Fraktur atau patah tulang adalah keadaan terputusnya

kontinyuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya

disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, 2007). Faktur dikenal

dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan karena trauma atau

tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan

lunak disekita tulang akan menentukan apakah faktur yang terjadi

lengkap atau tidak.

Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma

langsung misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan

patah tulang radius ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung.,

misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang

klavikula atau radius distal patah, akibat trauma pada tulang tergantung

pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Patah tulang yang didekat

sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai

luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi (Sjamsuhidayat, Wim, 2005)


2. Patofisiologi

Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabka oleh trauma

gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stres, gangguan fisik,

gangguan metabolik, patologik. Kemampuan otot mendorong tulang

turun, baik yang terbuka atau tertutup. Kerusaka pembuluh darah akan

mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP

menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan

mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal. Maka

penumpukan didalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan

mengenai serabut syaraf yag akan mengakibatkan gangguan rasa

nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi

neurovaskuler ysng menimbulksn nyeri gerak dan mengganggu

mobilitas fisik terganggu. Selain itu fraktur terbuka dapat mengenai

jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi

dengan udara luar an kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan

kerusakan intergritas kulit.

Fraktur dalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma

gangguan metabolik, patologik, yang terjadi itu terbuka atau tertutup.

Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan

dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen

yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh

(Elisabeth, Corwin, 2009)


3. Anatomi Fisiologi

a. Anatomi Tulang

Tulang terdiri dari sel – sel yang berada pada intra – seluler. Tulang

berasal dari embrionic, hyaline, cartilage yang mana melalui proses

“osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel –sel

yang disebut “osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat

penimbunan garam kalsium. Ada 206 tulang dalam tubuh manusia,

tulang dapat diklasifikasikan dalam enam kelompok berdasarkan

bentuknya (Muttaqin, 2008).\

a. Tulang Panjang (long bone)

Misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan humerus. Daerah batas

disebut diafisi dan darah yang berdekatan dengan garis epifiis

disebut metafisis. Didaerah ini sangat serig ditemukan adanya

kelainan atau penyakit karena daerah ini merupakan daerah

metabolik yang aktif daan banyak mengandung pembuluh darah.

Kerusakan atau kelainan perkembangan pada daerah lempeng

epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang

(Aspinall, Et Al, 2009)


(Gambar 1. Tulang Panjang)

b. Tulang pendek (short bone)

Bentuknya tidak teratur dan inti dari concellous (spongy) dengan

suatu lapisanluar dari tulang yang padat, misalnya tulang-tulang

karpal (Frandson, et al, 2009).

(Gambar 2. Tulang pendek)

c. Tulang sutura (sutural bone)

Terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah

tulang concellous, misalnya tulang temngkorak (suratun,

Haryati, dan murung, 2008).


(Gambar 3. Tulang sutura)

d. Tulang tidak beraturan (irreguler bone)

Sama seperti dengan tulang pendek misalnya tulang vertebrata

(suratun, Haryati, dan murung, 2008).

(Gambar 4. Tulang tidak beraturan)


e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil,yang terletak disekitar

tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh

tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (Suratun, Et Al,

2008)

(Gambar 5. Tulang sesamoid)

f. Tulang pipih (flat bone)

Misalnya parietal, iga, skapula dan pelvis (Suratun, Et Al, 2008)

(Gambar 6. Tulang pipih)


4. Fisiologi Tulang

Fungsi tulang adalah sebagai berikut (Muttaqin, 2008)

a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.

b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru – paru)

dan jaringan lunak.

c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi

dan pergerakan).

d. Membentuk sel – sel darah merah didalam sumsum tulang

belakang (Hematopoiesis).

e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

Komponen utama jaringan tulang adalah mineral dan jaringan

organik (kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan fosfat membentuk

suatu kristal garam (hidroksiapatit), yang tertimbun pada matrik

kolagen dan proteoglikan. Matriks organik disebut juga osteoid. Sekitar

70% dari osteoid adalah kolagen tipe I yang kaku dan memberi tinggi

pada tulang. Materi organ lain yang juga menyusun tulang berupa

proteoglikan.

5. Patofisiologi

Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma

gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stres, gangguan fisik,

gangguan metabolik, patologik. Kemampuan otot mendorong tulang


turun, baik yang terbuka atau tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan

mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP

menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan

mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka

penumpukan didalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan

mengenai serabut syaraf yang akan mengakibatkan gangguan rasa

nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi

neurovaskuler, neurovaskuler yang menmbulkan nyeri gerak dan

mengganggu mobilitas fisik terganggu, selain itu fraktur terbuka dapat

mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi

terkontaminai dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan

mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang

biasanya disebabkan oleh gangguan metabolik, patologik, yang terjadi

itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka

maupun tertutup akan dilakukan immobilitas yang bertujuab untuk

mempertahankan fragmen yang telah dihubugkan tetap pada tempatnya

sampai sembuh (Elisabeth, Crowin, 2009)

6. Etiologi

Menurut Prince, Anderson, Lorraine (2006) etiologi fraktur yaitu :

a. Cidera atau benturan

b. Fraktur patologik, fraktur terjadi pada daerah tulang yang telah

menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis


c. Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang – orang yang

baru saja menambah tingkat aktifitas mereka, seperti baru diterima

dalam angkatan bersenjata atau orang – orang yang baru mulai

latihan lain

7. Manifestasi Klinis

Menurut Brunner dan Suddarth (2005) Manifestasi fraktur yaitu

nyeri, hilangnya fungsi, deformiitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,

pembengkakan lokal, dan perubahan warna.

a. Nyeri terus menerus bertambah beratnya sampai fragmen tulang di

imobiliasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk

bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar

fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan

cenderung bergerak tidak alamiah atau gerakan luar biasa, bukan

tetap rigit seperti biasanya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan

atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)

ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan

ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik

karena fungsi normal otot bergantung pada intergritas tulang tempat

melekatnya otot.

c. Pada fraktur panjang, terjadi pendekatan tulang yang sebenarnya

karena kontraksi otot yang melekat di atas ada dibawah tempat


fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5

sampai 5cm ( 1 sampai 2 inci).

d. Saat ekstremitas diperiksa menggunakan tangan, teraba ada derik

tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara

fragmen satu dengan lainnya.

e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai

akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

8. Penatalaksanaan

a. Menurut muttaqin (2008) perawatan klien fraktur yaitu:

1) Fraktur tertutup tirah baring diusahakan seminimal mungkin

latihan segera dimulai untuk mempertahankan kekuatan otot

yang sehat, dan untuk meningkatkan otot yang dibutuhkan untuk

pemindahan menggunakan alat bantu (tongkat) klien diajari

mengontrol nyeri sehubungan fraktur dan trauma jaringan lunak.

2) Fraktur terbuka, pada fraktur terbuka terdapat resiko infeksi

osteomielitis, gasganggren, dan tetanus, tujuan perawatan untuk

meminimalkan infeksi agar penyembuhan luka atau fraktur lebih

cepat, luka dibersihkan, didebridemen dan diirigasi.

b. Penatalaksanaan kedaruratan

Klien dengan fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh

yang terkena sebelum klien dipindahkan. Daerah yang patah harus

disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan


rotasi. Immobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga

dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama. Pada cidera

ekstremitas atas lengan dapat dibebatkan kedada. Peredaran di distal

cidera harus dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan

perifer. Luka ditutup dengan kasa steril ( Muttaqin, 2008).

9. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”

menggunakan sinar rontgen (sinar – X). Untuk mendapatkan

gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka

diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan

tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk

memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.

Perlu disadari bahwa permintaan Sinar – X harus atas dasar indikasi

kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai 23

dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada Sinar –X mungkin

dapat diperlukan teknik khusus, seperti hal- hal sebagai berikut

(Muttaqin, 2008).

1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi

struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus

ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak


pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga

mengalaminya.

2) Myelografi: menggambarkan cabang- cabang saraf spinal dan

pembuluh darah diruang tulang vertebrae yang mengalami

kerusakan akibat trauma.

3) Arthrogafi: menggambarkan jaringan – jaringan ikat yang rusak

karena ruda paksa.

4) Computed Tomografi – Scanning: menggambarkan potongan

secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur

tulang yang rusak.

b. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium menurut ( Muttaqin, 2008).

1) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap

penyembuhan tulang.

2) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan

menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat 24 Dehidrogenase

(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang

meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat.


c. Pemeriksaan lain – lain

Pemeriksaat lain menurut (Muttaqin, 2008).

1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:

didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi

2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan

pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.

3) Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang

diakibatkan fraktur.

4) Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek

karena trauma yang berlebihan.

5) Indium imaging :pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi

pada tulang.

6) MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur

10. Penatalaksanaan Fraktur

Penatalaksanaan fraktur atau patah tulang secara umum

mengikuti prinsip pengobatan dokter pada umumnya yaitu penanganan

fraktur (Sjamsuhidajat, Win, 2007)

a. Rekognisi, dilakukan untuk mengetahui jenis fraktur, lokasi, dan

keadaan secara umum

b. Reduksi, mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan

rotasi anatomis
c. Retensi, imobilisasi atau mempertahankan posisi tulang

d. Rehabilitasi, mengembalikan aktifitas fisiologis semaksimal mugkin

untuk menghindari kontaktur.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Dengan Fraktur

1. Pengkajian Keperawatan

Menurut Ignatavicius, Donna (2006), Muttaqin (2008) pengkajian

merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk

itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah klien

sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.

Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada tahap ini.

Tahap ini terbagi atas :

a. Anamnesa

1) Identitas klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa

yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,

asuransi, golongan darah, nomer registrasi, tanggal masuk RS,

diagnosa medis (Ignatavisius, Donna, 2006)

2) Keluhan utama

Pada umumnta keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa

nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik. Tergantung dan

lamanya serangan.
Regio (dimana letaknya), Scala (berapa skalanya), Time (

waktu) (Muttaqin, 2008).

3) Riwayat Penyakit

Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan

sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat

rencana tindakan terhadap klien.lni bisa berupa kronologi

terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan

kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.

Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya

kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Muttaqin,

2008).

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur

dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan

menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang

yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk

menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki

sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik

dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan

tulang(lgnatavicius, Donna, 2006).


5) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang

merupakan salah sate faktor predisposisi terjadinya fraktur,

seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa

keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara

genetic (Ignatavicius, Donna, 2006).

6) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat

serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya

baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Muttaqin,

2008).

b. Pola-Pola Fungsi Kesehatan Pola

1) Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat


Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan

terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani

penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan

tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan

hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat

mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol

yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien

melakukan olahraga atau tidak (Ignatavicius, Donna, 2006).


2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi

kebutuhan sehariharinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.

C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.

Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu

menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan

mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat

terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari

yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah

muskuloskeletal terutama pada Iansia.Selain itu juga obesitas

juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien

(Ignatavicius, Donna, 2006).

3) Pola Eliminasi

Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan

fraktur tibia tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi

walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi,

warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan

pada poia eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya,

warna, bau, dan jumlah.Pada kedua pola ini juga dikaji ada

kesulitan atau tidak (Muttaqin, 2008).

4) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,

sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur


klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya

tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur

serta penggunaan obat tidur (Ignatavicius, Donna, 2006).

5) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua

bentuk kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari

hari menjadi berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan

sehingga kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang

lain (Ignatavicius, Donna, 2006).

3) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam


masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap, klien
biasanya merasa rendah diri terhadap perubahan dalam
penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil
(Ignatavicius, Donna, 2006).

4) Pola Persepsi dan Konsep diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan

akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan

gangguan citra diri (Muttaqin, 2008).

5) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian

distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul


gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami

gangguan.Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur

(Muttaqin, 2008).

2) Pola Reproduksi Seksual


Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien
(Muttaqin, 2008).

3) Pola Penanggulangan Stress


Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,

yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi

tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak

efektif (Ignatavicius, Donna, 2006).

4) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan


beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi.Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien (Muttaqin, 2008).

2. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien


fraktur adalah sebagai berikut (Nurarif, dan Kusuma, 2013).

a. Nyeri akut berhubungan dengan agenn cedera fisik.


b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik

adanya tekanan.

c. Resiko infeksi.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

imobilitas

e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi

aktivitas .

3. Rencana Keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan nyeri berkurang dan teratasi dengan kriteria hasil:

1) Mampu mengontrol nyeri


2) Mampu mengenali nyeri
3) Mengatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi:

1) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi. R/ untuk


menentukan tipe dan sumber nyeri.
2) Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi.

R/ untuk mengetahui lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,


kualitas, dan faktor presipitasi.

3) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non

farmakologi, dan interpersonal).

R/ untuk mengatasi nyeri yang dapat dilakukan oleh klien


sendiri

4) Cek riwayat alergi.

R/ untuk mengetahui adanya alergi obat yang akan di berikan


5) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

R/ untuk mengurangi nyeri

6) Ajarkan tentang teknik non farmakologi (Relaksasi Distraksi).

R/ untuk mengurangi nyeri secara mandiri

7) Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri

tidak berhasil. R/ untuk memberikan obat jika masih ada keluhan

nyeri dan tindakan nyeri tidak berhasil. (Nurarif dan Kusuma,

2013).

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik

adanya tekanan.

Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan kerusakan integritas kulit dapat berkurang dengan

kriteria hasil:

a. Tidak ada luka/lesi pada kulit.

b. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,


temperatur, hidrasi, pigmen).
c. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban

kulit.

Intervensi:

1) Monitor aktivitas dan mobilisasi klien.


R/ untuk mengetahui tingkat aktivitas dan mobilitas klien.

2) Monitor kulit akan adanya kemerahan.


R/ untuk mengetahui adanya tanda — tanda
infeksi.

3) Monitor proses kesembuhan area insisi.


R/ untuk mengetahui proses kesembuhan area insisi.

4) Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi.


R/ mencegah terjadinya infeksi.

5) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien setiap dua jam sekali).


R/ untuk melenturkan otot

6) Membersihkan,memantau, dan meningkatkan proses

penyembuhan pada luka yang ditutupi dengan jahitan.

R/ untuk mengetahui ada tidaknya tingkat penyembuhan pada luka

yang dijahit.

7) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar. R/ agar

tidak menambah kerusakan integritas kulit.

(Nurarif dan Kusuma 2013).

c. Resiko infeksi.

Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan resiko infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil:

1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi.

2) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.

3) Menunjukkan perilaku hidup sehat.


Intervensi:

1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.

R/ untuk mengetahui ada tidaknya proses infeksi

2) Monitor kerentanan terhadap infeksi.

R/ untuk mencegah terjadinya infeksi.

3) Berikan terapi antibiotik bila perlu (proteksi terhadap

infeksi).

R/ untuk mencegah adanya infeksi.

4) Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi.

R/ agar pasien dan keluarga men getahui tanda dan

gejala infeksi.

5) Ajarkan cara menghindari infeksi.

R/ agar pasien dapat menghindari infeksi.

6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.

R/ untuk mencegah terjadinya komplikasi.

(Nurarif dan Kusuma 2013)

d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

imobilitas.

Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan ketidakefektifan perfusi jaringan perifer dapat teratasi


dengan kriteria hasil: Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan

intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg).

lntervensi:

1) Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap

panas/dingin/tajam/tumpul.

R/ untuk mengetahui bagian yang peka terhadap

panas/dingin/tajam/tumpul.

2) Monitor adanya tromboplebitis.

R/ untuk mencegah timbulnya tromboplebitis.

3) Gunakan sarung tangan untuk proteksi.

R/ untuk mencegah penularan infeksi.

4) Intruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada laserasi.

R/ untuk mengurangi kerusakan intergritas jaringan

perifer.

5) Kolaborasi dalam pemberian analgetik.

R/ untuk mengurangi rasa nyeri.

(Nurarif dan Kusuma 2013).


2.3 Pathways

Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Patofisiologi

Fraktur

Diskkontinuitas tulang Spasme otot Peningkatan


tekanan
kaplier
Perubahan jaringan sekitar Laserasi kulit
Pelepasan
histamin
Luka terbuka Pergeseran fragmen Kerusakan
tulang
Integritas kulit Protein plasma
Deformitas hilang
Kontaminasi Nyeri akut
infeksi
Edema
Gangguan fungsi eksternitas

Resiko infeksi Penekanan pembuluh


Hambatan mobilitas fisik darah

Ketidakefektifan
Penurunan fungsi jaringan
perfungsi jaringan prefier

Anda mungkin juga menyukai