Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Semua umat manusia baik individu maupun kelompok memiliki keyakinan


keagamaan. Namun keyakinan keagamaan seseorang itu berbeda-beda, karena
telah dipengaruhi oleh kondisi masyarakat. Hal ini menjadi persoalan menarik
untuk dikaji sebab agama menjadi faktor yang memiliki peran penting dalam
kehidupan masyarakat, karena agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial.

Bagi masyarakat yang tidak memiliki komitmen dan pemahaman


keagamaan, agama bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan
dalam kehidupan mereka. Namun bagi masyarakat yang memiliki pemahaman
keagamaan, maka agama memiliki peran penting dalam tatanan sosial. Faktor
peran dan pengaruh agama memang menjadi hal yang sangat penting bagi
kehidupan manusia.

Agama adalah refleksi atas wujud rohaniah yang ada pada diri manusia,
dipandang mampu menjadi pedoman yang memberikan ketenangan hidup. Oleh
karena itu, menurut Zakiah Daradjat, agama mempunyai peran penting dalam
pengendalian seseorang.1

Sedangkan menurut Harun Nasution menyatakan bahwa agama


mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang
dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia
sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun
mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.2

1
Zakiah Daradjat. 1993. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Hal.2.
2
Nasution Harun. 1974.Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang. Hal.10.

1
Begitu juga seperti yang dikatakan Emile Durkheim bahwa, agama
merupakan kontrol terhadap manusia, dengan cara menetapkan aturan-aturan yang
pada akhirnya akan menciptakan keteraturan natural perekatan hubungan sosial.

Di dalam suatu kondisi masyarakat yang masih memiliki keyakinan agama


yang kuat, masyarakat masih cenderung mengutamakan persamaan
keyakinan/kepercayaan untuk membuat suatu pilihan atau membuat suatu
kelompok dan lain lain. Hal itu juga tidak lepas dengan kegiatan politik yang
terjadi pada suatu daerah, yang dalam hal ini diwujudkan dalam proses Pemilihan
Umum.

Pemilihan Umum atau yang biasa kita kenal dengan Pemilu merupakan
suatu wadah yang membuktikan adanya pilihan atas dasar persamaan yang
digunakan untuk mencapai tujuan umum. Menurut Ramlan Surbakti Pemilu
diartikan sebagai Mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan
kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Lebih lanjut Ramlan
Surbakti mengatakan bahwa, pemilihan umum berkedudukan sebagai mekanisme
untuk menyeleksi para pemimpin dan alternatif kebijakan umum, mekanisme
untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat ke lembaga-lembaga
perwakilan melalui wakil rakyat yang terpilih, sehingga integrasi masyarakat tetap
terjaga. Dia juga mengatakan bahwa Pemilu juga merupakan Sarana untuk
memobilisasikan dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan
jalan ikut serta dalam proses politik.3

Pemilihan umum juga merupakan sebuah tempat perlombaan yang


mewadahi kompetisi antar aktor politik untuk memenangkan kontestasi dan
meraih kekuasaan serta partisipasi politik rakyat untuk menentukan liberalisasi
hak-hak sipil dan politik warga Negara.4

3
Surbakti Ramlan. 1992.Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widya Sarana. Hal.181.
4
Robert A. Dahl. 1985.Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta:
Rajawali Press. Hal .8-10.

2
Pemilu di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955, jumlah
partai politik peserta pemilu sebanyak 26 partai politik. Pada pemilu 1971 jumlah
partai politik peserta pemilu sebanyak 10 partai politik dan Pada pemilu 1977
jumlah partai politik peserta pemilu sebanyak 3 partai politik (Golkar, PPP, dan
PDI). Pada pemilu 1982 sampai dengan 1999 jumlah partai politik peserta pemilu
sebanyak 3 partai politik. Kemudian Pada pemilu 1999 jumlah partai politik
peserta pemilu membludak sebanyak 48 partai politik. Pada pemilu 2004 jumlah
partai politik peserta pemilu sebanyak 24 partai politik. Dan pada pemilu 2009
dengan jumlah partai politik peserta pemilu sebanyak 44 partai politik, termasuk 6
partai lokal di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Dan terakhir pada tahun
2014, Peserta Partai Politik menurun menjadi 12 Partai.5

Sistem pemilu yang lebih demokratis terjadi setelah runtuhnya Orde Baru.
Hal ini merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut
dianggap sebagai tindakannyata dari tuntutan reformasi kelembagaan dalam
melakukan praktek konsolidasi demokrasi di Indonesia setelah mengalami masa
Pemerintahan Orde Baru yang cendrung otoriter. Sejak itu, Indonesia memasuki
fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis serta ditandai dengan
pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 salah satunya adalah pemilihan
pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum
legislatif dan eksekutif pada tingkat nasional dan lokal.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, politik sangat ditentukan sepenuhnya


oleh pemerintah pusat, kini para aktor lokal di tingkat lokal mempunyai
kesempatan yang semakin luas dalam melakukan aktivitas dan manuver
politiknya. Oleh karena itu, desentralisasi memberi warna lain dalam proses
demokratisasi di Indonesia. Keragaman aktor dalam proses politik dan
pemerintahan tidak hanya ada di arena politik nasional, tetapi juga di daerah.

5
https://jefrihutagalung.wordpress.com/2014/04/08/sejarah-pemilihan-umum-di-indonesia-hingga-
pemilu-2014-indonesia-election-2014/ diakses: Rabu, 15 Februari 2018, jam: 00.05

3
Melalui proses demokratisasi dan desentralisasi, para orang kuat lokal dan
bos lokal semakin memperoleh kesempatan untuk menjabat kursi sentral di
lembaga pemerintah daerah dibandingkan masa sebelumnya. Peran serta orang
kuat lokal ini dilandasi oleh harapan akan masa depan atas pembagian kue
pembangunan di daerah baru dan lainnya sehingga memotifasi mereka untuk
membela mati-matian para birokrat sokongannya. Menurut Migdal, orang kuat
lokal telah berhasil menempatkan diri mereka, konco-konco dan keluarganya,
dalam posisi yang strategis untuk memastikan bahwa alokasi sumber daya berada
dalam arahan, dan kepentingan mereka.6

Awal mula munculnya Demokrasi di tingkat Lokal adalah sejak di


tetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Undang-Undang
tentang pemerintahan Daerah terus mengalami perubahan demi mewujudkan
sistem pemerintahan daerah yang maksimal. Sudah terjadi perubahan sebanyak
lebih dari lima kali semenjak ditetapkannya Undang-Undang Pemerintahan
Daerah. Pada era kepemimpinan presiden baru ini, Undang-Undang Pemerintahan
Daerah diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 yang diharapkan dapat
mewujudkan sistem pelaksanaan pemerintahan daerah yang lebih demokratis.

Di dalam Undang-Undang pemerintahan daerah, proses demokrasi tidak


hanya terjadi pada wilayah Provinsi dan Kabupaten saja, namun juga sudah
mencapai tingkat terkecil yaitu Desa. Pelaksanaan Demokrasi di tingkat desa juga
bisa menjadi bukti bahwa perkembangan politik di Indonesia sudah berkembang
pesat dengan melibatkan masyarakat lokal, sehingga mampu menjalankan fungsi
kekuasaan pemerintahan daerah dalam rangka tercapainya tujuan untuk
memajukan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat.

6
Zuhro Siti, dkk. 2009.Demokrasi Lokal Peran Aktor Dalam Demokratisasi. Yogyakarta:
Ombak.Hal.10.

4
Pelaksanaan Demokrasi tingkat desa juga tercantum dalam Undang-
Undang. Dalam UU No. 23 Tahun 2014, Desa adalah adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus Urusan Pemerintahan,kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.7

Adanya aturan yang menjelaskan tentang pemilihan kepala desa ini,


semakin memperkuat landasan untuk menerapkan semangat Demokratisasi di
seluruh wilayah Indonesia dan juga menjadi landasan dalam penyempurnaan
otonomi daerah.

Demokrasi di tingkat desa dapat ditandai dengan terlaksananya Pemilihan


Kepala Desa secara langsung. Pemilihan kepala desa secara langsung dan serentak
di masa ini menjadi bukti bahwa Indonesia sudah menjalankan demokrasi tingkat
daerah dengan baik. Hal ini juga sesuai dengan hakikat pancasila dan menjunjung
semangat otonomi yang diwujudkan di desa.

Perjalanan pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa ditandai dengan


munculnya Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999. Undang-Undang ini yang
menjadi landasan utama untuk pertama kalinya Indonesia melakukan Pemilihan
kepala desa secara langsung. Kemudian demi mewujudkan sistem demokrasi yang
lebih baik, Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang
nomor 32 tahun 2004. Di dalam UU No. 32 tahun 2004, terdapat total 240 pasal
yang mengatur tentang pemerintahan desa dan terdapat perubahan, diantaranya
mengganti masa jabatan Kepala desa dari 10 tahun menjadi 6 tahun. 8 Dan pada
masa sekarang ini, Undang-Undang pemerintahan daerah di atur dalam Undang-
Undang nomor 6 tahun 2014 mengantikan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004.
Proses pelaksanaan pilkades dalam UU ini dilakukan secara serentak demi

7
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Tentang Pemerintahan Daerah.Pasal 1 Ayat 43.
8
https://www.boyyendratamin.com/2011/09/kilasan-perkembangan-otonomi.html diakses: Rabu,
15 Februari 2018, jam: 03.55

5
memberikan kekuatanakan otonomi desadan kemandirian desa dalam menentukan
masa depan desa itu sendiri.

Peraturan teknis mengenai Pemilihan Umum Kepala Desa lebih jelasnya


terdapat di Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 yang
Menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014. Didalam
Permendagri ini di jelaskan secara terperinci teknis pelaksanaan Pilkades mulai
dari kepanitiaan sampai pengangkatan Kepala desa terpilih.

Pada Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan Bandar Masilam


Tahun 2016, Peraturan yang digunakan adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 112 Tahun 2014 dan atas berdasarkan Peraturan Bupati Simalugun Nomor
10 Tahun 2016 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Pangulu9 Serentak. Pada Tahun
2016 Tepatnya pada bulan Agustus, Kecamatan Bandar Masilam Kabupaten
Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, melakukan Pemilihan Umum Kepala Desa
secara Serentak sesuai dengan Undang-Undang no 6 Tahun 2016 dan perintah
pelaksanaan nya diatur dalam Perbut Simalugun no 10 tahun 2016. Dalam
Pilkades ini Terdapat 9 Desa yang mengikutinya sedangkan 1 Desa lagi yaitu
Desa Partimbalan, tidak mengikuti karena baru saja melakukan Pemilihan di
Tahun 2015.

Salah satu parameter pemilu yang demokratis adalah dengan adanya


komponen pemilih yang semakin plural seiring dengan semakin kompleknya
pemilu. Ini artinya pemilih adalah pendukung utama yang sangat penting dalam
proses pemilu yang demokratis, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Setiap
pemilih dalam pemilihan umum tidak akan terlepas dari latar belakang politis
maupun sosiologis pada saat itu, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam
menentukan pilihan mereka, inilah yang disebut voting behavior atau prilaku

9
Panghulu dalam kata lain berarti Kepala Desa atau seorang yang memimpin dalam suatu Daerah.
Lihat wikipedia/panghulu. Panghulu dalam peraturan Bupati ini bersifat umum, artinya
penggunakan nya memungkinkan masih digunakan dalam daerah lain. Sedangkan Kecamatan
Bandar Masilam menggunakan nama Kepala Desa.

6
pemilih. Dinamika prilaku pemilih sangat kompleks dalam setiap pemilihan
umum.10 Apalagi Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu lebih dari lima kali.
hal ini dipengaruhi oleh pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta
tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum. Tingkat pendidikan maupun
ekonomi serta kepercayaan Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu
setelah masa reformasi sangat berpengaruh.

Kepluralan masyarakat desa di kecamatan Bandar Masilam juga terlihat


dalam Pilkades serentak pada tahun 2016. Bandar Masilam adalah salah satu dari
31 Kecamatan yang berada di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.
Bandar Masilam memiliki Luas daerah 84,86 km2 dan memiliki 10 Desa/Nagori di
dalamnya dengan pusat Kecamatan berada pada Desa/Nagori Bandar Masilam.11
Kecamatan Bandar Masilam memiliki jumlah penduduk sebesar 26.868 jiwa
dengan mayoritas Penduduk di dominasi oleh Agama Islam. Hampir Setengah
dari wilayah di Kecamatan Bandar Masilam adalah Perkebunan Kelapa Sawit
Sehingga sebagian besar profesi Masyarakat di Kecamatan Bandar Masilam
adalah Petani Kebun. 12

Kecamatan Bandar Masilam memiliki Mayoritas Penduduk beragama


Islam. Terdapat Sekitar 90% total penduduk di Kecamatan Bandar Masilam
adalah Islam sedangkan Sisanya beragama Kristen dan Budha. Meskipun
mayoritas masyarakat di Kecamatan Bandar Masilam adalah Agama Islam,
namun terdapat beragam etnis di dalamnya, salah satunya adalah Suku Banjar,
Simalungun, Batak dan juga Etnis Cina yang beragama Budha. Keberagaman
Budaya yang ada di dalam Kecamatan Bandar Masilam mungkin menjadi
pembeda di dalam Pilkades Tahun 2016.

10
Imam Hidajat. 2009. Teori-Teori Politik. Malang: Setara Press.Hal.170.
11
Bandar Masilam Dalam Angka 2015.Simalugun: Badan Pusat Statistika Kabupaten
Simalungun.hal.2.
12
Ibid.hal.27.

7
Pada Pilkades serentak di kecamatan Bandar Masilam, terdapat Desa yang
memiliki jumlah penduduk yang seimbang atau 50%-50% antar Agama Islam dan
Kristen yaitu Desa Bandar Gunung . Dalam Pemilihan Umum Kepala Desa
Bandar Gunung Juga terdapat Calon Kepala Desa yang seimbang yaitu 2 pasang
calon beragama islam dan 2 pasang calon beragama kristen. jika dilihat deri segi
Agama. Namun pada hasil Pemilihannya tetap saja bahwa Calon yang beragama
Islam lah yang memenangkan Pemilihan Umum. Padahal jika di lihat dari segi
Geografis bahwa Agama Islam bukan lah agama yang mendominasi pada Desa
tersebut. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dari Jumlah Rumah Ibadah dan
Kegiatan sehari hari Warga Desa tersebut. Hasil Perhitungan Suara juga
menunjukkan bahwa Calon Kepala Desa Muslim meraih suara hampir dua kali
lipat dari Calon yang beragama Kristen. Hal ini menimbulkan pertanyaan
sebenarnya apakah agama berperan atau menjadi landasan utama masayarakat di
Kecamatan Bandar Masilam dalam memilih Calon Kepala Desa?

Kemudian hasil perolehan suara dari 3 desa juga menunjukkan pertanyaan


lain yaitu Desa Bandar Silou, Lias Baru dan Gunung Serawan . Hasil suara yang
di dapat antar calon yang berbeda agama memiliki persentase yang tidak
berbanding jauh antara 70% banding 30%, padahal di dalam 3 desa tersebut
terdapat perbedaan agama yang berbanding jauh sebesar 90% banding 10%. Hal
tersebut juga menjadi pertanyaan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Di desa lain
juga yang semua calonnya beragama islam juga dapat menjadi pertanyaan,
kemana suara dari agama non muslim mengalir, melihat angka golput yang tidak
terlalu tinggi berkisar 20%-30%.

Oleh karena itu, berangkat dari pemikiran pemikiran diatas, maka


penelitian ini bermaksud melakukan kajian agama sebagai faktor utama prilaku
pemilih dalam pemilihan kepada desa di Kecamatan Bandar masilam Kabupaten
Simalungun tahun 2016. Melihat adanya hubungan agama dengan prilaku pemilih
dengan kata lain jika X maka Y, (X=Agama Y=Prilaku) artinya menimbulkan
pertanyaan apakah ada proses mempengaruhi dan ada yang dipengaruhi. Dan

8
Aapakah agama menjadi faktor utama dalam Pemilu kepala desa di Kecamatan
Bandar Masilam.

Berdasarkan Uraian di atas saya tertarik untuk melakukan penelitian


dengan Judul Peran Agama Terhadap Prilaku Pemilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah Pada Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan Bandar
Masilam Tahun 2016.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa


masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan
perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang
menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang lengkap dan rinci mengenai
ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi masalah dan
pembatasan masalah.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di


atas, maka Penulis mengambil Garis Besar rumusan masalahnya yaitu :
Bagaimana Peran Agama Terhadap Prilaku Pemilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan
Bandar Masilam Kabupaten Simalungun Tahun 2016) ?

1.3. Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian penulis perlu membuat pembatasan masalah


tehadap masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak
menyimpang dari tujuan yang diinginkan, dan agar penelitian ini mencapai
tujuan dan tidak mempengaruhi kefokusan peneliti dalam melakukan
penelitian dilapangan. Pada penelitian ini penulis hanya membahas masalah :

9
1. Bagaimana Pola Prilaku Pemilih Masyarakat di Kecamatan Bandar
Masilam dalam memilih Calon Kepala Desa pada Pemilihan Umum
Kepala Desa secara serentak di Kecamatan Bandar Masilam.
2. Apakah terdapat pengaruh agama dalam Prilaku Memilih Masyarakat di
Kecamatan Bandar Masilam Kabupaten Simaungun Pada Pemilihan
Umum Kepala Desa serentak di Kecamatan Bandar Masilam.

1.4. Tujuan Penelitian

Yang menjadi Tujuan Penulis dalam melakukan penelitian ini adalah

1. Untuk Mendeskripsikan Pola Prilaku Masyarakat dalam memilih Calon


Kepala Desa Pada Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan Bandar
Masilam Tahun 2016
2. Untuk Menganalisa apakah Agama menjadi pengaruh terhadap Prilaku
Masyarakat dalam memilih Kepala Desa pada Pemilihan Umum Kepala
Desa di Kecamatan Bandar Masilam.

1.5. Manfaat Penelitian

Penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat,


adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain adalah :

1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi media untuk


mengaplikasikan berbagai teori yang di pelajari, sehingga akan berguna
dalam pengembangan pemahaman, penalaran, dan pengalaman penulis,
juga pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu sosial.
Diantaranya adalah tentang Teori Prilaku Politik, Teori Prilaku Pemilih
dan Pemilihan Umum Kepala Daerah.

10
2. Secara Kelembagaan, penelitian ini diharapkan dapat menambah Referensi
penelitian sosial tentang Peran Agama Terhadap Prilaku Pemilih Dalam
Pemilihan Umum Kepala Daerah bagi Departemen Ilmu Politik, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta Universitas Sumatera Utara.
3. Bagi masyarakat umum, lebih khususnya masyarakat di Kecamatan
Bandar Masilam Kabupaten Simalungun dalam penelitian ini diharapkan
menjadi bahan pengetahuan tentang Pemilihan Umum Kepala Desa di
Kecamatan Bandar Masilam dan Pengaruh Agama yang menjadi Landasan
masyarakat dalam memilih calon kepala desa dan berharap agar
masyarakat juga dapat meningkatkan partisipasi politiknya dalam agenda
agenda Demokrasi.

1.6. Kerangka Teori

Teori dapat kita pahami sebagai generalisasi sebuah fenomena dari


interaksi yang muncul dan yang menarik untuk dipahami secara konsep yang
terukur menjadi sebuah alat kajian tehadap suatu peristiwa guna membantu kita
dalam melihat dan menganalisi sebuah Fenomena, dimana akan dipahami sebagai
sebuah sebab-akibat terhadap fenomena tersebut. Teori selalu memakai konsep-
konsep. Konsep lahir dari dalam pemikiran manusia dan karena itu bersifat
abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.13 Tentunya
teori sangat membantu penelitian dalam menganalisi masalah yang menjadi
penelitiannya. Sehingga Penelitian ini, teori-teori yang digunakan untuk mengkaji
permasalahan yang diteliti oleh peneliti adalah :

1.6.1 Prilaku Politik

Menurut Ramlan Surbakti Perilaku Politik dapat dirumuskan sebagai


kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan

13
Budiarjo Miriam. 2009.Dasar-Dasar Ilmu Politk. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hal.43.

11
politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan
yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua yaitu fungsi- fungsi pemerintahan yang
dipegang oleh pemerintah dan fungsi- fungsi politik yang dipegang oleh
masyarakat14

Sedangkan Menurut Sudijono Sastroadmojo Perilaku Politik adalah


Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antarlembaga pemerintah dan antara
kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan,
pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku
politik. Perilaku politik merupakan salah satu dari perilaku secara umum karena
disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi,
perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya.15

Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan


dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Interaksi antara
pemerintah dengan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok
dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan,
penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku
politik dapat dijumpai didalam negara misalnya, ada pihak yang memerintah dan
yang diperintah. Pada dasarnya, manusia yang melakukan kegiatan dibagi menjadi
dua, yakni warga negara yang memiliki fungsi pemerintahan (penjabat
pemerintahan), dan warga negara biasa yang tidak memiliki fungsi pemerintahan
tetapi memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang memiliki fungsi
pemerintahan (fungsi politik). Suatu tindakan dan keputusan politik tidak hanya
ditentukan oleh fungsi (tugas dan wewenang) yang melekat pada lembaga yang
mengeluarkan keputusan (sedangkan fungsi itu sendiri merupakan upaya
mencapai tujuan masyarakat, negara atau nilai-nilai politik), tetapi juga
dipengaruhi oleh kepribadian (keinginan dan dorongan, persepsi dan motivasi,

14
Surbakti Ramlan. Op cit. Hal.167.
15
Sastroatmodjo Sudijono.1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Hal.2- 3.

12
sikap dan orientasi, harapan dan cita-cita, ketakutan dan pengalaman masa lalu)
individu yang membuatkeputusan tersebut.16

Dalam pelaksanaan pemilu di suatu negara ataupun dalam pelaksanaan


pilkada langsung di suatu daerah, perilaku politik dapat berupa perilaku
masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan pemilu atau
pilkada tersebut. Perilaku politik dapat dibagi dua, yaitu:17

1. Perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah.

2. Perilaku politik warga negara biasa (individu maupun kelompok).

Pihak pertama bertanggung jawab membuat, melaksanakan, dan


menegakkan keputusan politik, sedangkan yang kedua berhak mempengaruhi
pihak yang pertama dalam melaksanakan fungsinya karena apa yang dilakukan
pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan politik yang
dilakukan warga negara biasa (individu maupun kelompok) disebut partisipasi
politik.

Dalam Teorinya, Prilaku Politik memiliki faktor-faktor yang


mempengaruhinya. Faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:18

1. Historis/Sejarah. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi


oleh proses-proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkab
budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis melainkan
berubah dan berkembang sepanjang masa.
2. Geografis. Georafis memberikan pengaruh dalam perilaku politik
masyarakat sebagai kawasan geostrategis, walaupun kemajemukan
budaya Indonesia merupakan hal yang rawan bagi terciptanya
disintegrasi. Kondisi ini mempengaruhi perbedaan tingkat partisipasi

16
Surbakti Ramlan, Op cit. Hal.131.
17
Ibid.Hal.15-16.
18
Asep Ridwan. 2000.Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2000, Jurnal Demokrasi dan
HAM. Jakarta: The Habibie Center. Hal.25.

13
politik masyarakat, kesenjangan pemerataan bangunan, kesenjangan
informasi, komunikasi, teknologi mempengaruhi proses sosialisasi
politik.
3. Budaya Politik. Budaya Politik memiliki pengaruh dalam perilaku
politik masyarakat. Berfungsinya budaya politik ditentukan oleh
tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya.
Kemajuan budaya Indonesia memepengaruhi budaya budi bangsa.
Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada
terciptanya sebuah bentuk perilaku politik dengan memahami budaya
politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku
politik.
4. Agama dan Keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral
politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku
politiknya. Keyakinan merupakan acuan yang penuh dengan norma-
norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku
politik sesuai agama dan keyakinannya proses politik dan partisipasi
warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
pemahaman agama seseorang.
5. Pendidikan dan komunikasi. Hal ini juga mempengaruhi perilaku
politik seseorang. Semakin tinggi pendiidkan masyarakat maka
semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi yang intens
akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan
politiknya.
6. Lingkungan Sosial Politik. Faktor ini mempengaruhi aktor politik
secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, ancaman.
Lingkungan sosial politik saling memepengaruhi dan berhubungan
satu dengan yang lain dan bukannya sebagai factor yang berdiri
sendiri.

14
Di negara-negara demokrasi, pada umumnya menganggap bahwa lebih
banyak partisipasi masyarakat, maka lebih baik. Dalam pikiran ini, tingginya
tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah
politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat
partisipasi juga menunjukan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki
keabsahan yang tinggi. Dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di suatu
Negara dianggap kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga
terhadap masalah politik, selain itu rendahnya partisipasi politik juga
menunjukkan lemahnya legitimasi dari enzim yang sedang berkuasa.

Partisispasi sebagai suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu:19

1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output dan input
politik. Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul
mengenai suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan
perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih
pemimpin pemerintah.
2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan hanya berorentasi pada output politik.
Pada masyarakat yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya
menuruti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan.

Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk kedalam kedua kategori ini,
yaitu masyarakat yang menganggap telah terjadinya penyimpangan sistem politik
dari apa yang telah mereka cita-citakan. Kelompok tersebut disebut apatis
(golput).

19
Surbakti Ramlan.1997.Partai, Pemilih dan Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal.170.

15
1.6.1.2 Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat
dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu
wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup
suara,sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan,
mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk
mempengaruhi hasil proses pemilihan.20

Menurut Surbakti perilaku pemilih adalah: “Aktivitas pemberian suara


oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk
memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan
umum (pilkada secara langsung). Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote)
maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.21

Jack C Plano mendefinisikan perilaku pemilih sebagai “suatu studi yang


memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan
pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka
melakukan pemilihan itu”.22

Sedangkan menurut J. Kristiadi Prilaku pemilih sebagai suatu keterikatan


seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan
psikologis, faktor sosiologis dan faktor rasionalitas si pemilih atau disebut dengan
teori Voting Behaviour.23

Dalam mengetahui tingkah laku pemilih harus dilakukan beberapa


pendekatan terkait dengan perilaku politik seseorang dalam menggunakan hak
pilihnya karena pendekatan tersebut akan menentukan bagaimana seseorang

20
Samuel P. Hutington dan Joan Nelson. 1990.Partisipasi Politik di Negara Berkemba. Jakarta :
Rineka Cipta. Hal.16.
21
Surbakti Ramlan. Op cit. Hal.172.
22
Jack C. Plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin. 1985.Kamus Analisa Politik. Jakarta:
C.V. Rajawali Press. Hal.280.
23
Kristiadi J.1996.Pemilihan Umum dan Prilaku Pemilih di Indonesia.Jakarta: Prisma 3 hal.76.

16
dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok.
Secara umum teori tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu
yaitu, “Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan.” Mazhab Colombia
menekankan pada faktor sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam
menentukan pilihan di pemilu. Model ini melihat masyarakat sebagai satu
kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang
teratas. Dalam kegiatannya Affan Gafar yang merupakan penganut pendekatan ini
mengungkapkan bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial
yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas (status
sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup
menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi
pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu produk dari karakteristik
sosial individu yang bersangkutan.24Selain itu terdapat juga pendekatan pilihan
rasional yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang
didapat oleh individu tersebut”.25

A. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini biasa juga disebut dengan mazhab Colombia. Cikal


bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para
sosiolog Amerika Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa. Menurut
mazhab ini, pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik
sosial dan pengelompokan usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang
keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kegiatan formal dan informal lainnya
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan pilihan-pilihan
politik.26Pendekatan ini pada dasarnya menekankan peranan faktor-faktor
sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, pendekatan ini

24
Affan Gafar. 1996.Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi. Jakarta : Grafindo. hal. 67-68
25
Surbakti Ramlan. 1992. Op. Cit. Hal.187.
26
Adman Nursal. 2004.Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Umum. Hal.55.

17
menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial itu mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. 27

Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis


(terutama konsep sosialisasi dan sikap) untuk menjelaskan perilaku memilih
seseorang. Aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam menganalisis
voting behavior ini menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferesi
pemberian suara di kotak pemilihan seeorang merupakan produk dari karaktersitik
sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan
seterusnya. Dalam status social ekonomi terdapat beberapa indicator yang
digunakan untuk melakukan analisis tentang suatu hubungan atau pengaruh, yaitu
antara lain pendidikan, pekerjaan, pendapatan, atau kekayaan.28

Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal,


seperti organisasi keagamaan, organisasi masyarakat, organisasi profesi maupun
pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok kecil
lainnya akan sangat berguna bagi penjelasan perilaku pemilih seseorang.
Pengelompokan ini memiliki peranan besar dalam membentuk sikap,persepsi,dan
orientasi seseorang, yang nantinya sebagai dasar atau preferensi dalam
menentukan pilihan politiknya.

B. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis merupakan fenomena Amerika Serikat karena


dikembangkan sepenuhnya di Amerika Serikat melalui melalui Survey Research
Center di Universitas Michigan. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas
ketidakpuasan beberapa ilmuwan politik terhadap pendekatan sosiologis.
Beberapa ilmuwan yang menganut pendekatan psikologis ini menganggap
pendekatan sosiologis secara metodologis sulit dilaksanakan, terutama dalam
aspek pengukurannya. Misalnya, bagaimana mengukur secara tepat sejumlah

27
Surbakti Ramlan. Op cit. Hal.145.
28
Damsar. 2010.Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. hal 200

18
indikator kelas sosial, kelompok primer atau sekunder, kelompok agama,
masyarakat dan sebagainya. Apakah variabel tersebut benar-benar memberikan
sumbangan pada perilaku pemilih.

Pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu


dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons
psikologis. Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” dan
rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis
penekanan lebih pada individu itu sendiri. Menurut psikologis, ada tiga faktor
yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Tiga faktor tersebut adalah
identifikasi partai, orientasi isu atau teman dan orientasi kandidat. Indentifikasi
partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi
juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut. Menurut Philip
Converse dalam Affan Gaffar, “identifikasi partai diartikan sebagai keyakinan
yang diperoleh dari orang tua dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan
tersebut tetap membekas sepanjang hidup, walaupun semakin kuat atau memudar
selama masa dewasa”.29

Greenstein menyatakan dalam menjelaskan perilaku (dalam kaitannya


dengan pendekatan psikologis) seseorang terdapat dua konsep khusus yaitu,
“konsep sikap dan sosialisasi”. Konsep sikap merupakan variabel sentral dalam
menjelaskan perilaku pemilih, karena menurut Greenstein ada tiga fungsi sikap
yakni, Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap
suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang
tersebut. Kedua sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang
bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama dan tidak sama
dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan
ekternaliasasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang merupakan upaya
untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud

29
Surbakti Ramlan. Op cit. Hal.10.

19
mekanisme pertahanan. Pembentukan sikap tidaklah bersifat begitu saja terjadi,
melainkan proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang
kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. Kedekatan
inilah yang menentukan seseorang memilih atau tidak. “Makin dekat seseorang
dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat
dalam pemilihan”.30

C. Pendekatan Rasional

Dua pendekatan terdahulu menempatkan pemilih pada waktu dan ruang


kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka beranggapan bahwa
perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat menjelang atau ketika ada di
bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum
kampanye dimulai.Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, sosialisasi,
pengalaman hidup merupakan variabel yang mempengaruhi perilaku politik
seseorang. Tetapi pada kenyataannya, ada sebagaian pemilih yang mengubah
pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Ini disebabkan oleh
ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah
preferensi politik seseorang. Ada faktor situasional yang mempengaruhi perilaku
pemilih. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang
dicalonkan. Isu-isu politik ini menjadi bahan pertimbangan yang penting dimana
para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu
politik. Artinya pemilih pemula dapat menentukan pilihannya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan rasional.31

Pendekatan rasional membawa kita pada kesimpulan bahwa para pemilih


benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi,
misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi,
prinsip, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah

30
Muhamad Asfar. 1998.Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih. Jurnal Ilmu
Politik Edisi No. 16. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hal.52.
31
Ibid hal.34.

20
karena factor kebetulan atau kebiasaan, dan tidak semata- mata untuk kepetingan
diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan
pertimbangannya yang logis

D. Konfigurasi Pemilih

Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih


sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan konfigurasi
pemilih atau tipe- tipe pemilih:32

1. Pemilih Rasional

Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional (rational voter), di


mana pemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy-problem-solving’ dan
berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih
mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program
kerjanya.

Ciri khas pemilih jenis ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan
ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti “faham,
asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang
dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan”. Hal yang terpenting bagi
jenis pemilih adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai
atau seorang kontestan, daripada faham dan nilai partai dan kontestan. Oleh
karena itu, ketika sebuah partai politik atau calon kontestan ingin menarik
perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis
akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, sosial-budaya, hubungan
luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional, dan lain-lain. Pemilih
tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan

32
Firmanzah. 2007. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Hal.134- 138.

21
ke partai politik atau kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu
menyelesaikan permasalahan nasional.

2. Pemilih Kritis

Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada


kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam
menuntaskanpermasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-
hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas
pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak
semudah ‘rational vote’ untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi
pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme.

Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan


untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan
selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah
dilakukan.

Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program
kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba
memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah
kebijakan. Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai
partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul
ketika terdapat perbedaan antara nilai ideologi dengan ‘platform’ partai: (1)
memberikan kritik internal, (2) frustasi, dan (3) membuat partai baru yang
memiliki kemiripan karakteristik ideologi dengan partai lama.

Kritik internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah


kebijakan partai politik atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa kritikannya
tidak difasilitasi oleh mekanisme internal partai politik, mereka cenderung
menyuarakannya melalui mekanisme eksternal partai, umpamanya melalui media
massa seperti televisi, radio, dan sebagainya. Frustasi merupakan posisi yang sulit

22
bagi pemilih jenis ini. Di satu sisi, mereka merasa bahwa ideologi suatu partai
atau seorang kontestan adalah yang paling sesuai dengan karakter mereka, tapi di
sisi lain mereka merasakan adanyaketidaksesuaian dengan kebijakan yang akan
dilakukan partai. Biasanya pemilih ini akan melihat-lihat dahulu (wait and see)
sebelum munculnya ide kemungkinan yang ketiga, yaitu membentuk partai baru.
Pembuatan partai biasanya harus dipelopori oleh tokoh-tokoh yang tidak puas atas
kebijakan suatu partai. Mereka memiliki kemampuan untuk menggalang massa,
ide, konsep, dan reputasi untuk membuat partai tandingan dengan nilai ideologi
yang biasanya tidak berbeda jauh dengan partai sebelumnya.

3. Pemilih Tradisional

Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu
yang penting dalam pengambulan keputusan. Pemilih tradisional sangat
mengutamakan kedekatan sosial-budayanya, nilai, asal-usul, faham, dan agama
sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan semisal ekonomi,
kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka
inflasi dianggap sebagai parameter kedua. Biasanya pemilih jenis ini lebih
mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah
partaipolitik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis
pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam
memegang nilai serta faham yang dianut.

4. Pemilih Skeptis

Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan
sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan
kebijakansebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah
partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka
memang rendah sekali. Mereka juga kurang memedulikan ‘platform’ dan
kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara,

23
biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan
bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa
membawa bangsa ke arah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu, mereka
tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang
kontestan.

E. Pola Pengelompokan Pemilih

Meskipun tampak relatif, pola pengelompokkan pemilih mencerminkan


kecenderungan saling terkait dan mempengaruhi. Lingkup pengelompokkan atau
segmentasi itu dapat didasarkan pada : 33

1. Lingkup agama (keluarga)

Diantara beberapa jenis pengelompokan sosial lainnya, lingkup agama merupakan


salah satu faktor pembentukan perilaku memilih. Setiap orang yang mengaku
beragama akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok agamanya
dan pilihan politiknya biasanya disejalankan dengan agama yang dianutnya.
Misalnya pemilih yang beragama Islam akan memiliki kecenderungan memilih
kontestan beragama Islam juga.

2. Lingkup gender

Lingkup gender mengidentifikasikan bahwa perbedaan jenis kelamin antara


perempuan dan laki-laki turut mempengaruhi perbedaan perilaku politik yang
dilakukan.

33
Agung Wibawanto,dkk.2005. Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta : Pembaruan
hal. 24-26.

24
3. Lingkup kelas sosial

Individu yang berasal dari kelas sosial yang berbeda biasanya memiliki perilaku
yang berbeda, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan pendidikan.

4. Lingkup geografi

Lingkup geografi berkaitan dengan pengelompokan pemilih berdasarkan aspek


geografi atau lingkungan.

5. Lingkup usia

Lingkup usia pada dasarnya mampu mengelompokkan individu. Dimana usia


seringkali mempengaruhi pilihan atau tindakan yang diambil oleh seseorang
dalam menjatuhkan pilihannya terhadap calon-calon kandidat yang ikut dalam
pemilihan. Ruang lingkup usia yang berdasarkan pada individu juga dapat
menjadi faktor penentu dalam rasionalisasi pemilih.

6. Lingkup demografi

Lingkup demografi mengelompokkan masyarakat terkait dinamika kependudukan


meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk.

7. Lingkup psikografis

Lingkup psikografis dapat diartikan sebagai segmentasi pemilih berdasarkan gaya


hidup yaitu bagaimana pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam aktivitas,
minat, dan opininya.

8. Lingkup perilaku

Lingkup perilaku adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri sebagai respon
terhadap sesuatu yang terjadi. Perilaku seseorang dapat mempengaruhi perilaku
individu lainnya.

25
1.6.2 Pemilihan Umum

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan mekanisme utama yang harus ada


dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu
dipandang sebagai bentuk palingnyata dari kedaulatan yang berada di tangan
rakyat dalam penyelenggaran negara. Oleh karena itu, sistem penyelenggaraan
Pemilu selalu menjadi perhatian utama. Hasil Pemilu menjadi dasar pembentukan
kelembagaan negara yang menentukan jalannya pemerintahan lima tahun
berikutnya.

Pengertian Pemilu pun diartikan sebagai sarana utama mewujudkan


demokrasi dalam suatu negara. Substansi Pemilu adalah penyampaian suara
rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan sebagai
penyelenggaran negara. Suara rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilih, yaitu
hak untuk memilih wakil dari berbagai calon yang ada. Sebagai suatu hak, hak
memilih harus dipenuhi dan sesuai dengan amanat konstitusi. Hal itu merupakan
tanggung jawab negara yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh KPU sebagai
lembaga penyelenggaran Pemilu.

Pemilihan umum bertujuan mengimplementasikan kedaulatan rakyat dan


kepentingan rakyat dalam lembaga politik negara. Melalui pemilihan umum,
rakyat mempunyai kesempatan untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk
dalam lembaga perwakilan. Secara ideal wakil yang duduk di lembaga perwakilan
adalah mereka yang dipilih sendiri oleh rakyat melalui pemilihan menurut hukum
yang adil. Dengan demikian, pemilihan umum merupakan komponen penting
dalam negara demokrasi karena berfungsi sebagai alat penyaring bagi mereka
yang akan mewakili dan membawa suara rakyat dalam lembaga perwakilan.34

Perwujudan kedaulatan rakyat yang dimaksud dilaksanakan melaluiPemilu


secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang

34
Moh. Mahfud, MD. 1999.Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media.
Hal.221-222.

26
akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik
rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta
merumuskan anggaran pendapatan dan belanja dalam membiayai pelaksanaan
fungsi tersebut.

Perwujudan kedaulatan rakyat yang dimaksud dilaksanakan melaluiPemilu


secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-Menurut Aurell
Croissant, dalam prespektif politik sekurang-kurangnya ada tiga fungsi pemilihan
umum, yakni35 :

1. Fungsi Keterwakilan. Fungsi Keterwakilan merupakan urgensi di negara


demokasi baru dalam beberapa Pemilu.
2. Fungsi Integrasi. Fungsi ini menjadi kebutuhan negara yang
mengkonsolidasikan demokrasi.
3. Fungsi Mayoritas. Fungsi Mayoritas merupakan kewajiban bagi negara
yang hendak mempertahankan stabilitas dan kepemerintahan
(governability).

1.6.2.1 Asas Pemilihan Umum

Pemilu diperlukan sebagai salah satu mekanisme mewujudkan prinsip


kedaulatan rakyat. Melalui Pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan
menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program
yang akan menjadi kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya. Oleh karena
itu tujuan Pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya
pemerintahan yang sesuai dengan pilihan rakyat. Pemilu yang tidak mampu
mencapai tujuan itu hanya akan menjadi mekanisme pemberian legitimasi bagi

35
Joko J, Prihatmoko. 2008.Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen Teknis.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal.18.

27
pemegang kekuasaan negara. Pemilu demikian adalah pemilu yang kehilangan roh
demokrasi.

Untuk mencapai tujuan itu, Pemilu harus dilaksanakan menurut asas- asas
tertentu. Asas-asas mengikat keseluruhan proses Pemilu dan semua pihak yang
terlibat, baik penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pemerintah.

Berdasarkan UU No 10 Tahun 2006 Tentang Penyelenggara Pemilihan


Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adanya pedoman dalam
penyelenggaran Pemilu, yaitu : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib
penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.

Penyelenggaran Pemilu, tentunya memiliki tujuan bagi rakyat,


diantaranya:36

a. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan


pemerintahan secara tertib dan damai.
b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan
mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.
c. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat.d. Untuk
melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Menurut Sukarna pelaksanaan Pemilu harus dilaksanakan secara bebas.


Syarat Pemilu agar berlangsung secara bebas ada sepuluh, yakni:37

a. Aman. Dalam suatu negara yang tidak aman tidak akan dapat
dilakukan pemilihan umum.
b. Tertib. Suatu pemilihan umum yang tidak berjalan tertib tidak akan
menjamin suatu hasil yang baik.

36
Jimly Asshiddiqie. 2012.Penghantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : Rajagrafindo
Persada.Hal. 417.
37
Sukarna. 1981.Sistem Politik. Bandung : Alumi. Hal.83.

28
c. Adil. Suatu pemilihan umum dalam suatu negara demokrasi harus
tetap menjunjung tinggi keadilan yaitu tidak adanya penindasan
dan paksaan.
d. Kemerdekaan Perorangan. Pemilihan umum yang bebas hanya
akan dapat dilakukan apabila setiap orang sebagai warga negara
dilindungi atau dijamin kemerdekaannya oleh undang-undang.
e. Kesejahteraan Masyarakat. Suatu masyarakat yang sejahtera yaitu
bebas dari kemiskinan dan ketakutan akan dapat melakukannya
pilihannya secara bebas tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
dapat menggangu kemerdekannya untuk memilih.
f. Pendidikan. Dalam masyarakat yang warga negaranya sebagian
besar buta huruf akan sukar untuk dijalankan pemilihan umum
secara bebas karena komunikasi dua arah tidak bisa dijalnkan
secara sempurna.
g. Terdapat partai politik dari satu. Pemilihan umum yang bebas
hanya dapat terselenggara apabila dalam negara itu terdapat lebih
dari satu partai politik, sehingga rakyat dapat memilih mana yang
lebih cocok dengan pendiriannya masing-masing.
h. Terdapat media pers yang bebas. Pers yang bebas merupakan
syarat alat komunikasi antara pemimpin politik dengan rakyat
sehingga pemimpin politik dapat mengemukakan tujuan dari
partainya tadi, maka rakyat dapat menilai mana yang paling baik
untuk pilihannya.
i. Terdapat open management. Suatu pemilihan umum yang bebas
hanya dapat terselenggara apabila negara itu menjalankan open
management yaitu adanya free social support atau dukungan yang
bebas dari masyarakat terhadap pemerintah dan adanya free social
control atau pengawasan yang bebas dari masyarakat terhadap
aparatur pemerintah dan adanya free social responsibility atau

29
pertanggungjawaban yang bebas dari kebohongan oleh pihak
pemerintah.
j. Terdapat rule of law suatu pemilihan umum yang bebas hanya
dapat dilakukan dalam negara yang menjalankan rule of law yaitu
baik pemerintah maupun rakyat sama-sama tak menjalnkan
undang-undang.Pengertian dan makna asas-asas Pemilu Indonesia
yang sedemikian kompleks, kalau diterjemahkan lebih singkat,
pada hakikatnya dipergunakan untuk memberikan landasan
filosofis bagi seluruh rangkaian proses penyelenggaran Pemilu.

Pengertian dan makna asas-asas Pemilu Indonesia yang sedemikian


kompleks, kalau diterjemahkan lebih singkat, pada hakikatnya dipergunakan
untuk memberikan landasan filosofis bagi seluruh rangkaian proses
penyelenggaran Pemilu.

1.6.2.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah

Kelahiran pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu


kemajuan dari proses demokrasi dan merupakan salah satu bentuk implementasi
otonomi daerah di Indonesia. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung
berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di daerah untuk menentukan
kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mereka kehendaki. Pemilihan
kepala daerah langsung juga merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap
kedaulatan rakyat, karena melalui pemilihan kepala daerah langsung ini
menandakan terbukanya ruang yang cukup agar rakyat bebas memilih
pemimpinnya.

Kelahiran Pemilih daerah juga ditandai dengan berlakunya Otonomi


Daerah di Indonesia. Otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur rumah
tangga daerah yang melekat baik pada Negara kesatuan maupun pada Negara

30
federasi.38 Hakikat otonomi daerah adalah desentralisasi atau proses
pendemokratisasian pemerintahandengan keterlibatan langsung masyarakat
melalui pendekatan lembaga perwakilan sebagai personifikasi dalam Undang-
Undang no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pada pasal 1 ayat 5 yakni
“otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan”.

Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara
langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni
2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam pemilu, sehingga
secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
atau disingkat Pilkada. Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai
penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di
dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota.

Di era kepemimpinan Presiden Jokowi Widodo, Undang Undang


mengenai Pemilukada kembali mengalami perubahan. Presiden Joko Widodo
telah mengesahkan Perubahan Kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.Dalam undang-undang No 10
tahun 2016 ini diharapkan dapat mewujudkan pelaksanaan pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota secara lebih demokratis. Sebab penyelenggaraan pemilihan

38
DR.J.Kaloh.2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: Rhineka Cipta. Hal.3.

31
Gubernur, Bupati dan Walikota itu sendiri bertujuan untuk memilih pemimpin di
daerah yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu
menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan daerah dalam rangka tercapainya
tujuan untuk memajukan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat.

Mengkaji mengenai Pemilihan Kepala Daerah juga tidak bisa lepas dari
Pemilihan Kepala Daerah Tingkat Desa. Pemilihan Umum Kepala Desa juga
menjadi bagian perkembangan Demokratisasi di tingkat Daerah. Melalui Pilkada
Desa kita bisa melihat cerminan-cerminan Pemilihan umum tingkatan di atasnya.

Pemilihan Umum Kepala Desa Muncul semenjak di berlakukannya


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Didalam UU ini, Peraturan mengenai
Pilkades diatur dalam BAB XI Tentang Desa yaitu dalam Pasal 95 sampai dengan
Pasal 98. Dalam Pasal 95 disebutkan sebagai berikut:

1) Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama
lain dan perangkat Desa;
2) Kepala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa dari calon yang
memenuhi syarat;
3) Calon Kepala Desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara
terbanyak, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan oleh Badan
Perwakilan Desa dandisahkan oleh Bupati.39

Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa yang menjadi unsur penting


dalam Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa dan juga Perangkat Desa. Dalam
rangka untuk memilih atau menentukan siapa yang akan menjadi Kepala Desa,
maka proses yang akan dilakukan adalah dengan dipilih langsung oleh penduduk
desa tersebut.

39
Huda Nikmatul.2015. Hukum Pemerintahan Desa (dalamkonstitusi Indonesia sejak
kemerdekaan hingga era reformasi). Jawa Timur: Setara Prees.Hal .78.

32
Perjalanan reformasi yang ditandai dengan lahirnya UU No.22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah diselimuti oleh semangat reformasi yang
sangat menggebu-gebu dalam segala aspek kehidupan bernegara, bahkan
berlangsung dengan cepat. Sehingga dalam perjalanan reformasi yang begitu
cepat tersebut bahwa Undang-Undang yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi
daerah ini belum mampu sepenuhnya untuk mencapai apa yang diharapkan,
sehingga perlu dilakukan perbaikan sesuai denga jiwa dan semangat berdemokrasi
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akhirnya UU No.22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan UU No.32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Hadirnya UU No.32 Tahun 2004 ini juga terdapat pasal-
pasal yang mengatur tentang Desa. 40

Pada masa Presiden Jokowi Widodo, Peraturan Pilkada Desa diatur dalam
Undang-Undang nomor 6 tentang Desa. Keberadaan undang-undang desa ini
merupakan hal yang sangat penting, setidaknya karena 2 (dua) alasan: Pertama,
melalui undang-undang desa diharapkan terbentuk basis legal pengaturan yang
jelas dan spesifik mengenai desa, karena sejak reformasi pengaturan desa diatur
dalam undang-undang Pemerintahan Daerah. Kedua, melalui undang-undang desa
ini diharapkan ada terobosan baru terwujudnya pembaharuan desa ke arah
demokratisasi, dan menyempurnakan semangat otonomi yang hendak diwujukan
dalam konstitusi41

Selain itu, yang menjadi sangat menarik dan penting untuk adalah
ketentuan tentang pemilihan Kepala Desa, Pasal 31 dijelaskan:42

(1) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak diseluruh wilayah


Kabupaten/Kota;

40
Ibid.Hal.186.
41
thesis.umy.ac.id/datapublik/t46860.pdf. (diakses: Selasa, 13 Februari 2018, jam: 03.15)
42
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016. Tentang Pemerintahan Daerah.Pasal 31

33
(2)Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan
pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagai mana dimaksud pada ayat 1
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1,2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Adanya aturan yang menjelaskan tentang pemilihan Kepala Desa ini,


semakin memperkuat semangat untuk menerapkan demokratisasi diseluruh
wilayah di Indonesia dan juga semangat dalam penyempurnaan otonomi daerah.
Untukmemperkuat aturan tentang UU No.6 Tentang Desaini, maka lahirlah
Peraturan Menteri Dalam Negeri(Permendagri) No.112 Tahun 2014 yang
secarakhusus mengatur tentang pemilihan Kepala Desa. Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 112 Tahun 2014. Di dalam pemendagri ini terdapat berbagai
macam ketentuan dalam proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa, diantaranya
mengenai panitia pelaksana pemilihan Kepala Desa, ketentuan tentang pemilihan
kepala desa seperti, tugas-tugas panitia pelaksana pemilihan, masyarakat yang
berhak mengikuti Pilkades, Syarat Calon kepala desa, kampanye pemilihan kepala
desa, pemungutan dan perhitungan suara Pilkades, penetapan Kepala Desa serta
mengenai Dana Pembiayaan dalam Pilkades.43

1.7. Metodologi Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitan dalam Skripsi ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan


format deskriptif.Penelitian kuantitatif dengan format deskriptif bertujuan
menjelaskan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variable

43
Peraturan Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014.Tentang Pemilihan Umum Kepala Desa. BAB
I-VII

34
yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa
yang terjadi. Kemudian mengangkat kepermukaan karakter atau gambaran
kondisi, situasi ataupun variable tersebut.44

1.7.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan tepatnya di Kecamatan Bandar Masilam Kabupaten


Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian Juga
dikhususkan di kecamatan Bandar Masilam karena daerah tersebut baru saja
selesai dalam pesta demokrasi Pemilihan Kepala Desa di tahun 2016.

1.7.3 Populasi dan Sampel

1.7.3.1 Populasi

Populasi adalah Keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,


benda, tumbuh-tumbuhan dan peristiwa sebagai sumber data yang mempunyai
karakteristik tertentu dalam sebuah penetian.45

Populasi juga dapat dikatakan keseluruhan subyek penelitian. Apabila


seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka
penelitiannya merupakan penelitian populasi.

Sugiyono dalam bukunya yang berjudul “metode penelitian kuantitatif


kualitatif dan R&D” memberi pengertian populasi, yaitu wilayah generalisasi
yang terdiri atas: obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakterisitk
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-
benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek

44
Burhan Bungin. 2009.Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana. Hal.36.
45
Herman Resito. 1992.Pengantar Metodologi Peneliti. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Hal.49.

35
atau subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang
dimiliki oleh subyek atau obyek itu sendiri.46

Adapun yang menjadi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh


masyarakat di kecamatan Bandar Masilam yang menggunakan hak piliknya Pada
Pemilihan Kepala Desa Bandar Masilam Tahun 2016. Dari 17.021 jiwa yang
tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) hanya 11.354 jiwa yang menggunakan
hak pilihnya. Maka populasi dalam penelitian ini adalah 11.354 jiwa.

1.7.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi atau wakil dari populasi. Nana
sudjana dan Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “penelitian dan penilaian
pendidikan” mengatakan bahwa sampel adalah sebagian dari populasi yang
dimiliki sifat karakteristik yang sama sehingga betul-betul mewakili populasi.47

Dalam Penelitian ini samplenya adalah seluruh penduduk Desa yang


menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan
Bandar Masilam. Karena jumlah Populasi yang akan diteliti berjumlah lebih dari
seribu, maka peneliti menggunakan teknik sample Slovin48.

𝑵
n=
𝟏 + 𝑵𝒆𝟐

n = Number of samples (jumlah sampel)

N = Total population (jumlah seluruh masyarakat yang menggnakan hak pilih)

e = Error tolerance (toleransi terjadinya galat; taraf signifikansi; untuk sosial dan
pendidikan lazimnya 0,05) –> (^2 = pangkat dua)

46
Sugiyono. 2009.Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Hal.80.
47
Syaifuddin Azwar .1998.Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal.79.
48
Consuelo, G. Selvilla. 1993.Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : UI Press 1993. Hal.161.

36
Untuk menggunakan rumus tersebut, pertama-tama peneliti menetapkan terlebih
dahulu taraf keyakinan atau confidence level (…%) akan kebenaran hasil
penelitian (berapa persen), atau taraf signifikansi toleransi kesalahan (0,..) terjadi.

Misalnya kita ambil taraf keyakinan 93%, yaitu yakin bahwa 93% hasil penelitian
benar, atau taraf signifikansi 0,07 (hanya akan ada 7% saja kesalahan karena
kebetulan benar terjadi).

Dalam Penelitian ini, peneliti mengambil data Populasi yang akan dijadikan
sample sebagai Berikut:

Dalam penelitian ini masyarakat yang akan diteliti didapat sebanyak 11.354 orang
(menggunakan hak pilih) dan peneliti mengambil taraf keyakinan sebesar 97%
sehingga taraf signifikansinya 0,10.

Maka besarnya sampel menurut rumus Slovin ini akan menjadi:

𝑵
n=
𝟏 + 𝑵𝒆𝟐

𝟏𝟏.𝟑𝟓𝟒
n=
𝟏+𝟏𝟏.𝟑𝟓𝟒 × 𝟎.𝟎𝟕𝟐

n = 200 orang.

Maka didapatkan jumlah sampel sebanyak 200 orang guna memudahkan


penelitian ini. Sedangkan untuk menentukan responden yang akan dijadikan
sampel penelitian adalah 200 orang dari 9 desa yang terdapat di Kecamatan
Bandar Masilam. Penulis menggunakan teknik sampling acak proporsional dan
sampelnya dinamakan sampel acak proporsional49.Di dalam sampling acak secara
proporsional menurut stratifikasi ( proportionate stratified random sampling ) ini
populasi dibagi atas beberapa bagian ( subpopulasi ). Penggolongan populasi ini

49
Sudjana. 2002.Metoda Statistika. Bandung : Tarsito. Hal.173.

37
berdasarkan ciri tertentu dari populasi tersebut untuk keperluan penelitian.
Penggolongan menurut ciri ini disebut stratifikasi. Dengan rumus :

𝒏𝟏 ×𝒏
n=
𝑵

Dimana:

n1 = jumlah populasi DPT tiap desa


n = jumlah sampel pada populasi awal
N = jumlah populasi keseluruhan

Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas maka dapat ditentukan


berapa jumlah sampel untuk tiap desa di Kecamatan Bandar Masilam. Dalam
mendapatkan Jumlah Sampel, peneliti menggunakan cara Proporsional Stratified
Sampling, dimana sampel yang diambil berdasarkan strata-strata. Peneliti
menetapkan jumlah sampel berdasarkan Populasi agama di tiap Desa. Maka
perhitungan untuk menentukan jumlah sampel di tiap desa adalah sebagai berikut
:

Desa Bandar Rejo

Islam = 1729 × 𝟗𝟖, 𝟗% = 1709,9 Kristen = 1729 × 𝟏% = 17,29

Budha = 1729 × 𝟎, 𝟏% = 1,7

1709,9 ×200 17,29 ×200


Islam = Kristen =
11.354 11.354

Islam = 29 Sampel Kristen = 1 Sampel

38
1,7 ×200
Budha =
11.354

Islam = 0 Sampel

Desa Lias Baru

Islam = 1171 × 𝟖𝟐% = 960,22 Kristen = 1171 × 𝟏𝟖% = 210,78

960,22 ×200 210,78 ×200


Islam = Kristen =
11.354 11.354

Islam = 17 Sampel Kristen = 4 Sampel

Desa Panombean Baru

Islam = 1031 × 𝟗𝟗% = 1020,6 Kristen = 1031 × 𝟏% = 10,3

1020,6 ×200 10,3 ×200


Islam = Kristen =
11.354 11.354

Islam = 18 Sampel Kristen = 1 Sampel

Desa Gunung Serawan

Islam = 672 × 𝟕𝟗% = 530,8 Kristen = 672 × 𝟐𝟏% = 141,1

530,8×200 141,1 ×200


Islam = Kristen =
11.354 11.354

39
Islam = 9 Sampel Kristen = 2 Sampel

Desa Bandar Masilam II

Islam = 1292 × 𝟗𝟏% = 1175,7 Kristen = 1292 × 𝟗% = 116,2

1175,7 ×200 116,2 ×200


Islam = Kristen =
11.354 11.354

Islam = 21 Sampel Kristen = 2 Sampel

Desa Bandar Masilam

Islam = 1448 × 𝟗𝟒% = 1361,1 Kristen = 1448 × 𝟓% = 72,4

Budha = 1448 × 𝟐% = 28,9

1361,1×200 72,4×200
Islam = Kristen =
11.354 11.354

Islam = 24 Sampel Kristen = 1 Sampel

28,9 ×200
Budha =
11.354

Budha = 1 Sampel

Desa Bandar Gunung

Islam = 818 × 𝟓𝟒% = 441,7 Kristen = 818 × 𝟒𝟔% = 376,2

40
441,7 ×200 376,2 ×200
Islam = Kristen =
11.354 11.354

Islam = 8 Sampel Kristen = 7 Sampel

Desa Bandar Silou

Islam = 1196 × 𝟖𝟓% = 1016,6 Kristen = 1196 × 𝟏𝟓% = 179,4

1016,6 ×200 179,4 ×200


Islam = Kristen =
11.354 11.354

Islam = 18 Sampel Kristen = 3 Sampel

Desa Bandar Tinggi

Islam = 1997 × 𝟗𝟔, 𝟗% = 1935 Kristen = 1997 × 𝟑% = 59,9

Budha = 1997 × 𝟎, 𝟏% = 19.9

1935 ×200 59,9 ×200


Islam = Kristen =
11.354 11.354

Islam = 33 Sampel Kristen = 1 Sampel

19,9 ×200
Budha =
11.354

Budha = 0 Sampel

41
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka dapat dibuat jumlah sampel untuk
penelitian ini secara rinci, seperti pada tabel 1.1 berikut ini.

Tabel 1.1

Jumlah Sampel Penelitian

Agama
No Desa Islam Kristen Budha
1 Panombean Baru 18 1 -

2 Lias Baru 17 4 -

3 Bandar Silou 18 3 -

4 Bandar Masilam 24 1 1

5 Gunung Serawan 9 2 -

6 Bandar Masilam II 21 2 -

7 Bandar Tinggi 33 1 -

8 Bandar Rejo 29 1 -

9 Bandar Gunung 8 7 -

Total 177 22 1

Total Sampel Keseluruhan 200

1.7.4. Metode Pengumpulan Data

Untuk menentukan objek penelitian yang tepat, maka penulis


menggunakan teknik penarikan sampel Proporsional Stratified Sampling. Teknik
ini digunakan karena populasi yang dijadikan sampel terbagi atas beberapa desa.
Dengan menggunakan teknik ini setiap strata diambil sampel yang sebanding

42
dengan besarnya strata50.Dalam penelitian ini sampel terdiri dari 9 strata. Jadi
memungkinkan populasi kecil terpilih menjadi sampel. Kemudian untuk
menentukan sampel yang dipilih, peneliti menggunakan teknik Simple Random
Sampling, yaitu penentuan sampel secara acak. Simple Random Sampling dapat
dipenuhi jika populasi dari suatu penelitian homogen dan tidak terlalu banyak
jumlahnya.51

1.7.5 Teknik Pengumpulan Data

a. Data primer adalah data yang langsung diperoleh langsung dari


sumber data pertama dilokasi penelitian atau objek penelitian. Dalam
kaitannya dengan penelitian mengenai perilaku pemilih di Kecamatan
Bandar Masilam Kabupaten Simalungun, maka pengumpulan data
penelitian ini dilakukan melalui kuesioner.52 Kuesioner (metode
angket) merupakan serangkaian atau daftar pertanyaan yang disusun
secara sistematik, kemudian dikirim untuk diisi oleh responden.
b. Data Sekunder adalah data-data yang diperoleh dan digunakan untuk
mendukung data, informasi data primer. Adapun data skunder
tersebut adalah dokumen, buku-buku, Undang-Undang, Jurnal,
majalah-majalah, media cetak, koran serta catatan-catatan yang
berkaitan dengan judul skripsi ini.

1.7.6 Teknik Analisis Data

1.7.6.1 Uji Reliabilitas

50
Hadari Nawawi.1995.Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Hal.159.
51
Bambang Prasetyo.2013.Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi nya.Jakarta: Raja
Grafindo Persada. hal.123.
52
Burhan Bungin.2009.Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana.Hal.123.

43
Uji Reliabilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh hasil

pengukuran tetap konsisten apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih

terhadap gejala yang sama dengan menggunakan Alat pengukur yang sama.53 Uji

reliabilitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat ukur yang dirancang dalam

bentuk kuesioner dapat diandalkan. Suatu alat ukur dapat diandalkan jika alat ukur

tersebut digunakan berulangkali akan memberikan hasil yang relatif sama(tidak

berbeda jauh). Untuk melihat andal tidak nya alat ukur digunakan pendekatan

statistika, yaitu koefisien reliabilitas dan apabila koefisien reliabilitasnya lebih

besar dari 0.60 maka secara keseluruhan peryataan tersebut dapat dinyatakan

Andal (reliabel) .

Uji reliabilitas dalam penelitian ini penulis menggunakan metode Alpha

Cronbach (α) yang dibantu dengan aplikasi SPSS 16 dan dikutip dari Ety

Rochaety dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Bisnis.dengan rumus

sebagai berikut:54

𝑁 𝑆 2 (1−Σ𝑆𝑖 )
R=α=R= ( )
𝑁−1 𝑆2

Dimana:
α = Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach

S2 = Varians skor keseluruhan

53
Sugiyono. Op.Cit. hal.354.
54
Rochaety Ety. 2007.Metode Penelitian Bisnsi, dengan Aplikasi SPSS.Jakarta: Mitra Wacana
Media. hal. 54.

44
Si = Varians masing-masing item

1.7.6.2 Korelasi Product Moment

Dalam penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik

korelasi Product Moment atau Korelasi Person yang akan dibantu dengan Aplikasi

SPSS 16 dalam pengaplikasian nya. Teknik analisa distribusi frekuensi akan

digunakan untuk menganalisa derajat hubungan yang hanya melibatkan dua

variabel Pada Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan Bandar Masilam.

Adapun rumus Koefesien Korelasi Pearson adalah sebagai Berikut:55

𝑵. ∑ 𝑿. 𝒀 − (∑𝑿)(∑𝒀)
𝒓𝒙𝒚 =
[𝑵. ∑𝑿𝟐 − (∑ 𝑿)𝟐 ][𝑵. ∑𝒀𝟐 − (∑𝒀)𝟐 ]

rxy = Koefisien korelasi Product Moment

N = Jumlah individu dalam sampel

X = Angka mentah untuk variabel X

Y = Angka mentah untuk variabel Y

55
Hasan Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Hal. 103.

45
Sedangkan untuk dapat menjawab pertanyaan penelitan, yaitu mengetahui

faktor mana yang paling dominan mempengaruhi pemilih pada Pemilukada di

Kecamatan Bandar Masilam, akan dibandingkan koefisien korelasi dari masing-

masing pendekatan. Koefiesien korelasi dari ketiga faktor yang memiliki

hubungan positif paling besar ditetapkan sebagai faktor yang paling dominan.

Berikut ini merupakan tabel yang menunjukan besaran Nilai Koefisien

Korelasi:56

Tabel 1.2
Besaran Nilai Koefisien Korelasi

NILAI KOEFISIEN PENJELASAN


+ 0.70 – Ke atas Hubungan positif sangat kuat
+ 0.50 – 0.69 Hubungan positif mantap
+ 0.30 – 0.49 Hubungan positif sedang
+ 0.10 – 0.29 Hubungan positif tak berarti
0.0 Tidak ada hubungan
-0.01 – 0.09 Hubungan negatif tak berarti
-0.10 – 0.29 Hubungan negatif rendah
-0.30 – 0.49 Hubungan negatif sedang
-0.50 – 0.69 Hubungan negatif mantap
-0.70 – Ke bawah Hubungan negatif sangat kuat

56
Ibid. hal.99.

46
1.7.6.3 Uji Normalitas

Uji normalitas adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui sebuah
model regresi yaitu variabel dependen, variabel independen atau keduanya
mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Model regresi yang baik adalah
distribusi data normal atau mendekati normal.

Untuk mendeteksi normalitas dapat melihat grafik normal P-P Plot of Regression
Standardized Residual. Deteksi dengan melihat penyebaran data pada sumbu
diagonal dari grafik. Pada penelitian ini digunakan uji satu sampel Kolmogorov-
Smirnov untuk menguji normalitas model regresi.57

Dasar pengambilan keputusan antara lain:

a. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal,
maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.

b. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal atau tidak mengikuti arah garis
diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi klasik.

1.7.6.4 Analisis Regresi

Analisis regresi sederhana digunakan untuk mengetahui pengaruh


informasi akuntansi diferensial terhadap pengambilan keputusan manajemen.
Sugiyono menjelaskan bahwa analisis regresi sederhana didasarkan pada
hubungan fungsional ataupun kausal satu variabel independen dengan satu
variabel dependen. 58

Persamaan umum regresi linier sederhana adalah :

Y = α + bX

57
Ghozali Imam.2005.Aplikasi Analisis Multivariate dengan SPSS.Semarang: Badan Penerbit
UNDIP.hal.10
58
Sugiyono. Op cit. Hal.270.

47
Keterangan:

Y = Subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan.

α = Harga Y bila X = 0 (harga konstan).

b = Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukan angka peningkatan

ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada variabel

independen. Bila b (÷) maka naik, dan bila ( - ) maka terjadi penurunan.

X = Subyek pada variabel independen yang mempunyai nilai tertentu.

1.7.6.5 Uji Hipotesis

Hipotesis merupakan pernyataan-pernyataan yang menggambarkan suatu


hubungan antara dua variabel yang berkaitan dengan suatu kasus tertentu dan
merupakan anggapan sementara yang perlu diuji benar atau tidak benar tentang
dugaan dalam suatu penelitian serta memiliki manfaat bagi proses penelitian agar
efektif dan efisien. Hipotesis merupakan asumsi atau dugaan mengenai suatu hal
yang dibuat untuk menjelaskan hal tersebut dan dituntut untuk melakukan
pengecekannya. Jika asumsi atau dugaan tersebut dikhususkan mengenai populasi,
umumnya mengenai nilai-nilai parameter populasi, maka hipotesis itu disebut
dengan hipotesis statistik.59

A. Uji t
Sebelum koefisien korelasi digunakan untuk membuat kesimpulan,
terlebih dahulu diuji keberartian korelasi, untuk itu digunakan statistik
uji t dengan rumus:

𝑛−2
𝑡=𝑟√
1 − 𝑟2
59
Ibid. hal 230

48
Keterangan :
r = korelasit
t = nilai koefisien korelasi dengan derajat bebas (dk) n-2 n
n = jumlah sampel

Hasil pengujian uji t kemudian dibandingkan dengan ttabel yang


diperoleh dengan menggunakan tingkat signifikan (α) dan derajat
kebebasan n-2. Hipotesis yang telah ditetapkan tersebut akan diuji
berdasarkan daerah penerimaan dan daerah penolakan yang ditetapkan
sebagai berikut:
Jika t hitung > t tabel, maka Ho ditolak
Jika t hitung < t tabel, maka Ha diterima

Penetapan Hipotesis Penetapan Hipotesis Nol (Ho) dan Hipotesis


alternatif (Ha) sebagai berikut:
Ho1 : ρ = 0 tidak terdapat pengaruh signifikan informasi
akuntansidiferensial terhadap pengambilan keputusan manajemen.
Ha1 : ρ ≠ 0 terdapat pengaruh signifikan informasi akuntansi
diferensialterhadap pengambilan keputusan manajemen.

1.7.7 Teknik Pengolahan Data

Untuk mengetahui jawaban dari tiap Kuesioner maka dibutuhkan Data


Coding untuk menilai tiap jawaban. Data Coding merupakan suatu proses
penyusunan secara sistematis data mentah(yang ada dalam kuesioner) ke dalam
bentuk yang mudah dibaca oleh mesin pengolah data seperti komputer.60 Oleh
karena itu, dari setiap jawaban Pertanyaan Sikap (Pilkades Bandar Masilam

60
Prasetyo Bambang.2005.Metode Penelitian Kuantitatif, Teori dan Aplikasi.Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. Hal.171.

49
Kabupaten Simalungun Tahun 2016) yang diberikan akan diberikan skor nilai
yang berbeda-beda.

a. Sangat Setuju : 4
b. Setuju : 3
c. Tidak Setuju : 2
d. Sangat Tidak Setuju : 1

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, masalah penelitian, kerangka teori, dan
metodologi penelitian.

BAB II : DESKRIPSI KECAMATAN DAN PILKADES BANDAR


MASILAM
Bab ini akan membahas tentang gambaran umum lokasi penelitian
yaitu deskripsi Kecamatan Bandar Masilam dan kondisi pemilihan
pada daerah tersebut.

BAB III : ANALISIS PENGARUH AGAMA TERHADAP PERILAKU


PEMILIH
Bab ini akan membahas tentang penyajian data dan fakta yang
penulis dapat dari tempat penelitian selain itu juga melakukan
pembahasan dan analisis dari data-data tersebut.

BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan yang diperoleh dari bab sebelumnya
dan saran penulis terhadap permasalahan yang dibahas.

50
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adman Nursal. 2004.Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta


: PT. Gramedia Pustaka Umum

Affan Gafar. 1996.Politik Indonesia Transisi menuju Demokras, Jakarta :Grafindo

Agung Wibawanto,dkk.2005. Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta :


Pembaruan hal. 24-26.

Asep Ridwan. 2000.Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004, Jurnal


Demokrasi dan HAM,. Jakarta : The Habibie Center

Bandar Masilam Dalam Angka 2015.Simalugun: Badan Pusat Statistika Kabupaten


Simalungun

Budiarjo Miriam. 2009.Dasar-Dasar Ilmu Politi,. Jakarta : Gramedia Pustaka


Utama

Burhan Bungin. 2009.Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta : Kencana

Consuelo, G. Selvilla. 1993.Pengantar Metode Penelitian, Jakarta : UI Press

Damsar. 2010.Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : Kencana Prenada Media


Group

DR.J.Kaloh.2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: Rhineka Cipta.

Firmanzah. 2007.Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia

Ghozali Imam.2005.Aplikasi Analisis Multivariate dengan SPSS.Semarang: Badan


Penerbit UNDIP.

Hadari Nawawi. 1995.Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadjah

51
Mada University Press

Hasan Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.


Jakarta:
Ghalia Indonesia.

Herman Resito. 1992.Pengantar Metodologi Penelitia, Jakarta : Gramedia


Pustaka Utama

Huda Nikmatul.2015. Hukum Pemerintahan Desa (dalamkonstitusi Indonesia sejak


kemerdekaan hingga era reformasi). Jawa Timur: Setara Prees.

Imam Hidajat. 2009. Teori-Teori Politik. Malang: Setara Press. hal 170

Jack C. Plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin. 1985.Kamus Analisa


Politik, Jakarta. C.V. Rajawali Press

Jimly Asshiddiqie. 2012.Penghantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta :


Rajagrafindo Persada

Joko J, Prihatmoko. 2008.Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen


Teknis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Moh. Mahfud, MD. 1999.Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta : Gama


Media

Muh.Nur Sidik, Jurnal Ilmiah Hukum Legality, Vol 13 Nomor 2, Fakultas Hukum
UMM

Muhamad Asfar. 1998.Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih.


Jurnal Ilmu Politik Edisi No. 16. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Nasution Harun. 1974.Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Bulan


Bintang

52
Prasetyo Bambang.2005.Metode Penelitian Kuantitatif, Teori dan
Aplikasi.Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Rochaety Ety. 2007.Metode Penelitian Bisnsi, dengan Aplikasi SPSS.Jakarta: Mitra


Wacana Media

Samuel P. Hutington dan Joan Nelson. 1990.Partisipasi Politik di Negara


Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta

Robert A. Dahl. 1985.Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol.


Jakarta: Rajawali Press.

Sudijono Sastroatmodjo. 1995.Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press

Sudjana. 2002.Metoda Statistika, Bandung : Tarsito

Sugiyono. 2009.Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta.

Sukarna. 1981.Sistem Politik, Bandung : Alumi

Surbakti Ramlan, 1997.Partai, Pemilih dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka


Pelajar

Surbakti Ramlan. 1992.Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya


SaranaR. Siti

Syaifuddin Azwar .1998.Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Zakiah Daradjat. 1993. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang

Zuhro, dkk. 2009.Demokrasi Lokal Peran Aktor Dalam Demokratisasi,


Yogyakarta: Ombak

53
Undang-Undang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014, Tentang


Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014, Tentang Pemilihan
Kepala Desa,

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016. Tentang Pemerintahan Daerah

Internet:

https://jefrihutagalung.wordpress.com/2014/04/08/sejarah-pemilihan-umum-di-indonesia-
hingga-pemilu-2014-indonesia-election-2014/

thesis.umy.ac.id/datapublik/t46860.pdf.

https://www.boyyendratamin.com/2011/09/kilasan-perkembangan-otonomi.html

54

Anda mungkin juga menyukai